Share

Pupus Harapan

" ngapain aja tadi? Dari tadi di telpon nggak diangkat?siapa lelaki itu? Kamu selingkuh di belakangku, Lel?" Aku terus berbicara dengan menggegam tangannya, tanpa ku pedulikan ringisan sakit Laili.

"Apa sih, Mas! Lepasin," ketusnya sambil berusaha melepaskan genggamanku.

Namun, genggamanku terlalu erat, membuat usahanya sia-sia. Ku tarik tubuhnya mendekat ke tubuhku. Dengan kasar, mencoba membuka baju kantor yang masih melekat di tubuhnya.

"Lepasin, Mas! Kau mau apa, heh?" berontak Laili sambil berusaha mempertahankan bajunya.

Dia berteriak kencang, Namun, tak sedikitpun meredam gejolak emosi iblis dalam tubuhku.

Sedari rumah sakit, aku sudah sangat emosi. Bergegas pulang ke rumah, berpikir Laili pasti sudah pulang usai aku mengirim pesan berisi ancaman, jika dia tak segera pulang, maka aku akan bertindak sangat kejam padanya.

Tapi nyatanya, dua jam lebih aku menunggu, dan baru Laili pulang, itu pun langsung masuk kamar tanpa memedulikanku yang berdiri di ambang pintu.

"Sini! Biar guwe periksa tubuh Lu. Jangan Sampek ada bekas orang lain. Sampai ada, tuh orang bakal mampu* sama gue," sungutku sangat kesal.

Laili menangis lirih, sambil masih memegangi bajunya. Dia mungkin ketakutan, karena dia tahu, kalau sudah pakai lo-gue tandanya, aku memang sedang benar-benar emosi.

"Dia siapa? nggak ada, Mas. Demi Tuhan, Lepasin! Sakit, Mas," rintih Laili.

Kancing baju sudah terlepas, tinggal menanggalkan baju kantor itu.

"Gue yang berhak atas tubuh Lo. Paham!" sentakku. Dan ...

Plakk!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan, kemudian beralih lagi ke pipi kiri. Dua kali digampar oleh satu orang.

"Brengse*," satu kata yang terucap dari bibir mungil Laili,

Kemudian, dari ujung mata, ku melihat dia terduduk di atas lantai, sambil kedua tangan memegangi bajunya. Air mata menghiasi wajah lelahnya.

"Gue tau, Lo berhak atas tubuh gue. Sadar sesadarnya, kalo Lo suami gue. Tapi bukan begini caranya, Bram!"

Dua kali, dua wanita dan pada hari yang sama. Mendengar kedua istriku memanggilku dengan nama Bram, tanpa embel-embel Mas. Bullshitt.

Dia meringkuk sambil kedua tangannya bertumpu di atas lutut. Pundaknya bergetar, sambil menangis sesenggukan.

Hatiku melunak, mendengar tangisannya kali ini. Aku beringsut mendekati Laili, dan memegang lengan tangannya.

Ku peluk tubuh bergetar itu.

"Maaf. Mas, minta maaf," sesalku.

Hening, tak ada sahutan, Yanga ada hanya suara tangis Laili.

"Bicaralah!"

Dia mendongak, sambil menatapku dengan air mata yang masih menggenang di pelupuk mata.

"Apa? Apa yang harus ku bicarakan, Mas? aku capek dengan semua ini. Jujur, aku ingin pisah sama kamu. Kalau tak mengingat Sheila, dan perjuangan kita, sudah barang tentu aku akan menggugatmu, Mas,

"Tak ada yang bisa ku harapkan lagi darimu. Tabungan kita mulai menipis, perusahaan kamu di ambang kebangkrutan, Sheila sakit-sakitan, ditambah lagi kamu gagal mengambil ginjal Nisa. Lalu apa yang bisa ku harapkan darimu?"

Tubuhnya bergetar, lalu ingin menunduk kembali. Dengan sigap ku tangkap tubuh itu.

"Sabar, sayang. Maaf kan, Mas,"

"Kamu jahat, Mas. Aku melakukan pekerjaan sampai lembur-lembur, itu semua untuk biaya operasi Sheila. Kamu tahu, itu kan?"

"Ya. Mas, tahu,"

"Lalu kenapa kamu menuduhku selingkuh? Katakan!"

Aku tak menjawab pertanyaannya, khawatir kembali cekcok.

"Aku tadi diberi tahu mama, kalo Meira menolak berikan ginjal putrinya. Lalu, kita harus gimana, Mas?"

Aku melepas pelukan itu, kemudian mengangkat wajahnya untuk menatapku.

"Pakai punyaku saja" Laili berseloroh.

"Nggak. Kamu nggak boleh lakukan itu. Besok biar Mas cari Meira sama Nisa. Kalau tak berhasil, dengan sangat terpaksa pakai punya Mas, saja,"

Putusku spontan, padahal aku sendiri tak tahu, apa aku bisa menghadapi belasan jarum suntik, yang pasti akan menancap di tubuh, jika benar-benar ginjalku harus di donorkan.

Sialan! Semua ini gara-gara Meira. Sia-sia saja aku menikahinya. kalau sampai tidak mendapatkan ginjal anak haram itu.

"Terkutu* kau Meira," makiku dalam hati.

"Maaf, kan Mas, ya. Mas cuman takut kalau kamu sudah nggak sayang Sheila,"

Dan selingkuh, tapi aku tidak berani berucap kalimat terakhir itu.

"Setiap Ibu sayang pada putrinya, dia bisa ngelakuin apapun demi darah dagingnya sendiri. Jangan Ngaco,"

Aku kembali memeluknya sangat erat. Sesekali mencium puncak kepalanya.

*****

Laili sudah berangkat kerja, pagi-pagi sekali sudah berpamitan, katanya ada pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini.

Aku tak ingin menaruh curiga, jadi biarkan saja dia pergi Seharusnya aku malah berterimakasih pada Laili, di saat kondisi keuangan sedang tidak stabil. Dia mau membantuku mencari uang demi biaya rumah sakit Sheila.

"Nanti sepulang kantor. Aku mau ke rumah sakit dulu, Mas. Nggak langsung pulang," ucapnya tadi pagi.

"Iya. Pasti Sheila seneng,"

"Hari ini Mas, mau ke kantor?"

"Heem, sebentar mungkin. Rencananya Mas mau cari pinjaman buat perusahaan. Setelah itu baru cari Meira Sama Nisa. Mas yakin, dia nggak jauh-jauh dari sini. Mana berani dia. Doakan ya,"

Dia tersenyum. Sangat manis.

****

"Semalam Laili nangis kenapa, Bram," tanya Mama usai aku duduk di depan meja makan, bersiap untuk menyantap nasi goreng spesial ala Mama.

"Biasa, Ma. Tengkar kecil, saja,"

Mama ikut duduk, ku lihat dari ujung mataku. Mama tak berhenti menatapaku.

"Jangan menuduh Laili sembarangan ya Bram. Kamu jaga hati dan jiwanya, jangan sampai berpaling darimu. Bagaimanapun juga, dia sangat bisa diandalkan masalah keuangan," cerocos Mama tanpa berhenti,

Aku mengangguk. Setuju. Ucapan Mama ada benarnya. Sebaiknya, aku harus menekan sedikit emosi. Selain masih mencintai Laili, aku juga takut mendadak miskin. Bagaimana, tidak? aku sendiri saja bahkan sedikit psimis untuk mendapatkan pinjaman demi menyelamatkan perusahaan.

"Hari ini mau ke kantor, nggak?" tanya Mama.

"Iya, Ma, bentar mungkin, setelah itu Mau cari pinjaman ke teman yang lain. Baru mencari Meira sama Nisa. Semoga mereka nggak jauh dari sini,"

"Semoga, semoga baik-baik saja," Mama menyambung, ada sorot khawatir di mata yang sudah terlihat berkerut itu.

"Jangan sampai Meira lolos, Bram! Kita sudah berkorban banyak demi gadis siala* itu. Tanpa kita sadari, justru kehadiran anak Meira lah, kita semua kena sial. Ya, kan?" imbuh Mama lagi.

Aku berpikir sejenak, mengingat-ingat memori yang lalu. Benar kata Mama, sejak Meira mendadak hadir di hadapanku bersama anaknya. Mendadak itu juga, Sheila dinyatakan dokter sakit gagal ginjal.

Usai aku menikahi Meirapun, lambat laun keuangan perusahaan tidak stabil. Benar apa kata Mama. Semua karena efek buruk Meira dan putrinya.

"Ya, kan?" Sahutan Mama menyadarkanku.

Aku mengangguk, bertanda mengiyakan.

Kring ...

Ada suara telpon dari ruang keluarga. Mama berdiri menuju asal suara.

Sedangkan aku, memilih melanjutkan aktifitasku yang sejenak tadi tertunda

"Kamu yakin? Nggak salah, kan?" Suara menggelegar, dari nadanya lebih ke perasaan terkejut.

"Bram!" teriak Mama. Terpaksa aku menghentikan suapanku, lalu melangkah ke asal suara. Masih dalam jarak jauh,

"Bram! Sini! Cepetan! tantemu lihat si Meira udik di ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status