LOGIN"Bagaimana? Jadi memecat saya?" Raline tidak membiarkan keheningan itu berlanjut. Ia mendongak angkuh, menantang keputusan Damar.Lalu, ia tatap wajah Damar yang memerah, sarat akan kemarahan yang kini harus ditahan.Sedangkan Damar sudah memikirkan matang-matang apa yang harus ia lakukan. Ia tidak akan membuang waktu dan uang untuk memecat Raline. Damar hanya perlu membuat Raline tidak betah bekerja di sini. Ia akan mengubah neraka Raline dari luar menjadi neraka yang lebih menyakitkan dari dalam."Tidak." Damar merespons dengan nada datar, senyuman tipis di wajahnya tidak mencapai mata. "Kamu boleh kembali. Silakan kerjakan pekerjaanmu sesuai kontrak yang berlaku."Setelah bicara begitu, Damar mengibarkan telapak tangannya. Sebuah gestur penguasa yang mengusir bawahan. Ia pun melirik tajam pada Daisy yang nyaris saja dia pecat."Dan kamu, Daisy, kembalilah ke ruanganmu!"“Baik, Tuan.”Pelototan Dama
"Mau apa kamu ke sini, hah?" Wanita yang mendongak itu ternyata adalah Raline.Damar mendelik, matanya memancarkan amarah dan kejengkelan yang luar biasa. Ia tak suka Raline kembali mengusik kehidupannya. Kemarin, Raline meminta Profesor Bima—ayahnya—untuk meluluhkannya dengan drama bunuh diri. Dan kini, Damar justru dipertemukan dengan Raline lagi. Bedanya, Raline kini tampil dalam balutan seragam Petugas Kebersihan atau Office Girl!"Sial benar hidupku! Kenapa hidupku selalu dibayangi oleh wanita gila ini?!" batin Damar.Sedangkan di hadapannya agak ek bawah, Raline memasang wajah tak bersalah yang sempurna. Dia tersenyum kecil, seringai tipis yang hanya bisa dilihat oleh Damar. "Oh, maaf, Tuan. Saya hanya bekerja karena membutuhkan uang. Em, mohon maaf saya lupa menaruh—""Shut up! Apa katamu tadi? Bekerja? Hah! Mustahil kamu bekerja di sini!" Damar berdecih jijik. Ia tak percaya Raline sudi bekerja sebag
Penyesalan Damar cepat berlalu, digantikan oleh gairah yang dipicu oleh aroma lemon fresh yang menenangkan itu. Lalu, ia mendekat, pandangannya penuh kerinduan."Aku merindukanmu, Yang," bisik Damar penuh rasa candu pada istrinya.Damar segera menyerang Diana dengan kelembutan yang memabukkan. Ia menarik istrinya ke tengah ranjang dan mulai menciumi Diana dengan dalam dari bibir, turun perlahan ke leher, hingga mencapai garis dada.Lalu, Damar menciumi leher dan dada Diana, meninggalkan bekas merah samar di kulit yang terhisap kuat, jejak hasrat yang tak tertahankan.Diana sendiri tidak tahan. Ia pun mulai meraba punggung Damar. Tangan Diana turun dan mengusap kejantanan Damar yang mengeras di balik bathrobe itu, memicu rintihan pelan dari Damar."Eungh!" Diana mendesah pelan. Meskipun Diana sempat mual, sentuhan Damar yang penuh hasrat dan kehangatan itu memicu gairah yang tertahan lama. Kini, Damar tetap memberinya sentuhan yang terasa memabukkan, ber
Kini, Damar mendekat, membelai wajah Diana penuh kasih. Lalu, ia bertanya, "Ya, Yang? Ada apa?"Diana berbisik di telinga suaminya, dan seketika itu juga, Damar syok. "Apa?" bisik Damar, suaranya tercekat, kaget karena mengira ada berita buruk. Tapi ternyata, ini berita lebih buruk lagi Diana mengulangi, matanya sedikit memelas karena mual. Ia masih memencet hidung dan menggeleng lemah, "Mas, tidur di kamar sebelah aja. Mas bau! Sumpah, Mas. Aku mual loh deketan sama Mas.”“Ya ampun, Yang!” Damar terdiam. Syoknya berubah menjadi rasa tidak percaya yang mendalam. "Kamu suruh Mas tidur di luar? Setelah semua yang Mas lakuin hari ini?""Ya iya lah, 'kan bau! Aku gak tahan banget! Bau yang menusuk, Mas! Aku gak bisa tidur sambil menahan mual begini, Mas. Mas mau aku kesiksa semalaman, ya?!"Meski kesal, tapi Damar tetap memelankan suaranya. Ia tahu, Diana sedang emosional dan juga labil. "Yang, kok gitu sih! Ini kamar kita!" protes
"Hm, baru pulang, Mas?" Diana malam ini menyambut Damar di depan pintu. Namun, alih-alih memberikan ciuman selamat datang dan pelukan hangat seperti pagi tadi, ia justru menutup hidung dengan telapak tangannya.Entah kenapa, Diana mual sekali mencium bau badan Damar yang terasa begitu menusuk hidung sensitifnya malam ini."Ya, Yang. Kerjaan banyak sekali akhir-akhir ini. Kamu tahu sendiri, proyek yang di lokasi X baru mulai." Damar mengangguk. Ia melangkah mendekat, lalu ia memegangi pundak istrinya. Ia curiga saat Diana menutup hidung. "Kamu kenapa, Yang? Bau apa? Papa ada bangkai di rumah?"Diana menggeleng disertai dengan ekspresi yang sangat menderita. "Mual, Mas. Badan Mas bau ih, jangan dekat-dekat."Mendengar ucapan istrinya, Damar sedikit tersinggung. Lalu, ia segera menurunkan telapak tangan dari bahu Diana. Ia segera mencium ketiaknya sendiri secara refleks. Namun, ia tak mencium bau apa pun selain aroma sab
“Ugh! Sial!”Mereka berdua panik bukan main. Aldo segera mencoba menarik diri dan membenahi celananya hingga nyaris saja ‘lolipop’ nya terjepit.“Argh!” pekiknya tertahan, sementara Raline tersentak menjauh. Raline berkata dengan suara tercekat, "Bagaimana ini? Kamu akan berkata apa kalau Papaku datang?"Kini, Raline buru-buru menuju ranjang dan merebahkan badan lelahnya di sana. Lalu, ia menarik selimut sebatas dada dan mendelik pada Aldo yang mengumpat-ngumpat kesal "Shit!" desis Aldo. Wajahnya yang tadi penuh hasrat, kini pucat pasi dipenuhi amarah dan ketkejutan. Pintu itu sebentar lagi akan terbuka. Dan apa alasan yang akan ia gunakan saat Papa Raline bertanya siapa ia?Tak lama setelah suara putaran handle pintu, pintu kamar Raline terbuka.Seorang pria berambut putih muncul sambil mendorong pintu, dengan tenang membetulkan kacamata yang melorot di hidungnya.Ia adalah Profesor Bima.B







