LOGIN“What the hell, apa yang kamu pakai itu?”
“Apa ada yang salah dengan penampilan saya, Tuan?” Saat Damar mempersilakan seseorang yang mengetuk pintunya untuk masuk, ia justru terkejut dengan orang itu. Itu adalah Raline. Wanita itu datang membawakan nampan berisi cangkir putih yang entah apa isinya. Damar yakin, itu adalah kopi. Karena biasanya di jam 11 seperti ini, ia selalu memesan kopi hitam. Dan yang paling mengejutkan bagi Damar adalah … penampilan Raline yang bisa dikatakan sangat, sangat dan sangat menggugah hasrat. Raline mengenakan kemeja kerja-nya pressbody. Seluruh lekuk tubuhnya terlihat, seperti mengenakan seragam kerja yang kekecilan. Dan bahkan kancing di bagian dada seperti ingin terlepas sebab saking tidak muatnya pakaian itu di tubuh Raline, tapi tetap saja dipaksakan.<“What the hell, apa yang kamu pakai itu?” “Apa ada yang salah dengan penampilan saya, Tuan?” Saat Damar mempersilakan seseorang yang mengetuk pintunya untuk masuk, ia justru terkejut dengan orang itu. Itu adalah Raline. Wanita itu datang membawakan nampan berisi cangkir putih yang entah apa isinya. Damar yakin, itu adalah kopi. Karena biasanya di jam 11 seperti ini, ia selalu memesan kopi hitam. Dan yang paling mengejutkan bagi Damar adalah … penampilan Raline yang bisa dikatakan sangat, sangat dan sangat menggugah hasrat. Raline mengenakan kemeja kerja-nya pressbody. Seluruh lekuk tubuhnya terlihat, seperti mengenakan seragam kerja yang kekecilan. Dan bahkan kancing di bagian dada seperti ingin terlepas sebab saking tidak muatnya pakaian itu di tubuh Raline, tapi tetap saja dipaksakan.
"Nyonya," ujar Jimmy, suaranya tetap tenang dan profesional, "Tuan Damar itu perhatian dengan Anda. Bukan karena beliau dan saya miskin empati, tapi karena kami peduli dengan keselamatan Anda." Jimmy tidak gentar menghadapi tatapan tajam Diana. Ia tahu ia harus menggunakan logika, meskipun Diana sedang dikuasai emosi. Saat Diana terdiam, raut wajahnya menunjukkan keraguan, Jimmy segera menjabarkan alasan logisnya. Ia tahu majikannya ini keras kepala, persis seperti ucapan Damar tadi pagi. "Anda tahu sendiri kalau Aldo suka dengan Anda. Jadi, kami tidak mau mengambil risiko. Tolonglah mengerti, Nyonya. Saya ini bekerja, dan pekerjaan saya harus memastikan Anda selamat dan aman." Tiba-tiba, Diana meledak. Semua rasa syok, marah pada debt collector, dan kekesalan pada kecemburuan Damar ia tumpahkan pada Jimmy. "Kalau kamu bertugas memastikanku aman dan selamat," bentak Diana, matanya memerah menahan tangis dan a
Usai mencolokkan flashdisk ke laptop miliknya, Jimmy kembali menunjuk pada layar yang menampilkan tangkapan layar CCTV. "Ini, Tuan." Jimmy memperbesar gambar Aldo. Di sana, terlihat Aldo sedang berjalan santai di sebuah supermarket sejak pukul 9 pagi bersama dua anaknya. Setelah itu, Aldo terlihat mengantar anak-anaknya ke rumah mertuanya. "Aldo berada di supermarket ini sebelum dia pergi ke jalan yang sama dengan Nyonya Diana. Jaraknya hanya dua kilo meter dari lokasi insiden. Jadi, saat itu, dia memang tak sengaja melintas ... setidaknya, itulah yang ingin dia yakinkan pada kita. Tapi, saya juga belum yakin dengan ini." Damar mengabaikan bukti visual itu. Ia tahu kebetulan yang sempurna adalah skenario yang paling mencurigakan. Lantas, Damar melipat kedua tangannya di dada, matanya memandang tajam ke flashdisk di meja, seolah bisa membaca data di dalamnya. "Sudah cek aliran dana Aldo semingg
“Tapi, Aldo bagaimana, Mas?” tanya Diana, suaranya kini terdengar lirih memohon dan khawatir. Matanya masih menoleh ke arah lampu ruang operasi, seolah ia benar-benar merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Aldo. Menurut Diana, sikapnya ini masih biasa saja. Tak tahunya, suaminya yang cemburu akut itu tak mau menerima ini. Padahal, ia hanya khawatir pada Aldo, itu saja! Kini Damar menggerakkan rahangnya. Urat di pelipisnya menonjol, menahan amarah dan kecemburuan yang mendidih. Ia telah mencapai batasnya. Kemudian, Damar mengungkapkan kekesalannya dengan nada suara yang tak enak. "Kamu mau ikut aku ke dokter obgyn atau stay di sini menunggu dia, hah?" Damar menunjuk ke arah ruang operasi dengan gerakan kasar. "Lebih penting mana, emang? Aku atau dia? Kenapa kamu memikirkan dia yang bukan siapa-siapa sih, Yang?" Demi apa pun, Diana terperanjat. Kata-kata Damar terasa seperti cambuk
Damar mendekat ke arah Diana dengan langkah gamang. Ia ingin sekali langsung memanggil nama istrinya, menariknya ke pelukan, tetapi ... rasanya tidak nyaman. Ada sesak yang tak teruraikan di dadanya. Sebuah perpaduan antara rasa kekhawatiran yang luar biasa dan rasa cemburu yang kian menyakitkan. Kini, ia hanya membawa langkah kakinya ke sana, berdiri diam di samping istrinya, tanpa mengucap apa-apa. Setelah beberapa saat, Diana menoleh padanya. Melihat Damar, Diana langsung berdiri. Raut wajahnya yang tadi pucat dan lemas, kini menunjukkan kelegaan. "Mas? Kamu datang?" tanya Diana matanya sedikit berkaca-kaca. Sambil berjalan, Diana merentangkan tangan. Begitu suaminya hanya berjarak 50 cm, ia memeluknya. “Ya Allah, Mas. Kukira kamu gak lihat pesan aku! Aku hampir aja celaka, Mas.” Damar tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia membeku bak patung
"Sial! Apa yang terjadi?" raung Damar dengan suara tertahan. Berulang kali ia memukul roda kemudi saat meninggalkan kantornya.Tadi, ia sedang meeting penting dengan klien dari pukul 11 hingga pukul 12 siang. Ia dan kliennya baru saja hendak menuju makan siang bersama untuk merayakan kesepakatan yang tercapai.Saat ia melihat ponselnya, ia sangat tterkejut. Ada puluhan panggilan tak terjawab dari sang istri, Diana, dan enam kali panggilan dari Alex, sopirnya.Sadar ponsel dalam mode silent selama meeting, ia merasa kesal pada diri sendiri. Lantas, ia mengacak rambutnya frustrasi. Ia segera menghubungi Diana balik, tetapi tak diangkat.Setelah membatalkan makan siang dengan kliennya, berselang lima menit, Alex—sopirnya, menghubunginya. Saat panggilan tersambung, ia syok lantaran Alex membawa kabar yang sangat tidak ia inginkan. Aldo dan Diana berada di rumah sakit dan ia harus datang segera.







