Home / Urban / Dunia yang Sempurna / hidup yang berubah

Share

hidup yang berubah

Author: Laskar_pena
last update Last Updated: 2025-02-28 04:38:02

Rangga masih duduk diam di kursi ruang kerja Alex, mencoba mencerna kabar yang baru saja didengarnya. Alex telah membawa adik-adiknya ke kota dan berniat menyekolahkan mereka. Itu hal yang tidak pernah terlintas dalam pikirannya. Sejak datang ke kota, yang ia pikirkan hanya bertahan hidup dan mengumpulkan uang sedikit demi sedikit agar bisa mengirimkannya ke desa. Tapi sekarang, orang yang bahkan baru dikenalnya beberapa hari sudah melakukan sesuatu yang begitu besar untuknya.

Alex menatapnya dengan ekspresi datar, tapi ada ketegasan di dalamnya. "Aku tidak butuh rasa terima kasih berlebihan, Rangga. Aku hanya ingin memastikan bahwa kau mengerti satu hal. kesempatan tidak datang dua kali. Jika kau ingin masa depan lebih baik untuk dirimu dan adik-adikmu, jangan sia-siakan ini."

Rangga menelan ludah dan mengangguk. "Saya mengerti, Pak."

"Bagus." Alex menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Besok kau akan bertemu dengan adik-adikmu. Aku ingin kau melihat sendiri bahwa mereka baik-baik saja. Setelah itu, aku akan mulai mencari posisi yang lebih pantas untukmu di sini."

Rangga tidak langsung menjawab. Ia masih sulit percaya dengan semua yang terjadi. Tapi satu hal yang pasti, hidupnya benar-benar berubah dalam sekejap.

Malam itu, Rangga duduk di tempat tidurnya di kamar kecil yang telah diberikan kepadanya di rumah Alex. Kamar itu sederhana dibandingkan dengan kemewahan rumah ini, tapi jauh lebih nyaman dibandingkan tempat mana pun yang pernah ia tinggali selama di kota.

Ia membuka ponselnya dan mengetik pesan untuk Beno.

Rangga: Ben, besok gue bakal ketemu adik-adik gue.

Tidak lama kemudian, Beno membalas.

Beno: Hah? Maksud lo gimana? Bukannya mereka masih di desa?

Rangga: Gue jelasin nanti. Tapi intinya, seseorang bantu bawa mereka ke kota dan mau sekolahkan mereka di sini.

Beno: Serius, Ga? Siapa orangnya?

Rangga menatap layar ponselnya, lalu mengetik.

Rangga: Suami Sari.

Beno tidak langsung membalas, mungkin karena terkejut. Beberapa detik kemudian, pesannya muncul.

Beno: Gila… Lo sadar nggak sih kalau suami Sari itu orang berbahaya?

Rangga menghela napas.

Rangga: Iya, gue sadar. Tapi dia juga orang yang udah bantu gue dan adik-adik gue. Gue nggak tahu apa motifnya, tapi untuk sekarang, gue nggak punya alasan buat menolak bantuannya.

Beno: Gue ngerti. Tapi hati-hati, Ga. Dunia mereka bukan dunia kita.

Rangga tidak membalas pesan itu. Ia tahu, Beno benar. Alex dan Sari bukan orang biasa. Ia sudah melihat sendiri bagaimana pria-pria berbadan kekar berkeliaran di rumah ini, bagaimana Alex memegang kendali atas segala sesuatu dengan tatapan dan suaranya saja.

Tapi saat ini, Rangga tidak punya pilihan lain.

Ia menyimpan ponselnya dan merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Pikirannya melayang ke desa, membayangkan wajah adik-adiknya. Besok, ia akan bertemu mereka lagi.

Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia tidur dengan senyum kecil di wajahnya.

Keesokan harinya, setelah menyelesaikan tugasnya di kebun, seorang pria berbadan tegap menghampiri Rangga dan mengatakan bahwa Alex sudah menunggunya. Tanpa banyak bicara, Rangga mengikuti pria itu ke garasi tempat Alex sudah berdiri di samping sebuah mobil hitam mewah.

"Masuk," kata Alex singkat.

Rangga menurut dan duduk di kursi penumpang. Mesin mobil menyala, dan supir langsung membawa mereka keluar dari gerbang rumah yang tinggi.

Sepanjang perjalanan, Alex hanya diam. Rangga juga tidak banyak bicara. Ada sesuatu dalam keheningan pria itu yang membuatnya merasa bahwa Alex bukan orang yang suka basa-basi.

Setelah sekitar dua puluh menit berkendara, mereka tiba di sebuah rumah lain tidak semewah rumah utama Alex, tetapi tetap jauh lebih besar dari rumah biasa. Rumah itu dikelilingi pagar tinggi, dengan halaman yang luas dan taman kecil di bagian depan.

Begitu mobil berhenti, Rangga langsung membuka pintu dan turun.

Dari dalam rumah, dua sosok kecil berlari keluar.

"Kak Rangga!"

Rangga tersenyum lebar, lalu berjongkok dengan tangan terbuka. Kedua adiknya langsung memeluknya erat, membuat hatinya terasa penuh dengan kehangatan yang hampir ia lupakan sejak datang ke kota.

"Kalian baik-baik saja?" tanyanya sambil mengusap kepala mereka satu per satu.

Adiknya yang paling besar, Lia, mengangguk. "Iya, Kak. Kami baik-baik saja. Orang-orang di sini baik sama kami."

Adik bungsunya, Andi, menatapnya dengan mata berbinar. "Kakak sekarang tinggal di rumah besar, ya?"

Rangga tertawa kecil. "Bukan rumahku, tapi tempatku bekerja."

Saat itu, seorang wanita setengah baya keluar dari rumah, tersenyum ramah ke arah mereka.

"Anak-anak ini sudah seperti keluarga saya sendiri," katanya pada Rangga. "Saya ditugaskan menjaga mereka di sini."

Rangga berdiri dan menatap wanita itu dengan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Bu."

Wanita itu hanya tersenyum.

Di belakang, Alex menyaksikan semuanya dengan tangan di saku celana. Tatapannya tidak berubah dingin, tapi entah kenapa, tidak lagi terasa mengancam bagi Rangga.

Saat Rangga berbalik menatapnya, Alex hanya berkata, "Aku sudah mengatur sekolah untuk mereka. Mereka bisa mulai minggu depan."

Rangga terdiam sejenak, lalu membungkuk dalam-dalam. "Terima kasih, Pak. Saya benar-benar tidak tahu harus berkata apa."

Alex mendengus kecil. "Jangan berterima kasih dulu. Pastikan kau melakukan pekerjaanmu dengan benar."

Rangga mengangguk. Ia tahu ini bukan sekadar kebaikan tanpa alasan. Tapi satu hal yang pasti kesempatan ini adalah sesuatu yang tidak akan ia sia-siakan.

Hari ini, untuk pertama kalinya sejak datang ke kota, ia merasa bahwa mungkin hanya pak Alex yang bisa membangun masa depan yang lebih baik untuk dirinya dan adik-adiknya.

Setelah beberapa minggu bekerja sebagai tukang kebun di rumah Alex, Rangga mulai menyadari bahwa kehidupannya tidak akan berjalan biasa-biasa saja. Ia sering melihat pria-pria berbadan kekar keluar-masuk rumah, berbicara dengan Alex dengan nada serius, lalu pergi dengan ekspresi tegang.

Suatu malam, setelah menyelesaikan pekerjaannya, salah satu orang kepercayaan Alex memanggilnya.

"Bos ingin bertemu denganmu di tempat lain," katanya.

Rangga mengernyit. "Di mana?"

Pria itu tidak menjawab, hanya memberi isyarat agar Rangga mengikutinya. Tanpa banyak tanya, Rangga masuk ke mobil hitam yang sudah menunggu di depan rumah.

Perjalanan terasa panjang dan sunyi. Tidak ada yang berbicara di dalam mobil. Rangga hanya bisa menatap keluar jendela, memperhatikan jalan-jalan kota yang semakin sepi saat mereka masuk ke wilayah industri yang gelap dan terpencil.

Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah gudang besar dengan lambang kepala singa emas terpampang di pintunya. Beberapa pria bersenjata berjaga di luar, wajah mereka penuh kewaspadaan.

Seorang pria bertubuh besar membuka pintu mobil untuk Rangga.

"Ayo, masuk," katanya dengan nada tak terbantahkan.

Dengan hati-hati, Rangga melangkah ke dalam gudang. Begitu masuk, ia disambut oleh pemandangan yang membuatnya menelan ludah.

Di dalam, puluhan pria sedang berlatih. Ada yang menembak sasaran, ada yang bertarung satu lawan satu, dan ada yang merakit senjata. Bau minyak senjata bercampur keringat memenuhi udara.

Di tengah ruangan, berdiri Alex.

"Selamat datang di markas Singa Emas," katanya dengan suara dingin. "Mulai sekarang, kau akan menjalani pelatihan di sini."

Rangga menatap Alex dengan kaget. "Pelatihan? Maksudnya apa, Pak?"

Alex mendekat dan menepuk bahunya. "Aku melihat potensimu, Rangga. Kau bukan sekadar anak desa yang ingin mencari kerja. Kau punya keberanian, dan aku ingin melihat apakah kau bisa menjadi lebih dari sekadar tukang kebun."

Rangga menatap sekelilingnya. Para pria di sini bukan orang biasa. Mereka adalah bagian dari geng mafia paling ditakuti di kota ini, geng yang menguasai perdagangan narkoba dan senjata ilegal.

"Aku tidak memaksamu," lanjut Alex. "Tapi jika kau ingin bertahan di dunia ini, kau harus belajar. Dunia ini bukan untuk orang yang lemah."

Rangga menggenggam tangannya erat. Ia tahu, keputusannya malam ini akan mengubah hidupnya selamanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dunia yang Sempurna    panggilan tugas

    Rangga menutup teleponnya, wajahnya langsung berubah serius. "Ada apa?" tanya Tasya, melihat perubahan ekspresi Rangga. Rangga berdiri dari kursinya, mengencangkan jaketnya dan menatap Tasya dengan dingin. "Aku harus kembali ke kota. Ini perintah langsung dari ayahmu." Tasya terdiam. "Lalu, bagaimana denganku?" "Kau tetap di sini. Aku sudah mengatur pengawalanmu. Tidak akan ada yang bisa menyentuhmu." Tasya mendengus, menatapnya dengan ekspresi tidak senang. "Jadi, kau pergi begitu saja? Tanpa penjelasan?" Rangga menghela napas. Ia tidak bisa menjelaskan lebih jauh, terutama tentang urusan bisnis kotor yang melibatkan ayah Tasya. "Ini urusan penting, Tasya." "Semuanya selalu penting bagimu, kecuali aku." Kata-kata Tasya membuat Rangga terdiam sesaat. Namun, ia tidak bisa terjebak dalam emosi ini. "Aku akan kembali setelah urusanku selesai," kata Rangga akhirnya. "Percayalah, kau tetap aman." Tanpa menunggu jawaban Tasya, Rangga berbalik dan melangkah pergi. Di dalam hati

  • Dunia yang Sempurna    benang merah antara geng

    Di sebuah rumah mewah di pinggiran kota, Beno duduk di sebuah ruangan ber-AC dengan aroma kopi yang masih mengepul. Di hadapannya, seorang pria berjas putih dengan tato burung gagak di lehernya menatap tajam. Pria itu adalah Bayu, pemimpin Geng Gagak Putih. Bayu melemparkan sebuah amplop tebal ke atas meja. "Kerja bagus, Beno. Klien kita puas." Beno mengambil amplop itu dengan tenang, tapi pikirannya masih waspada. Geng Gagak Putih berbeda dari geng lain. Mereka tidak memiliki banyak anggota, tapi uang mereka mengalir deras. Tidak seperti Singa Emas yang fokus pada perdagangan senjata dan bisnis ilegal lainnya, Gagak Putih adalah otak di balik peredaran narkoba kelas atas. Bayu mengisap cerutunya sebelum berkata, "Ada sesuatu yang ingin kubahas denganmu." Beno menaikkan alisnya. "Apa itu?" Bayu bersandar ke kursinya. "Kau masih sering berhubungan dengan Rangga, bukan?" Beno tersentak, tapi ia segera menyembunyikan ekspresi terkejutnya. "Tentu, dia teman lamaku." Bayu menye

  • Dunia yang Sempurna    bayang bayang di balik penelitian

    Setelah beberapa menit berjalan menjauh dari desa, Rangga membawa Tasya ke sebuah warung kecil di pinggir jalan. Ia memastikan tidak ada yang mengikuti mereka sebelum akhirnya berhenti dan menatap Tasya serius. "Apa yang sebenarnya terjadi, Rangga?" Tasya bertanya dengan kesal. Rangga menarik napas dalam. "Ada seseorang yang mengawasi kita. Aku tidak bisa membiarkanmu dalam bahaya." Tasya mengernyit. "Mengawasi kita? Tapi ini hanya penelitian biasa!" Rangga tidak menjawab. Naluri pengawalnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Tiba-tiba, suara dering ponsel berbunyi. Nomor tidak dikenal. Rangga segera mengangkatnya. "Rangga," suara berat di seberang terdengar. "Siapa ini?" "Aku Anton. Aku orang kepercayaan Tuan Alex yang ditugaskan mengawasi kalian di Bali." Mata Rangga menyipit. "Kenapa aku tidak diberitahu sebelumnya?" "Karena ini perintah langsung dari Tuan Alex," jawab Anton tenang. "Kau mungkin pengawal pribadi Tasya, tapi aku harus memastikan bahwa kau tidak mel

  • Dunia yang Sempurna    tugas ke Bali

    Pagi itu, Rangga baru saja selesai berolahraga di halaman belakang rumah Alex ketika Tasya tiba-tiba menghampirinya. "Rangga, aku ada sesuatu yang ingin kubicarakan," ujar Tasya sambil menyilangkan tangannya di dada. Rangga menghentikan gerakannya, mengusap keringat di lehernya dengan handuk kecil. "Apa itu, Nona?" Tasya mengerucutkan bibirnya, tampak tidak suka dipanggil begitu. "Jangan panggil aku Nona, itu terdengar kaku. Panggil saja Tasya." Rangga sedikit tersenyum. "Baiklah, Tasya. Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" Tasya menarik napas dalam. "Tugas studiku." "Tugas studi?" "Ya. Untuk mata kuliahku, aku harus melakukan penelitian budaya langsung. Dan kali ini aku mendapat tugas ke Bali untuk mengamati keberagaman budaya di sana." Rangga mengangkat alis. "Bali?" Tasya mengangguk. "Ya. Dan ayah sudah menunjukmu sebagai pendampingku selama di sana." Rangga terdiam sejenak. Ia tidak menyangka Alex akan mempercayakan tugas sebesar ini kepadanya. "Jadi... aku harus ikut d

  • Dunia yang Sempurna    wajah lain beno

    Di sudut lain kota, Beno duduk santai di sebuah rumah sederhana yang tampak kumuh. Matanya tajam, tak lagi terlihat seperti mahasiswa ceroboh dan periang seperti yang Rangga kenal. Di hadapannya, tiga pria dengan tatapan penuh hormat menunggu instruksi. Salah satu dari mereka menyerahkan sebuah tas hitam kepada Beno. “Semua barangnya sudah siap, Bos.” Beno membuka tas itu, mengecek bungkusan-bungkusan plastik kecil berisi serbuk putih. Ia menyentuhnya sedikit, lalu mengangguk puas. “Bagus.” Ia menutup tas itu dan menyerahkannya kepada pria di sampingnya. “Sebarkan sesuai rencana. Jangan tinggalkan jejak.” Pria itu mengangguk cepat. “Siap, Bos.” Beno menghela napas, lalu bersandar di kursinya. Siapa sangka, mahasiswa yang selama ini dianggap culun itu justru menjadi bagian dari jaringan peredaran narkoba di kota ini? Seorang pria lain, yang tampaknya lebih senior, mendekat dan berbicara dengan suara pelan. “Bagaimana dengan Rangga? Apa dia masih mencurigai sesuatu?” Beno menye

  • Dunia yang Sempurna    kedatangan tuan putri

    Sebuah mobil mewah meluncur memasuki halaman luas rumah Tuan Alex. Malam itu, suasana terasa lebih hidup dari biasanya. Para penjaga berdiri lebih waspada, sementara Sari tampak sibuk mengatur sesuatu di dalam rumah. Di teras, Alex berdiri dengan kedua tangan di belakang punggungnya, menunggu dengan ekspresi datar seperti biasa. Namun, jika diperhatikan lebih saksama, ada sedikit perubahan dalam sorot matanya. Rangga, yang baru saja kembali dari tugas bersama Rio, berdiri tak jauh dari sana. Ia melihat bagaimana pria itu, yang biasanya dingin dan tanpa ekspresi, kini tampak sedikit lebih… manusiawi. Pintu mobil terbuka, dan seorang wanita muda melangkah keluar dengan anggun. Tasya, putri semata wayang Alex dan Sari, akhirnya pulang setelah sekian lama berkuliah di luar negeri. Rambut panjangnya tergerai, matanya tajam seperti ayahnya, tetapi ada kelembutan di sana, warisan dari ibunya. Ia mengenakan setelan kasual yang tetap terlihat berkelas, dengan tas selempang kecil menggantun

  • Dunia yang Sempurna    wajah yang sebenarnya

    Di sudut sebuah kampung di tengah kota, suasana malam terasa tenang. Lampu-lampu jalanan redup, hanya menyisakan remang-remang di gang sempit yang dipenuhi tembok dengan coretan liar. Seorang pria berjaket hitam, dengan topi menutupi sebagian wajahnya, berdiri di sudut gang. Tangannya bermain-main dengan sebuah bungkus kecil berisi bubuk putih. Dari kejauhan, seorang pemuda berkacamata dengan jaket hoodie mendekat dengan langkah santai. "Kau tepat waktu," suara pria berjaket hitam terdengar dalam nada rendah. Pemuda berkacamata itu menyeringai. "Kau pikir aku mahasiswa yang suka telat?" Pria itu terdiam, lalu menyerahkan bungkusan kecil. "Barangnya murni, tidak ada campuran. Seperti biasa, bayar di muka." Pemuda berkacamata itu mengeluarkan sejumlah uang tunai dari sakunya dan menyerahkannya. Setelah memastikan uangnya sesuai, pria berjaket hitam mengangguk. "Bagus. Kau selalu jadi pelanggan yang rapi." Pemuda berkacamata itu tersenyum kecil, lalu menyimpan bungkusan kecil itu

  • Dunia yang Sempurna    kekuatan dan pengkhianatan

    Empat bulan telah berlalu sejak Rangga pertama kali menginjakkan kaki di dunia kejahatan ini. Kini, ia bukan lagi anak desa yang kebingungan di kota besar—ia telah menjadi ketua kelompok di bawah komando Tuan Alex, berdampingan dengan Rio.Semua tugas yang diberikan kepadanya selalu diselesaikan dengan sempurna. Entah itu pengiriman senjata, transaksi narkoba, atau menyingkirkan musuh, Rangga selalu memastikan bahwa tidak ada kesalahan yang dibuat.Namun, semakin tinggi posisinya, semakin besar pula ancaman yang datang.MISI DI PERBATASAN KOTAMalam itu, Rangga dan Rio memimpin kelompoknya untuk mengamankan pengiriman senjata ke luar kota. Mereka bertemu dengan pemasok di sebuah gudang tua di pinggiran kota.Semua berjalan lancar—koper berisi uang telah diserahkan, dan peti-peti senjata mulai dipindahkan ke truk.Namun, sesuatu terasa janggal.Rio, yang berdiri di sampingnya, berbisik, "Ada yang tidak beres. Aku merasa kita diawasi."Rangga mengamati sekeliling dengan tatapan tajam. S

  • Dunia yang Sempurna    langkah semakin dalam

    Pagi itu, Rangga bangun lebih awal dari biasanya. Meski tubuhnya masih terasa nyeri akibat pertarungan semalam, ia memaksakan diri untuk bangkit dan bersiap.Saat ia turun ke ruang makan, suasana rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya ada beberapa pelayan yang berlalu lalang, sementara Alex belum terlihat.Namun, Sari sudah duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tangannya. Saat melihat Rangga, ia tersenyum tipis."Bagaimana lukamu?" tanyanya."Sudah lebih baik, Bu.. maksud saya, Sari," jawab Rangga dengan sedikit canggung.Sari mengangguk dan mendorong satu piring roti panggang ke arahnya. "Makanlah. Kau akan butuh energi untuk hari ini."Rangga tak menolak. Ia duduk dan mulai makan dalam diam, merasa bahwa Sari ingin mengatakan sesuatu.Benar saja, setelah beberapa saat, wanita itu membuka suara. "Aku tidak tahu apakah aku seharusnya mengatakan ini… tapi kau mengingatkanku pada anakku."Rangga terkejut. "Anakmu?"Sari mengangguk, matanya menerawang. "Ya. Dia seumuran den

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status