MasukDi dalam mobil hitam buatan Jerman, keheningan bukan lagi suasana—ia adalah keputusan. Jalanan basah, pepohonan terbias di kaca, tapi Leonhardt tidak benar-benar melihat apa pun. Matanya terbuka, pikirannya sibuk menata ulang peta yang tak terlihat.
Margarethe duduk di kursi belakang, gaun putih lusuh menempel pada tubuhnya seperti beban yang tak bisa dilepaskan. Tatapannya kosong menembus jendela, seolah menghitung detik yang menjauhkan mereka dari gereja—dan dari Adelheid. Leonhardt duduk di depan, punggung tegak, rahang mengeras. Sarung tangan di tangannya ia rapikan sekali—gerakan kecil yang nyaris militer—seolah sedang mengarsipkan satu fase hidup ke dalam laci yang tidak perlu ia buka lagi. Pernikahan itu, baginya, telah menjadi data: dicatat, diklasifikasikan, dan disimpan. Ketika Margarethe bicara, suaranya menembus mobil seperti pecahan kaca.<Hujan belum juga reda malam itu. Di kamar tamu yang remang, cahaya lampu hanya menyentuh sebagian wajah mereka—menciptakan suasana seperti ruang interogasi yang sunyi, tempat kebenaran tak pernah benar-benar diucapkan dengan lantang. Leonhardt berdiri di dekat meja kecil. Di hadapannya terbentang sketsa kasar rumah Ernst Vogel, digambar cepat di atas kertas lusuh dengan tinta yang masih tampak basah di beberapa garis. “Dokumennya tidak ada di ruang kerja,” katanya tenang, tanpa perlu menatap mereka. “Bukan pula di brankas bawah lantai. Aku yakin Ernst menyimpannya di tempat yang paling—” Ia berhenti sejenak, memilih kata. “—pribadi.” Margarethe berdiri tak jauh darinya. Tatapannya mengikuti garis-garis sketsa itu dengan sorot mata yang penuh pertimbangan. Ia mengenal rumah itu. Mengenal Ernst. Bukan hanya sebagai ayah angkat—tapi sebagai seseorang yang pe
Margarethe dan Adelheid menoleh bersamaan. Adelheid cepat-cepat menyeka sudut matanya, lalu duduk tegak, seperti seseorang yang berusaha menyembunyikan kelemahan sebelum orang lain sempat melihatnya. Margarethe bangkit perlahan dan membuka pintu—ragu, tapi tak mundur. Di ambang pintu berdiri Leonhardt. Mantel panjangnya masih basah oleh sisa hujan, rambutnya sedikit kusut, tapi wajahnya tetap tenang, serius seperti biasa. Sorot matanya langsung menyapu ruangan, berhenti sejenak pada Edelheid, lalu kembali ke Margarethe. “Kita harus bicara,” katanya datar. Lalu, tanpa basa-basi, ia menoleh pada Adelheid. “Denganmu juga.” Tanpa menunggu persetujuan, Leonhardt melangkah masuk. Pintu menutup pelan di belakangnya, dan udara di kamar seolah berubah tekanan—lebih berat, lebih padat. Ia berdiri
“Jawaban itu tidak akan mengubah apa pun,” ujar Leonhardt akhirnya. Suaranya tenang, tapi ada beban berat di setiap katanya. “Tapi bisa menghancurkan segalanya.” Margarethe melangkah lebih dekat. Jarak di antara mereka menyempit—bukan karena dorongan emosi, melainkan keputusan. “Maka biarkan aku yang menentukannya.” Leonhardt menatapnya beberapa detik. Lalu ia menghela napas pelan, seolah menerima sesuatu yang tak bisa lagi ditunda. Ia berbalik ke rak buku di belakang meja kerjanya, menekan sisi kayu tertentu. Klik. Dinding kayu itu bergeser perlahan, membuka ruang sempit yang tersembunyi rapi di baliknya. Leonhardt meraih sebuah map cokelat tua—tebal, berdebu—lalu membawanya kembali ke meja dan meletakkannya tepat di hadapan Margarethe. “Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pernikahan ini,” katanya pelan. “Sesuatu yang melibatkan ayahku… dan mungkin juga keluargamu.” Ia membuka map itu. Foto-foto hitam-putih tersaji satu per satu. Gedung laboratorium terpencil.
Malam itu udara terasa berat. Langit di luar menggantung kelabu, masih menyisakan sisa hujan sore yang menempel di kusen jendela dan aroma tanah basah yang mengambang di udara. Di kamar tamu lantai atas, lampu gantung berayun pelan, memantulkan cahaya temaram ke dinding dan perabot tua yang terlalu rapi untuk disebut hangat. Margarethe duduk di tepi ranjang, sebuah dokumen terbuka di pangkuannya. Lembaran-lembaran tua. Kertas menguning. Di pojok atas—sebuah lambang yang langsung dikenalnya, bahkan sebelum matanya benar-benar fokus. Simbol intelijen. Simbol yang selama ini tersembunyi rapi di balik ketenangan Leonhardt. Jarinya menggenggam kertas itu erat, seolah menahan getaran yang merambat naik dari telapak tangan ke dadanya. “Langkah ini…” bisiknya pelan.
Langkah sepatu kulit menyusuri lorong berkarpet merah tua yang dijaga ketat. Leonhardt berjalan setengah langkah di belakang Friedrich—cukup dekat untuk disebut bayangan, cukup jauh untuk tidak terlihat sebagai anak yang mengikuti. Friedrich tampak tenang, bahkan nyaris puas. Tapi di balik wajahnya, tak ada jejak kemenangan yang benar-benar hidup. Mereka dibawa memasuki sebuah ruang kecil berpanel kayu tua, bergaya kolonial. Dua pria tanpa insignia berdiri di dekat pintu—netral, dingin, dan terlalu profesional untuk disebut pengawal biasa. Di dalam ruangan itu, tiga orang telah menunggu. Yang pertama, Duta Besar Inggris: Sir Malcolm Hargrove. Jas abu-abu sempurna, saputangan biru muda terlipat terlalu rapi—seperti seseorang yang percaya keteraturan bisa menahan kekacauan. Di sisi lain, Letnan Colbert dari Prancis, duduk santai sambil mengaduk kopi hitam. Aromanya pahit, menusuk udara, seolah sengaja dibiarkan begitu. Dan di sudut ruangan, Ny. Irina Petrovna dari Uni Soviet.
Langit Berlin pagi itu tampak bersih—terlalu bersih, seolah ingin menutupi betapa dinginnya permainan yang berlangsung di balik dinding gedung tua itu. Bendera-bendera dari berbagai negara berkibar rapi di halaman gedung marmer berusia puluhan tahun, berdiri anggun seperti simbol stabilitas yang rapuh. Di dalam, ruang konferensi dipenuhi jas-jas hitam, tatapan terlatih, dan senyum yang terlalu terukur untuk disebut ramah. Friedrich von Richter melangkah masuk dengan wibawa klasik seorang veteran perang—pria yang telah melalui lebih dari satu perundingan genting dan tahu kapan harus berbicara, dan kapan harus diam. Di belakangnya, Leonhardt berjalan tenang. Ekspresinya tak terbaca, posturnya nyaris tak mencolok—tampak seperti ajudan biasa. Padahal, tak seorang pun di ruangan itu benar-benar tahu siapa dia, atau apa yang ia dengar. Jamuan siang ini bertajuk “Rekonstruksi Hubungan Keamanan Regional”—judul sopan untuk percakapan diplomatik yang dipenuhi pengawasan, pengujian batas,







