공유

Bab 2

last update 최신 업데이트: 2025-01-04 00:32:40

Setelah Elyse memberikan kabar buruk tentang pencarian pengkhianat oleh kerajaan, Rainer terdiam sejenak. Wajahnya yang biasanya penuh dengan rasa ingin tahu kini terlihat serius. Pengkhianatan. Itu adalah kata yang sudah sering ia dengar, tapi kali ini, itu bukan hanya kata-kata kosong dalam politik. Ini adalah kenyataan yang akan memengaruhi hidupnya.

Elyse tampak gelisah, matanya yang lembut penuh dengan kecemasan. "Kau pasti tahu apa artinya itu, bukan? Jika mereka menganggap seseorang berbahaya, mereka tidak akan ragu untuk menindak tanpa ampun."

Rainer mengangguk perlahan. Dalam hidup sebelumnya, ia telah menyaksikan bagaimana kekuasaan bisa menghancurkan siapa saja yang dianggap ancaman. Namun, situasi kali ini berbeda. Ia kini bukan lagi seorang jenius yang memegang kekuasaan, tetapi seseorang yang terlahir kembali dalam dunia yang penuh dengan ketidakadilan dan sistem kasta yang membatasi.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Rainer, suara tenang meskipun pikirannya sedang berputar cepat. Ia tahu bahwa hidupnya di desa ini, meskipun sederhana, akan terganggu jika kerajaan benar-benar datang mencari orang-orang yang mereka anggap berbahaya.

"Kita harus berhati-hati," jawab Elyse, suaranya semakin lemah. "Mereka sudah mulai menguatkan penjagaan di sekitar desa. Ayahku, dia tidak akan bisa melindungi kita jika sesuatu terjadi. Aku khawatir mereka akan datang lebih cepat daripada yang kita kira."

Rainer memutar otaknya. Dengan pengetahuannya tentang strategi dan analisis taktis, ia tahu bahwa jika kerajaan benar-benar berfokus pada memburu ancaman, mereka akan datang dalam waktu singkat. Waktu yang sangat singkat. Tapi, ini juga kesempatan untuk melawan—meski itu tampak mustahil.

"Mungkin kita bisa menggunakan ini untuk keuntungan kita," ujar Rainer dengan tenang, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Jika kerajaan mencari pengkhianat, maka mereka pasti memantau orang-orang yang berpotensi menjadi ancaman. Ini kesempatan untuk menilai siapa yang bisa kita percayai dan siapa yang berbahaya."

Elyse menatapnya dengan mata penuh ketidakpercayaan. "Apa maksudmu? Kita harus melawan mereka?"

Rainer menggelengkan kepala, matanya menyala dengan perhitungan. "Tidak langsung. Tapi kita harus tahu siapa yang berkuasa di balik layar, siapa yang memanipulasi situasi ini. Kita butuh lebih banyak informasi."

Elyse masih ragu. "Tapi jika mereka menemukanmu, mereka akan..."

"Saya tahu risikonya," potong Rainer. "Tapi kita tidak bisa bersembunyi selamanya. Jika kita ingin mengubah dunia ini, kita harus siap menghadapi kenyataan. Dunia ini tidak akan berubah dengan diam saja."

Elyse menghela napas panjang, akhirnya mengangguk. "Aku mengerti. Tapi kita harus berhati-hati."

Pada malam hari, setelah mereka berbicara, Rainer memutuskan untuk keluar dari rumah sementara desa tidur. Hati-hati, ia melangkah menuju hutan di luar desa. Tempat yang jauh dari keramaian, tempat di mana ia bisa berpikir lebih jernih.

Di bawah cahaya bulan yang lembut, Rainer berlari menembus hutan, menenangkan pikirannya. Di sinilah, di dunia baru yang penuh dengan sihir dan intrik ini, ia merasa harus memulai langkah pertama. Apa yang bisa ia lakukan untuk mengubah takdirnya, takdir yang dipenuhi dengan ketidakadilan?

Sesampainya di tengah hutan, Rainer duduk di atas batu besar, memandang bintang yang bersinar di langit malam. Dunia ini begitu berbeda—di dunia lamanya, ia adalah seorang jenius yang dihormati, meskipun hidupnya penuh dengan kesendirian. Sekarang, ia terlahir kembali di dunia yang penuh dengan sihir, tetapi ia tak memiliki apapun. Tak ada kekayaan, tak ada pengaruh, hanya kecerdasannya yang kini bisa ia andalkan.

Tiba-tiba, ia mendengar suara di belakangnya. Dengan gesit, Rainer berdiri dan meraih pisau kecil yang ia bawa. Namun, suara yang muncul bukanlah ancaman. Seorang pria tua berdiri di hadapannya, mengenakan jubah panjang dan membawa tongkat kayu yang tampaknya telah digunakan selama bertahun-tahun. Wajahnya penuh kerutan, namun matanya tajam dan penuh kebijaksanaan.

"Kau terlihat cemas, anak muda," kata pria itu dengan suara dalam. "Apa yang mengganggumu di tengah malam seperti ini?"

Rainer menurunkan pisau dengan hati-hati, meskipun waspada. "Siapa Anda?" tanyanya, mencoba memastikan apakah pria ini teman atau musuh.

"Nama saya Alaric," jawab pria itu sambil tersenyum tipis. "Saya seorang penyihir. Sepertinya tak banyak orang yang mengenal saya di desa ini."

Rainer memandangi pria itu dengan cermat. "Seorang penyihir?" bisiknya. "Apa yang Anda inginkan dari saya?"

Alaric tertawa pelan, tidak merasa terancam. "Saya tidak menginginkan apapun darimu, anak muda. Tapi saya merasa kita punya banyak kesamaan. Kecerdasanmu, meskipun kau mencoba menyembunyikannya, menarik perhatian saya. Dunia ini membutuhkan orang-orang sepertimu."

Rainer terkejut. "Apa maksud Anda?"

Alaric mendekat, suara rendah dan misterius. "Kau tahu, dunia ini penuh dengan sihir, tapi juga penuh dengan ketidakadilan. Kerajaan ini menguasai segalanya—bukan hanya dengan kekuatan militer, tetapi dengan cara mereka mengendalikan sihir itu sendiri. Mereka tahu bahwa orang dengan kecerdasan luar biasa bisa menjadi ancaman bagi mereka."

Rainer menatap Alaric dengan tajam. "Jadi, Anda juga melawan kerajaan?"

"Sebagai seorang penyihir, saya selalu berada di luar perhatian mereka. Tapi saya melihat sesuatu dalam dirimu—sesuatu yang bisa mengubah dunia ini. Kau bisa menjadi kunci untuk menggulingkan mereka."

Rainer merasa ada beban besar yang kini menekan dirinya. Di satu sisi, ia ingin bertindak, melawan ketidakadilan yang ada. Namun, di sisi lain, ia tahu betapa berbahayanya hal itu. Apakah ia siap untuk menghadapi dunia yang penuh dengan sihir dan kekuasaan yang lebih besar dari dirinya?

Alaric tersenyum tipis, seolah membaca keraguan di dalam diri Rainer. "Ini bukan keputusan yang mudah, anak muda. Tapi jika kau memilih untuk bertindak, kau harus siap dengan konsekuensinya. Karena kekuatan yang akan kau hadapi tak hanya bisa dihentikan dengan kecerdasan semata. Sihir, taktik, dan kekuatan militer—semuanya akan berperan."

Rainer menghela napas panjang. Ia tahu bahwa perjalanannya baru saja dimulai, dan apapun yang akan terjadi, ia harus siap untuk menghadapinya.

"Jika ini jalannya," jawabnya akhirnya, "Saya akan melawan. Saya tidak bisa membiarkan ketidakadilan ini berlanjut."

Di malam yang tenang itu, di bawah cahaya bintang yang redup, Rainer akhirnya memutuskan untuk menghadapi dunia ini dengan segala kekuatan dan kecerdasannya.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Dunia yang Terlupakan: Jalan Sang Jenius   Bab 181

    Kilatan cahaya menyelimuti seluruh ruang dalam Menara Caelus. Cahaya dari Prisma Keempat memancar, menyatu dengan tiga fragmen sebelumnya yang telah Rainer kumpulkan. Suara bisikan kuno membahana, menyampaikan pesan yang tak dapat ditangkap oleh telinga biasa—melainkan oleh jiwa yang bersedia menerima kebenaran seutuhnya.Rainer berdiri di tengah pusaran cahaya itu, matanya terbuka lebar, menyerap seluruh memori dan kebenaran yang tersimpan selama ribuan tahun. Sosok Aeron, bayangan dari masa lalu, perlahan menghilang—senyumnya pudar, meninggalkan beban yang tak kasat mata.Elyse mendekat, wajahnya penuh kecemasan. “Apa yang kau lihat?”Rainer tidak langsung menjawab. Tangannya gemetar. Di matanya tergambar peperangan yang belum pernah diceritakan, pengkhianatan oleh mereka yang dicatat sebagai pahlawan, dan dunia yang dibentuk bukan dari harapan, melainkan dari ketakutan para pendiri.“Aku melihat... dunia yang kita kenal bukan hasil dari kebijaksanaan. Tapi hasil dari keputusan terb

  • Dunia yang Terlupakan: Jalan Sang Jenius   Bab 180

    Angin dingin dari utara membawa kabar buruk.Pagi itu, Rainer berdiri di atas puncak benteng pengamatan, memandangi pusaran cahaya yang membelah langit dari kejauhan. Fenomena itu muncul mendadak—tidak satu pun dari alat-alat sihir mereka bisa mendeteksi energi semacam itu sebelumnya. Tapi satu hal jelas: titik pusatnya adalah Menara Caelus, struktur kuno dari Zaman Awal yang selama ini hanya dianggap reruntuhan tak berfungsi.Kini, menara itu bersinar. Hidup kembali.“Menara keempat telah bangkit,” gumam Rainer.Di belakangnya, Elyse datang membawa gulungan tua yang diambil dari arsip Perpustakaan Tengah. “Ada yang menarik,” katanya sambil membuka gulungan di meja observasi. “Menurut peta zaman kuno, Menara Caelus bukan hanya tempat sihir—melainkan tempat penyimpanan memori dunia.”Rainer menoleh, alisnya terangkat. “Memori dunia?”Elyse mengangguk. “Sesuatu yang disebut ‘Rekam Astral’. Sebuah sistem penyimpanan sihir yang bisa merekam kejadian dan pengetahuan dari masa lalu. Jika be

  • Dunia yang Terlupakan: Jalan Sang Jenius   Bab 179

    Dunia berubah, tapi perubahan sejati tidak pernah datang tanpa konsekuensi.Sepekan setelah kepulangan Rainer dari Perpustakaan Tengah, gelombang informasi mulai merembes ke setiap pelosok kerajaan. Terjemahan parsial Simfoni Tertinggal telah disalin dan disebarkan ke berbagai sekolah sihir rakyat dan tempat-tempat belajar kecil yang tersembunyi di balik bayang-bayang kota besar.Di awalnya, banyak yang menertawakan dokumen itu. Mereka menyebutnya propaganda seorang anak dari kasta rendah yang menginginkan kekuasaan melalui pengetahuan. Namun semakin banyak yang membaca, semakin banyak pula yang mulai bertanya-tanya.“Kalau sihir bukan bakat keturunan, mengapa kami tidak bisa mempelajarinya?”“Kenapa hanya keluarga bangsawan yang punya akses ke sekolah sihir tingkat tinggi?”Pertanyaan-pertanyaan itu menyebar lebih cepat daripada yang diperkirakan siapa pun.Dan dari balik dinding istana, para bangsawan mulai merasakan tekanan.Di ruang utama Dewan Tertinggi Bangsawan, sebuah pertemua

  • Dunia yang Terlupakan: Jalan Sang Jenius   Bab 178

    Hujan turun pelan di atas atap markas, membasahi kaca jendela tempat Rainer bersandar. Di tangan kirinya, liontin yang memuat tiga fragmen kini berpendar aneh—perpaduan antara cahaya dan kegelapan, seolah dua kekuatan bertentangan sedang saling menekan, mencari bentuk akhir dari sebuah kebenaran.Elyse melangkah masuk tanpa suara, membawa dua cangkir teh. Ia menyerahkan satu pada Rainer sebelum ikut bersandar di sisi jendela. Diam.“Apa kau pernah merasa,” kata Elyse akhirnya, “bahwa dunia ini... lebih tua dari yang kita tahu?”Rainer tersenyum kecil. “Tidak hanya lebih tua. Tapi juga lebih terluka.”Ia mengangkat liontin. “Setiap fragmen membawa ingatan. Yang pertama memberi petunjuk tentang asal usul sistem kasta. Yang kedua memperlihatkan eksperimen sihir terhadap manusia biasa. Tapi yang ketiga...”“...membawa kehampaan,” sambung Elyse pelan. “Aku merasakannya saat kita berada di altar itu.”“Dan lebih dari itu.” Rainer berbalik, berjalan ke meja penuh dokumen. Ia mengambil satu g

  • Dunia yang Terlupakan: Jalan Sang Jenius   Bab 177

    Langit malam menyelimuti dunia dengan kelam yang lebih pekat dari biasanya. Di luar ibu kota, jauh dari mata para penguasa dan rakyat biasa, Menara Bayangan berdiri di atas bukit batu yang tandus, dikelilingi reruntuhan peradaban lama yang telah lama dilupakan. Di dalam menara itu, sihir lama—sihir yang bahkan tidak dikenali oleh Akademi Sihir Pusat—masih hidup.Di tengah lingkaran sihir yang berpendar redup, pria berjubah ungu tua itu membuka matanya. Mereka bersinar hijau pucat, bukan karena sihir, tapi karena kekosongan yang menghuni raganya. Ia bukan lagi manusia biasa. Namanya telah lama dihapus dari sejarah, digantikan dengan satu julukan: Nihros, sang Pemelihara Kekosongan.“Fragmen ketiga telah terbangun,” gumam Nihros. Suaranya nyaris seperti bisikan di antara celah kenyataan. “Dan si bocah itu... mulai mengganggu alur.”Di sekelilingnya, entitas-entitas tak bernama—makhluk yang dulunya manusia, tapi telah dirusak oleh sihir gelap dari

  • Dunia yang Terlupakan: Jalan Sang Jenius   Bab 176

    Ruangan Majelis Tertinggi tidak seperti aula biasa di kerajaan—ia tidak hanya dibangun dari marmer dan batu mulia, tapi dari keheningan yang dalam dan rasa takut yang menggantung. Di tempat inilah hukum kerajaan diciptakan, strategi perang dirancang, dan takdir rakyat ditentukan.Pagi itu, ratusan kursi di tribun atas dipenuhi para bangsawan, penyihir agung, akademisi, dan bahkan utusan luar negeri. Mereka semua datang karena undangan langka: seseorang dari kalangan bawah, tanpa darah bangsawan, tanpa gelar, akan berbicara di hadapan Majelis.Rainer berdiri di tengah podium, mengenakan jubah hitam dengan garis emas yang dirancang Elyse dan para pendukungnya—sebuah simbol antara perlawanan dan martabat. Di belakangnya, Elyse berdiri tegak, mata tajamnya menyapu ruangan.Suara bel logam berdentang tiga kali, menandakan awal sesi. Di kursi utama, High Consul Avarel—pemimpin tertinggi Majelis—mengangguk ke arah Rainer.“Rainer dari distrik bawah, pemegang fra

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status