LOGINSebulan kemudian, Diana dan Damar semakin akrab saat di luar kampus. Tapi di kampus, mereka sangat asing dan bahkan telah bersepakat untuk tidak saling mengenal.
Diana mengetuk pintu. Tok! Tok! “Masuk!” Suara bariton terdengar menyeru. Diana langsung masuk saja setelah membuka pintu. “Ini tugas yang Anda minta tadi, Pak,” ucapnya dengan lembut seperti biasa. “Oke. Letakkan di atas meja saja. Kamu bisa kembali ke kelasmu setelah ini,” jawab Damar santai. Dia meneruskan menginput data nilai mahasiswa yang lain ke dalam layar laptop. “Baik, Pak.” Diana menyahut santai. Namun, sebelum dia kembali ke kelasnya lagi, Damar menarik lengan kecil itu supaya Diana mendekat ke arahnya. Tap! “Apa kamu sudah selesai datang bulan?” bisik lelaki tersebut mendayu. “Sudah. Saya tahu kok nanti malam jadwal saya. Sudah ya, Pak. Saya mau pulang dulu. Kelas saya udah nggak ada siang ini.” Diana berpamitan“Baiklah, Yang ... akan aku lakuin.” Dengan berat hati, Damar akhirnya mengalah. Ia tak mau memperpanjang masalah ini dan membuat istrinya makin kesal padanya.“Berdebat dengan wanita tidak akan ada habisnya. Bisa seri saja sudah hebat!” katanya dalam hati.Kini, tangannya meraih spons kotor itu. Tanpa diduga, Diana menyerahkan spons yang baru. “Pakai ini saja! Nanti bibir Mas alergi, aku lagi yang disalahkan!”“Oh, thanks, Yang.” Damar tersenyum meraih spons bersih itu. Sesekali ia melihat Jimmy yang mengulum bibir, seolah tengah mengejeknya begini: “Itulah tidak enaknya memiliki istri, Tuan! Banyak resikonya kalau kita bersentuhan dengan wanita, tidak akan bisa bebas. Tahu rasa ‘kan sekarang dihukum?”“Apa lihat-lihat?” seloroh Damar saat Jimmy tampak menahan tawa. Wibawa Damar hancur berkeping-keping di depan asisten pribadinya. Sosoknya yang selama ini dikenal tegas dan berkuasa, kini tampak begitu kecil dan hina
“Lakukan sekarang juga! Cuci bibir Mas pakai itu, atau aku nggak akan pernah maafin Mas!” Bukannya memberi ampun pada suaminya, suara Diana justru makin melengking tinggi. Ia sama sekali tak memberi celah bagi Damar untuk memberi bantahan sedikit pun.Bukan, bukan berarti ia kejam. Bukan …. Hanya saja, rasa sakit di dadanya makin menghujam saat mengingat Damar mencium Raline dengan begitu mesra-nya, sama seperti saat menciumnya dengan penuh gairah.Kini, Diana mengingat kembali tanggal CCTV yang ada di kantor itu. “Sepertinya itu terjadi saat Mas Damar tiba-tiba mengajakku ke hotel siang itu. Jadi, saat itu dia melakukannya? Ih! Jadi selama itu aku dibohongi?” maki Diana dalam hati. Ia bersedekap sebelah, sambil memegang payung dengan tangan kanannya, menatap Damar penuh otoritas Kini, Damar mengernyit. Nyatanya, menampilkan raut wajah memelas tak akan membuat Diana luluh. Tapi, tak ada salahnya membujuk lagi, ‘kan? Dengan suara renge
“Ya Allah, sakitnya. Kenapa hal seperti ini terjadi lagi?” Larut malam, di dalam kamar yang remang-remang, Diana menangis tersedu-sedu. Air matanya membasahi bantal, melukiskan betapa hancur hatinya. Bayi kecilnya kini menangis kencang di sampingnya. Seolah tengah merasakan kesedihan yang tengah dirasakan sang ibu.Namun, Diana terlalu larut dalam kesedihannya sendiri hingga tak mampu menghiraukan tangisan putranya. Saat Sagara makin menangis kencang, Diana pun akhirnya tak bisa mengabaikannya. Kini,Nia dekap Sagara dalam pelukan hangatnya, ia kecupi pipi dan pucuk kepala putranya yang tampan itu sambil meminta maaf.“Maafkan Mama, Sayang,” bisik Diana di sela tangisnya, namun tangisannya justru semakin menjadi-jadi.Sambil meraih susu yang ia buat sejam lalu di atas nakas, ia menyodorkan ya pada Sagara dan bocah manis itu langsung berhenti menangis. “Mama tidak tahu harus bagaimana lagi. Maaf Mama egois, ya? Mama ga
“Kamu gila? Kamu berniat menjadi pelakor, Raline?”“Kalau hal itu bisa buat dapetin Pak Damar, kenapa enggak, sih, Pa? Aku sangat terobsesi dengannya! Dia harus jadi milikku!”Tak serantan, Bima mencengkeram kerah blus yang dikenakan Raline. Matanya menyala-nyala, menatap putrinya dengan tatapan penuh amarah dan kekecewaan.Raline mencoba melepaskan cengkeraman ayahnya, namun Bima semakin mempereratnya. “Lepaskan aku, Pa! Sakit!”“Tidak! Papa gak akan melepaskanmu sampai kamu sadar akan kesalahanmu!” Bima mengguncang tubuh Raline dengan kasar. “Kamu harus mengakhiri semua ini! Kamu tidak bisa menghancurkan rumah tangga orang lain demi kebahagiaanmu sendiri!” Raline menolak tegas. Ia gunakan kedua tangannya untuk menutupi perutnya. “Gak mau! Aku gak akan mengakhiri apa pun!” Kini, Raline berteriak histeris. Ia pikir, ia telah berada di jalan yang benar. Masa bodoh dengan tentang Diana yang akan tersakiti!“Papa, dengark
“Ah, indahnya hidup ini,” bisik Raline dengan matanya berbinar-binar penuh rencana. Sambil mengusap perut, ia menunduk. Ia bahagia sekali dengan kabar kehamilan ini yang sesuai dengan prediksinya “Oh, selamat datang ke dunia, Baby. Mama tidak sabar menunggu kehadiranmu di dunia ini, dan mengguncangkan kehidupan Diana dan Pak Damar. Mama yakin dengan adanya kamu, … Pak Damar akan menjadi milikku! Milik kita, kita akan hidup bahagia! Kamu senang?”Usai tersenyum tipis, Raline lalu mengakhiri panggilan video dengan Claudia. Senyum itu tidak tulus, lebih seperti topeng yang menutupi gejolak dalam hatinya. Matanya kemudian tertuju pada test pack dan hasil USG transvaginal yang tergeletak di pangkuannya. Benda-benda itu adalah bukti nyata dari rencana yang sedang ia susun. “Sempurna! Kamu hadir, melengkapi hidupku, Sayang. Oh, terima kasih. Terima kasih “Dengan gerakan selembut mungkin, Raline meletakkan test pack dan hasil USG itu di dalam
“Ah, saya tahu! Beri saham perusahaan saja, Tuan!” Sambil menjentikkan jarinya, mata Jimmy berbinar. Ide di kepalanya mendadak tercetus, ia begitu bersemangat. Sayangnya, hal itu berbanding terbalik dengan reaksi Damar yang acuh. “Saham perusahaan? Hei, apa kamu bercanda? Semuanya sudah atas nama Diana, Jim! Aku hanya mengelolanya saja. Apa ku tidak punya ide lain yang lebih cerdas?” Damar menatap Jimmy dengan tatapan skeptis, seolah semua usulan yang Jimmy berikan tidak akan mempan pada Diana. Kini, Jimmy terdiam sejenak sambil berpikir keras. Setelah beberapa saat hening, ia mengangkat kedua tangannya menyerah. “Ya sudshlah. Ampun, Tuan! Saya angkat tangan! Ternyata, memiliki istri itu rumit sekali ya?”“Memang!”“Hm, karena itulah saya betah melajang sampai usia hampir kepala empat.”“Hei, kamu harus menikah. Kamu—”“Tidak, tidak! Saya tidak mau menikah, Tuan. Lebih baik membelikan tas mewah untuk beberap







