Masuk“Ah ... ya ampun, sakit banget!”
Pagi itu, Diana bangun dengan tubuh yang terasa sangat remuk. Terlebih di are intinya, sangat nyeri. Dia segera bangkit dari tempat tidurnya dan bersandar pada headboard ranjang. Ketika dia menoleh ke samping, terlihat seorang pria dengan punggung tegap tengah tertelungkup di atas bantal. Rambut hitam lebat pria itu menutupi seluruh wajah. Karena sangat penasaran, Diana pun menyibak rambut itu. “Ya ampun! Apa pria ini baru saja bermalam denganku?” Melihat kondisi sekitar yang sangat kacau, Diana menduga bila dia memang melakukan itu. Seketika, ingatannya berputar ke beberapa jam yang lalu. Seingatnya, dia mabuk dan secara tidak sadar dibimbing oleh seorang lelaki yang baru dikenalnya menuju ke lantai atas bernama Ganendra. Dan ternyata, dia justru bermalam dengan pria asing. Lantas, ke mana Ganendra? Samar-samar Diana mengingat jika dirinya menggoda pria ini semalam dan meminta uang. Jika pria yang ada di sampingnya itu masih tertidur lelap, lantas bagaimana caranya dia mendapatkan uang? “Shit! Kenapa aku menyerahkan diri kepada pria asing ini? Oh, God! Dan ... ck! Kenapa pria ini tidak bangun bangun?” Beberapa kali dia menggoyangkan lengan pria itu. Namun ternyata pria itu tidak bereaksi apapun. “Bangunlah! Hei bangunlah! Kenapa kamu tidur seperti kerbau? Hei, bangun! Aku butuh uangmu! Menikmati tubuhku tidak mau beri aku uang meski hanya 10 juta! Hei! Ck! Selain kerbau, pria Ini kemungkinan juga tuli! Sudahlah, lebih baik aku pergi saja!” Kesal karena tidak mendapatkan tanggapan berarti dari pria tersebut, maka Diana segera mengenakan pakaiannya tergesa-gesa. “Sial banget! Kenapa sih aku harus terjebak dengan pria ini? Kenapa juga aku tidak meminta uang di awal? Kalau begini caranya, aku tidak akan mendapatkan uang sepeserpun! Ck! Bodohnya kamu, Diana! Harusnya kamu mendapatkan uang di muka! Ck! Kalau pun aku harus menunggu, itu jelas tidak mungkin! Papa akan semakin marah sama aku karena tidak pulang semalaman!" Maka, Diana memiliki rencana lain. Dia teringat bahwa dirinya masih memiliki ponsel. “Tinggu, tunggu! Sepertinya aku membawa ponsel! Aha! Aku harus mengabadikan wajah pria itu agar jika aku ketemu dengannya, aku bisa meminta uang!” Begitu Diana hendak mengambil tas jinjing miliknya yang tergeletak di samping ranjang, matanya justru teralihkan pada sebuah dompet mahal yang dia duga sebagai milik pria itu yang tergeletak tak jauh dari celana bahan panjang berwarna hitam. Diana segera mengambilnya. Dia meneliti identitas pria itu. “Damar Setyawan, lahir 1990, agama oke, alamat ... oke, aku ingat. Dan apa pekerjaannya? Oh, itu tidak penting!” Diana beralih menatap banyaknya uang yang ada di dompet pria itu. Melihat nominal sekitar satu juta, bibirnya merenggut kesal. “Heh! Kenapa uangnya hanya segini?” Diana kesal bukan main. Setelah mengambil uang tersebut, Diana membuang dompet itu. Namun seketika, senyumnya kembali sumringah ketika melihat Kredit card yang ada di sana. “Aku yakin limit kredit card ini pasti banyak! Aku harus mengambil ini dan menggunakannya! Enak saja dia menikmati tubuhku tanpa mau membayar!” Diana bergegas membuang dompet tersebut setelah mengambil 3 kredit card milik pria itu. Lalu setelahnya, dia bersiap pergi. Sebelum pergi, Diana menyeringai dan berbisik lirih pada pria itu. “Kuakui kau memang sangat jantan dan hebat! Milikmu sangat besar dan aku menyukainya. Saat kita bertemu lagi, aku tidak akan keberatan kalau kita mengulangi masa-masa ini! Tapi kuyakin, kita tidak akan pernah kembali bertemu. Bye! Aku ambil kredit card milikmu, Tuan!” Meskipun rasa sakit masih tak tertahankan di bawah sana, namun Diana tidak bisa berlama-lama lagi di sini. Dia harus segera pulang karena papanya pasti akan marah-marah lagi setelah ini. **** Diana Putri Atmaja, dia adalah sesosok gadis peri yang berusia 20 tahun. Dia kuliah mengambil jurusan business management dan kini sudah masuk semester 3. Dia merupakan Putri dari Heru Atmaja yang sangat kaya raya. Kemarin, dia putus cinta. Aldo— kekasihnya berselingkuh dan dia tidak terima. Masalah tak habis di situ saja. Diana juga didera masalah baru lantaran nilai beberapa mata kuliahnya minus. Sudah putus cinta, Diana juga harus menanggung akibat lantaran Papanya mengetahui hal tersebut. Semua keuangannya diblokir begitu saja dan dia diusir dari rumah. Dia hanya memiliki uang 2 juta saja sebagai pegangan. Frustasi dengan keadaan tersebut, Diana menghabiskan rasa kesalnya di sebuah klub malam. Dia bertemu dengan seorang pria bernama Ganendra dan diajak mengobrol santai sambil menikmati wine. Pria itu juga menjanjikan pekerjaan dengan gaji fantastis, entah apa pekerjaannya. Namun sialnya, Diana justru dijebak. Dia yang begitu awam tak sadar jika telah masuk perangkap. Lalu, di lorong saat Ganendra meninggalkannya untuk mengambil card lock access yang tertinggal di lantai bawah, Diana mendapati sesosok pria yang lebih tampan. dia merayunya, dan dia berharap mendapatkan uang. Sayangnya, dia bodoh dan dia justru menyerahkan kesuciannya secara cuma-cuma. ***** Tiga hari kemudian, Diana mengikuti mata kuliah seperti biasanya. Kebetulan dosen fakultas ekonomi bisnisnya atau dosen FEB yang biasa mengajar di kelasnya kemarin mengundurkan diri dan hari ini digantikan oleh dosen baru. Begitu Diana duduk, dia disambut oleh sahabatnya yang bernama Fransiska. Wanita itu heboh sendiri pada Diana, “Hei, Di! Sini, sini! Lo tahu gak? Hari ini—” “Gak tahu gue!” sahut Diana dengan acuh. Fransiska memukul lengan sahabatnya itu sambil menggerutu, “Ih, gue belum ngasih tahu apapun kali! Denger, pasang telinga lo baik-baik. Hari ini, ... Katanya ada dosen FEB yang baru loh!” “Terus?” Diana tampak tak bersemangat. Dia memikirkan banyak hal termasuk Bagaimana caranya membayar uang kuliah yang tidak sedikit itu. Keuangannya sendiri sedang kocar-kacir dan seluruh fasilitasnya telah dicabut oleh sang ayah. “Eh, lo kenapa cuek? Gue denger juga dari mahasiswa lain yang kemarin diajar oleh dia katanya akan mengajar di kelas kita! Duh! Dia kece badai! Cakep, badan tegap, dan satu lagi! Dia galak katanya! Tapi single sih!” beritahu Fransiska sambil terkikik. Masih seperti sebelumnya Diana pun Acuh menanggapi. “Hm, sepertinya menarik!” Kesal diabaikan terus-menerus oleh Diana, Fransiska menyenggol lengan sahabatnya itu. “Heh, kenapa sih lo kaya gak semangat gitu? Mencret?” “Sialan lo!” Tepat setelah Diana berkata demikian, suasana ruang kuliah yang tadinya ramai, tiba-tiba menjadi sangat sunyi. “Diem, diem! Dosen baru kita katanya killer loh! Gak usah berisik, nanti kita kena sembur!” tegur yang lain hingga membuat Diana dan Fransiska pun ikut terdiam. Sontak, Diana memperhatikan sesosok pria yang baru saja masuk ke dalam ruangan ini bersama salah satu dosen senior. Diana terperanjat dari tempat duduknya. “Di-dia?” Diana memandang gugup. Batinnya bergemuruh. “Bukannya dia ... Dia yang ... yang ... ya ampun! Kenapa dia di sini? Jangan bilang dia dosen pengganti itu! Lalu iya, mati gue!” Pria yang berada di belakang dosen seniornya itu merupakan pria yang baru saja menghabiskan malam panas bersamanya 3 hari yang lalu. Lantas, kebetulan macam apa ini? Mengapa dunia sempit sekali?“Kabar buruk apa, Dok! Katakan, apa yang terjadi pada anak saya! Apa dia ….”Damar tak melanjutkan ucapannya. Ia terlalu takut mengungkapkan apa yang menjadi ketakutannya sejak tadi.Saat dokter itu terdiam dan belum memberi penjelasan, Diana maju. Ia mendesak dengan suara serak basah, air matanya pun turut berderai.“Dokter … katakan ada apa! Anak saya selamat, ‘kan? Selamat, ‘kan? Iya, ‘kan, Dok? Tidak ada apa pun dengannya, ‘kan?”Dokter lelaki itu tampak mengembus panjang. Setelahnya, ia menyatakan, “Nona Shanum selamat.”Hal itu membuat Diana dan Damar bersyukur serentak. “Syukurlah. Lalu, apa yang terjadi?”“Begini, Tuan Damar dan Nyonya Diana. Karena Nona Shanum cukup lama tenggelam, dia mengalami edema paru.” Melihat kebingungan di wajah kedua orang tua itu, Dokter itu menjelaskan lebih lanjut, “Edema paru adalah kondisi di mana terjadi penumpukan cairan di paru-paru. Tenggelam dalam waktu lama menyebabkan air m
“Sebenarnya apa yang terjadi sih, Yang? Kok Shanum tiba-tiba tenggelam di kolam?”Setelah shanum mendapatkan perawatan di ruang Instalasi Gawat Darurat, Damar menghampiri istrinya yang tampak kacau. Diana juga bahkan masih mengenakan celemek hitam yang penuh tepung. Kini, Diana menoleh pada sang suami. Air matanya belum mengering saat ia memeluk erat suaminya. “Aku juga tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, Mas. Dari dapur aku tidak terlalu memperhatikanmu Claudia dan Shanum masih cekikikan di dekat kolam. Setelah itu, hening beberapa saat dan terdengar teriakan Claudia saja.”“Ck! Pasti ada sesuatu yang dilakukan Claudia pada putri kita!” tebak Damar. Ia tahu, Claudia itu anaknya sangat usil dan jahil. Maka tebakannya bisa saja benar.Meskipun Diana sempat curiga pada Claudia tetapi ia tidak ingin menyalahkan keponakannya tersebut. Lagi pula, sama suami juga belum mengecek CCTV di sekitar sana dan ia belum dapat menyimpulkan.“Mas, ka
“Tolong! Tolong! Tante, Ommmmm! Shanum tenggelaaaaam!” Alih-alih berlari dan meminta bantuan pada orang-orang yang ada di dalam rumah, Claudia justru menjerit histeris. Di tepi kolam, Claudia masih maju mundur untuk menyelamatkan Shanum. Sesekali, ia mengambil ancang-ancang dan bersiap untuk masuk ke dalam air. Tetapi mengingat kolam renang itu sangat dalam dan tidak diperuntukkan bagi anak kecil, maka ia mengurungkan niatnya. Sedangkan di dalam rumah, Diana menghentikan gerakannya ketika hendak memasukkan adonan kue ke dalam oven. Ia menoleh ke pintu sebelahnya dan berlari ke sana. Teriakan Claudia makin menggila dan ia sangat panik. “Claudia, ada apa?” tanya Diana Sambil menggerakkan tangannya agar Tantenya mendekat, Claudia berujar panik, “Om, Tanteeee! Shanum tenggelam! Tolongin, Tante, Om, tolongin! Aaaaaa! Itu! Itu Shanum tenggelam!” Diana menatap permukaan air kolam yang
“Hoam ….”Damar menguap tatkala sampai di kediamannya. Semalaman, ia menjaga Jimmy dan sekarang, ia baru kembali ke rumah.Di ambang pintu, Sagara berjalan ke arahnya. Seketika, rasa lelahnya menguar begitu saja. Ia menggendong putranya yang menggemaskan sambil berjalan menghampiri Diana yang ternyata sedang membuat kue di dapur.“Sayang?”“Mas, kamu pulang?” Diana segera melepas celemeknya. Ia mencuci tangan kemudian menghampiri suaminya dan memberi pelukan singkat.“Iya, aku pulang. Capek, Yang.”“Ya udah, kamu istirahat aja dulu. Aku siapin sarapan. Belum sarapan, ‘kan?”“Udah, Yang di jalan tadi. Aku mau mandi terus tidur sebentar.”“Oh, ya udah, Mas.” Diana segera mengambil Sagara dari gendongan Damar. Ia menenangkan bocah tampan itu yang merengek, seolah enggan lepas dari sang ayah. “Hm, nanti ikut Ayah lagi. Ayah capek, Boy.”“Mana anak-anak?” tanya Damar. Ia melirik ke seluruh penjuru rumah, tap
“Aku hanya ingin berdamai denganmu dan aku tidak ingin menambah konflik di antara kita. Jadi, lebih baik kamu setuju saja untuk mempertahankan anak itu sampai 8 bulan kedepan daripada aku memperpanjang masalah ini. Kau mengerti?” tekan Jimmy pada wanita cantik yang tengah menangis itu. Sejujurnya, Jimmy sangat kasihan pada Raline yang pasti sangat syok dengan kabar kehamilan itu. Tapi, Jimmy juga tidak bisa melakukan apapun karena semua sudah kejadian dan tidak bisa dicegah. Sial bagi Raline yang tidak menginginkan hal tersebut. Ia mengira tidak akan serumit ini tetapi ia salah. Jimmy tak akan mudah diluluhkan. “Demi Tuhan! Aku tidak Sudi mengandung anakmu dan jangan paksa aku untuk mempertahankannya! Kamu yang menghadirkan anak ini ke dunia! Kalau kamu mau mempertahankannya, silakan ambil dan kandung sendiri! Aku tidak mau membawa beban itu selama 8 bulan ke depan!” tolaknya mentah-mentah. Raline membayangkan anak yang dik
“Aku harus pergi. Paling tidak aku harus menjauhi Pak Damar sementara waktu. Masalah anak, bisa ku gugurkan di luar negeri. Toh, di beberapa negara melegalkan aborsi karena banyak juga orang yang terjebak ONS, atau apa lah itu. Ya, ya, ya. Aku akan mengungsi ke tempat Bibi di Jiangsu, dan aku akan aman.”Setelah kabur semalaman dan bersembunyi di rumah temannya agar tak dikejar orang-orang suruhan Damar, Raline segera menuju bandara.Semalaman Raline mencari tiket ke China dan akhirnya pagi ini pukul 8 ia akan bertolak ke China.Kini, Raline berdiri mematung di tengah hiruk pikuk Bandara. Ia tak membawa banyak barang. Hanya sebuah tas ransel berisi beberapa potong pakaian, powerbank, juga dompet. Tapi, tas ransel itu cukup memberatkan. Ia sampai terengah-engah karena berlari sambil membawa beban berat.“Ck! Ayolah, jangan membuatku susah! Ayo cepat pergi sebelum tertangkap!” Sebenarnya semalam, Raline tidak bisa tidur sama seka







