Share

Penyusupan yang Disebut Pulang

last update Last Updated: 2025-12-23 12:59:10

Langkah mereka bergema pelan menyusuri lorong sempit yang mengarah ke sayap rumah yang lebih sunyi. Margarethe masih menggenggam lap dapur, seolah benar-benar berniat membantu memeriksa pipa. Namun begitu mereka menjauh dari ruang tamu, ekspresinya berubah. Senyum kecil yang tadi ia pakai menghilang, digantikan kewaspadaan yang terlatih.

Leonhardt berhenti di depan pintu kayu tua. Ia menoleh sekilas ke belakang, memastikan lorong kosong. Tak ada bayangan. Tak ada suara selain dengung pemanas tua dari dinding dan tawa Edelheid yang samar dari ruang depan—kini membahas kenangan masa kecil dengan nada sengaja riang.

Margarethe menempelkan telinganya ke pintu.

Hening.

Leonhardt menyentuh gagang pintu dan menariknya perlahan.

Klik-klak.

Suara kecil itu membuat jantung Margarethe berdegup lebih keras dari yang ia inginkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Penyusupan yang Disebut Pulang

    Langkah mereka bergema pelan menyusuri lorong sempit yang mengarah ke sayap rumah yang lebih sunyi. Margarethe masih menggenggam lap dapur, seolah benar-benar berniat membantu memeriksa pipa. Namun begitu mereka menjauh dari ruang tamu, ekspresinya berubah. Senyum kecil yang tadi ia pakai menghilang, digantikan kewaspadaan yang terlatih. Leonhardt berhenti di depan pintu kayu tua. Ia menoleh sekilas ke belakang, memastikan lorong kosong. Tak ada bayangan. Tak ada suara selain dengung pemanas tua dari dinding dan tawa Edelheid yang samar dari ruang depan—kini membahas kenangan masa kecil dengan nada sengaja riang. Margarethe menempelkan telinganya ke pintu. Hening. Leonhardt menyentuh gagang pintu dan menariknya perlahan. Klik-klak. Suara kecil itu membuat jantung Margarethe berdegup lebih keras dari yang ia inginkan.

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Rumah yang Masih Mengingat

    Mobil berhenti perlahan di tikungan sepi dekat distrik tua. Rumah keluarga Vogel berdiri dengan anggun khas arsitektur Berlin Timur—jendela-jendela tinggi berbingkai kayu, pagar besi hitam yang mulai kusam, dan taman kecil di depan rumah yang kini dipenuhi dedaunan gugur yang belum tersapu. Gerimis turun tipis, menyelimuti segalanya dengan kilau basah yang dingin. Leonhardt keluar lebih dulu. Langkah kakinya mantap saat membuka pintu untuk Margarethe dan Adelheid. Tatapannya menyapu sekeliling dengan cepat—kebiasaan lama yang tak pernah benar-benar pergi. Tangannya secara naluriah menyentuh sarung tangan kulit hitam yang terselip di saku dalam mantelnya. Tak satu pun dari mereka berbicara. Jendela rumah Ernst tampak gelap. Tak ada cahaya dari ruang depan—hanya sinar samar dari lantai atas, tanda bahwa pria tua itu mungkin belum tidur. Margarethe melangkah ke depan dan menekan bel. Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar dari dalam. Bukan langkah pelayan. Bukan langkah asin

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Pulang dengan Kebohongan yang Rapi

    Hujan belum juga reda malam itu. Di kamar tamu yang remang, cahaya lampu hanya menyentuh sebagian wajah mereka—menciptakan suasana seperti ruang interogasi yang sunyi, tempat kebenaran tak pernah benar-benar diucapkan dengan lantang. Leonhardt berdiri di dekat meja kecil. Di hadapannya terbentang sketsa kasar rumah Ernst Vogel, digambar cepat di atas kertas lusuh dengan tinta yang masih tampak basah di beberapa garis. “Dokumennya tidak ada di ruang kerja,” katanya tenang, tanpa perlu menatap mereka. “Bukan pula di brankas bawah lantai. Aku yakin Ernst menyimpannya di tempat yang paling—” Ia berhenti sejenak, memilih kata. “—pribadi.” Margarethe berdiri tak jauh darinya. Tatapannya mengikuti garis-garis sketsa itu dengan sorot mata yang penuh pertimbangan. Ia mengenal rumah itu. Mengenal Ernst. Bukan hanya sebagai ayah angkat—tapi sebagai seseorang yang pe

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Mencuri Kebenaran dari Orang yang Kita Cintai

    Margarethe dan Adelheid menoleh bersamaan. Adelheid cepat-cepat menyeka sudut matanya, lalu duduk tegak, seperti seseorang yang berusaha menyembunyikan kelemahan sebelum orang lain sempat melihatnya. Margarethe bangkit perlahan dan membuka pintu—ragu, tapi tak mundur. Di ambang pintu berdiri Leonhardt. Mantel panjangnya masih basah oleh sisa hujan, rambutnya sedikit kusut, tapi wajahnya tetap tenang, serius seperti biasa. Sorot matanya langsung menyapu ruangan, berhenti sejenak pada Edelheid, lalu kembali ke Margarethe. “Kita harus bicara,” katanya datar. Lalu, tanpa basa-basi, ia menoleh pada Adelheid. “Denganmu juga.” Tanpa menunggu persetujuan, Leonhardt melangkah masuk. Pintu menutup pelan di belakangnya, dan udara di kamar seolah berubah tekanan—lebih berat, lebih padat. Ia berdiri

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Rahasia yang Memilih Kami

    “Jawaban itu tidak akan mengubah apa pun,” ujar Leonhardt akhirnya. Suaranya tenang, tapi ada beban berat di setiap katanya. “Tapi bisa menghancurkan segalanya.” Margarethe melangkah lebih dekat. Jarak di antara mereka menyempit—bukan karena dorongan emosi, melainkan keputusan. “Maka biarkan aku yang menentukannya.” Leonhardt menatapnya beberapa detik. Lalu ia menghela napas pelan, seolah menerima sesuatu yang tak bisa lagi ditunda. Ia berbalik ke rak buku di belakang meja kerjanya, menekan sisi kayu tertentu. Klik. Dinding kayu itu bergeser perlahan, membuka ruang sempit yang tersembunyi rapi di baliknya. Leonhardt meraih sebuah map cokelat tua—tebal, berdebu—lalu membawanya kembali ke meja dan meletakkannya tepat di hadapan Margarethe. “Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pernikahan ini,” katanya pelan. “Sesuatu yang melibatkan ayahku… dan mungkin juga keluargamu.” Ia membuka map itu. Foto-foto hitam-putih tersaji satu per satu. Gedung laboratorium terpencil.

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Ketika Kebohongan Kehabisan Malam

    Malam itu udara terasa berat. Langit di luar menggantung kelabu, masih menyisakan sisa hujan sore yang menempel di kusen jendela dan aroma tanah basah yang mengambang di udara. Di kamar tamu lantai atas, lampu gantung berayun pelan, memantulkan cahaya temaram ke dinding dan perabot tua yang terlalu rapi untuk disebut hangat. Margarethe duduk di tepi ranjang, sebuah dokumen terbuka di pangkuannya. Lembaran-lembaran tua. Kertas menguning. Di pojok atas—sebuah lambang yang langsung dikenalnya, bahkan sebelum matanya benar-benar fokus. Simbol intelijen. Simbol yang selama ini tersembunyi rapi di balik ketenangan Leonhardt. Jarinya menggenggam kertas itu erat, seolah menahan getaran yang merambat naik dari telapak tangan ke dadanya. “Langkah ini…” bisiknya pelan.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status