LOGIN"Aku tidak punya cash!" kata Aldo, suaranya putus asa, napasnya tersengal menahan sakit. Dia menatap mata mata bengis para penjahat itu.Penjahat pertama semakin tidak sabar, ia menyeringai kejam sembari terus mendesak. "Kalau begitu, kau bisa men-transfer!""Aku juga tidak bisa!" tolak Aldo dengan mata terpejam seolah mengakui kekalahan. Aldo tahu transfer akan membuang waktu, tetapi ia harus membuat mereka yakin dia tidak punya pilihan lain."Jangan alasan!" Penjahat itu mendengus marah, dan dalam gerakan cepat, ia mengayunkan kaki kirinya dan menghantam rusuk Aldo sekali lagi.BRAK!“Argh!”Tubuh Aldo bergetar hebat di aspal. Ia mengerang tertahan, rasa sakitnya terasa seperti tulang rusuknya retak. Darah segar membasahi jaketnya.Dari dalam mobil, Diana menahan pekikan, mencengkeram erat setir. Rasa takutnya kini dibayangi oleh rasa panik melihat betapa parahnya luka Aldo.Aldo tahu ia harus mengak
"Astaga! Jangan!" Diana memekik, kedua tangannya menutup mulut karena terkejut. Saat misterius yang baru datang tadi memukuli pria jahat pertama yang sudah tumbang, mata Diana melihat ancaman yang lebih besar. Pria jahat lainnya kini membawa patahan kayu yang cukup besar entah datangnya dari mana. Pria itu mengangkat kayu itu tinggi-tinggi, siap menghantam kepala sang penolong. "Awaaaas!" teriak Diana dengan suara parau karena panik. Akan tetapi, ia tak bisa keluar, Diana terkunci di dalam mobil. Ia hendak memperingatkan pria yang kemungkinan akan menyelamatkannya itu. Teriakannya hanya memantul di dalam mobil dan pria di luar sana tak mendengar. Pria yang menolong Diana tadi menoleh ke belakang saat mendengar suara langkah kaki dan teriakan ancaman dari belakang tubuh, "Hiyaaaak!" Saat pria itu menoleh penuh kewaspadaan untuk menghalau serangan kayu, pandangan Diana tertuju pada wajahnya. Ia terkejut hingga napa
“Jangan sentuh Nyonyaku!”“Bajingan! Sudah menunggak tapi tidak mau menyerahkan barang! Rasakan ini!”Teriakan dan tekanan dari pria yang mengaku petugas leasing itu membuat Alex geram. Ia tidak peduli jika harus melawan tiga orang sekaligus, karena prioritasnya adalah keselamatan Nyonya-nya.Alex yang baru saja ditarik dan digelandang keluar segera bangkit dari tersungkur. Ia harus cepat karena kondisinya sangat genting dan tempat ini cukup sepi.Sebelum melayangkan serangan, perhatian Alex fokus pada Diana, majikannya. Ia menendang pintu mobil dengan kakinya, memastikan pintu itu tertutup rapat dan Diana di dalamnya aman."Nyonya, hubungi Tuan Damar cepat!" teriak Alex dengan kata-kata penuh emergency. Alex tidak ingin terjadi sesuatu pada nyonya nya. Karena kalau sampai nyonya nya itu terluka, maka dialah yang akan habis di tangan Damar.Setelah memastikan Diana aman, Alex segera mengambil kuda-kuda. Pria itu sudah m
"Pak, siapa itu, Pak? Apa itu penculik?" Diana bertanya cemas sambil menepuk pundak Alex, sopirnya. Nada suara Diana sedikit tercekat lantaran dia sangat panik. Jantungnya berdebar kencang, takut akan keselamatan dirinya dan janin yang dikandungnya.Kini, Alex melihat pria-pria di luar dengan tenang. Ia memberitahukan kalau laki-laki yang ada di luar mobil sana tidaklah berbahaya. “Tidak tahu, Nyonya. Sepertinya orang penting, pakaiannya rapi dan saya yakin bukan penculik. Kalau memang mereka lihat dengan kita atau pun mereka seorang penculik, berita tidak akan mengetuk pintu. mereka akan menggelar pintu dengan paksa sampai katanya pecah!”“Iya juga.” Diana pun membenarkan.Dengan penuh ketegasan dan sikap waspada, Alex meminta izin kepada nyonya nya. “Saya akan keluar dulu, Nyonya. Anda diam di sini saja dan jangan bukakan pintu untuk mereka.""Jangan! Jangan! Mengapa Pak Alex ninggalin aku? Aku gak mau, Pak. Aku takut!" cegah Diana dengan cepat, tangannya
“Sial! Damar melihatku, tapi dia sepertinya sengaja membuatku cemburu!” maki Raline kesal. Secara tak langsung, pemandangan itu membuat hatinya berdesir. Ia merasa marah, cemburu, dan pada saat yang sama, bagian intimnya berdenyut, meminta sentuhan dan sensasi yang sama. Rasa benci dan hasrat bercampur aduk, menciptakan gejolak emosi yang hampir tak tertahankan. Raline memaksakan dirinya untuk mengendalikan napas. Ia tidak boleh kehilangan akal di ketinggian ini. Ia harus segera pergi, atau ia akan melakukan hal bodoh lagi setelah ini. Saat itu, salah satu kru yang bersamanya di gondola, seorang wanita bernama Mega menyadari ada yang salah. “Hei, Raline, kenapa diam saja? Ayo bersihkan nodanya. Kita tidak bisa berlama-lama di sini," bisik Mega cemas dengan goncangan kecil yang dibuat Raline karena menahan emosi. Sedangkan Raline tidak menjawab. Ia hanya mengepalkan tangan yang memegang squeegee, tatapannya terpaku pada pasangan di balik kaca, mendesis pelan. “Awas saja n
"Apa? Gak, gak! Saya gak mau!" seru Raline kepada Pak Carlos. Raline menyesal, ia ternyata baru saja menerima instruksi baru yang jelas-jelas berniat menyiksanya.Demi apa pun, Raline ingin pergi saja dari dunia ini daripada bergelantungan bak monyet di luar kantor dan membersihkan kaca.Raline tak berpengalaman. Dan bagaimana ia bisa melakukannya?"Kalau Pak Damar mau bunuh saya, katakan padanya untuk nembak saya aja!" Raline meludah setelah mengungkapkan kata-kata itu. Ia tetap mencari pembelaan diri. "Enak sekali dia meminta saya berbuat seperti ini? Apa dia pikir saya monyet yang bisa dia suruh-suruh bergelantungan mencari noda tidak jelas? Tidak, aku pokoknya tidak mau, Pak! Itu bahaya!"Raline frustrasi. Ia menyadari sepenuhnya bahwa alih-alih dekat dengan Damar, ia justru membahayakan diri sendiri. Kini, Raline bagai masuk ke mulut singa! Masuk ke dalam perangkap yang ia ciptakan sendiri dan tidak bisa keluar!S







