Share

Dulu Istri Udik Sekarang Bos Cantik
Dulu Istri Udik Sekarang Bos Cantik
Penulis: Liyya

Ginjal Anak Haram

DULU ISTRI UDIK, SEKARANG BOS CANTIK

"Ini kelewat sakit. Sialan kalian!" aku menatap wajah mereka dengan pandangan mengabur, lalu kabut itu perlahan menjadi tetes-tetes air kemudian aliran air mata.

"Ayo Nisa, kamu harus pergi!"

Ku bantu Nisa untuk bangun dari kasur pasien. Putriku beringsut perlahan, wajahnya pucat, entah apa yang mereka lakukan pada putriku.

"Pergi sama Mbok Narti dulu, ya, dia lagi diluar,"

Mbok Narti adalah pembantu yang bekerja di rumah Mas Bram. Dia sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri.

Anakku, Nisa bersiap berlari, namun tangannya tercekat oleh genggaman Mas Bram, suamiku.

"Nggak bisa begitu Meira. Dia anakku, jadi aku berhak atas ginjalnya,"

Aku terpelongo, mendengar ucapan Mas Bram barusan. Teganya dia mengorbankan anaknya demi anak yang lain. Ya, untuk siapa lagi ginjal itu, kalau bukan untuk Sheila, anak Mas Bram dari istri pertama.

Ku tahan sesak di dada ini, jangan sampai air mata terjun bebas kembali. Aku tak ingin terlihat terlalu lemah di depan mereka.

"Lepaskan anakku!" geramku menahan amarah, sambil menyingkirkan tangannya dari pergelangan Nisa.

"Jijik,"

Nisa berlari keluar, menemui Mbok yang sudah menungguinya sedari tadi.

"Iya, Mei. Bram benar. Apalagi ginjal Nisa juga untuk saudaranya, bukan untuk yang lain. Kamu jangan egoislah," sungut Ibu mertua asal. Membuat dadaku turun naik, menahan emosi yang siap meledak.

Mereka berdiri, sambil menatapku ganas. Acuh saja pada manusia berhati iblis itu.

"Maaf, bapak. Ibu. Jika mau bertengkar jangan disini. Silahkan selsaikan masalah kalian di tempat lain. Ini rumah sakit," ujar seorang lelaki muda, memakai jas putih dengan alat stetoskop bergelantung di lehernya.

****

"Meira tunggu," teriak suara yang sangat ku kenal. Siapa lagi kalau bukan Mas Bram.

"Tolong, jangan egois Mei. Kasihan Sheila, dia sangat butuh ginjal Nisa. Coba kamu pikirkan, kalau Nisa memberikan ginjalnya, aku yakin Sheila bakal sangat sayang pada anakmu. Apalagi kamu juga pasti akan mendapatkan banyak uang dari kami,"

"Anakmu? Apa kamu bilang? Anakmu? Jadi selama ini kamu sama sekali tidak menganggap Nisa sebagai anakmu? Sadar, Mas! Nisa anakmu!darah dagingmu, dan kamu tega korbankan Nisa demi anakmu yang lain, Brengsek kamu ya, Mas," sungutku dengan napas yang memburu. Serasa dadaku ditimpa beban. Sesak.

Air mata, tak terasa luruh berjatuhan. Tanpa bisa ku kendalikan.

"Dengarkan aku Mei! Sekali ini!"

Dia menggenggam kedua lenganku, dan anehnya aku membiarkan saja.

"Nisa anak haram. Anak zina. Dia lahir karena kecelakaan yang kita lakukan. Kata Mama anak zina bawa sial. Jadi, misal kita korbankan itu tak masalah. Semoga dengan perbuatan baik kamu dan Nisa, bisa sedikit membuang sialnya. Kasihan nanti kalau banyak orang yang kena imbas akibat Nisa,"

Mendengar ocehan dari bibirnya, tanganku terkepal disamping.

Astaghfirullah, aku memang awam akan ilmu agama. Tapi apakah ini benar? Setiap anak yang terlahir itu bersih, suci. Tidak ada anak haram. Nisa memang hasil dari kecelakaan, tapi apa itu salahnya? Jikapun dia bisa memilih, pasti Nisa tak akan mau terlahir sebagai anak hasil zina.

"Stop! Jangan pernah menyebut Nisa sebagaj anak zina. Justru kamulah yang menjadikan dia seperti itu, kamu lebih hina dari anak zina. Kamu tahu itu,"

"Andai kamu tak lari dari tanggungjawab …"

Belum tuntas ku ucap, Mas Bram sudah menyelak.

"Tapi sekarang, kamu sudah jadi istriku kan? Aku sudah tanggung jawab. Lalu maumu apa?"

Aku melepas tangannya secara kasar, mendelik tajam mata bulatnya. Mata yang dulu membuatku tenang, namun sekarang membuatku jijik tak karuan.

"Jadi berikan, ginjal Nisa buat anakku Sheila. Aku yakin sekali ginjal Nisa cocok buat Sheila,"

"Owwh,jadi ini alasan kamu menikahiku. Dengar ya Bram, jujur aku tak Sudi jadi istri keduamu. Kalau bukan karena bujukan Nisa, aku tak mungkin jadi madu sahabat penghianat seperti Laili.

Apalagi menantu nenek lampir seperti Ibumu, yang kerjaannya cuman suruh-suruh. Memang aku babu? Hehh!" aku meninggi sambil memberi tatapan tak suka pada lelaki bergelar suamiku.

Rahang dia mengeras, bertanda dia sangat marah. Apalagi Ibunya sedang ku hina.

Tangannya tergenggam erat, Mungkin bersiap menamparku.

"Mau tampar! silahkan! Aku nggak takut,"tantangku dengan sangat berani.

Plak …

Seseorang menamparku, namun bukan Mas Bram.

"Mama!" sontakku kaget sambil memegangi pipiku yang serasa amat panas.

Plak …

Kali ini tamparan lebih keras di bagian pipi sebelah. Saking kerasnya sampai badanku terhuyung ke lantai, dan bercak darah segar berada di ujung bibir.

Mas Bram menatap dengan penuh kemenangan, sambil berkacak pinggang.

"Dasar wanita udik. Pezina, tidak tau diuntung. Seharusnya kamu bersyukur sudah kami tampung. Bram mau menikahi gadis udik kayak kamu saja, itu sudah rejeki bagi dirimu. Seenggaknya, balas Budilah pada kami

Ginjal anakmu juga nggak bakalan cukup untuk membalas kebaikan. Kalau bukan karena kami, pasti Ibumu sekarang sudah jadi mayat,"

Aku bergeming, kini senyum getirku ditemani dengan air mata yang mengalir dari kedua sudut mata. Tidak dipungkiri, jasa keluarga Bram memanglah banyak, salah satunya membantu pengobatan Ibuku.

"Tapi bukan menukar dengan ginjal anakku. Itu salah, kalian dzolim pada kita,"

"Lantas, pakai apa? Uang? Sampai kiamatpun kamu tak akan sanggup bayar pengobatan Ibumu yang sangat besar. Bahkan jika kamu bekerja seumur hidup pun jadi babu kami, tak akan sanggup kamu membayarnya,"

"Dia cucumu juga. Kenapa kau sangat jahat pada Nisa," ujarku memberanikan diri.

Biarlah, kalau dia mau menamparku lagi. Aku siap, bahkan sangat siap.

"Dia anak haram. Hasil zina, jadi pantas untuk dikorbankan untuk Sheila, sebagai anak sah. Jangan egois kamu Babu!"

Allah, berapa kali harus ku katakan, jika anakku bukan anak haram. Nisa anak baik, Sholihah, rajin beribadah, dan selalu berbuat baik pada mereka. Apa itu tak cukup membuat cap anak haram terlepas dari tubuh Nisa?

Kalau ada yang bisa menghilangkannya, tolong Tuhan, katakan pada Hamaba-Mu yang lemah ini.

"Sudah ayo Bram, kita tinggalkan dia. Besok, bawa Nisa kemari. Sebelum semuanya terlambat. Kalau tidak, kamu akan tahu akibatnya," ancamnya sebelum benar-benar pergi.

*****

Aku bergegas berlari ke dalam rumah, mencari Nisa putriku. Dia bersama Mbok Narti di dalam kamarnya.

Setelah selesai maaf-maafan sama Mbok dengan deraian air mata. Ku ceritakan semuanya, karena tak perlu ditutup-tutupi.

"Pergi saja Non. Selamatkan Nisa,"

"Tapi Mbok, gimana?"

"Jangan pikirkan Mbok. Disini Mbok baik-baik saja, apalagi kan ada anak Mbok. Terpenting keselamatan Nisa,"

Aku memeluknya erat, dengan air mata berlinang tanpa bisa dihentikan.

"Kamu harus jadi orang sukses, Non! hidupmu harus Mulya, agar tidak harus selalu diinjak-injak seperti ini," pesan Mbok Narti.

Ku balikkan badan secepatnya, tak sanggup lama-lama disini. Aku harus bergegas kabur, dan membawa barang seadanya. Tak lupa juga tabungan yang ku kira sangat cukup, ikut serta.

"Kita akan pergi, Ma?" tanya anakku sangat polos.

"Iya, Nak,"

"Papa sama Nenek jahat sekali, Ma. Mereka hanya sayang dek Sheila,"

Parau anakku membuat dadaku sakit tak terkira. Mereka tak layak mendapat sebutan Papa dan Nenek dari putriku.

"Kamu harus jadi anak pintar. Buat mereka menyesal telah menyia-nyiakan Nisa, ya,"

Dia mengangguk, menurut.

Aku berjanji, suatu saat mereka akan menyesal telah berbuat seperti ini pada kami. Ku pastikan, mereka akan bertekuk lutut di hadapanku serta Nisa.

"Kalian akan menyesal," janjiku dalam hati sambil menatap foto keluarga mereka. Ada Mas Bram, mama mertua, Laili istri pertama sekaligus pemakan kekasih teman, dan Sheila, buah hati Mas Bram dan Lalili.

Dari foto itu, tersadarlah diri ini, ternyata aku dan Nisa memang tak pernah dianggap keluarga.

pyarrr ...

Ku lempar asbak ke pigura itu, hingga menyisakan pecahan-pecahan kaca.

Hancur, berkeping-keping seperti keadaan hatiku.

"Ini sebagai tanda, kalau aku siap berperang,"

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status