Share

Membusuk

"Kalian akan menyesal," janjiku dalam hati sambil menatap foto keluarga mereka. Ada Mas Bram, mama mertua, Laili istri pertama sekaligus pemakan kekasih teman, dan Sheila, buah hati Mas Bram dan Lalili.

Dari foto itu, tersadarlah diri ini, ternyata aku dan Nisa memang tak pernah dianggap keluarga.

pyarrr ...

Ku lempar asbak ke pigura itu, hingga menyisakan pecahan-pecahan kaca.

Hancur, seperti keadaan hatiku.

"Ini sebagai tanda, kalau aku siap berperang,"

******

"Nisa, kita sholat magrib dulu yuk. Setelah itu kita cari kontrakan. Semoga dapat,"

Nisa mengangguk, menanggapi ucapan ku. Mau bagaimana lagi? sementara harus cari kontrakan dulu. Pulang ke rumah Ibu, bukanlah ide yang bagus.

Khawatir, hadirnya kami dalam keadaan begini, membuat Ibu semakin menderita.

"Ayo, Ma," ajak putriku, sambil menggamit tangan kanan diriku

Beruntung, kami bisa segera menemukan masjid. Belum tertinggal jamaah.

"Assalamualaikum warahmatullah," lirih para jamaah berucap, mengakhiri sholat magrib kali ini. Nisa bergegas mencium tanganku, khusyuk.

"Nisa doa dulu ya, Ma," celoteh putri kecilku polos.

Aku tersenyum, kemudian menatapanya penuh bangga. Dia terpejam, sambil mulutnya tak berhenti komat-kamit

Ada setitik air jatuh dari sudut mata polos itu. Entah, apa yang membuatnya menangis. Dan entah, juga kenapa melihat Nisa seperti itu membuat hatiku, nyeri luar biasa.

"Nisa ..."lirihku sambil menyentuh punggung tangan mungil itu.

Dia membuka kelopak matanya, dan menatapku dengan tatapan sendu.

"Doa apa, sayang? Kok sampai nangis?" Ucapku dengan nada kecil.

"Kata mama kan, Allah selalu mengabulkan permintaan anak kecil. Dan Nisa ingin, Allah hapus julukan anak haram dari tubuh Nisa. Nisa pingin disayang papa sama nenek kayak dek Sheila, Ma,"

"Siapa yang bilang kamu anak haram, Nisa! Mama nggak suka kamu bilang begitu,"

Dia menunduk, membuatku semakin kasihan.

"Kata Nenek sama Mama Laili, aku anak haram. Hasil di luar nikah, makanya bawa sial," paraunya.

Segera kudekap tubuh mungil itu, dia sedikit terisak dalan rengkuhanku

Berkali-kali ku Hela nafas agar sesak di dada sedikit berkurang, aku tidak dalam keadaan sedih, justru aku sangat marah pada kedua wanita itu. Sampai-sampai air mata pun seolah enggan menetes.

"Setiap anak lahir dalam keadaan suci. Semua sama di hadapan Allah, yang membedakan hanya iman dan takwa,"

"Iman dan Takwa itu apa, Ma," dia mendongak, menatapku.

"Mmm, iman artinya percaya dan takwa artinya takut sama Allah,"

Keningnya Nisa mengernyit, mungkin belum paham atau masih mencerna kata-kataku.

"Sudah, nanti Mama ajarkan lagi. Terpenting, Allah itu sayang Nisa. Jadi nggak usah sedih, kalau nggak disayang papa sama Nenek. Oke!"kelasku mengembalikan aura semangat dalam jiwanya.

(Flash back off)

Perkenalkan, namaku Meira Rahmawati, Dulu, hanya seorang gadis kampung yang merantau ke kota saat usia menginjak 19 tahun.

Awal perkenalan dengan Mas Bram, karena dikenalkan oleh teman. Tak disangka, cinta kami tumbuh sejak pertemuan pertama, Arhhh, entahlah. Kenapa aku sangat percaya diri, sepertinya hanya diriku yang jatuh cinta.

Dia selalu merayuku, hingga akhirnya diri ini terbuai juga. Hingga kami terjerumus ke dalam hal yang tak semestinya dilakukan. Ya, kami sering bergumul di bawah selimut.

Petaka itu datang, mula-mula terlihat seperti biasa. Aku sering berpergian bersama Laili, sahabatku dan Mas Bram sang kekasih.

Namun, laun lamban aku mengetahui, bahwa Laili dan Mas Bram selingkuh di belakangku, dan sialnya saat aku sedang hamil.

Dikhianati sahabat itu sangat sakit, apalagi sahabat yang sudah kau anggap saudaramu sendiri. Susah senang selalu kau bersamanya, semua kau korbankan demi dirinya, tapi hanya bongkahan luka yang ia berikan padamu.

Rasanya teramat menyakitkan. Kesempatan langka saat bersama dengannya di Taman, membuatku langsung mengutarakan apa maksudku.

"Mas, kenapa kau tega khianati aku heh. Bukankah kau sudah tau, kalau aku sedang hamil?" suaraku meninggi.

"Iya. Aku tahu, sudah kamu bilang kemaren-kemaren," ketusnya

"Lalu? kenapa kau mengkhianatiku, Mas? Seharusnya kamu segera menikahiku. Aku nggak ingin anak kita terlahir tanpa perkawinan yang sah," tegasku sambil bercucuran air mata.

"Oh, oh, nggak bisa. Maaf aku nggak bisa sayang, hidupku terlalu berharga untuk menjadi suamimu,"

Ujaran dia membuat gelegar di hatiku menyala.

"Lagian, Cintaku sudah untuk Laili, dan hubungan kami sudah mendapat restu dari Mama ku. Aku tak mungkin menikahi gadis udik sepertimu, punya Laili lebih menggoda dari pada punyamu yang baunya kayak ikan asin," imbuhnya sambil menunjuk kepunyaanku, Miss V yang tertutup dibalik rok plisket.

Dia menunjuk tanpa menyentuh, dan mataku menyala sempurna.

Tampa sadar tanganku melayang ke wajah Mas Bram, tamparan yang cukup keras karena untuk menggambarkan suasana hatiku saat itu. Lelaki itu terbelalak lebar, terkejut dengan tamparanku.

"Kamu berani menamparku? Dasar wanita udik, kampungan" sergahnya sambil memegangi pipinya dengan suara meninggi.

"Iya, lelaki bejat sepertimu pantas mendapatkannya. Bahkan ini jauh ringan dari pada semua perlakuan yang semestinya kau terima. Lelaki sepertimu harusnya membusuk di dalam perut bumi," ucapku dengan ekspresi siap menelan dia hidup-hidup.

Mas Bram melempar tatapan bengis sebelum pergi dari hadapanku.

"Lebih baik aku temuin Mamanya. Dia mungkin akan mengerti penderitaan sesama perempuan," lirihku. Kala itu.

******

"Assalamualaikum, Ibu udah sehatan?" teriakku sambil memakai baju, bersiap ke rumah Mas Bram.

"Uhuk, uhuk," Suara batuk Ibu terdengar dari ponsel yang sengaja ku loudspekerkan.

"Bu,"

Gegasku menyambar ponsel yang ku letakaan tak jauh dari diri ini.

Tuttt ...

Sambungan dimatikan dari sana. Ku hela napas besar berkali-kali. Bagai sudah jatuh tertimpa tangga, permasalah bertubi-tubi masuk dalam hidup. Ibu yang sakit-sakitan, tak ada biaya, sehingga terpaksa aku merantau ke kota. Mengadu nasib disini.

Sekarang ditambah, aku lagi hamil. Bagaimana reaksi Ibu jikalau aku tahu, diri ini hamil di luar nikah.

Suara ketukan yang lebih menyerupai gedoran di pintu kontrakan menyadarkanku dari lamunan.

Plak ...

Sebuah tamparan yang menjadi sajian usai kubuka pintu.

"Awww," aku meringis, sakit.

"Itu sebagai pelajaran bagi wanita udik seperti mu. Aku saja yang melahirkan dan membesarkannya tak berani menamparnya. Sedangkan Kamu?" tegas suara wanita itu, yang tak lain ibu Mas Bram. Sambil menunjuk-nunjuk wajahku.

"Anak anda yang kurang ajar. Dia sudah menghamiliku, tapi tak mau tanggung jawab. Dia pantas mendapatkan sedikit pelajaran dariku,"

"Alah, cuman hamil doang dibesar-besarin. Banyak tuh wanita yang hamil tanpa suami, dan mereka happy aja. Kamu aja yang lebay, letoy,"

Cuman hamil doang dia bilang? Dan katanya aku lebay. Sungguh perkataannya tidak pantas sebagai sesama perempuan.

Andai, dia di posisiku. Apa yang akan ia lakukan? aku yakin, dia pasti malah nangis ngejer. Wajar, hidupnya lurus dan mujur-mujur aja, jadi tidak pernah merasakan menjadi wanita miskin sepertiku. Apalagi dihinakan pula.

"Gugurkan bayi itu atau kau pergi saja dari hidup Bram. Biarkan dia bahagia sama Laili. Dia lebih pantas jadi menantuku daripada kamu!" Pungkasnya, sambil melempar tatapan sangat angkuh.

"Aku kira bertemu denganmu adalah awal dari titik terang. Tapi aku salah. Kamu sama saja dengan putramu,"

Dia melempar amplop coklat, entah apa isinya.

"Kalau kurang bilang. Itu sudah termasuk biaya aborsi dan buat ibumu yang penyakitan itu. Kata Bram, ibumu penyakitan, jadi sudah jelas, kau mendekati anakku hanya karena uang. Iya, kan?Dasar murahan," Ujarnya angkuh

Ku lempar senyum ke arahnya, " Bawa saja uangmu. Aku nggak butuh. Kamu salah menilaiku sebagai wanita murahan"

"Yakin? Ntar ibumu mati gimana?"

Ciihh ... Sombong banget wanita tua itu.

"Ambil aja. Kalo kamu nggak mau gugurin bayimu, pliss enyah dari hidup anakku. Mengerti?"

Susah sekali menjelaskan wanita tua bebal di depanku ini, yang kuinginkan hanya tanggung jawab putranya. Bukan yang lain. Mengapa rumit sekali hidupku?

?????????

Drdttt ....

Suara ponselku berdering, panggilan dari Bram. lebih baik ku angkat saja

"Mei ..." panggilnya lembut seperti bangsa lelembutan.

"Ada apa sih, Bram!" ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status