Share

5. Janji Sagara

Sagara membuka matanya, mendapati dirinya mengambang di tengah udara. Dia terbelalak, sangat terkejut dengan situasi aneh yang dialaminya saat ini.

“D-di mana ini?” tanya Sagara dengan bingung.

“Mimpi?” batinnya lagi.

Sagara menjatuhkan pandangannya ke bawah, lautan luas terbentang di sana. Terlihat sebuah kapal mewah dengan sejumlah orang berdiri di sana, pemandangan yang begitu familier untuk Sagara.

“Serang mereka!”

Kerumunan orang dari dua sisi kapal bertemu di tengah, saling beradu pedang dan ada pula yang meluncurkan busur panah. Satu persatu orang-orang itu berjatuhan, terbunuh mengenaskan di tangan lawan. Arah pandang Sagara mengikuti pelarian sosok yang paling mencolok di matanya. Pria itu memegangi dada atas bagian kanan yang mengeluarkan banyak darah, dia berdiri di ujung kapal sambil menatap tajam lawannya. Tidak ada celah untuk menghindar apalagi melarikan diri.

“Kau harus mati!” ucap pria bertopeng langsung mengarahkan pedang ke arah pria incarannya dan ....

Byur!

“Tidak!” pekik Sagara dari atas sana.

Pria tadi jatuh ke dasar laut, tubuhnya terlahap gelombang dan tak ada tanda-tanda bahwa ia selamat. Sagara yang menyaksikan itu tiba-tiba merasakan sesak yang luar biasa. Saga yang semula berdiri mendadak kehilangan kekuatannya. Ia terduduk lemas sambil memegangi dada, “Arggh, kenapa ini sakit sekali? apa yang terjadi?” gumam Sagara seperti tidak rela melihat pria tadi jatuh ke dasar laut.

Sagara berusaha bangkit, dia berbalik dan menemukan sosok pria bertopeng ada di belakangnya, pria itu menyeringai kejam. Ia angkat pedangnya kembali dan sreeet!

“Arghh!” pekik Sagara lagi sambil membuka matanya.

Pria itu mengedarkan pandangan ke sekitar dan dia menemukan pemandangan kamar berukuran sedang yang didominasi warna putih.

“Bayangan apa itu? Kenapa dadaku sakit sekali melihat orang itu jatuh ke laut?” gumam Sagara sambil mengatur napas yang tak beraturan.

Dia termenung cukup lama memikirkan mimpi aneh yang terasa sangat nyata bagi Sagara. Dalam kesunyian pikirannya, derap langkah terdengar jelas mendekat ke arahnya, pintu kamar terbuka dan Euis masuk dengan ekspresi panik.

“Ada apa, Nak? Kenapa kamu teriak, di mana yang sakit?” Euis duduk di bibir ranjang sambil memeriksa kondisi putranya.

Saga berusaha untuk duduk, dia sedikit mengerang merasakan ngilu di kepala bagian belakang.

“Aku tidak apa-apa Bu,” jawab Saga menenangkan, ia membentuk senyuman tipis.

Meski belum merasakan ikatan batin dengan perempuan di hadapannya ini, Saga bisa tahu bahwa Euis memang sosok ibu yang baik. Dia penyayang dan begitu memedulikan Saga.

“Terus kenapa kamu teriak, apa kepala kamu sakit sekali? Perlu ibu panggilkan dokter?”

“Enggak usah Bu, aku baik-baik saja.”

Euis membawa Saga ke pelukannya, memeluk sang putra dengan hangat sambil terisak pelan. Wanita itu ingin menahan tangisan agar tidak tercurah namun ia tidak bisa. Mendengar penjelasan Omen dan Tyana tentang apa yang menimpa putranya selama di sekolah membuat Euis perih. Dia merasa gagal menjadi orang tua.

“Kenapa kamu tidak pernah cerita tentang ini sama ibu, Nak? Kenapa kamu merahasiakan semuanya dari ibu dan bapak?”

“Maksud Ibu?” Saga menyoal usai pelukan sang ibu terurai.

“Omen dan Tyana sudah menceritakan semuanya sama ibu dan bapak, kata mereka kamu selalu dirundung oleh teman-temanmu di SMA Tribakti. Bahkan sejak tahun pertama, harusnya kamu cerita tentang ini sama ibu, Nak. Kamu tidak perlu bertahan di sana hanya demi membanggakan kami. Kamu selalu menjadi kebanggaan ibu dan bapak kapan pun, jadi mulai sekarang kamu boleh menyerah. Masih banyak sekolah yang lebih bagus dari Tribakti, kamu pindah sekolah saja.”

Kebenaran ini terungkap begitu saja ketika Omen dan Tyana menghubungi kedua orang tua Sagara ke rumah sakit. Dokter yang memeriksa Sagara menjelaskan bahwa anak itu terluka parah karena pukulan benda tajam yang disengaja. Sagara mendapat jahitan yang cukup banyak di bagian belakang kepala. Wira dan Euis merasa aneh kenapa putranya bisa mendapat luka seperti itu, apalagi ketika Omen dan Tyana menjelaskan bahwa Saga terlibat perkelahian dengan gangster sekolah. Rasanya sulit dipercaya dan tidak masuk akal saja. Pasalnya selama ini Saga selalu bercerita bahwa kehidupan sekolahnya baik-baik saja dan dia punya banyak teman di sana.

“Maafin ibu dan bapak yang tidak peka sama kondisi kamu selama ini, harusnya kami tahu sejak awal bahwa kamu tidak seharusnya sekolah di tempat terkutuk itu. Kami akan segera mengurus surat kepindahanmu, kalau perlu kita tuntut pihak sekolahnya karena telah lalai membiarkan aksi bullying dilakukan para siswanya.”

Sagara meraih kedua tangan Euis lalu menggenggamnya hangat, dengan tenang ia berujar, “Aku tidak apa-apa, Bu, kalian tidak perlu melakukan itu hanya untuk menjagaku. Pihak sekolah bukan lawan kita dan sebenarnya itu juga bukan salah mereka.”

“Bagaimana mungkin ini bukan salah mereka? Jelas-jelas pihak sekolah lalai karena membiarkanmu dirundung oleh siswa-siswa tak berperasaan di sana, hati ibu sakit mendengar kamu selalu dikucilkan dan direndahkan. Lingkungan itu sangat tidak sehat, bagaimana bisa kamu menahannya selama ini, Saga? Ibu saja tidak sanggup membayangkan hari-harimu yang seperti neraka, hiks, hati ibu perih, Nak. Sakit!” emosi Euis meluap, ia marah, sedih, dan kesal dalam satu waktu.

“Ibu, dengar aku,” kata Saga sambil meminta Euis untuk menyimak ucapan dan menatap matanya, Saga mungkin tidak ingat bahwa dia pernah dilahirkan dari rahim perempuan ini. Namun, dia janji, tidak akan membiarkan perempuan ini menangisi kondisi putranya lagi. Ya, Saga tidak akan pernah membiarkan itu.

“Mulai sekarang Ibu dan Bapak tidak perlu mencemaskanku. Kejadian seperti ini atau hal-hal buruk lain yang pernah terjadi tidak akan kembali menimpaku. Aku akan bertahan di sekolah itu sampai akhir. Aku akan membuat orang-orang jahat itu membayar mahal setiap tangisan yang ibu curahkan. Itu janjiku, Bu, janji Sagara jadi tolong ... aku mohon pada Ibu dan Bapak untuk tetap membiarkanku sekolah di sana. Aku akan baik-baik saja,” ucap Saga dengan penuh keyakinan, senyumnya tulus dan tatapan matanya memancarkan kesungguhan.

“Apa ibu bisa percaya kata-katamu ini, Nak?”

“Tentu, Ibu harus mempercayainya. Ibu harus yakin bahwa putra Ibu bisa menghadapi orang-orang jahat itu, dengan begitu aku akan mendapat kekuatan lebih untuk melawan mereka.”

Euis menatap putranya lama, ia segera menghapus jejak air mata di pipi lantas menggenggam erat jemari putranya. “Jangan terluka lagi, Ibu mohon,” pinta Euis dengan suara dalam, harapan yang menyimpan doa paling tulus.

“Iya, aku tidak akan terluka lagi, Bu, aku janji.”

***

“Sagaaa, hiks hiks, ya Allah ... gimana ini, kamu baik-baik aja, kan, Ga? Enggak ada yang luka lagi selain kepala, kan? Mana lagi amnesia ditambah kepala bocor, jahitannya banyak banget pula. Miris banget sih hidup kamu,” heboh Omen ketika masuk ke kamar Sagara bersama Tyana.

Saga dirawat di rumah sakit memang tidak begitu lama, karena selain kebocoran di kepala, kondisi fisik lelaki itu terbilang cukup baik. Ia pingsan selama proses penjahitan lukanya, dokter memberi beberapa obat dan setelahnya. Dia menginap semalam di sana dan baru pulang keesokan harinya. Saga baru sadar tadi pagi setelah mengalami mimpi aneh yang sampai sekarang masih membuatnya penasaran. Saat sedang sibuk memikirkan mimpi itu, Omen dan Tyana datang dengan kehebohan seperti biasanya.

“Gimana kondisi kamu, Ga?” tanya Tyana mengesampingkan reaksi Omen yang banyak drama dan terkesan berlebihan.

“Jauh lebih baik, Tya.”

“Emang sialan itu si Badar, katanya mau head to head tapi malah manggil rombongan. Tahu gitu aku ikut sama kamu kemarin. Dia mesti dikasih pelajaran, awas aja!” geram Tyana sambil meninju-ninju telapak tangannya.

“Udahlah, biarin aja, namanya juga pecundang, beraninya Cuma keroyokan,” balas Gara santai sambil membenarkan posisi duduknya, dia meminta satu bantal lagi pada Omen agar ia bisa bersandar dengan lebih nyaman.

“Terlepas dari kekalahan kamu kemarin, Ga, saya kaget kamu berani menerima tantangan dia. Tadi dia enggak masuk sekolah, loh, banyak yang bilang dia babak belur juga. Itu artinya kamu ngasih perlawanan yang setimpal, kan? Keren.”

Omen yang tadi meraung sedih kini sudah bersemangat dan antusias membahas pertarungan Sagara dan Badar. Banyak hal yang membuatnya penasaran, bagaimana cara Sagara melawan Badar? Dari mana dia mendapat kemampuan bela diri? Apa alasan selama ini dia pura-pura tidak bisa berkelahi? Ah, tak terhitung pokoknya.

“Aku juga heran tentang itu, Ga, apa mungkin selama ini kamu memang jago berkelahi tapi pura-pura enggak bisa apa-apa? Kamu bikin Badar babak belur bakal jadi trending topik terpanas kalau berita ini disebarkan,” seru Tyana yang sudah gemas ingin bertemu Badar dan menambah satu luka memar di mata siswa nakal itu.

“Gimana kalau kita sebarin aja beritanya sekarang biar semua penduduk Tribakti tahu kalau Sagara yang sekarang bukan Sagara lemah yang bisa mereka tindas lagi. setuju enggak, Tya?” saran Omen menggebu-gebu, dia sudah siap mengeluarkan ponselnya.

“Aku gimana Sagara aja, kamu setuju menyebarkan berita itu, Ga?”

“Enggak, buat apa juga mengumumkan hal semacam itu. Lagi pula aku belum benar-benar mengalahkan Badar, aku pingsan dan kepalaku sampai bocor karena dia. Itu memalukan,” tolak Saga keras, dia tidak butuh publikasi apa pun tentang kemampuannya. Dia hanya ingin membalas orang yang sudah melukai Sagara, itu misi utamanya.

“Pipi Badar kena tonjok kamu juga sangat memalukan buat dia, Ga. Itu tamparan keras banget buat harga dirinya, saya yakin kok sekarang dia pasti sedang mengutuk diri dan terheran-heran sama perubahan sikap kamu. Sagara yang awalnya bermental kerupuk tiba-tiba berubah menjadi sosok tangguh yang berani nantangin dia. Gila, saya enggak bohong, itu kegilaan terhebat kamu tahun ini selain mengaku suka pada Mona. Takjub saya tuh, Ga.”

Tyana melayangkan tatapan sinis setelah mendengar nama Mona disebut, “Bisa enggak sih enggak usah bawa-bawa Mona. Kita lagi bahas Badar sekarang, fokus aja sama itu!” keras, menyentak, ucapan Tyana barusan.

Saga dan Omen saling pandang, mereka bergeming beberapa saat lalu Sagara berdeham memecah ketegangan.

“Gimana tadi di sekolah aman, kan? Teman-teman Badar enggak gangguin kamu, Tya?” tanya Saga dan kekesalan Tyana langsung meluap.

“Enggak kok, kamu tenang aja. Cuma aku curiga si Badar bakal membalas aksi kamu kemarin, Ga. Dia enggak akan menerima kekalahannya dengan mudah. Manusia egois dan sok kayak dia mana mungkin mau ngaku kalah. Apalagi kemarin dia koar-koar di hadapan anak-anak sekelas bakal ngabisin kamu.”

“Nah, itu dia masalah barunya, bukan hal mustahil kalau nanti si monster Badar bakal manggil gangster yang lebih banyak lagi buat nyerang kamu, Ga. Mesti waspada nih mulai sekarang,” tambah Omen ikut waswas, khawatir juga nantinya dia akan jadi sasaran kemarahan Badar dan kawan-kawan.

“Ya, aku juga sudah menduga hal itu akan terjadi, tapi kita lihat saja nanti. Siapa yang akan kalah dan menjadi pecundang sejati. Aku anggap situasi sekarang seri karena kami sama-sama terluka.”

Prok! Prok! Prok!

Omen tepuk tangan keras sambil berteriak “Woah!” dengan semangat dan berapi-api.

“Sagara Wirantama, I love you full! Saya enggak tahu kenapa kamu jadi kayak gini Cuma alhamdulillah, saya bersyukur banget dengan keberanian kamu ini, Saga. Mau nangis lagi kan jadinya kalau ingat gimana penderitaanmu selama ini.”

Saga terkekeh lucu melihat tingkah Omen, anak itu memang aneh dan memiliki banyak sisi yang membuat Saga terkaget-kaget saat mengetahuinya.

“Ah, iya Saga, aku tadi sempat bicara sama Ibu kamu, katanya dia sempat mau memindahkan kamu ke sekolah lain, ya?” ujar Tyana memotong euforia Omen.

“Mm, iya, Ibu sangat khawatir dengan kondisiku tapi aku sudah menjelaskan bahwa aku akan baik-baik saja mulai sekarang.”

“Maaf ya, aku udah mengingkari janji buat enggak cerita masalah bullying yang kamu alami ke orang tua kamu. Kemarin aku benar-benar panik dan bingung, lihat ibu dan bapak kamu menangis khawatir bikin aku marah banget sama keadaan, aku nekat cerita sama mereka supaya kamu enggak menanggung beban ini sendiri lagi. Meski aku dan Omen selalu ada buat teman cerita kamu, tapi akan lebih baik kalau orang tua kamu juga tahu tentang masalah bullying itu,” papar Tyana menyesal.

“Tidak apa-apa, semuanya juga sudah terjadi, mungkin memang sudah saatnya mereka tahu apa yang menimpa putranya selama ini. Aku kasihan pada mereka, berulang kali mendapat cobaan sulit hanya karena kelemahan Sagara,” jelas Saga dengan tatapan lurus.

“Kamu berkata seolah-olah sedang membicarakan orang lain,” heran Omen, “Tapi sudahlah, yang terpenting sekarang Saga kembali dengan lebih kuat. Mari buktikan pada semua orang bahwa Sagara bukan lagi sampah tak berguna di SMA Tribakti. Kasih mereka pelajaran yang keras biar bisa lebih menghargai keberadaan orang lagi. kita hancurkan orang-orang sialan itu sampai ke akarnya, MERDEKA!” orasi Omen meniru orang-orang yang sedang berdemo.

Masalah wacana dia memang jagonya, tapi kalau disuruh beraksi, ah sudah jangan ditanya. Dia tidak bisa diharapkan. Sambil terus mengatakan merdeka, Omen melangkah mundur dan keluar dari kamar itu, dia kebelet pipis tapi masih sempat-sempatnya berorasi.

“Kawanmu emang gendeng, Ga,” ejek Tyana sambil memasang ekspresi geli.

Saga terkekeh, “Dia lucu.”

“Lucu tapi payah, tadi dia dijahilin sama anak IPS 1 malah diem aja. Sekarang ngebacotnya jago banget,” kesal Tyana.

Sagara terdiam sejenak, “Siapa yang jahilin Omen?”

“Ada pokoknya, udah langganan jahilin Omen. Emang enggak separah si Badar sih ngejahilinnya Cuma tetap aja, aku kesel lihatnya. Gimana kalau tadi aku enggak lewat ke area belakang, mungkin si Omen bakal sampai malam dikunciin di gudang. Hhh, semua orang di Tribakti emang sialan! Ngeselin! Capek aku lihat tingkah mereka.”

“Pasti berat banget ya?”

“Hm, apanya yang berat?” satu alis Tyana terangkat.

“Jadi kamu yang harus melindungi dua kawan lemah sepertiku dan Omen. Kamu pasti capek banget. Seharusnya kamu jangan berteman dengan orang seperti kami.”

“Ngomong apa sih kamu, Ga, aku enggak capek temenan sama kalian. Aku Cuma capek lihat tingkah anak-anak sok berkuasa itu. Heran aja sama jalan pikiran mereka, kok bisa sampai hati merundung anak orang separah itu. Hatinya disimpan di mana coba?”

“Mungkin mereka enggak punya hati.”

“Ah, benar! Selain enggak punya hati, mereka juga enggak punya otak!”

Saga tersenyum melihat emosi Tyana yang meluap-luap saat bicara, “Tugas kamu melindungi kami udah selsai, Tya. Mulai sekarang kamu bisa sedikit lebih tenang.”

“Eh, maksudnya?” Sagara membalas kebingungan Tyana dengan senyuman tipis yang sulit ditafsirkan. Saga benar-benar berubah, begitu pikir Tyana.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
kayaknya Tya terjebak Prenjon nih hahaha
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status