Share

Bab 7

Author: Adeline
"Pekerjaan apa?"

Wajah Bu Nadya dipenuhi kebingungan, matanya menatap Leonard dengan ragu.

Leonard langsung bereaksi besar, hampir seperti menggertakkan gigi, "Dia itu memang serakah, nggak pernah puas. Itu kesempatan kerja yang kamu perjuangkan sendiri, kamu sudah berusaha sekeras apa untuk dapatkannya, kenapa harus dikasih ke dia? Felicia, kamu ini terlalu baik hati, lagian..."

Saat mengingat perkataan Adelina, mata Leonard sempat memancarkan sedikit rasa bersalah. "Pendidikannya kurang, perusahaan juga nggak akan mau terima dia."

Felicia menyeka air matanya. "Kakak Kedua, aku nggak mau bikin Kak Adelina marah, juga nggak mau lihat Ibu sedih. Kalau gitu… lebih baik aku pergi saja."

Adelina baru saja sampai di ruang tamu, dan langsung mendengar suara manja dan penuh pura-pura itu.

Refleks pertamanya, merasa ini pasti akan merepotkan. Dia pun berhenti sejenak, berpikir, harus masuk atau tidak.

"Nona Adelina sudah pulang!"

Teriakan pelayan memotong pikirannya, sepertinya sekarang sudah tak mungkin menghindar.

Adelina melangkah masuk. Begitu melihatnya, Bu Nadya langsung berseri-seri.

"Adelina, akhirnya kamu pulang juga! Ayo cepat makan."

Ekspresi Adelina tetap tenang, hanya mengangguk singkat.

Leonard melihat sikap dinginnya, emosi di dalam dadanya langsung melonjak. "Adelina, kamu nggak seharusnya kasih kami penjelasan?"

"Kamu mau aku jelaskan apa?"

Adelina menatapnya, ekspresinya tetap datar dan acuh.

Leonard tiba-tiba berdiri. "Kamu sengaja, ya? Cuma karena Felicia nggak ngasih kesempatan kerja itu ke kamu?"

Adelina agak bingung, dari mana dia bisa menarik kesimpulan seperti itu?

"Tidak."

Tapi Leonard tidak percaya, sorot matanya penuh kemarahan. "Jangan kira aku nggak tahu, kamu sengaja melakukannya! Adelina, sebenarnya kamu mau apa sih? Sejak kamu pulang, rumah ini nggak pernah tenang. Kalau tahu bakal begini, aku nggak akan pernah menjemputmu!"

"Heh."

Tawa pelan gadis itu terdengar mendadak dan menusuk. Adelina menatapnya, mata dipenuhi ejekan yang sulit dijelaskan.

"Wah, Tuan Leonard benar-benar pelupa, ya. Aku yang suruh kamu jemput aku? Kamu memang sudah jemput aku?"

Dua pertanyaan balasan itu sukses membuat wajah Leonard semakin gelap.

"Adelina." Bu Nadya memanggil pelan, lalu menegur Leonard dengan suara rendah, "Adikmu baru saja pulang hari ini, kamu nggak bisa bicara baik-baik padanya?"

"Terus dia? Sikapnya itu kamu pikir mau bicara baik-baik sama kita?"

Leonard menatap Adelina dengan marah. Kalau bukan demi Kakek…

Adelina benar-benar tidak ingin berdebat soal hal tak penting seperti ini.

"Kalau Tuan Leonard memang tidak ingin bicara denganku, aku mau ke kamar dulu."

Adelina berdiri, berbalik hendak pergi.

"Adelina, kakakmu bukan bermaksud begitu."

Bu Nadya menahan tangannya, lalu menoleh ke arah Leonard dengan tatapan tak setuju.

Dia memang perempuan yang sangat lembut, hampir tidak pernah memarahi anak-anaknya dengan keras.

Saat Adelina baru kembali, hatinya penuh dengan rasa ketergantungan, dia merasa beruntung karena ibu kandungnya adalah sosok yang begitu lembut dan cantik.

Sayangnya, kelembutan itu tidak pernah dibedakan untuk siapa.

Adelina menarik tangannya dari genggaman sang ibu, ekspresinya tetap tenang. "Nyonya Nadya, aku lelah. Ingin beristirahat."

Bagaimanapun, ini masih rumah orang lain. Adelina tetap menjaga sopan santunnya.

Mata Bu Nadya sedikit memerah, tapi ia tetap memaksakan senyum. "Nadya, kamu belum makan, kan? Makan dulu, baru istirahat, ya?"

"Tidak usah."

Adelina memang tidak merasa lapar. Tubuhnya sudah terbiasa hanya makan sekali dalam sehari.

"Bu, kalau dia mau makan, silakan. Kalau nggak, ya sudah. Emangnya dia pasang muka itu buat siapa sih?"

Leonard mendengus dingin. Felicia melihat wajah ibunya yang tampak tak setuju, sorot matanya sedikit berubah.

"Kak Adelina, tadi sore waktu aku dan Kakak Kedua pergi, kok nggak lihat kamu? Aku sama Kakak Kedua kira kamu sudah pulang duluan."

Dia tampak ragu, seperti sedang menahan sesuatu, lalu akhirnya tak tahan juga, suara memohon terdengar. "Kak Adelina, aku tahu kamu nggak suka aku. Tapi lain kali kalau kamu pulang terlambat, kasih kabar ke Ibu ya. Ibu tuh khawatir banget sama kamu."

Bu Nadya menatap Felicia dengan wajah tersentuh. Tatapan penuh kasih itu, antara ibu dan anak, terasa sangat hangat.

Adelina hanya menatap dan merasa semuanya… sungguh lucu.

"Sepertinya nggak bisa."

Suaranya datar. "Nomor kalian nggak bisa aku hubungi."

Sejak hari dia masuk penjara, nomornya sudah diblokir.

Wajah Bu Nadya langsung memucat. Bibirnya bergerak, suaranya nyaris tak keluar, "Kenapa bisa begitu…?"

"Kenapa nggak bisa dihubungi?"

Adelina mengangkat kepala, nada suaranya tetap tenang. "Apakah di ponsel Nyonya Nadya masih ada nomorku yang tiga tahun lalu?"

Bu Nadya baru saja ingin menjawab bahwa dia tidak pernah menghapus nomor Adelina, tapi Felicia buru-buru menyela, "Kak, ponsel Ibu dulu pernah nggak sengaja aku jatuhkan, mungkin waktu diperbaiki, nomor kamu ikut terhapus… semua salahku, Kak, jangan salahkan Ibu ya."

Mata Bu Nadya penuh rasa sayang, langsung membantah, "Felicia, itu kan nggak sengaja. Cuma sebuah ponsel, mana bisa dibilang salahmu."

Leonard tentu saja tak tahan melihat Felicia disalahkan, suaranya langsung keras.

"Adelina, sekarang kita lagi bicara soal kamu pulang malam. Sekalipun kamu nggak bisa telepon, kamu tetap bisa pulang lebih awal, kan?"

Alis Adelina sempat berkerut. Dia benar-benar sudah tidak ingin terus berdebat dengan mereka, tapi nadanya tetap dingin dan datar. "Sepertinya tidak bisa. Karena jalan kaki butuh waktu."

Mata Bu Nadya membelalak. "Jalan kaki? Adelina, kenapa kamu nggak bawa mo...?"

Kata mobil itu seperti tersangkut di tenggorokannya. Tiga tahun lalu, saat Adelina masuk penjara menggantikan Felicia, usianya baru delapan belas, bahkan belum sempat ikut ujian SIM.

Leonard juga akhirnya teringat akan hal itu, keningnya ikut berkerut. "Bukankah keluarga punya sopir?"

Kalimatnya terhenti di sana. Leonard baru sadar Adelina mungkin memang tidak tahu bagaimana cara menghubungi sopir keluarga.

Dia tidak begitu mengenal rumah ini. Tiga tahun tak pulang, bahkan sejak awal pun… tempat ini bukan benar-benar rumah baginya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 50

    Suara Adelina tetap tenang, tapi tatapannya mengandung ejekan yang begitu jelas.Dia menatap Leonard tanpa gentar, tatapan itu justru membuat Leonard merasa malu tanpa alasan. Seolah Adelina bisa menembus isi hatinya, jernih dan tajam, lalu perlahan berubah menjadi tatapan penuh sindiran.Adelina merasa bersyukur, setidaknya dirinya tidak seperti Keluarga Wijaya yang bisa mengucapkan hal-hal tak masuk akal seolah-olah mereka paling benar.Seperti sekarang."Aku sudah menurut pada kalian, aku sudah putuskan pertunangan dengan Nathaniel. Sekarang kendali soal pernikahan itu ada di tangan Keluarga Laksana. Jadi kalau Nathaniel menolak bertunangan dengan Felicia, bukankah itu masalahnya Felicia?"Satu kalimat itu saja cukup membuat wajah Leonard merah padam karena marah dan malu. "Adelina, kamu berani bilang semua ini nggak ada hubungannya sama kamu?"Adelina menjawab dengan dingin, "Kenapa nggak berani? Kamu kira aku sama penakutnya kayak kalian? Apa yang harus aku lakukan, sudah aku laku

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 49

    Saat itu, tiba-tiba saja Felicia memotong ucapan Nathaniel. "Kakak Nathaniel, aku sebenarnya lumayan suka main catur, hanya saja belum sempat belajar. Kakak Nathaniel bisa ajarin aku nggak?"Nathaniel mengangguk setuju, tapi belum sepenuhnya melupakan apa yang tadi ingin dia katakan. Hanya saja sebelum sempat lanjut bicara, Adelina sudah berdiri, lalu langsung berkata pada Kakek Herman, "Kakek Herman, sepertinya hari ini aku nggak bisa lanjut main. Nanti kalau aku ada waktu lagi, aku datang untuk menemani Kakek main catur."Meskipun Kakek Herman agak kecewa, beliau tetap mengangguk pelan.Mereka masih mengobrol, tapi Adelina malah memilih langsung bicara ke Kakek Herman begitu saja, jelas sekali tidak menganggap mereka yang lain penting.Diperlakukan dingin seperti itu lagi oleh Adelina membuat wajah Nathaniel berubah muram.Di mata Felicia sekilas muncul ekspresi kesal, tapi dia segera mengangkat wajah dengan raut seolah-olah sedang merasa tersinggung. Sementara Leonard yang memang ta

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 48

    Senyuman di wajah Felicia seketika menegang.Bisa masuk Perusahaan YJ tadinya adalah hal yang paling ia banggakan. Bagaimanapun juga, merek desain milik YJ cukup terkenal, baik di dalam maupun luar negeri.Tapi itu sebelum dia melihat Adelina juga berada di sana.Begitu bayangan Adelina melintas di benaknya, tatapan Felicia langsung memancarkan rasa iri dan benci yang ia sembunyikan rapat-rapat."Felicia bilang, direktur desain di kantornya sangat menghargai kinerjanya, bahkan mencalonkan dia untuk mewakili perusahaan di lomba desain yang diadakan di Kota Lautanagara. Kabarnya, acara ini juga didukung langsung oleh pemerintah dan akan disiarkan secara langsung."Bu Nadya yang menyebutkannya, wajahnya penuh dengan kebanggaan, seolah pencapaian itu adalah miliknya juga.Bu Ratna sedikit terkejut, tapi senyumnya justru semakin hangat dan ramah.Setelah basa-basi beberapa saat, Pak Satrio mulai masuk ke inti pertemuan, "Felicia sampai ikut lomba desain sekarang, kabar ini sudah disampaikan

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 47

    [Tidak.]Adelina langsung membalas pesan itu dengan satu kata, lalu meletakkan ponselnya dan pergi mandi.Setelah selesai mandi dan keluar lagi, beberapa notifikasi pesan sudah masuk ke ponselnya. Dia hanya sekilas melihat isi pesannya, lalu membalas singkat:[Aku sementara belum berniat kembali ke dunia desain.]Orang itu pernah bilang, bakat terbesarnya sebenarnya bukan di desain, tapi di bidang komputer.Dengan cekatan, dia keluar dari akun tersebut dan masuk ke akun utamanya. Baru saja masuk, satu pesan dari Reynard langsung masuk.Isinya, menanyakan apakah dia punya waktu luang besok.Adelina langsung teringat bahwa besok dia berencana mengunjungi Kakek Herman. Tapi Reynard mencarinya karena urusan apa? Apa ada sesuatu yang terjadi di perusahaan?[Pak Reynard, ada urusan kantor?][Bukan. Urusan pribadi.]Adelina sedikit terkejut, tapi tetap menjawab apa adanya,[Besok aku tidak ada waktu.][Baik.]Karena bukan urusan pekerjaan, Adelina pun merasa lega. Meski begitu, tetap saja ada

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 46

    Tapi saat memikirkan kondisi Keluarga Laksana yang sekarang sedang berada di puncak kejayaan, sedangkan Keluarga Wijaya justru makin merosot, pertunangan ini memang harus segera disepakati secepatnya.“Felicia nggak perlu khawatir. Nanti begitu ayahmu pulang, Ibu akan minta dia cari waktu untuk bicara ke Keluarga Laksana. Kalau bisa, kamu langsung tunangan dulu dengan Nathaniel. Gimana, senang nggak?”Bu Nadya tentu bisa melihat isi hati Felicia.Wajah Felicia langsung bersemu merah malu, tapi sorot matanya penuh sukacita. Ia manja-manja ke arah ibunya.“Ibu, kamu mengejek aku, ya...”...Langit perlahan makin gelap. Di kejauhan, sebuah mobil hitam mewah melaju masuk ke area vila.Begitu melihat mobil itu, Felicia langsung berseru senang dan bangkit berdiri.“Ibu, Kakak Kedua, Ayah sudah pulang!”Sambil berkata begitu, dia langsung berlari ke luar.Bu Nadya pun tersenyum dan ikut keluar. Leonard menyusul di sebelahnya. Tapi baru saja mereka sampai di halaman, tiba-tiba terdengar suara

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 45

    Setelah baru saja menyelesaikan urusannya, Karina kembali sambil membeli kopi. Begitu masuk, dia langsung melihat Felicia berdiri di sana.Seketika ia merasa aneh."Bu Karina, kamu sudah kembali?"Wajah Felicia sudah kembali tenang, suaranya datar, seolah tak terjadi apa pun. "Mau kopi apa? Tadi aku ada urusan, makanya baru datang buat pesan kopi."Karina juga tidak curiga apa-apa, sementara pelayan yang tahu situasinya cuma melirik tanpa berkata apa-apa.Setelah keduanya memesan kopi dan kembali ke departemen desain, Felicia terlihat terus-menerus gelisah.Pikiran tentang apa yang dikatakan Nathaniel pada Adelina terus mengganggunya. Felicia diliputi kecemasan, intuisi dalam hatinya jelas memberi tahu bahwa Nathaniel tidak sepenuhnya tak tertarik pada Adelina.Semakin dipikirkan, rasa krisis dalam hatinya pun makin menguat....Sore hari saat jam pulang kantor.Leonard melihat Felicia keluar. Senyumnya belum sempat berkembang sempurna, sudah langsung membeku, lalu ia panik dan nadanya

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status