Masuk- Yudhistira's Main Mansion -- Author's POV -Pasangan saji logam saling berkeruncing gemuruhnya. Yang seharusnya dihadir sapa anak dan orang tua, jamuan makan malam mereka kali ini, hanya ditemani oleh aksi saling tegang wajah. Tak ada permusuhan dari mereka. Hanya, untuk mendapatkan kehangatan semata, kata itu memang tak pernah hadir di kamus turun temurun keluarga mereka."Samuel. Bagaimana dengan sekolahmu?" Griss Yudhistira, merapikan letak Serviette yang baru saja dijamu oleh pelayannya. Kumis klimisnya bergerak tipis, menyambut hidangan European Classic."Kau harus terus mempertahankan nilai A di semua mata pelajaran. Tidak boleh ada kegagalan di keluarga Yudhistira. Ibumu akan kecewa kalau kau gagal," sambung pria dalam usia pensiunnya itu.Sang putra, Samuel, menyikapi kebiasaan sang ayah di meja makan dalam tata krama dingin. "Aman. Ayah tidak perlu cemas," dia menjawab seadanya.Griss menyampirkan gelas alkohol Old Fitzgerald-nya ke samping. Ditelitinya wajah sang anak, ya
Sienna Halim POV"Buka pintunya, sialan! Aku tau kau di sana! Buka pintunya dan hadapi aku! Kau pecundang!"Buku-buku jari kakiku yang mengelupas di atas kasarnya permukaan lantai, terpercikkan tetes merah kental, jatuh dari ujung hidungku. Kuseka bagian atas bibirku yang mulai terasa panas—efek obat bius itu masih memenuhi rongga pernapasan, sialan. Tapi, aku menolak untuk menyerah.Aku mimisan. Bukan karena sebungkus Benzodiazepines yang mereka sumpal ke dalam mulutku. Melainkan, karna aku telah bekerja keras menghancurkan pintu kayu Mahogany ini selama empat jam penuh.Kuku jariku mulai terasa lepas dari inangnya. Kurasakan perih menjalar setiap pintu ini berusaha kudobrak. Setelah kesadaranku kembali, dua pria besar berjas hitam membawaku ke sebuah vila besar yang bahkan, aku tak tau lokasinya dimana.Kupandangi horor lewat samping pundak, bagaimana jendela raksasa itu membingkai puluhan hektar hutan pinus berpohon raksasa. Luasnya, tidak bisa dijangkau mata. Detik itu aku tau, si
Samuel Yudhistira POV Semua berjalan lancar. Begitu Sienna datang, segala phobia dan trauma yang kumiliki, hilang. Aku sedikit berekspektasi Sienna—paling tidak—akan melabrakku, begitu melihatku menyetubuhi sepupu polosnya. Siapa sangka? Di depan kamera pengintai yang William install pada tembok yang memisahkan kami, bisa kulihat ekspresi wajah Sienna dengan jelas. Kedua pipi bersemu, napas memburu. Ekspresi itu, jelas bukan ekspresi yang dikeluarkan ketika dia sedang marah. Kutunda dulu rasa puasku, untuk melakukan eksperimen. Kujambak rambut Angel dari belakang, hingga lehernya tertolak menyerupai busur. Dengan rambutnya ditanganku, bisa dengan mudah aku menggenjot pinggangku di bawah sana. Bunyi benturan kulit, kecipak yang seharusnya tidak terjadi, menggema di toilet kosong ini. Mustahil, Sienna yang sedang bersembunyi di balik dinding, tidak mendengarnya. "L-lebih cepat, Samuel ..." Angelina, dia pintar belajar. Tanpa perlu kusuruh, dia membuat desahan-desahan erot
Samuel Yudhistira POV"Ini ponsel Sienna yang kujanjikan. Sekarang aku sudah menyerahkannya padamu, kau akan memberikanku uang itu, kan?"Hitam legam tanpa dihiasi apapun, berbeda sekali dengan seleranya pada saat taman kanak-kanak dulu. Seorang gadis berkacamata tebal, membersikan permukaan telapaknya di atas rok biru, berkali-kali. Usai membiarkanku merasakan lempengan metalik berlayar gelap itu, Angelina Halim terpucat-pucat wajahnya.Bahu ringkih gadis di depanku gemetar, mengikuti suaranya yang sarat akan ketakutan. "Kau akan memberikan uang itu persis dengan jumlah yang kau janjikan, bukan, Samuel? Aku sangat membutuhkannya. Hari ini, aku harus menyerahkannya pada orang itu."Hidungku mendengus. Manusia, lelaki atau wanita, sifat aslinya terkuak begitu dihadapkan oleh harta. Kugerakkan jari telunjukku, pada William—pelayan pribadiku. Usai dia menyampirkan jubah hitam panjangnya, William menyeret sekoper besar uang dari dalam mobilku.Koper besar diletakkan tepat di depan sang ga
Sienna Halim POVBuru-buru kutarik celana dalamku, mengancingkan rok asal demi mengejar pengintip itu."Jangan kabur kau! Hey! Sialan!" Pengintip itu sudah kabur. Kakiku, justru tersandung pintu toilet yang menghalangi jalan. Sepanjang berlarian kutahan sakit, tapi tak sebanding dengan amarah mencuat untuk menangkap pengintip sialan itu.'Akan kubunuh. Akan kubunuh dia begitu kutangkap. Takkan aku biarkan siapapun melihat matahari besok dengan matanya yang dia pakai untuk mengintipku,' sumpah serapahku bertebaran dalam hati. Lorong gedung SAINTEK aku lewati, kutemukan sepasang jejak basah dari sepatu yang menyambung dari toilet, hingga ke gedung perabotan kimiawi sekolah.'I got you, bitch,' batinku tergelak.Permainan mengejar rubah telah usai. Senyumku mengembang seraya kudapatkan pengintip itu, rambutnya mencuat dari balik jendela kaca—niat sembunyinya berhasil kupatahkan.Hockey Player, Dilan, yang pernah nembak aku tahun lalu, berjalan lewat di depanku. Mereka hendak menuju lapa
Sienna Halim POV "Tau namaku darimana?" Aku bertanya. Segelap lampu yang memudarkan wajah tegasnya, pria misterius itu enggan menjawab. Lebih cepat dari hentakan musik pada piringan disc jockey, begitulah pria misterius berkarisma yang saat ini sedang mencuri perhatianku. Giselle dan aku—pandangan kami saling bertukar arahan. Gerakan matanya mengindikasi saran agar aku segera pulang, agar dia bisa 'melayani' tamu barunya ini. Harusnya, itu adalah SOP yang normal. Lainnya, kepalaku justru lebih tertarik untuk memperhatikan pria ini dari dekat wajahnya. "Oh." Baru sadar. Pria ini menyodorkanku segelas kecil wine Cabernet Sauvignon, sebagai salam perkenalan. Semakin kecil gelasnya, semakin tinggi alkoholnya. Kutarik kesimpulan, pria ini tidak tau usiaku masih di bawah umur. "Aku masih sekolah, Pak," ucapku—sengaja. Aku tau lelaki ini belum setua itu, tapi cara pdkt-nya sangat kuno sekali. "Hm," gumamnya, matanya tergulir pada barisan koleksi liquor milik Giselle. Jemari kekarn







