Share

Bab 6

Author: Janice Sinclair
Saat kembali ke departemen proyek, semua rekan memandang Kiana dengan khawatir.

Kiana mengangkat bahu dan berkata, "Aku dipecat."

Rekan-rekan kerjanya menghela napas. Ada beberapa yang bingung dan ada beberapa yang marah. Yola bahkan berlari menghampiri dan berteriak, "Ketua sudah menyelesaikan begitu banyak proyek besar untuk perusahaan. Dia adalah penyumbang terbesar kesuksesan perusahaan saat ini. Bagaimana mungkin dia dipecat begitu saja? Ini jelas..."

Menyingkirkan orang begitu selesai dimanfaatkan.

Yola tidak mengatakannya, tetapi kata itu langsung muncul di pikiran setiap orang.

Semua orang setuju dengan perkataan Yola. Sebelum Kiana mengambil alih departemen proyek, perusahaan mengalami krisis keuangan karena kekurangan proyek. Setelah dia mengambil alih, dia mengupayakan perubahan. Dia menjauh dari ambisi yang tidak realistis. Dimulai dengan proyek-proyek kecil, dia secara bertahap membangun kembali kepercayaan pada Thevas. Hal ini terjadi hingga dia berhasil mendapatkan proyek Pusat Perbelanjaan Sagara, yang langsung mengubah Thevas sepenuhnya.

Namun, pahlawan yang pernah membalikkan situasi ini, hasil kerja kerasnya malah direbut dan disingkirkan begitu saja?

Kiana menepuk bahu Yola sambil berkata, "Kebetulan, aku juga capek. Aku mau istirahat baik-baik."

"Tapi aku marah untukmu!" Yola cemberut.

Kiana bertepuk tangan dan menyemangati semua orang. "Begini saja, aku akan traktir kalian semua makan malam nanti. Pertama, untuk merayakan pengunduran diriku. Kedua…"

Melihat Rachel keluar dari ruangannya, Kiana pun tersenyum padanya.

"Kedua, aku mau merayakan teman baikku, Nona Rachel, yang resmi mengambil alih departemen proyek dan menjadi ketua baru kalian!"

Selesai berbicara, Kiana terus bertepuk tangan, tetapi rekan-rekannya tidak begitu antusias.

Atasan mereka telah diganti. Apa kehidupan mereka akan nyaman seperti sebelumnya?

Tidak ada yang tahu.

Kiana mulai membereskan barang-barang di ruangannya.

Dia telah menggunakan ruangan itu selama lima tahun dan memiliki banyak barang. Tak lama kemudian, dia telah mengemasnya ke dalam kotak besar.

Kiana menatap Rachel dan berkata dengan nada ringan, "Aku tinggalkan mesin kopi ini untukmu. Jujur saja, kopi instan di pantri nggak senikmat kopi yang digiling mesin kopi ini."

Bibir Rachel sedikit melengkung ke atas. Dia mengira Kiana hanya memaksakan diri untuk tersenyum. Hati Kiana pasti tidak enak sekarang.

"Kiana, bagaimana kalau aku bicara dengan CEO dan minta dia mengizinkanmu tinggal di departemen proyek? Dengan begitu, aku juga bisa menjagamu."

Kiana menghela napas. "Benar saja, roda kehidupan terus berputar. Dulu aku yang menjagamu. Sekarang kamu yang harus menjagaku."

"Kiana!"

"Bercanda saja!" Kiana tersenyum. "Aku bilang aku ingin istirahat. Aku serius kok. Aku sudah terlalu sibuk beberapa tahun terakhir ini dan nggak punya waktu untuk menemani suamiku. Aku takut dia akan mencari wanita jalang di luar sana."

Mendengar itu, Rachel mendadak merasa tidak nyaman.

"Tentu saja, aku percaya dia nggak akan. Lagian, wanita jalang mana yang secantik diriku. Benar, nggak?"

Rachel tertawa datar. "Benar."

"Oh ya, besok kamu mau pergi ke Grup Januar untuk menandatangani kontrak Thevas. Biar aku serah terima proyek ini kepadamu dulu."

Rachel berpikir sejenak. "Kiana, kamu dipecat dan pasti marah. Kamu nggak akan dengan sengaja memberiku informasi yang salah dan membuatku nggak bisa menandatangani kontrak besok, 'kan?"

Kiana tersenyum nakal. "Kalau orang lain, mungkin aku akan melakukan hal itu, tapi kamu itu sahabatku. Kita sudah bersumpah nggak akan mengecewakan satu sama lain, jadi aku tentu saja nggak akan menyakitimu. Tapi apa kamu pernah melakukan hal yang mengecewakanku?"

Rachel mengerutkan bibirnya dan berkata, "Tentu saja nggak."

Kiana memeluk bahu Rachel. Matanya menjadi gelap. "Aku percaya padamu!"

Sore harinya, Kiana pergi berbelanja di mal. Dia membeli beberapa pakaian, menata rambutnya, dan memakai riasan cerah.

Saat Kiana yang mengenakan gaun merah, rambut panjang bergelombang, dan berkacamata hitam itu sampai di hotel, orang-orang yang lewat menatapnya dengan curiga. Bahkan, ada yang berbisik pada teman-temannya, apa orang yang lewat barusan seorang artis?

Begitu sampai di ruang VIP, semua rekannya sudah ada di sana, termasuk Rachel. Saat mereka melihat penampilan Kiana, mereka semua menunjukkan ekspresi terkejut.

"Ketua, ternyata kamu biasanya nggak memakai riasan dan hanya memakai setelan jas hitam putih, sebenarnya demi kami juga. Kamu takut kami akan terlalu fokus melihatmu sampai-sampai nggak bisa fokus pada pekerjaan kami."

"Ketua, aku rasa ada bagusnya kamu diberhentikan dari perusahaan. Dengan begitu, kamu bisa masuk ke industri hiburan. Aku mendukungmu."

"Ketua, aku penasaran sama suamimu. Kok dia bisa begitu beruntung dan menikahimu? Pas mimpi di malam hari, aku rasa dia juga bakal tersenyum, 'kan?"

Meski hubungan mereka biasanya mencakup atasan-bawahan, Kiana selalu akur dengan rekan-rekannya dan akrab dengan mereka. Itu sebabnya, mereka berani bercanda dengannya.

Kiana melepas kacamatanya dan menggoda semua orang. "Sayang sekali, kalian nggak akan bisa bertemu dengan wanita cantik ini lagi."

Rekan-rekannya langsung meratap dan meminta Kiana untuk membawa mereka bersamanya juga.

Namun terlepas dari candaannya, Kiana tetap mengingatkan mereka agar tidak memanggilnya 'ketua' lagi ke depannya.

Kiana memegang bahu Rachel dan berkata dengan murah hati pada semua orang, "Ini baru ketua baru kalian. Dia sahabatku. Perlakukan dia sebaik kalian memperlakukanku."

Rachel pada dasarnya sudah seperti orang luar. Tidak, dia lebih seperti penyusup.

Meski orang-orang ini tersenyum padanya, dia merasa tidak ada kehangatan dalam senyuman mereka, bahkan ada sedikit sarkasme.

Rachel berdiri, berusaha tenang, dan sesantai mungkin.

"Rekan-rekan semuanya, aku sangat senang bergabung dengan departemen proyek. Aku harap kita bisa bekerja sama dan menciptakan kejayaan yang lebih besar bersama di masa depan!" Dia mengangkat gelasnya dan bersulang untuk semua orang.

Semua orang juga berdiri, lalu mengangkat gelas mereka, dan minum.

Hanya Yola yang tidak begitu ingin melakukannya. Wajahnya tampak cemberut dan dia hanya menyesap sedikit minumannya.

Rachel bersulang. Sebagai seorang atasan, dia merasa dirinya sudah sangat perhatian. Saat dia hendak mengatakan sesuatu, Kiana meletakkan tas anyaman di atas meja.

"Ketua, senjata apa yang kamu taruh di tasmu ini?"

Seorang rekan kerja bercanda karena tas itu tampak sangat berat. Kiana juga kesulitan membawanya dan menimbulkan bunyi 'gedebuk' saat dia meletakkannya di atas meja.

Kiana tampak misterius. "Coba tebak?"

Semua orang mulai membuat tebakan dan suasana menjadi sangat riuh.

Saat Kiana membuka tas itu, mata semua orang terbelalak.

Di dalam tas itu ada gepokan uang seratus ribu yang bertumpuk-tumpuk…

Kiana memandangi rekan-rekan yang telah menemaninya selama ini. Rekan-rekan yang lembur dan begadang bersamanya, yang ikut khawatir bersamanya, yang telah menangis dan tertawa bersamanya. Sejak memutuskan untuk meninggalkan Thevas, hanya merekalah yang tidak rela dia tinggalkan.

"Apa pun hasil akhir proyek Januar, aku sudah menyelesaikannya dengan sempurna. Bonus dari proyek ini nggak boleh aku ambil sendiri, melainkan milik bersama."

Sambil berbicara, dia mendorong uang itu ke tengah meja, lalu bertepuk tangan, dan berkata sambil tersenyum, "Ini semua ada dua miliar. Dua ratus juta per orang. Ayo cepat diambil!"

Namun, tidak seorang pun mengambilnya. Mereka semua menatap Kiana.

Saat ini, yang ada hanya kesedihan dan keengganan.

"Kelak kita masih bisa ketemu, 'kan? Jadi, nggak perlu seperti ini. Cepat ambil uang kalian. Aku susah payah bawa karung seberat sembilan kilo bukan untuk bikin kalian nangis, tapi biar kalian senang terima bonus."

Yang tertua di antara rekan-rekan berdiri lebih dulu dan mengambil uang itu. "Ketua, nggak ada yang perlu dikatakan di antara kita."

Kiana mengangguk dan tersenyum. "Ya, nggak perlu."

Yang lainnya berdiri satu demi satu. Masing-masing menerima setumpuk uang. Setelah uang dibagikan, semua orang berdiri untuk bersulang pada Kiana. Mereka mendoakan agar karier Kiana makin sukses ke depannya.

Saat semua orang mengangkat gelas mereka, kecuali Rachel yang tidak memenuhi syarat, dia telah sepenuhnya menjadi latar belakang Kiana.

Inilah efek yang diinginkan Kiana. Dengan adanya dirinya sebagai panutan, jika Rachel tidak tampil sebaik dirinya, perusahaan dan rekan kerja akan memiliki opini negatif tentangnya.

Huh! Tidak semua orang bisa menggantikan posisinya!
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dulu Kau Permainkan Aku, Kini Aku Istri Sultan   Bab 130

    Kediaman Sumargo kacau balau. Mereka langsung menyuruh pelayan untuk segera memanggil dokter.Ibunya Rachel diusir, jadi dia terpaksa kembali ke rumah Kiana lagi.Rachel ditarik keluar secara kasar oleh Yovan. Pria itu mengarahkan jarinya ke hidungnya. Dia menyuruh Rachel mengembalikan semua barang yang dibeli ibunya, membayar selisih harganya, dan mengusir ibunya. Jika tidak, pria itu akan menceraikannya."Bagaimanapun juga, ibuku itu ibu mertuamu. Bagaimana kamu bisa…"Sebelum Rachel selesai berbicara, Yovan sudah menampar wajahnya."Kamu sengaja memanfaatkan ibumu untuk membuatku dan seluruh keluargaku jijik, 'kan?"Rachel menutupi wajahnya. Air mata membasahi wajahnya."Kalau itu Kiana, apa kamu juga akan memperlakukannya seperti ini?""Apa kamu dan dia sama?"Rachel terdiam."Kamu bahkan nggak pantas dibandingkan dengannya!"Kata-kata Yovan bagaikan pisau yang menusuk hati Rachel. Hanya saja, tidak peduli seberapa sedihnya Rachel, dia tidak bisa melihat sedikit pun rasa sakit hati

  • Dulu Kau Permainkan Aku, Kini Aku Istri Sultan   Bab 129

    Setelah memikirkannya, dia akhirnya memutuskan untuk mengesampingkan harga dirinya. "Benar, aku simpanan ayahnya. Dia suka kepribadianku yang penuh semangat dan supel. Dia bilang istrinya di rumah seperti batu bata, membosankan. Dia juga bilang aku membuatnya merasa muda kembali!"Perkataan Kiana barusan telah mengejutkan semua orang. Sebaliknya, perkataan ibunya Rachel sekarang membuat semua orang tercengang."Ibu!" teriak Rachel.Yovan mengumpat. "Sialan!"Ibunya Yovan baru bereaksi. Dia menerjang maju dan bersiap untuk mencabik-cabik mulut ibunya Rachel. "Dasar jalang tua, kalau kamu asal bicara lagi, akan kuhajar kamu sampai mati!"Polisi terkejut dengan kejadian ini dan segera turun tangan untuk memisahkan kedua orang itu."Sudahlah. Kalian berdua, tenanglah dulu!""Bi... Bisa-bisanya aku punya... Rachel, kamu... kamu sungguh..." Setiap kata yang diucapkan ibunya Yovan menyentuh urat sarafnya. Jadi, dia tidak mampu menyelesaikan kalimatnya dan tidak bisa melampiaskan emosinya. Ter

  • Dulu Kau Permainkan Aku, Kini Aku Istri Sultan   Bab 128

    "Tentu saja kami sekeluarga. Keluarga yang sesungguhnya!"Saat mengucapkan kata-kata ini, ibunya Rachel tampak agak bangga.Yovan buru-buru maju untuk menghalangi ibunya Rachel berbicara. "Aku peringatkan kamu, jangan asal bicara lagi!""Sejak aku datang, kamu terus-terusan memperlakukanku seperti ini. Aku lebih tua darimu. Kamu juga harusnya panggil aku 'Ibu'!" Ibunya Rachel menepis tangan Yovan yang menunjuk ke arahnya dan membentaknya dengan keras."Dia panggil kamu 'Ibu'?" Mata Kiana melebar."Kiana, dia asal bicara saja. Aku, aku…" Yovan tidak bisa menjelaskan."Memangnya kamu pantas dipanggil sama putraku? Kamu kira kamu siapa!" Ibunya Yovan memaki ibunya Rachel. Hanya saja, karena takut Kiana akan menebak kebenaran melalui sebutan 'ibu' ini, dia pun buru-buru menjelaskan, "Keluarga kami nggak kenal dia. Dia hanya wanita gila!""Kamu yang gila!" teriak ibunya Rachel pada ibunya Yovan."Yang gila itu kamu!""Apa kamu lupa sama pukulanku tadi malam?""Coba saja kalau kamu berani me

  • Dulu Kau Permainkan Aku, Kini Aku Istri Sultan   Bab 127

    "Kiana, kelak kamu nggak boleh begini lagi…"Sebelum menyelesaikan kata-katanya, ponsel ibunya Yovan kembali berbunyi. Dia memeriksanya dan matanya langsung terbelalak."600 juta? Apa yang kamu lakukan? Kamu habiskan 600 juta begitu saja?"Mendengar angka itu, Yovan juga terkejut. "Kiana, kamu… kamu keterlaluan!"Keduanya terus menceramahinya, tetapi kemudian segera menyadari ada yang aneh.Kiana berdiri di depan mereka. Bagaimana dia menghabiskan 600 juta?"Kamu…"Kiana berseru, lalu buru-buru mengeluarkan dompetnya dan mengacak-acak isi tasnya. Dia membelalakkan matanya sambil berkata, "Kartu itu hilang!""Hilang?" Ibunya Yovan terkejut lagi. "Jadi, bukan kamu yang habiskan semua uang itu?"Kiana mengangguk. "Aku memang pergi ke mal hari ini, tapi aku belanja pakai uangku sendiri."Buat apa dia habiskan uang Keluarga Sumargo untuk membeli barang penikahannya dengan Tristan?Bukankah itu lucu sekali?"Pasti ada yang mengambilnya dan menggesek kartuku. Tapi juga nggak masuk akal, bagai

  • Dulu Kau Permainkan Aku, Kini Aku Istri Sultan   Bab 126

    Kiana kembali ke vila dan bertemu dengan Yovan yang juga baru saja kembali.Saat Yovan melihatnya, alis pria itu langsung berkerut."Eh, kenapa kamu pulang kerja secepat ini?" tanya Kiana berpura-pura terkejut.Yovan berusaha menahan diri, tetapi tidak bisa."Kiana, sejak kapan kamu jadi sematerialistis ini? Dulu kamu nggak seperti ini. Kamu benar-benar mengecewakanku!" Selesai mengatakan itu, Yovan pun masuk ke kediaman Sumargo dengan kesal.Kiana mengerutkan bibirnya. Pria itu menyebutnya materialistis sekarang. Dulu, mereka berdua tinggal di apartemen sewa. Penghasilan Yovan sangat minim karena dia tidak mendapatkan komisi. Pria itu numpang makan dan tinggal gratis di rumah Kiana. Mengapa pria itu tidak menyebutnya materialistis waktu itu?Akan tetapi, dilihat dari betapa marahnya Yovan sekarang, ibunya Rachel pasti tidak mengecewakannya.Kiana pun pergi ke kediaman Sumargo. Ibunya Yovan juga sedang menunggunya."200 juta! 200 juta habis dalam sekejap!""Kamu kira kamu punya banyak

  • Dulu Kau Permainkan Aku, Kini Aku Istri Sultan   Bab 125

    Saat ini, Tristan juga kelihatan tidak sabar, seolah-olah Kiana sedang mencari masalah dengannya.Kiana langsung mengambil mangkuk berisi sup hitam itu, menegaknya sekaligus, lalu membalikkan mangkuk itu. Dia tampak sangat arogan.Tristan melengkungkan bibirnya membentuk senyum. "Hari ini nggak lupa lagi?""Kamu boleh mempertanyakan aspek lain dari diriku, tapi kamu nggak boleh mempertanyakan integritasku. Inilah fondasi yang kupegang," ujar Kiana."Aspek lain, misalnya kepribadian? Bakat? Atau penampilan? Fisik?""Itu nggak penting!"Tristan terkekeh pelan. Dia menghisap rokoknya dalam-dalam lagi, lalu hendak menutup telepon."Eh, lenganmu kenapa?"Kiana melihat lengan Tristan yang terangkat punya luka besar. Darah telah menodai kemeja putihnya hingga menjadi merah.Tristan meliriknya dengan santai dan berkata, "Nggak sengaja tergores tadi."Ini jelas merupakan jawaban yang asal-asalan, tetapi Kiana juga tidak mendesak masalah itu lebih jauh."Lebih baik pergi ke rumah sakit biar diba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status