LOGINSienna Halim POV
"Buka pintunya, sialan! Aku tau kau di sana! Buka pintunya dan hadapi aku! Kau pecundang!" Buku-buku jari kakiku yang mengelupas di atas kasarnya permukaan lantai, terpercikkan tetes merah kental, jatuh dari ujung hidungku. Kuseka bagian atas bibirku yang mulai terasa panas—efek obat bius itu masih memenuhi rongga pernapasan, sialan. Tapi, aku menolak untuk menyerah. Aku mimisan. Bukan karena sebungkus Benzodiazepines yang mereka sumpal ke dalam mulutku. Melainkan, karna aku telah bekerja keras menghancurkan pintu kayu Mahogany ini selama empat jam penuh. Kuku jariku mulai terasa lepas dari inangnya. Kurasakan perih menjalar setiap pintu ini berusaha kudobrak. Setelah kesadaranku kembali, dua pria besar berjas hitam membawaku ke sebuah vila besar yang bahkan, aku tak tau lokasinya dimana. Kupandangi horor lewat samping pundak, bagaimana jendela raksasa itu membingkai puluhan hektar hutan pinus berpohon raksasa. Luasnya, tidak bisa dijangkau mata. Detik itu aku tau, siapapun yang menculikku bukanlah orang sembarangan. Empat jam penuh kuhabiskan di kamar raksasa ini. Seluruh barang yang bisa kuraih, kulempar demi memancing keributan. Vas dan patung-patung mahal, kuhancurkan hingga melukai kulitku sendiri. Tapi, dua pria itu tetap diam. Mereka tak berminat membukakan pintu ini sama sekali. Kedua kakiku merosot bersimpuh di tengah lautan barang-barang pecah. Kupeluk lenganku sendiri, bagaimana semua ini bisa terjadi? Kemarin, semua baik-baik saja. Raya dan Agnes sedang dalam perjalanan menjemput, kenapa semuanya berubah mengerikan begini? Dulu sekali, saat TK, aku, Jonathan, dan satu teman kami diculik oleh gembong narkoba yang menginginkan uang tebusan. Kalau bukan karena teman kecilku—yang aku lupa siapa namanya—menyelamatkan kami, aku yakin kami bertiga sudah mati. Sejak saat itu, kasus penculikan selalu membuatku trauma. Dan siapa sangka aku harus mengalaminya sekarang!? Pakaianku masih utuh. Mereka sama sekali tidak menyentuhku, kecuali mengambil SIM Card ponselku. Aku tidak bisa menghubungi siapapun. Pertanyaannya, orang biasa mana yang memiliki vila mewah di tengah aset hutan, menculik seorang gadis, tapi tidak mengambil ponselnya? Bukankah ini terlalu rapi untuk sebuah penculikan karena uang? "Panggil Tuan Mudamu itu! Aku tau dia yang memerintahkan kalian, bukan? Panggil dia! Kalau dia berani menculikku, harusnya dia berani berhadapan denganku!" jeritku, dari balik pintu kayu raksasa yang menghalangi kami. Aku mulai frustasi. Kamar ini, mirip seperti kamar kerajaan yang sering diberitakan di TV. Jangan bilang, yang menculikku pangeran dari kerjaan lain? Jadi maksudnya, aku sudah ada di luar negeri? Yang benar saja! Semakin aku berpikir, semakin aku gila. Seluruh barang di kamar ini sudah kuhancurkan, tinggal tersisa satu cara gila yang belum aku coba. Ikat pinggangku, yang memiliki kail bermata berlian, kutarik lepas. Kubalingkan pangkalnya untuk menghancurkan kaca jendela raksasa itu. Berlian, lebih keras dari kaca. Dengan beberapa pukulan, aku berhasil memecahkan kaca yang tidak manusiawi besarnya. Tenggorokanku mendadak sesak begitu wajahku mendongak ke bawah, melirik betapa tingginya kamar yang aku tempati ini. Di bawahnya, terdapat taman rumput dan bunga. Vila ini sangat tinggi, tapi anehnya minim penjagaan. Aku akan melompat dari sini—kurasa tulangku akan patah nanti, tapi tak jadi masalah—dan melarikan diri. Demi nama Tuhan manapun, ini adalah kali pertama aku begitu takut sampai hampir terkencing, di depan seseorang yang bukan ayahku. 'Aku tidak akan mati, kan?' Kedua kakiku sudah berada di pinggir jendela, siap melompat tanpa pengaman. Di belakangku, barang-barang mahal yang telah aku hancurkan, mendadak tergeser berisik berkat kedua daun pintu yang dibuka paksa. Dua bodyguards yang menculikku itu, mendadak menampakkan wujudnya. Padahal sejak tadi aku memanggil setengah mati! Mereka datang dengan membawa wajah panik, begitu menyaksikan aku nyaris melompat. Keduanya langsung melewati serpihan-serpihan itu, berusaha menghentikan aksiku. Aku serius sungguhan akan lompat. Jika tidak salah seorang di antara mereka nekat memanjat tembok, memangkas jarak, dan menarikku dengan cepat. "Argh! Lepaskan!" Aku memekik kesakitan. Pria dengan tato naga merah itu, dia sengaja menjambak rambutku! Dia tau itu titik kelemahanku. Dengan meringis kesakitan, tenagaku mulai habis. Keduanya berhasil memaksaku menjauh dari jendela raksasa. Menyeret, lebih tepatnya. "Oi! Kubilang jangan lukai dia! Kau mau Tuan Muda membunuh kita!?" Pria dengan tato naga putih, membentak rekannya yang tak sengaja menyentuh luka sobek di lenganku. Rekannya menggeleng, mengangkat kedua tangannya ke atas. "Demi Tuhan, bukan aku! Cewek ini yang gila melukai dirinya sendiri!" belanya. Kepala plontosnya tergeleng takut. "Siapa yang kau bilang cewek gila, hah!?" Aku membentak. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, kuambil celah lengah di antara obrolan mereka. Dengan tubuh rampingku, dengan mudah aku kabur lewat sela-sela lengan keduanya. Tidak menyesal aku diet ketat selama ini, ternyata berguna juga. "Oi! Dia kabur!" pemilik tato putih membentak rekannya. Mereka berdua, mengejarku lagi. Kali ini, aku tidak bodoh. Aku sudah pernah patah kaki sekali—saat disiksa ayah—, jadi patah kaki sekarang karena melompat tidak membuatku takut. Lariku cepat, dan aku sudah berada di pinggir jurang itu lagi. Nahas, aku tak tau salah satu dari bodyguards itu melempar sebuah patung emas Budha. Ke arah kepalaku. Dan ... /Crack!/ Aku mendengar suara retakan, diiringi oleh rasa nyeri di kepala yang membuat tuli pendengaran. Botak plontos itu, membaling kepalaku dengan patung emas sebesar kepalan tangan manusia. Seketika, kesadaranku hilang. Mereka dengan sigap menangkap tubuhku, dan menyeretku pergi dari kamar ini. 'Tidak .... Satu-satunya jalan kaburku...' Di sela-sela rasa sakit, jemariku meraih kaca jendela yang hancur seluruhnya. Aku bisa merasakan dua pria itu mengunciku di sebuah ruangan baru. Gelap, dan ... Berbau aneh. Ini terjadi lagi. Saat kesadaranku hilang pertama kali, hal yang aku lihat perdana saat membuka mata, adalah ruangan besar yang seperti penjara. Sekarang, penculik itu melakukannya lagi. Aku bersumpah akan membunuh mereka saat tersadar nanti. *** *** Bunyi gemerincing yang nyaring, membangunkan kelopak mataku. Irisku terasa lengket sekali. Aku kesulitan membuka mata saat sebuah sensasi yang mengikat kedua tangan dan kakiku, mulai terasa. "Dimana ..." Kukerjapkan mata, melawan lelampuan merah yang mentereng di setiap sudut ruangan. Ada sedikit jeda, sebelum aku mencerna ruangan baru yang kutempati. Tapi sebelum itu, jantungku sudah lebih dulu berhenti. "A—" mulutku terbuka tanpa suara. Di bawah mataku saat ini, kedua tanganku diikat oleh sepasang borgol yang dihubungkan oleh rantai emas. Bukan hanya tangan, namun juga kedua kakiku! Penculik sialan itu merantaiku di ranjang ini! /clang! clang! clang!/ "Kalian gila! Apa kalian mau menjadikanku kelinci percobaan!? Lepaskan rantai ini!" Aku meronta, menarik-narik tangan dan kakiku hingga ruangan ini penuh dengan bunyi nyaring benturan besi. Leherku mulai meneteskan keringat dingin. Kepanikan tadi membuat mataku berkabut, tapi sekarang, aku melihatnya sejelas jernih lautan. Dadaku menyempit, sebagaimana mataku bergerak sekeliling. Mereka ... membawaku ke ruangan yang sangat berbeda. Ruangan yang aku tempati ini, penuh dengan nuansa merah. Berpasang-pasang lemari kaca menyala, penuh dengan koleksi sex toys berbagai bentuk di setiap sudutnya. Dalam hitungan detik, otakku langsung memahami. Ini adalah ruangan BDSM. Hobi gila yang hanya dimiliki seorang psikopat. Dildo, vibrator, spanker, dog-tails, cock-ring, aku tau semuanya. Aku pernah melihatnya di basement mansion lama kami. Ayah, memiliki hobi BDSM. Dan karena itu Ibu membencinya. Aku selalu melihatnya sebagai sebuah kelainan. Tak kusangka, sekarang aku diculik oleh orang yang sama. "Gawat, Sienna. Ini gawat sekali," ujarku horor, mulai bicara sendiri. Jelas-jelas ini adalah ruangan ekseskusi milik si penculik itu. Dan melihat dari betapa lengkap koleksi sex toys miliknya, aku yakin dia seorang pro. "A-aku ... aku harus cepat-cepat pergi dari sini!" Aku tidak bisa berpikir lagi. Kupaksa kedua tanganku yang penuh luka, untuk melepaskan borgol ini secepatnya. Tak berhasil, kugunakan gigiku. Kugigit bagian engselnya hingga gusiku berdarah. 'Damn it!' aku merutuk dalam hati. What did I do to deserve this? Diculik oleh psikopat, adalah hal terakhir yang ingin aku coba. Begitu tau pemilik villa ini adalah seorang penikmat BDSM, alarm tanda berbahaya di kepalaku langsung berdering kencang. Gigiku nyaris copot, dan tak satupun kaitan borgol ini bergeser dari posisinya. Kencang sekali! Siapapun yang melakukan ini, pasti berniat mengurungku hidup-hidup. Apa jangan-jangan, penculik itu mau menjual organ dalamku? Kusut pikiranku terurai. Pintu hitam legam yang kupikir akan selamanya tertutup, tiba-tiba dibuka oleh seseorang. Bukan bodyguards sialan itu tadi, melainkan, seorang gadis belia mengenakan seragam maid. Gadis itu berjalan menghampiri ranjangku, membawa kereta dorong penuh makanan. Terlihat sekali dia tidak menyukaiku. Setelah meletakkan kereta makanan itu, pelayan tadi langsung pergi tanpa permisi. Pintu itu dibanting olehnya, usai kulihat dia dengan sengaja mentertawakan penampilan kacauku. Senyum kekalahan mengembang di bibirku. Siapa gadis itu? Berani sekali dia mengejek. Tapi, aku agak lega juga dia datang. Diracun dua kali berturut-turut, setelah berteriak macam orang gila, tenggorokanku nyaris terbakar. Pelayan sombong tadi meletakkan kereta makanan penuh dengan camilan dan minuman. Tanpa merasa curiga sama sekali, aku yang kehausan setengah mati ini langsung meneguk habis sebotol air mineral. Botol plastik itu kulempar asal. Tapi, aku merasa tubuhku mulai aneh. Kepalaku bergoyang, dan napasku begitu panas. Keringat dingin akibat serangan panik, berganti dengan bulir keringat panas yang menyesakkan dada. "Ugh, apa...ini." Tanganku bergerak sendiri melepas kancing baju seragamku. Menggeliat bak cacing kepanasan, tubuhku rasanya seperti dibakar dari dalam. Aku rasa, gadis pelayan tadi memasukkan sesuatu dalam botol air mineral itu. Kalau tidak, tak mungkin aku jadi begini. Aku harap hanya sedative, seperti yang biasa mereka berikan. Tapi, tubuhku mendadak mengejang. Di atas ranjang, kedua pahaku tidak bisa berhenti gemetar dengan sensasi yang membuatku merasa seperti tersengat listrik. Mataku melirik ke bagian bawah. Di bagian atas rokku, cairan basah lengket tampak mengalir dari tengah selangkanganku. Wajahku menggeleng kasar. Aku meneguk ludah, memandang tak percaya. Teringat akan sensasi tak asing ini. "Jangan bilang .... Obat perangsang?"- Yudhistira's Main Mansion -- Author's POV -Pasangan saji logam saling berkeruncing gemuruhnya. Yang seharusnya dihadir sapa anak dan orang tua, jamuan makan malam mereka kali ini, hanya ditemani oleh aksi saling tegang wajah. Tak ada permusuhan dari mereka. Hanya, untuk mendapatkan kehangatan semata, kata itu memang tak pernah hadir di kamus turun temurun keluarga mereka."Samuel. Bagaimana dengan sekolahmu?" Griss Yudhistira, merapikan letak Serviette yang baru saja dijamu oleh pelayannya. Kumis klimisnya bergerak tipis, menyambut hidangan European Classic."Kau harus terus mempertahankan nilai A di semua mata pelajaran. Tidak boleh ada kegagalan di keluarga Yudhistira. Ibumu akan kecewa kalau kau gagal," sambung pria dalam usia pensiunnya itu.Sang putra, Samuel, menyikapi kebiasaan sang ayah di meja makan dalam tata krama dingin. "Aman. Ayah tidak perlu cemas," dia menjawab seadanya.Griss menyampirkan gelas alkohol Old Fitzgerald-nya ke samping. Ditelitinya wajah sang anak, ya
Sienna Halim POV"Buka pintunya, sialan! Aku tau kau di sana! Buka pintunya dan hadapi aku! Kau pecundang!"Buku-buku jari kakiku yang mengelupas di atas kasarnya permukaan lantai, terpercikkan tetes merah kental, jatuh dari ujung hidungku. Kuseka bagian atas bibirku yang mulai terasa panas—efek obat bius itu masih memenuhi rongga pernapasan, sialan. Tapi, aku menolak untuk menyerah.Aku mimisan. Bukan karena sebungkus Benzodiazepines yang mereka sumpal ke dalam mulutku. Melainkan, karna aku telah bekerja keras menghancurkan pintu kayu Mahogany ini selama empat jam penuh.Kuku jariku mulai terasa lepas dari inangnya. Kurasakan perih menjalar setiap pintu ini berusaha kudobrak. Setelah kesadaranku kembali, dua pria besar berjas hitam membawaku ke sebuah vila besar yang bahkan, aku tak tau lokasinya dimana.Kupandangi horor lewat samping pundak, bagaimana jendela raksasa itu membingkai puluhan hektar hutan pinus berpohon raksasa. Luasnya, tidak bisa dijangkau mata. Detik itu aku tau, si
Samuel Yudhistira POV Semua berjalan lancar. Begitu Sienna datang, segala phobia dan trauma yang kumiliki, hilang. Aku sedikit berekspektasi Sienna—paling tidak—akan melabrakku, begitu melihatku menyetubuhi sepupu polosnya. Siapa sangka? Di depan kamera pengintai yang William install pada tembok yang memisahkan kami, bisa kulihat ekspresi wajah Sienna dengan jelas. Kedua pipi bersemu, napas memburu. Ekspresi itu, jelas bukan ekspresi yang dikeluarkan ketika dia sedang marah. Kutunda dulu rasa puasku, untuk melakukan eksperimen. Kujambak rambut Angel dari belakang, hingga lehernya tertolak menyerupai busur. Dengan rambutnya ditanganku, bisa dengan mudah aku menggenjot pinggangku di bawah sana. Bunyi benturan kulit, kecipak yang seharusnya tidak terjadi, menggema di toilet kosong ini. Mustahil, Sienna yang sedang bersembunyi di balik dinding, tidak mendengarnya. "L-lebih cepat, Samuel ..." Angelina, dia pintar belajar. Tanpa perlu kusuruh, dia membuat desahan-desahan erot
Samuel Yudhistira POV"Ini ponsel Sienna yang kujanjikan. Sekarang aku sudah menyerahkannya padamu, kau akan memberikanku uang itu, kan?"Hitam legam tanpa dihiasi apapun, berbeda sekali dengan seleranya pada saat taman kanak-kanak dulu. Seorang gadis berkacamata tebal, membersikan permukaan telapaknya di atas rok biru, berkali-kali. Usai membiarkanku merasakan lempengan metalik berlayar gelap itu, Angelina Halim terpucat-pucat wajahnya.Bahu ringkih gadis di depanku gemetar, mengikuti suaranya yang sarat akan ketakutan. "Kau akan memberikan uang itu persis dengan jumlah yang kau janjikan, bukan, Samuel? Aku sangat membutuhkannya. Hari ini, aku harus menyerahkannya pada orang itu."Hidungku mendengus. Manusia, lelaki atau wanita, sifat aslinya terkuak begitu dihadapkan oleh harta. Kugerakkan jari telunjukku, pada William—pelayan pribadiku. Usai dia menyampirkan jubah hitam panjangnya, William menyeret sekoper besar uang dari dalam mobilku.Koper besar diletakkan tepat di depan sang ga
Sienna Halim POVBuru-buru kutarik celana dalamku, mengancingkan rok asal demi mengejar pengintip itu."Jangan kabur kau! Hey! Sialan!" Pengintip itu sudah kabur. Kakiku, justru tersandung pintu toilet yang menghalangi jalan. Sepanjang berlarian kutahan sakit, tapi tak sebanding dengan amarah mencuat untuk menangkap pengintip sialan itu.'Akan kubunuh. Akan kubunuh dia begitu kutangkap. Takkan aku biarkan siapapun melihat matahari besok dengan matanya yang dia pakai untuk mengintipku,' sumpah serapahku bertebaran dalam hati. Lorong gedung SAINTEK aku lewati, kutemukan sepasang jejak basah dari sepatu yang menyambung dari toilet, hingga ke gedung perabotan kimiawi sekolah.'I got you, bitch,' batinku tergelak.Permainan mengejar rubah telah usai. Senyumku mengembang seraya kudapatkan pengintip itu, rambutnya mencuat dari balik jendela kaca—niat sembunyinya berhasil kupatahkan.Hockey Player, Dilan, yang pernah nembak aku tahun lalu, berjalan lewat di depanku. Mereka hendak menuju lapa
Sienna Halim POV "Tau namaku darimana?" Aku bertanya. Segelap lampu yang memudarkan wajah tegasnya, pria misterius itu enggan menjawab. Lebih cepat dari hentakan musik pada piringan disc jockey, begitulah pria misterius berkarisma yang saat ini sedang mencuri perhatianku. Giselle dan aku—pandangan kami saling bertukar arahan. Gerakan matanya mengindikasi saran agar aku segera pulang, agar dia bisa 'melayani' tamu barunya ini. Harusnya, itu adalah SOP yang normal. Lainnya, kepalaku justru lebih tertarik untuk memperhatikan pria ini dari dekat wajahnya. "Oh." Baru sadar. Pria ini menyodorkanku segelas kecil wine Cabernet Sauvignon, sebagai salam perkenalan. Semakin kecil gelasnya, semakin tinggi alkoholnya. Kutarik kesimpulan, pria ini tidak tau usiaku masih di bawah umur. "Aku masih sekolah, Pak," ucapku—sengaja. Aku tau lelaki ini belum setua itu, tapi cara pdkt-nya sangat kuno sekali. "Hm," gumamnya, matanya tergulir pada barisan koleksi liquor milik Giselle. Jemari kekarn







