“Aduh, dia ngenalin gue nggak ya? Kalau sampai dia tahu gue ada di kelasnya, mampus gue!”
Diana mencoba menyembunyikan wajahnya di belakang tubuh rekan gemuknya yang ada di hadapan. Dia duduk dengan gelisah hingga membuat Fransiska yang ada di sampingnya nampak terkejut dengan tingkah Diana yang cukup aneh. “Heh, lo kenapa sih? Takut nilai lo jongkok juga sama dosen ini?” tanya Fransiska dengan alis yang mengerut. Tidak pikir panjang, Diana langsung menganggukkan kepalanya begitu saja karena tidak memiliki alasan lain untuk menjawab pertanyaan tersebut. “Ya lo pikir aja! Mata kuliah yang diajarin sama dosen kita sebelumnya aja gue gagal terus karena dia galak! Apalagi, pria di depan sana gak kalah galaknya! Gimana gue gak takut coba? Ini sekali lagi gue gagal, gue bakalan gak lulus mata kuliah ini! Fix! Gue bakalan diamuk sama nyokap bokap gue!” Tidak mengherankan bagi Fransiska, ketakutan seperti ini sudah biasa dia lihat. Maka, dia acuh saja tanpa curiga sedikitpun. Dosen senior yang bernama Hendri itu menyita perhatian seluruh mahasiswa maupun mahasiswi yang ada di ruangan tersebut. “Oke, diam, diam. Bapak di sini mau memperkenalkan dosen kalian yang baru di mata kuliah ini! Namanya Pak Damar Setyawan.” Sambil tersenyum, Hendri menoleh ke arah damar dan mempersilakan. “Pak Damar, silakan.” Damar segera maju ke depan. Dia mulai memperkenalkan diri. Pria tampan yang mengenakan kemeja berwarna navy itu tersenyum kepada semua mahasiswa dan mengedarkan pandangannya. “Selamat pagi, apa kabar semuanya? Mulai hari ini, saya yang akan mengajar mata kuliah manajemen keuangan di sini. Salam kenal semuanya.” Kelas yang sebagian besar ditempati oleh mahasiswi ini mulai ramai. Mereka bersamaan menyapa dengan genit. Sesekali melambaikan tangan dan tersenyum malu-malu. “Pagi, Pak!” “Salam kenal, Pak!” “Katanya, Bapak masih single ya?” Damar menyahut dengan suara datar, “Apa itu penting?” “Hm, Bapak malu ngakuin, ya kalo single?” “Semoga kita bisa belajar bareng ya, Pak!” “Yoi! Belajar sampai saya bisa jadi istri yang baik buat Bapak. Eh, ya ampun! Sampai bisa menguasai bisnis, Pak!” ralatnya. Damar menggelengkan kepalanya. Dia melirik kepada Hendri. Hendri segera berpamitan. Ia meminta Damar untuk memberikan kesan pesan pertama pada mahasiswa dan mahasiswa yang ada di ruangan ini. Setelah Hendri pergi, Damar segera bersandar pada meja kerjanya. Dia menggulung lengan kemeja tersebut hingga ke siku dan bersedekap di depan dada sambil memperhatikan semua anak didiknya. “Sebelum kita mulai, mungkin ada yang punya pengalaman atau pertanyaan terkait penggunaan statistika dalam bisnis? Mari kita diskusikan bersama!” Sama sekali Damar tidak melihat ke arah Diana hingga membuat Diana bersyukur. Tapi, wanita itu tidak bisa tenang sedikitpun dan dia ingin sekali kabur dari ruangan ini. “Sebelum kita mulai, apakah ada pertanyaan?” Gelengan kepala dari beberapa mahasiswa dan mahasiswi itu membuat Damar langsung pada intinya saja. Damar telah bertanya kepada dosen yang Mengajar kelas ini sebelumnya dan sampai di mana materi mereka pelajari. “Oke. Kita langsung ke intinya saja. Hari ini, kita akan membahas tentang Weighted Average Cost of Capital (WACC). Bagaimana cara menghitung biaya modal rata-rata tertimbang, dan bagaimana WACC digunakan dalam pengambilan keputusan investasi ....” Beberapa mahasiswa tampak menyimak dengan seksama selama kurang lebih 20 menit. Namun, hal itu tak dilakukan oleh Diana. Wanita itu sangat gelisah karena beberapa kali matanya bersilang tetap dengan Damar. Sayangnya, Damar tampak tak mengenalnya. Hingga kini, dia mendapatkan teguran dari dosen killer tersebut. Damar menghentikan penjelasannya tentang WACC di tengah kalimat. Matanya yang dingin menyapu seluruh kelas, lalu berhenti pada seorang mahasiswi yang duduk di barisan belakang. Mahasiswi itu tampak melamun. Tatapannya terlihat begitu kosong dan sama sekali tidak menyimak apa yang sedang dijelaskan Damar. “Kamu ...,” kata Damar dengan nada suara yang menusuk. Seluruh kelas terdiam. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi itu kompak menoleh ke pojok belakang kanan dan mendapati Diana tengah terbelalak. “Hei, kamu! Yang duduk di pojok sana. Sedang memikirkan apa? Kenapa tidak menyimak pembelajaran saya dan justru menatap ke luar sana? Apa di luar sana ada kekasihmu?” Diana tersentak kaget. Wajahnya memerah karena malu. Ia menjadi pusat perhatian seluruh orang yang ada di ruangan ini. Sesaat, ia mencoba mencari alasan, tapi lidahnya terasa kelu. “Ma-maaf, Pak,” jawabnya gugup. “Saya ....” “Siapa namamu?” potong Damar tanpa ampun. Dia sedikit familiar dengan wajah tersebut namun dia tidak yakin apakah yang dia lihat benar atau salah kali ini. “Di-Diana, Pak,” jawab Diana sambil memejamkan mata, berharap tidak ada malapetaka setelah dia menyatakan namanya. Damar mengangguk singkat. “Baik, Diana. Karena kamu tampak tidak tertarik dengan materi yang sedang saya jelaskan, mungkin kamu bisa membantu saya. Coba jelaskan, apa yang sudah saya terangkan tentang WACC tadi?” “Hah? WACC apa, Pak?” Diana semakin gugup. Ia mencoba mengingat apa yang baru saja dikatakan Damar, tapi pikirannya kosong. Ia hanya bisa menatap Damar dengan tatapan memelas. “Berarti kamu tidak menyimak pelajaran yang saya sampaikan, ‘kan?” “Em ... saya tidak tahu, Pak,” jawab Diana pada akhirnya. Dia menoleh ke arah Fransiska yang ada di sampingnya, seolah-olah tengah mencari informasi. “Hei, bilang apa tadi dosen kita tadi? dia jelasin apan?” Fransiska nampak berkomat-kamit namun Diana tidak mengerti sama sekali apa yang dimaksud oleh wanita itu. Kini, Diana takut Damar akan semakin mengintimidasinya Sedangkan di depan sana, Damar menghela napas panjang dan menampilkan kemarahan di wajahnya. “Diana,” kata Damar dengan nada yang lebih rendah, tapi tetap tegas. “Di kelas ini, saya tidak mentolerir ketidakpedulian. Kalau kamu tidak suka dengan mata kuliah saya, silakan pergi dari sini!” “Jangan, Pak! Beri saya kesempatan! Saya ... saya hanya tidak fokus karena ... kram ... ya, kram perut. Lagi dapet, Pak!” Memicingkan mata, Damar tidak percaya dengan apa yang disampaikan oleh Diana barusan. Kini, Damar menatap Diana dengan tatapan yang menusuk. “Kali ini kamu saya beri kesempatan. Pelajari kembali materi hari ini, dan saya akan bertanya lagi di pertemuan berikutnya. Jika kamu tetap tidak bisa menjawab, kamu akan mendapatkan konsekuensinya.” “Ba-baik, Pak.” Diana merasa sangat lega karena Damar tidak membahas masalah mereka tiga hari yang lalu. Tapi, ucapan pria itu layaknya ancaman keras gar dia takut padanya. Kini, dia duduk dengan nyaman lagi lantaran Damar sudah kembali ke tempatnya semula dan mulai menerangkan sesuatu. Setelahnya, Damar mengakhiri penjelasannya tentang WACC dengan suara datar. Ia menatap seluruh kelas dengan tatapan dingin, seolah mengamati reaksi mereka. “Baiklah,“ katanya singkat. “Untuk memastikan apakah kalian benar-benar memahami materi ini, saya akan memberikan tugas. Silakan kerjakan soal latihan yang ada di halaman 45 yang sudah diberikan oleh dosen kalian sebelumnya, nomor 1 sampai 5. Waktu pengerjaan 30 menit. Tugas dikumpulkan hari ini juga di 20 menit terakhir mata kuliah saya. Apabila ada yang nilainya kurang, saya akan memanggil kalian ke ruangan saya!” Seketika, ruang kuliah riuh rendah dengan suara protes. “Yah, Pak, jangan dong! Ini pertemuan pertama, masa langsung dikasih tugas?“ “30 menit nggak cukup, Pak! Soalnya susah-susah! Ya kali 30 menit selesai!” Damar mengangkat tangannya, mencoba meredam suara protes mahasiswa. Tapi sia-sia. Suara-suara keberatan semakin keras dan bersemangat, tak terkecuali Diana yang merasa ini adalah jebakan. “Apa jangan-jangan pria itu ingin menguji gue? Kalau iya, mampus gue! Gue jelas dapat nilai minus karena gue emang bener-bener nggak bisa. Kalau sampai itu terjadi, gue nggak tahu deh apa jadinya gue setelah ini!” gumam Diana resah. Dia yakin, Damar ingin bertemu dengannya secara pribadi setelah ini. “Tenang, tenang!” kata Damar dengan nada suara yang sedikit meninggi, membuat ruangan langsung senyap seketika. “Saya tahu ini pertemuan pertama. Tapi Manajemen Keuangan bukan mata kuliah yang bisa dipelajari dengan santai. Kalian harus terbiasa dengan tekanan dan tenggat waktu.” “Tapi, Pak ....” Seorang mahasiswi mencoba menyela. “Tidak ada tapi-tapian,” potong Damar dengan tegas. “Waktu 30 menit Saya rasa sangat cukup untuk mengerjakan soal-soal tersebut. Jika kalian benar-benar menyimak penjelasan saya tadi, seharusnya tidak ada masalah.” Damar menatap seluruh kelas dengan tatapan yang tidak terbantahkan. “Waktu dimulai dari sekarang. Silakan kerjakan tugasnya dan yang mendapat nilai buruk, siap-siap saja!” Ruang kuliah kembali hening. Mahasiswa dan mahasiswi mulai membuka buku dan mengerjakan soal latihan dengan wajah masam. Beberapa dari mereka masih menggerutu, tapi tidak ada yang berani membantah perintah Damar. **** Begitu tugas dikumpulkan dan dikoreksi, Damar menyeringai saat nilai Diana tidak mengerjakan satu pun! Dia akhirnya bertanya pada Diana sambil menunjuk dengan spidolnya, “Hei, kamu!” “Saya, Pak?” “Ya, kamu! Kemari! Kenapa kamu tidak mengerjakan ini sama sekali? Apa kamu mencoba untuk menguji saya?” “Pak, saya ....” “Barusan saya mendapatkan laporan dari dosen sebelumnya kalau kamu selalu mendapatkan nilai minus! Bahkan sampai 4 kli. Dan sekarang kamu bahkan tidak mengerjakan satu soal pun! Untuk itu, setelah kelas ini selesai ... Datanglah ke ruangan saya!” “Hah?” “Mau tidak lulus di mata kuliah saya?” “Ya ampun! Baik, Pak! Saya akan ke sana.” Diana memejamkan mata. Dia memang tidak menulis apapun di lembar jawabannya. Dan kini, dia memasang wajah terkulai. Sambil melirik Fransiska, dia bertanya, “Kalau gue di DO, nanti lo harus sering-sering nyekar ke kuburan gue, ya?” Fransiska memekik, “Hah? Maksud lo?” “Bokap sama Nyokap jelas bakalan bu*nuh gue! Awas lo gak nyekar ke kuburan gue ntar!”“Apartemennya sudah bersih? Yakin Bapak mau nyuruh saya bersihin ruangan ini? Kelihatannya nggak kotor-kotor banget?”Setelah negosiasi yang cukup alot kemarin, akhirnya Diana datang ke sebuah apartemen elit pemilik Damar yang terletak di pusat kota.Begitu dia masuk, dia disuguhkan dengan pemandangan yang begitu indah. Semua barang tertata dengan rapi, bersih, dan ... dia bingung harus melakukan apa.“Bukankah kamu yang ingin membersihkan apartemen saya? Saya bahkan hanya ingin kamu mengembalikan uang milik saya!” jawab Damar sambil menghempaskan tubuh di sofa. Dia memperhatikan Diana yang juga menyusulnya dengan wajah cemberut.“Ck! Bapak tahu kalo saya gak bisa ngembaliin uang itu!” gerutu Diana sambil memajukan bibirnya.Damar agak tertarik mengulik kisah wanita itu. Lantas, dia bertanya, “Kenapa? Bukannya nominal 260 juta sangat mudah kamu dapatkan? Kamu anak orang kaya, saya rasa nominal itu sangat kecil bagi seorang putri Atmaja.”Damar sebenarnya merasa amat bersalah karena me
“Masuk gak ya? Masuk, enggak, masuk, enggak.” Diana menghitung jari jemarinya sambil sesekali menggigiti kuku. Resah!Sejak 2 menit yang lalu telah tiba di depan ruangan dosen barunya itu. Namun, hatinya dilanda gelisah lantaran takut bila pria yang ada di dalam sana akan memangsanya hidup-hidup. “Masuk kena sembur sama si singa, kalo enggak kena DO. Lebih baik masuk, hadapin singanya. Siapa tahu dia mau daging, ‘kan? Di bawah ada daging wagyu, gurih dan legit pula! Siapa tahu, ... itu bisa gue gunain buat pelet dosen killer itu. Lagi pula ... ya wajar aja sih kalau pria di dalam sana marah. Kemarin ‘kan gue nguras 3 kartu kreditnya sampai 250 juta lebih. Ya ampun! Gue emang suka banget berhadapan dengan maut.” Setelah mempertimbangkan matang-matang mengenai apa yang harus Diana lakukan, pada akhirnya dia mengetuk pelan. Ketukan ke tiga kali, hingga terdengar sahutan dari dalam sana. “Masuk!” “Mampus! Dari suaranya yang datar itu, gue udah tahu kalau pria itu benar-benar galak!
“Aduh, dia ngenalin gue nggak ya? Kalau sampai dia tahu gue ada di kelasnya, mampus gue!” Diana mencoba menyembunyikan wajahnya di belakang tubuh rekan gemuknya yang ada di hadapan. Dia duduk dengan gelisah hingga membuat Fransiska yang ada di sampingnya nampak terkejut dengan tingkah Diana yang cukup aneh. “Heh, lo kenapa sih? Takut nilai lo jongkok juga sama dosen ini?” tanya Fransiska dengan alis yang mengerut. Tidak pikir panjang, Diana langsung menganggukkan kepalanya begitu saja karena tidak memiliki alasan lain untuk menjawab pertanyaan tersebut. “Ya lo pikir aja! Mata kuliah yang diajarin sama dosen kita sebelumnya aja gue gagal terus karena dia galak! Apalagi, pria di depan sana gak kalah galaknya! Gimana gue gak takut coba? Ini sekali lagi gue gagal, gue bakalan gak lulus mata kuliah ini! Fix! Gue bakalan diamuk sama nyokap bokap gue!” Tidak mengherankan bagi Fransiska, ketakutan seperti ini sudah biasa dia lihat. Maka, dia acuh saja tanpa curiga sedikitpun. Dos
“Ah ... ya ampun, sakit banget!” Pagi itu, Diana bangun dengan tubuh yang terasa sangat remuk. Terlebih di are intinya, sangat nyeri.Dia segera bangkit dari tempat tidurnya dan bersandar pada headboard ranjang. Ketika dia menoleh ke samping, terlihat seorang pria dengan punggung tegap tengah tertelungkup di atas bantal. Rambut hitam lebat pria itu menutupi seluruh wajah. Karena sangat penasaran, Diana pun menyibak rambut itu. “Ya ampun! Apa pria ini baru saja bermalam denganku?” Melihat kondisi sekitar yang sangat kacau, Diana menduga bila dia memang melakukan itu. Seketika, ingatannya berputar ke beberapa jam yang lalu. Seingatnya, dia mabuk dan secara tidak sadar dibimbing oleh seorang lelaki yang baru dikenalnya menuju ke lantai atas bernama Ganendra. Dan ternyata, dia justru bermalam dengan pria asing. Lantas, ke mana Ganendra? Samar-samar Diana mengingat jika dirinya menggoda pria ini semalam dan meminta uang. Jika pria yang ada di sampingnya itu masih tertidur lelap,
“Eumh … kenapa diam saja? Ayo kita ke kamar dan ber-cin-ta! Apa kau bisa memberiku uang setelah ini?” racau Diana sambil mengalungkan tangan kepada pria asing yang ada di lorong itu. “Berapa yang kau minta?” Bagai kucing diberi ikan, siapa yang akan menolak? Meski pria ini tidak mengenal wanita yang tetiba memeluknya, tapi hasrat bergelora dalam dirinya tak bisa ditahan. “Tidak banyak! Hanya … 10 juta. Dan kau tahu, aku masih perawan! Ha ha! Kau pasti suka, ‘kan? Bagaimana kalau kita ke dalam sana. Kau tahu, milikku sudah … basah ….” Bibir tipis Diana menggumam, cekikikan dan tatapannya sayu karena dia menenggak alkohol begitu banyak. Sedangkan pria yang ada di depan Diana tadi menyeringai. Dia baru saja meeting dengan seseorang di bar ini dan memesan minuman. Ternyata, minuman itu itu mengandung obat perangsang. Dan sialnya, dia tak dapat menahan semua itu. Dia juga butuh penyaluran hasrat. Kalau ada yang menawarinya untuk bermalam bersama, kenapa tidak? Lagi pula, nomi