ВойтиBangunan itu tampak seperti gudang tua yang nyaris runtuh—atap seng berkarat, dinding retak, papan nama usang yang tak lagi menunjukkan apa pun. Bangunan yang terlalu biasa untuk menarik perhatian. Terlalu tak penting untuk dicurigai. Namun beberapa meter di bawah tanahnya, dunia lain berdiri. Leonhardt berhenti di depan pintu logam besar tanpa label. Tak ada gagang. Tak ada panel. Hanya satu kamera kecil dengan cahaya merah redup, menatapnya seperti algojo yang sedang menilai layak tidaknya sebuah eksekusi. Ia mengangkat tangan, menorehkan pola kode di udara—gerakan yang tak akan dikenali siapa pun selain mesin tua yang tertanam di balik baja. Sunyi. Lalu bunyi mekanis berat bergeser perlahan. Pintu terbuka. Udara dingin menyeruak dari lorong sempit—steril, mati, seolah tempat ini tidak pernah mengizinkan manusia benar-benar tinggal di dalamnya. Cahaya strip putih pucat menyala di sepanjang dinding, memantulkan bayangan panjang langkah sepatunya. Lorong itu tak berbau
Ruang bawah tanah kediaman von Richter sunyi, terisolasi dari hiruk pikuk lantai atas. Hanya detak jarum jam antik yang terdengar—pelan, teratur—menyatu dengan aroma arsip lembap dan kayu tua yang meresap di dinding bata. Di atas meja rendah, peta Reich lama terbentang. Usang. Penuh bekas lipatan dan titik-titik kecil yang tak pernah tercantum di buku sejarah. Friedrich duduk di kursi kulit yang telah menua bersama perang dan keputusan-keputusan yang tak pernah dituliskan. Tatapannya terpaku pada peta itu, seolah Berlin masih berada dalam garis tembak. Di seberangnya, Leonhardt berdiri. Satu tangan dimasukkan ke saku mantel. Tubuhnya tetap tegap, nyaris tanpa cela—namun kelelahan tipis tak sepenuhnya tersembunyi di sorot matanya. “Entah disengaja atau tidak,” ucap Leonhardt pelan, suaranya datar, “gadis itu seperti punya gravitasi sendiri yang tertambat pada kakaknya.” Ia berhenti sejenak, memilih kata. “Sulit dilepaskan. Bahkan ketika tak ada tali yang mengikat.”
Pagi itu seharusnya damai. Setidaknya, begitulah asumsi siapa pun yang belum mengenal Adelheid. Gadis remaja itu menyusuri rumah bangsawan von Richter seperti penjelajah yang baru dilepas ke reruntuhan peradaban. Setiap sudut diperiksanya dengan mata berbinar—hingga langkahnya terhenti di dapur utama. Matanya membesar. Rak-rak kayu gelap berderet rapi, dipenuhi bahan makanan impor. Lemari kaca memamerkan botol-botol anggur mahal dengan label berbahasa Prancis dan Italia. Gelas wine beraneka bentuk berkilau di bawah cahaya pagi, seolah berbisik: sentuh aku. Adelheid mendekat, berjinjit, wajahnya nyaris menempel ke kaca. “Margarethe…” bisiknya kagum. “Kalau aku menghilang di sini tiga jam, tolong anggap aku diculik oleh peradaban kuliner.” Margarethe sudah tahu ini akan berakhir buruk. Ia menghampiri dan menarik lengan adiknya. “Adel. Jangan mulai lagi. Kita sudah cukup diadili kemarin.” “Aku cuma melihat,” sanggah Adelheid cepat. “Aku tidak akan menyentuh apa pun. Demi
Gedung Standesamt Berlin-Mitte menjulang seperti sosok bisu di antara bayang-bayang beton. Malam menempel di permukaannya, menyembunyikan retakan dan rahasia yang selama bertahun-tahun dibiarkan membusuk di balik cat kelabu. Setiap jendela tampak seperti mata mati yang mengawasi kota tanpa benar-benar peduli. Di atapnya, kamera pengawas berputar lambat, menyapu halaman yang remang. Penjaga keamanan berjalan bergantian, langkah mereka ritmis—terlalu rutin, terlalu percaya diri. Pola yang mudah diprediksi oleh seseorang yang pernah hidup lebih lama di antara bayang-bayang daripada di bawah cahaya. Seseorang seperti Leonhardt. Bayangan bergerak cepat di lorong samping bangunan. Pria itu muncul tanpa suara—pakaian hitam, masker menutupi wajah, tubuhnya menyatu dengan gelap. Hanya matanya yang terlihat dari sela kain, biru dingin yang mempelajari medan seolah seluruh dunia adalah target operasi. Ransel tipis di punggungnya memuat alat-alat yang hanya digunakan oleh orang-orang yang
Uap hangat memenuhi kamar mandi marmer itu. Cahaya lampu tembaga membiaskan warna keemasan pada buih yang terapung di permukaan air—indah, tetapi ada ketegangan yang tidak ikut larut. Seolah dinding ruangan tahu lebih banyak daripada dua orang yang duduk di dalamnya. Adelheid duduk di tepi bak, menggosok punggung kakaknya dengan gerakan pendek dan cepat—bukan manja, tapi gelisah. “Kau lihat tadi?” katanya sambil mendengus. “Friedrich menatapku seperti aku baru saja membongkar rute serangan militer. Padahal aku cuma menyentuh rak buku. Rak buku, Grethe.” Margarethe tidak langsung menjawab. Ia hanya tenggelam sedikit lebih dalam ke air, seakan ingin menghapus sisa tatapan tajam Friedrich dari kulitnya. “Dia menilai semua orang seperti itu,” ucapnya akhirnya. “Bahkan putranya sendiri.” Adelheid memeras spons hingga keluar suara berdecit. “Dan pria itu… entah dia memihakmu atau hanya menjalankan drama keluarga. Kadang kupikir dia bisa menusuk seseorang sambil tetap tampak sopa
Leonhardt angkat bicara—halus, namun cukup tegas memotong arah serangan. “Dia tamu di rumah ini. Jika ada kekeliruan, itu tanggung jawabku.” Nada suaranya datar seperti baja dingin. Friedrich mengalihkan tatapan. “Kau terlambat makan malam. Kau membiarkan istrimu berjalan sendiri di rumah asing. Dan kau tidak memberi instruksi apa pun kepada adik iparmu.” Leonhardt tidak bergeming. “Kukira rumah ini cukup aman, Ayah.” Kata Ayah diucapkan seperti gelar militer—bukan panggilan keluarga. Margarethe menahan napas. Adelheid memandang mereka bolak-balik seperti penonton pertandingan anggar kelas bangsawan. Friedrich menyandarkan diri, wajah tetap tanpa emosi. “Rumah ini aman bagi mereka yang tahu cara berjalan di dalamnya.” Tatapannya kembali menembus Margarethe. “Dan bagi seorang istri keluarga von Richter… kedudukan itu menuntut kecermatan.” Itu bukan nasihat. Itu ujian yang dilemparkan seperti tantangan resmi. Margarethe menegakkan bahu. Sorot matanya na







