Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud

Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud

By:  AdelineUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
Not enough ratings
50Chapters
3views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Adelina Wijaya sudah menjadi yatim piatu selama dua belas tahun sebelum dia dibawa kembali ke Keluarga Wijaya. Akhirnya dia punya orangtua dan saudara laki-laki. Tapi orang-orang yang katanya akan menyayanginya dan mencintainya justru bekerja sama demi si gadis palsu dan mengirimnya ke penjara selama tiga tahun. Ayah yang pernah berjanji akan menjadikannya putri kesayangan Keluarga Wijaya, malah bilang bahwa jika dia masih punya hati nurani, seharusnya tidak merebut cowok dari Felicia Wijaya. Para kakaknya yang katanya akan memanjakannya setinggi langit, justru menangkapnya sendiri dan menyeretnya ke meja operasi demi mendonorkan darah untuk Felicia. Tunangannya bahkan selalu memilih melindungi Felicia setiap kali ada bahaya. Sampai suatu hari tiga tahun kemudian, orang tuanya menangis sambil berlutut di depannya. Kakak-kakaknya yang biasanya arogan menampar diri sendiri, bahkan tunangannya yang sombong itu pun berlutut di kakinya. Mereka semua memohon agar dia kembali. Tapi mereka tidak tahu, hati Adelina sudah lama terkunci rapat selama ribuan malam dan siang yang dia lalui. Untunglah dia sudah bertemu dengan dewa penolongnya. Di hari-hari yang akan datang, dia tidak akan pernah sendirian lagi. Pria itu selalu membantunya dalam segala hal, Adelina adalah permata berharganya, tapi juga titik lemahnya.

View More

Chapter 1

Bab 1

Penjara pinggiran Kota Lautanagara.

"Nomor 847, Adelina Wijaya, keluargamu datang menjemputmu. Setelah ini jalani hidup baik-baik, jangan sampai masuk ke sini lagi."

Adelina menerima kotak barang titipannya dari sipir dengan gerakan kaku, mengangguk singkat, lalu mengikuti arahan untuk melepas baju tahanan dan mengganti dengan pakaian yang dia kenakan saat pertama masuk.

Kaos lengan pendek dan rok panjang yang sudah disimpan tiga tahun itu kainnya terlihat kusam dan pudar warnanya, bagian tengahnya penuh lipatan, dan saat dipakai pun tampak longgar dan lusuh.

Keluarga?

Adelina tersenyum miris penuh sindiran.

Tiga tahun lalu, orang-orang dari Keluarga Wijaya datang ke panti asuhan dengan membawa hasil tes DNA, sambil menangis mengaku kalau Adelina adalah anak kandung mereka yang sudah lama hilang. Mereka pun menjemputnya kembali ke Kota Lautanagara.

Tapi setelah dia ikut pulang, barulah dia tahu, selama ini Keluarga Wijaya sudah mengadopsi seorang anak perempuan untuk mengobati kesedihan karena kehilangan dirinya. Anak itu bernama Felicia Wijaya.

Anak yang mereka rawat dan sayangi selama lima belas tahun itu sudah begitu dicintai, sampai-sampai mereka tak rela melepaskannya. Ke luar, mereka cuma memberikan penjelasan yang tidak jelas, katanya Adelina adalah anak sulung yang tubuhnya lemah dan dibesarkan di desa, sementara Felicia tetap jadi Nona Kedua Keluarga Wijaya.

Sampai akhirnya, Felicia menabrak seseorang hingga tewas dengan mobilnya.

Mereka bilang, "Kalau saja kamu tidak maksa kami ikut acara wisuda itu, kami pasti sempat datang ke pertunjukan Felicia. Dia juga tidak akan kehilangan fokus saat menyetir karena kesal, ini semua salahmu, kamu yang berutang padanya."

Tanpa memberinya kesempatan untuk menolak, Keluarga Wijaya sudah mengurus semua proses hukum dan langsung mengirimnya masuk ke penjara.

Adelina mana ada keluarga lagi?

Pintu besar penjara perlahan terbuka. Sinar matahari dari luar menerobos masuk, membuat Adelina sempat menyipitkan mata karena silau. Tak jauh dari sana, dia melihat seorang pria bersandar di mobil.

Pria itu mengenakan mantel panjang berwarna krem, tampak sangat kontras dengan gaun lusuh Adelina. Seolah mereka berasal dari dua dunia yang berbeda.

Itu Leonard Wijaya, kakak kandungnya, kakak kedua.

Ingatan Adelina kembali ke Keluarga Wijaya dulu, kakaknya inilah yang menjemputnya. Saat itu, dia memeluknya dan berkata bahwa mulai sekarang Adelina adalah satu-satunya putri kecil Keluarga Wijaya.

Tapi belakangan, demi melindungi Felicia, dia juga yang menekan tangannya sendiri ke atas surat pengakuan, membubuhkan cap jari merah dengan paksa.

Melihat Adelina diam saja, Leonard melangkah mendekat, mengulurkan tangan untuk mengambil tas dari tangannya. "Pulanglah."

Adelina tertawa getir. Saat pertama masuk ke sini, dia sempat membayangkan setiap hari, kalau saja mereka akan datang menjemputnya pulang.

Tapi saat dia dipukuli sampai muntah darah, kelaparan sampai harus merangkak di lantai, dikurung semalaman di kamar mandi dalam dingin, saat dia mengalami semua penderitaan itu dan bertahan tiga tahun penuh, tak satu pun dari Keluarga Wijaya datang menjenguk.

Kini dia akhirnya bisa menerima kenyataan, bahwa satu-satunya anak perempuan yang mereka sayangi adalah Felicia.

Kalimat "pulanglah" itu, rasanya sudah tak sepenting dulu lagi.

Adelina menunduk, pelan-pelan menghindari tangan Leonard tanpa terlihat jelas, dan menjawab dengan suara datar, "Nggak perlu. Aku masih bisa bawa sendiri."

Tangan Leonard menggantung di udara, dan terdiam kaku beberapa detik.

Adelina dalam ingatannya sangat gampang dibujuk.

Asal Leonard sedikit saja bersikap baik pada Adelina, dia akan langsung melupakan semua hal buruk, terus memanggil Kakak Kedua dengan manja, dan lengket padanya ke mana-mana.

Dia pikir yang akan dia lihat adalah Adelina menangis haru dan bersyukur karena dia datang menjemput, tapi nyatanya, sambutan sedingin itu membuat dada Leonard terasa seperti dicabik sesuatu dengan keras.

Bagaimanapun juga, dia tetap adik kandungnya. Jadi Leonard mencoba menahan diri dan menjelaskan dengan nada sabar, "Felicia jadi depresi sejak kecelakaan itu, emosinya tidak stabil. Kami jadi harus bergantian menjaganya, takut dia bunuh diri, makanya kami belum sempat menjengukmu."

Sambil bicara, dia seperti baru teringat sesuatu. "Setelah pulang nanti, jangan langsung tinggal di rumah utama dulu. Sementara kamu tinggal dulu di kamar Tante Ida. Takutnya Felicia lihat kamu malah makin tertekan dan berpikiran macam-macam."

Mendengar itu, Adelina hanya merasa sangat menyedihkan.

Felicia yang menabrak orang sampai mati, justru sekarang diperlakukan seolah paling tidak bersalah. Satu keluarga gantian melayani dan menjaganya, sampai-sampai mereka bahkan lupa punya anak kandung di penjara. Sekarang anak kandung itu ingin pulang, mereka pun takut kalau kehadirannya akan mengganggu si kesayangan.

Rumah seperti ini, dia sudah tidak menginginkannya lagi. Jadi mau mereka suruh dia tinggal di mana pun, dia tidak peduli.

Angin semilir lewat, Adelina menggosok lengannya yang dingin, lalu menjawab pelan, "Terserah kalian saja."

Sejak pertama kali saling menatap tadi, dia belum menoleh ke arah Leonard lagi, bahkan sekali pun.

Tapi Leonard justru teringat sesuatu yang entah kenapa begitu jelas, saat Adelina berusia dua belas tahun, waktu dia menjemputnya untuk pertama kali. Gadis kecil itu memeluk lehernya erat-erat dan bertanya dengan hati-hati, "Kakak Kedua, setelah aku pulang, aku punya kamar sendiri, kan?"

Dan waktu itu, apa yang dia jawab?

Waktu itu dia bilang, "Putri kecil kita tentu harus tinggal di kamar paling besar dan paling indah."

Tapi kemudian kamar itu malah diberikan pada Felicia. Adelina sempat menangis dan marah untuk waktu yang cukup lama, namun sekarang, dia seakan sudah tidak peduli apa-apa lagi.

Dada Leonard terasa seperti disumpal segumpal kapas basah, pengap, membuatnya sesak. Keningnya mengernyit, lalu berkata, "Kalau kamu merasa tidak senang, bilang saja ke aku. Aku masih punya properti lain di luar, bisa aku atur supaya kamu tinggal di sana."

Adelina menggeleng. "Tidak perlu merepotkan Anda."

Panggilan Anda itu adalah kebiasaan yang terbentuk selama dia berada di penjara, tempat di mana dia harus membungkuk rendah di hadapan orang lain.

Tapi di telinga Leonard, sapaan itu justru terasa asing dan menyakitkan. Dadanya kian sesak, nadanya naik penuh kesal, "Kamu cuma dipenjara tiga tahun, makan minum semua tercukupi. Tapi Felicia? Dia nyaris kehilangan nyawa berkali-kali! Kalau kamu mau marah, salahkan dirimu sendiri, kalau bukan karena kamu maksa kami datang ke acara wisudamu waktu itu, kami pasti sempat ke pertunjukan Felicia, dan kecelakaan itu nggak akan terjadi. Semua ini musibah karena kamu. Felicia saja nggak mengeluh, kenapa kamu sekarang malah bersikap seolah paling menderita?"

"Kamu sudah lupa, ya, seperti apa hidupmu dulu di panti asuhan? Apa yang kurang di Keluarga Wijaya? Kurang makan? Kurang pakaian? Jangan nggak tahu diri ya! Kalau bukan karena pertunangan dengan Keluarga Laksana itu hanya bisa dibatalkan olehmu, kamu pikir aku punya waktu luang sampai harus turun tangan menjemput kamu sendiri ke sini?!"

Begitu selesai bicara, dia langsung berbalik, menutup pintu mobil dengan keras tanpa menoleh sedikit pun ke arah Adelina, langsung menyalakan mesin dan pergi, tanpa ada niat sedikit pun untuk menunggu.

Tapi Adelina memang sejak awal tidak berharap ada yang benar-benar datang menjemputnya, jadi dia juga tidak merasa sedih karena perlakuan itu.

Yang dia rasakan hanyalah ironi, ternyata alasan Keluarga Wijaya datang menjemputnya hari ini bukan karena darah atau hubungan keluarga, tapi semata karena mereka ingin dia membatalkan pertunangan dengan Keluarga Laksana.

Pertunangan dengan Keluarga Laksana itu dulunya adalah perjodohan yang ditetapkan langsung oleh Kakeknya, sebuah janji sejak kecil. Awalnya, pertunangan itu memang untuk Felicia. Tapi setelah Adelina ditemukan dan dibawa pulang, Kakeknya bersikeras mengatakan bahwa yang bertunangan dengan Keluarga Laksana haruslah Adelina.

Karena hal itu, semua orang membencinya, menganggap dia telah merebut jodoh Felicia. Bahkan putra Keluarga Laksana sendiri, Nathaniel Laksana, juga percaya kalau Adelina sengaja menghancurkan hubungan antara dia dan Felicia. Dia sangat membenci Adelina.

Sekarang, setelah dia menyandang status mantan narapidana dengan catatan kriminal tiga tahun, sementara Nathaniel telah sukses mewarisi kekuasaan Keluarga Laksana dan menjadi sosok yang menentukan segalanya, dia dan Nathaniel ibarat bintang di langit dan bulan di balik bukit, jauh tak tersentuh.

Pertunangan ini memang sudah seharusnya dibatalkan.

Seharusnya dia tidak merasa apa-apa. Adelina terus mengingatkan dirinya sendiri akan hal itu.

Dia menggenggam tasnya erat-erat. Di dalam tas memang ada ponsel, tapi sudah lama mati total. Ada sedikit uang juga, tapi dia terlalu sayang menggunakannya hanya untuk ongkos transportasi.

Leonard tadi bilang, cari cara sendiri dan itu berarti dia harus berjalan kaki.

Begitu sampai di kaki bukit, Adelina baru menyadari kalau Kota Kusumapura sudah bukan seperti dalam ingatannya. Dia bahkan tidak tahu arah mana yang menuju ke rumah Keluarga Wijaya. Dia ingin bertanya pada orang, tapi pakaian yang dia kenakan jelas membuat semua orang langsung tahu dia baru keluar dari penjara di atas gunung itu. Semua orang pun memilih menghindar, seakan dia membawa bencana.

Adelina jadi sedikit panik. Dia akhirnya asal pilih satu arah dan mulai melangkah.

Saat itu, sebuah sedan hitam perlahan berhenti di pinggir jalan. Dari dalam terdengar suara pria yang dingin dan tenang, "Nona Adelina."

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
50 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status