Share

6 - Aku Berutang pada Jerapah

Diskusi dilakukan di sofa ruang tengah lantai satu. Tidak secara formal, tapi tetap beradab sehingga Mama Gesa berulang kali memperingati Max untuk tidak mengangkat kakinya ke meja jati berpermukaan kaca. Setelah berpamitan, Mama Gesa dan Gesa bergegas keluar rumah.

Sementara jeritan kesal dan tawa keras menggelegak di lantai dua, aku dan Max melakukan perbincangan ringan, tentang kampusku, jurusanku, kelas-kelasku, bahkan SMAku, sebelum menjerat kami ke dalam bahasan utama pertemuan hari ini.

"Singkatnya, Tom," kami sempat berkenalan dengan semi-formal. "kau tidak bisa menandatangani kontrak itu karena belum memiliki izin."

Aku mengernyit. "Benarkah?"

"Ya. Nanti kau akan mempelajari perihal izin di semester atas. Dulu di teknik sipil, aku mendapatnya waktu semester lima. Kau bahkan akan mempelajari ekonomi bangunan." Yang itu aku tahu. "Dengar," Max mengulurkan telapak tangan ke hadapanku. Dia duduk di sofa tunggal sementara aku di sofa panjang. "Walau tidak bisa menandatangani kontrak, kau bisa menjual desainmu padaku."

Aku menelengkan kepala.

"Sebentar. Bree sialan itu tidak memberiku minuman." Jadi dia melenggang ke dapur. Masih lucu rasanya melihat kaki superpanjang Max melangkah seperti bola yoga yang terpental-pental di lantai. Max kembali dengan dua botol minuman bersoda di tangannya. "Kau sudah minum kopi, benar? Tapi tidak apa-apa. Ini harus dilakukan di rumah kami." Dijejalkannya satu botol soda dingin ke tanganku. "Sandra bakal mengamuk kalau anak-anaknya tidak menyuguhkan sesuatu pada tamu."

Aku mengingat kunjungan pertamaku kemari. Menonton The Hunger Games dengan teman-teman di atas. Telepon dari Edy membuatku memisahkan diri dari mereka, tapi ketika kembali, aku melihat tiga camilan kemasan, kue bolu utuh beserta pisau plastik, dan sekotak besar susu full cream sudah tersaji di meja.

Benar. Mereka ternyata harus melakukan itu.

Aku bertanya-tanya bagaimana rasanya harus menuruti aturan ketat dari seorang ibu yang tidak melahirkan Max.

"Singkat kata, Thomas," aku menandainya, Max sudah dua kali mengatakan singkat. Dia kembali mengempaskan diri di sofanya. "Aku bisa mengambil alih proyek ini dan mempekerjakanmu sebagai drafter. Aku bisa menggambar desainnya, tapi ini proyekmu. Dan aku bakal membantu. Peranku di sini untuk membantumu. Izinnya akan kuurus, tapi aku akan menurut padamu, sesuai perintahmu. Tapi sebenarnya, istilah yang lebih tepat adalah mengawasimu. Kalau kau melenceng dari jalur yang baik, aku menegurmu. Kalau kau melakukan hal benar, aku akan membiarkanmu berimprovisasi. Kau harus setuju. Aku setuju. Karena kalau tidak kulakukan, akan memicu terjadinya reaksi berantai."

"Boleh aku mencernanya sebentar?"

"Apa aku bicara terlalu cepat?"

Ada perbedaan mendasar antara penuturan Max dan Gesa. Max bicara dengan cepat, panjang, padat, dan bernada. Gesa bicara dengan ritme yang tepat, sesuai ketukan. Bahkan senyumnya pun terbentuk secara alami seperti mulut itu sendiri. Proporsi bicara dan senyumnya begitu pas. Dia banyak membicarakan sesuatu yang agak keluar dari topik utamanya, tapi kedengaran sangat menghibur. Walau tidak bernada, Gesa selalu menaruh jeda dan saat kembali berbicara, dia melakukannya dengan mantap. Nada dalam suara Max membuatnya terdengar seperti sedang berdongeng dan, oleh sebab itu, bercanda.

Aku mengangguk dan bersandar pada sofa, mulai memikirkan tentang izin. Seharusnya aku tahu itu, tapi aku melupakannya. Dalam buku-buku bangunan, disebutkan beberapa kali tentang izin. Hari ini aku melupakan ilmu yang telah kuemban sejak lama. Rasanya memalukan.

"Jadi satu-satunya alasanku tetap bisa mengambil proyek ini adalah karena bantuanmu?" Suaraku terdengar seperti milik orang lain. Pandanganku juga seperti terpisah dari tubuhku.

"Tidak."

Benda-benda yang tadi buram di atas meja kini mulai mendapatkan bentuknya kembali. Vas putih berleher tinggi yang berisi dua tangkai seruni pink (pasti ide Sandra), remote TV, botol minuman sodaku, dan asbak logam. Aku menoleh Max, berkedip tanpa mengatakan apa pun.

"Orang itu meminta desain darimu, kau bisa memberikannya. Kau bisa menjualnya tanpa izin atau apa pun, seperti misalnya menjual lukisan kartun atau alam. Tapi orang itu tetap harus membawa desain itu ke sebuah biro arsitektur untuk melakukan konsultasi. Dari biro itu, desainmu akan mendapatkan beberapa revisi jika dirasa perlu—dan karena itu bukan desainnya, aku yakin dia merasa sangat perlu. Oleh karena tidak adanya hak cipta yang mengikat, karyamu bebas diobrak-abrik orang," Max tersenyum lebar pada waktu yang terasa salah. "Tapi misalnya biro itu aku, akan kurevisi dan kuberikan padamu. Kau harus mempelajarinya. Dan kita akan terus melakukan diskusi sampai masing-masing dari kita merasa puas. Ide bagus?"

Aku dibanjiri perasaan lega. Walau tidak akan mendapatkan penghargaan berupa nama dalam desainku sendiri, setidaknya karyaku tidak diobrak-abrik orang lain. Max bisa dipercaya. Aku harus bisa percaya padanya. Daripada Gerald, dia tahu lebih banyak. Dia sudah memiliki pengalaman. Penuntun yang tepat.

Sudah lewat sekitar lima puluh menit sejak aku tiba. Berdasarkan durasi Winter is Coming, beberapa menit lagi mereka bakal berhamburan di lantai dua. Jake dan Victor mungkin akan mencariku ke bawah. 

"Ide bagus." Aku mengulurkan tangan. Max mengangguk dan kami berjabat tangan. "Tapi kupastikan aku akan benar-benar belajar darimu. Oleh sebab itu… Eh, bisakah aku memintamu untuk… Bekerja secara transparan?"

"Tentu saja." Bahunya terangkat dengan santai.

Tiba-tiba aku memikirkannya. "Reaksi berantai yang kau maksud… Apakah meski bukan aku yang meminta bantuanmu, akan ada anak-anak arsitektur lainnya yang melakukan itu?"

Max dengan suara basnya yang sanggup menggetarkan daratan es di Greenland tertawa. "Aku direkomendasikan Jake. Kalau aku menolakmu, Jake tentu akan mengatakannya pada Junko. Junko saja sudah cukup untuk membuatku sekarat. Tapi kalau dia sampai memanas-manasi Sandra… Jasadku tidak bakal utuh."

Sulit membayangkan Mama Gesa, Sandra, memegang samurai dan memenggal kepala Max. Tapi Junko rupanya telah bertindak baik sekali padaku. Dia membelaku dan mengupayakanku mendapatkan proyek ini. Tidak salah menganggapnya sebagai adik yang manis, sebagaimana kakak perempuannya menganggapku sebagai adik yang manis.

"Kau akan memberitahuku kapan kau akan menemui klienmu itu, benar?"

"Akan kukabarkan segera. Dia belum menghubungiku lagi. Dan aku akan mengajakmu untuk menghadiri meeting pertama dengannya. Tapi, Max…"

"Hm?" Leher Max terlalu panjang sehingga saat dia menunduk, rasanya seperti melihat jerapah kehilangan motivasi di atas sofa.

"Karena aku ada dalam perlindungan Junko, aku jadi aman. Seandainya tidak, kau bakal meminta bayaran padaku, kan?"

"Bayaran?" Dia melagukan pertanyaannya.

Aku mengangguk. "Simbiosis mutualisme."

Jemari Max bergantian mengetuk pegangan sofa. Sembari berpikir, tubuhnya berayun ke kanan dan kiri seperti jarum timbangan analog yang bingung. Dia butuh waktu dua menit dalam keheningan sebelum melirikku sambil menyeringai. "Awalnya aku tidak memikirkan itu sama sekali. Tapi, Tom, sialan, kau malah mengingatkanku pada mutualisme."

"Jadi aku melakukan hal benar." Aku mengangguk dan bernapas lega. Kalau berhasil melakukan apa yang dia inginkan, aku tidak akan memiliki utang budi padanya.

"Kau bagus dalam matematika, kan? Junko bilang hari itu di Normal Roaster, kau bagus." Setelah melihatku mengangguk, dia melanjutkan, "Dan kau tadi bicara dengan Bree?" Aku kembali mengangguk. "Apa dia tidak berpersuasi tentang bimbingan belajar rintisannya?"

"Kami membicarakannya, tapi dia tidak menyuruhku bergabung menjadi stafnya, kalau itu yang kau maksud."

Max berpikir lagi. Sepertinya dia tercipta untuk selalu berpikir. Maksudku tanpa henti. "Dia tahu kau anak Arsitektur."

"Dan?"

"Dan itu berarti kau sibuk."

"Ya, tapi itu relatif sekali, bukan?"

"Benar. Itu relatif sekali." Max mencondongkan tubuhnya ke arahku lagi. Ketika kakinya menendang bonggol jati meja, dia berteriak dalam bahasa Jerman sambil mengusap-usap jemari kakinya.

"Kau mengumpat dalam bahasa Jerman?" Aku menggeleng takjub. "Cerdas."

Dia mengibaskan tangannya, seolah hendak menebas pikiran-pikiran buruk tentangnya. "Singkatnya begini," tiga kali kata singkat. "Dengar, oke," dua kali kata dengar. "Aku mau kau membantunya. Kau harus jadi rekannya. Lalu di antara kita tidak ada utang apa pun."

Telingaku rasanya sepanas neraka. Kalau saja Max tahu aku sanggup mengunyah gunung untuk meredam teriakan senangku. Ya Tuhan, terimakasih. Kakak dan adiknya sendiri yang mengirimku ke sisinya, semakin dekat dengannya.

Kau mulai menyukai ini.

May, aku suka menerima hiburan. Gesa juga menyukai hiburan. Kami akan memiliki hiburan yang sama.

Kau menyukainya.

Aku…

Kau menyukainya, Thomas. Kau mengkhianatiku.

"Tidak."

Max mengangkat alisnya. Aku pun merasa terkejut. Dadaku dipenuhi gemuruh.

"Kau benar," lanjutku. "Aku anak Arsitektur. Aku sangat sibuk."

Aku bukan pengkhianat.

"Baiklah. Kau berutang padaku. Dan aku akan mengingatnya."

"Tidak bisakah kau meminta sesuatu untuk dirimu sendiri?"

"Kami menciptakan konsep Trio Loyal. Bahwa dalam nadiku mengalir nama Bree dan Junko. Dalam nadi Bree mengalir namaku dan Junko. Dan dalam nadi Junko mengalir namaku dan Bree. Singkatnya," empat. "Kami adalah satu dalam bentuk trio. Saat aku meminta sesuatu untuk Bree, itu karena aku yakin dia akan melakukan hal yang sama untukku."

Selamanya aku dan Edy akan terpisahkan oleh keegoisan dan pengkhianatan. Dia egois dan aku berkhianat pada Yuda demi dia. Hubungan Max dan Bree-Junko bahkan tidak diikat oleh darah. Tapi mereka menciptakan persaudaraan yang bahkan lebih kokoh dari ikatan saudara kandung.

"Kau pasti menghapal kata-kata itu," kataku, tepat saat tangga sepertinya diserbu kawanan bison. Tapi ternyata yang muncul Yuda. Dia berlari menuruni tangga untuk mencapai dapur.

"Tidak," kata Max padaku. Lalu pada Yuda dia berkata, "Kau butuh sesuatu, Yoda?"

"Aku butuh cappuccino, tapi tidak menemukan Gesa di dapur."

"Dia ada di Edrei Beauty. Aku tidak mengoperasikan mesin itu. Junko juga tidak. Itu jimat Bree. Berfungsi, hanya saja agak kebesaran untuk ukuran jimat."

Yuda berkacak pinggang. Dagunya terangkat tinggi ke arahku. "Aku tahu kau belajar ilmu kopi dari kedai-kedai kopi yang kita kunjungi. Bisakah kau mempraktikkannya untukku?"

"Aku tidak menyentuh jimat orang."

"Wah." Max bertepuk tangan. Tubuhnya semakin maju untuk menepuk-nepuk bahuku. Mulutnya terbuka, menyebarkan bau stroberi sintetis yang menyengat. "Itu akan kujadikan kutipan favoritku." Lalu dia tersenyum dan bersandar kembali pada sofa, menepuk-nepuk pahanya sambil bersiul.

Aku akan melakukannya untuk Beatrice atau Jake atau Victor kalau mereka meminta. Asal bukan Yuda. Aku tidak ingin terlibat lebih jauh dalam percakapan apa pun dengannya. Tatapannya menyelidikiku, membuatku gundah sendiri.

Bukankah seharusnya aku membantunya? Aku berhutang begitu banyak padanya. Seandainya aku memberitahunya sekali saja waktu kami masih SD. Kemungkinan besar ayahnya hanya akan berdebat dengan si Marilyn Monroe dan meminta wanita itu untuk memutuskan hubungan dengan Edy. Mereka akan pindah demi menjauhkan Marilyn Monroe dari Edy, dan berakhirlah sudah.

Tapi dulu aku diam.

Benar, kan? Thomas, Max terlahir untuk berpikir. Tapi kau terlahir untuk berkhianat.

Telingaku berdenyut. Aliran yang mengalir abadi di dalam dadaku, jatuh mengotori isi perutku, yang selalu kuyakini sebagai sumber daya rasa bersalah dan penyesalan, kini menjadi semakin deras.

May, jangan kau. Jangan kau yang mengatakannya.

"Aku setuju." Suara Yuda membuatku terkesiap. Dia mendatangi meja dan merampas botol sodaku. "Kau tak keberatan?" Aku menggeleng. Yuda mengangguk puas dan kemudian melenggang kembali ke tangga.

"Aku ingin kita sepakat." Max meraih remote TV dan menunjukku menggunakan remote itu. Badannya merosot di kursi, membuat bajunya tampak seperti jemuran. "Aku setuju untuk membantumu. Dan kau tidak setuju untuk membantuku, yang mana berarti kau berutang padaku."

Aku menatapnya. Pada mata kecil Max di bawah rambut keriting cokelat kemerahannya yang mengerubungi kepala. Tatapan itu begitu jujur dan murni. Tapi aku penuh dengan kebohongan dan kontaminasi. Aku tidak pantas memandang siapa pun seperti cara Max memandang orang lain.

Jemari Max panjang dan dipenuhi bola tulang di bagian persendiannya. Sesaat aku hanya menatap jemari itu terulur di hadapanku. Kalau aku menjabatnya… Bagaimana dengan Gesa?

Thomas! Lakukan! Suara May menggelegar di kepalaku.

Aku menjabatnya. Lalu, "Di mana kamar mandinya?"

"Lantai dua, samping rak buku."

Aku lantas mengangguk padanya sebelum berlari menaiki tangga. Teman-teman menyapaku, riuh menyesalkan ketidakhadiranku. Tapi aku mengulurkan tangan ke udara dan berkata kalau aku harus membuang air seniku lalu menutup pintu kamar mandi. Jantungku berdentam keras, sampai rasanya ruangan ini hanya dipenuhi degup kegugupanku.

Sinar lampu kuning yang hangat menerpa cermin dengan lembut dari dalam lonceng logam berwarna seperti emas. Aku melangkah ke depan cermin bulat tanpa bingkai yang memantulkan wajah mungilku. Wajah yang ingin kutampar berulang kali untuk memberinya kekuatan mengatakan hal-hal yang seharusnya dikatakan.

Satu sentakan. Kuat sekali, membuat rongga dadaku bergetar hebat. Dalam satu tarikan napas berikutnya, aku tenggelam dalam tangisku sendiri.

Aku mengkhianati Yuda. Tapi May tidak boleh menyebutku pengkhianat. Semua orang boleh memusuhiku, tapi May tidak boleh berpikir aku mengkhianatinya.

Sampai delapan menit sebelum Victor mengancam akan mendobrak pintu, karena aku terlalu lama berada di kamar mandi dan kukatakan padanya bahwa aku akan keluar dengan meninggalkan bau busuk di toilet dan anusku, aku tetap menangis di sana.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status