Rainer duduk kembali di batu besar itu, memandang ke langit yang perlahan mulai gelap. Angin malam menerpa wajahnya, membawa wangi tanah dan pohon yang lembab setelah hujan ringan. Dunia baru ini terasa asing, namun ada sesuatu yang membuatnya merasa seolah ia baru saja memulai perjalanan besar. Sebuah perjalanan yang penuh ketidakpastian, dan meskipun ia seorang jenius, kali ini, itu tidak menjamin segalanya akan mudah.
"Jika hanya aku memiliki kekuatan untuk mengubahnya," gumam Rainer, lebih pada dirinya sendiri. "Tapi apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan kekuatan itu?"
Hatinya bergejolak dengan pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya. Rainer menyadari bahwa, meskipun dirinya telah diberikan kehidupan kedua, ia masih berada di tengah dunia yang penuh dengan keajaiban yang tidak ia pahami sepenuhnya. Sihir, takdir, politik—semua itu hanyalah bagian dari teka-teki besar yang belum ia pecahkan.
Ketika ia mulai menutup matanya dan mencoba merasakan atmosfer dunia baru ini, ia mendengar langkah kaki mendekat. Ada seseorang yang datang ke arahnya. Rainer, yang sudah terbiasa waspada, segera mempersiapkan diri, meskipun tidak ingin terlihat mencurigakan. Dalam dunia ini, seseorang yang terlalu terlihat mencolok bisa saja menjadi sasaran perhatian yang tidak diinginkan.
Namun, suara itu bukan suara langkah prajurit atau musuh. Itu suara seorang wanita. Suara Elyse.
Rainer membalikkan tubuh dan melihat Elyse berdiri di ambang cahaya bulan, matanya penuh tekad. "Rainer," katanya, suaranya lembut namun tegas. "Aku tahu kau sedang berjuang dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi kita harus segera bertindak. Mereka sudah mulai mencurigai kita."
Elyse bergerak lebih dekat, langkahnya lembut namun pasti. Wajahnya tampak lebih serius dari biasanya. Rainer merasa bahwa, meskipun Elyse adalah seorang gadis muda dari kalangan biasa, dia sudah lebih matang dari kebanyakan orang yang pernah ia temui di kehidupan lamanya.
"Apa maksudmu? Siapa yang mulai mencurigai kita?" tanya Rainer, berusaha menyembunyikan perasaan cemas di balik nada suaranya yang tenang.
"Kerajaan," jawab Elyse dengan tegas. "Mereka mengirimkan lebih banyak prajurit ke sekitar desa. Mereka mencari orang-orang yang berpotensi menjadi ancaman. Dan aku takut kita sudah menjadi target."
Rainer menyadari bahwa apa yang dikatakan Elyse adalah kenyataan yang tak bisa dihindari. Kerajaan ini, meskipun tampaknya kuat dan berkuasa, sangat waspada terhadap potensi ancaman dari luar—terutama dari kalangan rakyat biasa yang dianggap tidak berdaya. Namun, dalam dunia yang penuh dengan sihir ini, siapa pun bisa berubah menjadi ancaman jika mereka memiliki kekuatan yang tidak terlihat.
Elyse melangkah lebih dekat, duduk di samping Rainer di atas batu besar itu. "Kita tidak punya banyak waktu," katanya. "Aku tahu kau punya banyak hal yang ingin dipelajari tentang dunia ini. Tapi kita harus fokus pada yang lebih mendesak sekarang—survival. Kita harus tahu siapa yang bisa kita percayai."
Rainer menatap langit, seolah mencoba mencari jawaban di antara bintang-bintang. "Aku tahu. Kita harus bergerak cepat. Tapi kita juga harus bijaksana. Setiap langkah kita akan memengaruhi seluruh takdir kita."
Elyse mengangguk, tetapi ada kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Dan jika kita gagal?"
Rainer menatapnya, matanya penuh keyakinan. "Kita tidak akan gagal. Kita akan mencari cara. Aku punya banyak ide. Kita hanya perlu bekerja sama."
"Berarti kita akan melawan?" tanya Elyse, ragu-ragu.
"Melawan?" Rainer mengulang kata itu dalam hati, mencoba merasakannya. "Bukan melawan secara langsung, tetapi kita harus memanfaatkan kecerdasan kita. Kita harus membuat mereka tidak tahu apa yang sedang kita rencanakan."
Elyse tampak sedikit lebih tenang, meskipun ketegangan di udara tidak bisa dipungkiri. "Bagaimana caranya?"
Rainer menarik napas dalam-dalam dan mulai menjelaskan rencananya dengan hati-hati, mencoba memberikan gambaran tentang langkah-langkah yang akan mereka ambil. "Kita harus mendapatkan informasi. Mereka mengawasi kita, itu pasti. Tapi kita juga bisa memanfaatkan itu. Kita harus tahu siapa yang terlibat dalam permainan ini, siapa yang mendukung kerajaan, dan siapa yang melawan."
Elyse mengangguk, meskipun raut wajahnya tetap khawatir. "Tapi bagaimana kita bisa tahu siapa yang bisa dipercaya? Kita berasal dari kalangan biasa. Mereka akan meremehkan kita."
"Itulah sebabnya kita harus berhati-hati," jawab Rainer dengan tegas. "Setiap gerakan kita harus terencana dengan baik. Kita tidak bisa bertindak terburu-buru."
Di tengah pembicaraan mereka, Rainer merasa ada yang mengganjal dalam dirinya. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar ancaman dari kerajaan. Dunia ini penuh dengan sihir, dan jika ia ingin bertahan hidup dan meraih perubahan, ia harus belajar mengendalikan kekuatan ini. Namun, bagaimana cara melakukannya jika ia sendiri tidak mengerti cara kerja sihir di dunia ini?
"Elyse," katanya setelah beberapa saat, menatap gadis itu dengan serius. "Ada hal yang harus aku pelajari di dunia ini. Sesuatu yang bisa membantu kita. Sihir."
Elyse menoleh dengan sedikit kebingungan. "Sihir?"
Rainer mengangguk, matanya berkilat dengan keyakinan. "Aku tahu banyak tentang strategi dan perhitungan, tapi untuk bertahan hidup di sini, kita juga harus mengerti sihir. Dan aku rasa, di tempat ini, sihir bisa menjadi kunci untuk kita meraih kekuatan yang kita butuhkan."
Elyse terdiam sejenak, mencoba memahami apa yang dikatakan Rainer. "Tapi kau... kau bukan seorang penyihir. Apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan belajar," jawab Rainer dengan penuh tekad. "Dunia ini penuh dengan misteri. Tapi aku tahu satu hal: jika aku bisa menguasai sihir, itu akan memberi kita keuntungan besar."
Pada saat itu, suara langkah kaki kembali terdengar, kali ini lebih banyak. Rainer dan Elyse segera terdiam, saling bertukar pandang. Mereka harus berhati-hati. Kerajaan mungkin tidak akan mengampuni siapa pun yang melawan mereka.
"Sepertinya kita harus berpisah dulu," bisik Rainer. "Kita akan bertemu lagi di tempat yang lebih aman. Ingat, kita harus tetap waspada."
Elyse mengangguk, kemudian berbalik dan berjalan cepat menuju hutan yang lebih dalam. Rainer menatap ke arah yang berlawanan, menuju tempat di mana ia tahu ia bisa menyembunyikan dirinya sejenak. Ia harus mempersiapkan langkah selanjutnya.
Di dunia ini, kecerdasan dan strategi adalah senjata utamanya. Namun, untuk menghadapi kerajaan dan sihir yang mengelilinginya, Rainer tahu ia harus mempelajari lebih banyak lagi. Dan setiap langkah yang ia ambil, setiap keputusan yang ia buat, akan memengaruhi nasib mereka semua.
Kilatan cahaya menyelimuti seluruh ruang dalam Menara Caelus. Cahaya dari Prisma Keempat memancar, menyatu dengan tiga fragmen sebelumnya yang telah Rainer kumpulkan. Suara bisikan kuno membahana, menyampaikan pesan yang tak dapat ditangkap oleh telinga biasa—melainkan oleh jiwa yang bersedia menerima kebenaran seutuhnya.Rainer berdiri di tengah pusaran cahaya itu, matanya terbuka lebar, menyerap seluruh memori dan kebenaran yang tersimpan selama ribuan tahun. Sosok Aeron, bayangan dari masa lalu, perlahan menghilang—senyumnya pudar, meninggalkan beban yang tak kasat mata.Elyse mendekat, wajahnya penuh kecemasan. “Apa yang kau lihat?”Rainer tidak langsung menjawab. Tangannya gemetar. Di matanya tergambar peperangan yang belum pernah diceritakan, pengkhianatan oleh mereka yang dicatat sebagai pahlawan, dan dunia yang dibentuk bukan dari harapan, melainkan dari ketakutan para pendiri.“Aku melihat... dunia yang kita kenal bukan hasil dari kebijaksanaan. Tapi hasil dari keputusan terb
Angin dingin dari utara membawa kabar buruk.Pagi itu, Rainer berdiri di atas puncak benteng pengamatan, memandangi pusaran cahaya yang membelah langit dari kejauhan. Fenomena itu muncul mendadak—tidak satu pun dari alat-alat sihir mereka bisa mendeteksi energi semacam itu sebelumnya. Tapi satu hal jelas: titik pusatnya adalah Menara Caelus, struktur kuno dari Zaman Awal yang selama ini hanya dianggap reruntuhan tak berfungsi.Kini, menara itu bersinar. Hidup kembali.“Menara keempat telah bangkit,” gumam Rainer.Di belakangnya, Elyse datang membawa gulungan tua yang diambil dari arsip Perpustakaan Tengah. “Ada yang menarik,” katanya sambil membuka gulungan di meja observasi. “Menurut peta zaman kuno, Menara Caelus bukan hanya tempat sihir—melainkan tempat penyimpanan memori dunia.”Rainer menoleh, alisnya terangkat. “Memori dunia?”Elyse mengangguk. “Sesuatu yang disebut ‘Rekam Astral’. Sebuah sistem penyimpanan sihir yang bisa merekam kejadian dan pengetahuan dari masa lalu. Jika be
Dunia berubah, tapi perubahan sejati tidak pernah datang tanpa konsekuensi.Sepekan setelah kepulangan Rainer dari Perpustakaan Tengah, gelombang informasi mulai merembes ke setiap pelosok kerajaan. Terjemahan parsial Simfoni Tertinggal telah disalin dan disebarkan ke berbagai sekolah sihir rakyat dan tempat-tempat belajar kecil yang tersembunyi di balik bayang-bayang kota besar.Di awalnya, banyak yang menertawakan dokumen itu. Mereka menyebutnya propaganda seorang anak dari kasta rendah yang menginginkan kekuasaan melalui pengetahuan. Namun semakin banyak yang membaca, semakin banyak pula yang mulai bertanya-tanya.“Kalau sihir bukan bakat keturunan, mengapa kami tidak bisa mempelajarinya?”“Kenapa hanya keluarga bangsawan yang punya akses ke sekolah sihir tingkat tinggi?”Pertanyaan-pertanyaan itu menyebar lebih cepat daripada yang diperkirakan siapa pun.Dan dari balik dinding istana, para bangsawan mulai merasakan tekanan.Di ruang utama Dewan Tertinggi Bangsawan, sebuah pertemua
Hujan turun pelan di atas atap markas, membasahi kaca jendela tempat Rainer bersandar. Di tangan kirinya, liontin yang memuat tiga fragmen kini berpendar aneh—perpaduan antara cahaya dan kegelapan, seolah dua kekuatan bertentangan sedang saling menekan, mencari bentuk akhir dari sebuah kebenaran.Elyse melangkah masuk tanpa suara, membawa dua cangkir teh. Ia menyerahkan satu pada Rainer sebelum ikut bersandar di sisi jendela. Diam.“Apa kau pernah merasa,” kata Elyse akhirnya, “bahwa dunia ini... lebih tua dari yang kita tahu?”Rainer tersenyum kecil. “Tidak hanya lebih tua. Tapi juga lebih terluka.”Ia mengangkat liontin. “Setiap fragmen membawa ingatan. Yang pertama memberi petunjuk tentang asal usul sistem kasta. Yang kedua memperlihatkan eksperimen sihir terhadap manusia biasa. Tapi yang ketiga...”“...membawa kehampaan,” sambung Elyse pelan. “Aku merasakannya saat kita berada di altar itu.”“Dan lebih dari itu.” Rainer berbalik, berjalan ke meja penuh dokumen. Ia mengambil satu g
Langit malam menyelimuti dunia dengan kelam yang lebih pekat dari biasanya. Di luar ibu kota, jauh dari mata para penguasa dan rakyat biasa, Menara Bayangan berdiri di atas bukit batu yang tandus, dikelilingi reruntuhan peradaban lama yang telah lama dilupakan. Di dalam menara itu, sihir lama—sihir yang bahkan tidak dikenali oleh Akademi Sihir Pusat—masih hidup.Di tengah lingkaran sihir yang berpendar redup, pria berjubah ungu tua itu membuka matanya. Mereka bersinar hijau pucat, bukan karena sihir, tapi karena kekosongan yang menghuni raganya. Ia bukan lagi manusia biasa. Namanya telah lama dihapus dari sejarah, digantikan dengan satu julukan: Nihros, sang Pemelihara Kekosongan.“Fragmen ketiga telah terbangun,” gumam Nihros. Suaranya nyaris seperti bisikan di antara celah kenyataan. “Dan si bocah itu... mulai mengganggu alur.”Di sekelilingnya, entitas-entitas tak bernama—makhluk yang dulunya manusia, tapi telah dirusak oleh sihir gelap dari
Ruangan Majelis Tertinggi tidak seperti aula biasa di kerajaan—ia tidak hanya dibangun dari marmer dan batu mulia, tapi dari keheningan yang dalam dan rasa takut yang menggantung. Di tempat inilah hukum kerajaan diciptakan, strategi perang dirancang, dan takdir rakyat ditentukan.Pagi itu, ratusan kursi di tribun atas dipenuhi para bangsawan, penyihir agung, akademisi, dan bahkan utusan luar negeri. Mereka semua datang karena undangan langka: seseorang dari kalangan bawah, tanpa darah bangsawan, tanpa gelar, akan berbicara di hadapan Majelis.Rainer berdiri di tengah podium, mengenakan jubah hitam dengan garis emas yang dirancang Elyse dan para pendukungnya—sebuah simbol antara perlawanan dan martabat. Di belakangnya, Elyse berdiri tegak, mata tajamnya menyapu ruangan.Suara bel logam berdentang tiga kali, menandakan awal sesi. Di kursi utama, High Consul Avarel—pemimpin tertinggi Majelis—mengangguk ke arah Rainer.“Rainer dari distrik bawah, pemegang fra