Share

5 - Inkubus dan Njord

"Nee, niet doen." Tidak, jangan, aku berkata untuk mencegahnya, mendecak, meringis, dan tersenyum.

Aku sudah delapan belas tahun. Dia tidak boleh memanggilku boy—jongen. Apalagi dia telah membuatku merasa tertarik padanya. Dalam teorinya, seorang laki-laki tidak ingin terlihat lemah, kecil, atau awam di depan perempuan yang disukainya.

Bayangan May dalam kepalaku melotot padaku. Kau menyukainya? Tidak. Aku sungguh hanya suka penampilannya. Maksudku adalah dia keren. Kau tidak perlu marah, May.

Gesa memperlihatkan giginya dan bergeser sedikit ke sebelah kiri, memasukkan portafilter ke dalam mesin espresso. Oh, dia sejak tadi berdiri di depan grinder biji kopi. Mesin itulah yang mengeluarkan dengung seperti gergaji kayu.

"Spreek je Nederlands?" tanyaku sambil menghampiri meja bar kayu. Keharuman kopi mengobati paru-paruku. Biasanya aku mencium baju apak yang kutumpuk di samping meja belajar sebelum membawa gunungan baju terkutuk itu ke penatu.

"Tidak. Jangan gunakan bahasa Belanda denganku sebelum ada yang mengajariku secara layak."

"Pelafalanmu memiliki potensi. Kau sempat mempelajarinya?"

Gesa tertawa. Dia bisa berbicara sambil menekan tombol yang menghentikan aliran espresso dari mesin ke dalam cangkir hitam dan mengambil susu dari dalam kulkas. "Ayah Max sulit membedakan dirinya sebagai orang Jerman. Dia jatuh cinta dengan Belanda dan sejarah panjangnya dengan Indonesia. Jadi," dia menuang susu dari kotak karton ke dalam jug model stainless steel dan memosisikan mulut jug di bawah steamer. Aku suka warna cokelat cerah kaus polosnya, membuatnya terlihat seperti biji kopi yang di-roasting setengah matang. "dia suka sekali melakukan praktik salam sapa dalam bahasa Belanda setiap kali bertemu siapa saja." Dia mengangguk padaku sebelum mem-frothing susu. Wajahnya damai walau tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Tuhan pasti memilihkan wajah dari dekat air terjun di surga untuknya.

Terdengar gelak tawa dan seruan dari lantai dua. Aku dan dia mendongak bersamaan. Saat menatapnya lagi, dia sudah lebih dulu menatapku. "Kau ke sini untuk Max, kan?"

Kalau saja pahlawanku adalah Gesa dan bukannya Max… Ya Tuhan aku berharap dialah alasanku datang kemari. "Ya. Apakah dia di sini?"

"Dia selalu di sini, tapi sejak tadi siang harus menghadiri meeting restorasi gedung bank di daerah Bangli."

Jadi benar bahwa Max adalah kakaknya? Tapi dia memanggil ayah Max dengan sebutan Ayah Max alih-alih ayahku.

"Tujuh menit yang lalu dia baru berjalan menyeberangi parkiran hotel tempatnya menghadiri meeting. Jadi kau harus menunggunya." Mata cokelatnya melirik ke arah tangga. "Kuharap aku lebih bisa menahanmu di sini daripada keinginanmu untuk bisa bergabung dengan para berandalan kecil di atas sana."

Aku menunduk dan tersenyum. Tungkaiku kelihatan kurus di sebelah kaki kursi bundar yang berwarna cokelat terang. Rumah ini dirancang sesuai dengan mood Gesa yang kelihatannya selalu ceria dan stabil. Kalau mengikuti kemauan Junko, temanya pasti dinamis dan energik seperti kamarnya di lantai dua.

Tangannya mengangkat jug dengan ketetapan yang menakjubkan, seolah-olah benda itu adalah sesuatu yang harus dicengkram dengan cakar ekskavator. Gesa menuangkan susu yang telah di-frothing ke atas espresso-nya. Dengan sabar tangannya memutar, menarik, dan mengulur jug sampai akhirnya terbentuk sebuah hati yang manis di tengah-tengah latte-nya. Dia menyajikannya di atas tray kayu mungil dan meletakkannya di meja keramik yang berada di balik permukaan bar yang lebih tinggi.

"Kau suka mochaccino? Aku punya cokelat Belgia yang pahit di kulkas."

"Rasanya bakal pahit?"

"Rasanya bakal creamy. Aku akan membuatnya jadi creamy."

Aku mengangguk. "Aku suka creamy."

Seorang wanita yang kutebak berumur awal tiga puluhan keluar dari sebuah kamar yang terletak di sebelah dapur. Bisa dibilang kamar itu adalah bagian tersembunyi dari dapur itu sendiri. Tapi aku sempat mengintip dari celah pintu betapa luas dan tingginya kamar itu.

"Holla, Ma." Dia kali ini menggunakan bahasa Perancis. "Ini latte-mu." Kupikir itu latte-nya.

Tapi… Ma? Tunggu. Aku bahkan tidak tahu berapa umur Gesa. Apakah dia kembar dengan Junko atau berbeda hanya setahun? Mamanya masih sangat muda. Dan seksi. Gesa tidak mungkin berumur lebih dari dua puluh tahun.

Kau terpikat padanya, cemooh May dalam kepalaku.

Tidak, May. Tidak terpikat.

Tapi godam seolah menumbuk kepalaku dan membuat hatiku gentar. Aku tidak pernah memikirkan itu sebelumnya. Wajahnya manis dan muda seperti Junko. Tapi tubuhnya seperti raksasa. Dalam sebuah hubungan, dia bisa mendominasi dengan mudah. Dia bahkan cocok berprofesi sebagai dominatriks.

Tulang rawan tiroidnya lebih besar dari perempuan pada umumnya, yang mana membuatnya terlihat seperti memiliki jakun mungil. Tapi suaranya memang seperti sosok androgini sehingga jika ditaruh dalam sebuah kotak dan dia bicara kemudian aku disuruh menebak, aku tidak akan langsung tahu kalau dia seorang perempuan.

Peduli amat. Dia rupawan dan Victor benar tentang aku naksir padanya. Tapi ini hanya naksir. Aku juga naksir pada Sylvia yang cantik.

"Halo, Anak Cowok." Mama Gesa menyapaku. Tatapannya setajam Junko dan senyumnya semanis Gesa. Kombinasi dari keduanya menghasilkan nuansa jernih, menyenangkan, dan ceria di sekitarnya. "Teman kuliahnya Bree?"

Bree?

Aku mendesah lega. Ya Tuhan, dia masih kuliah. Kuharap kuliah di sini merujuk pada anak lulusan SMA yang langsung mendaftar kuliah dan saat ini masih berada di tahun ketiga atau keempat kuliahnya. Tapi itu berarti aku salah memperkirakan umur mamanya.

Gesa tertawa. "Ma, Anak Cowok ini temannya Junko. Dia tidak tahu kau memanggilku Bree."

Aku menahan tawa dan meliriknya. Gesa mengangkat satu alis sambil tersenyum padaku.

"Oh." Mama Gesa mendesah panjang dan bergerak maju untuk meremas lengan kurusku. Semoga dia berpikir ada cukup otot untuk membuatku pantas menjadi seorang pria. "Temannya Junko? Siapa namamu, Bocah Tampan?"

Gesa atau Bree tertawa. Melepaskan sesuatu yang kedengaran sangat memuaskan dan melegakan. Siapa pun tidak mungkin tidak terpengaruh oleh tawa seperti itu. "Tolong bilang pada Ayah Max untuk tidak memanggilnya jongenHij is een man." Dia seorang pria. Dia berkedip padaku. "Aku benar, kan?"

Aku memicing pada Gesa sebelum menghadapi mamanya. "Aku temannya Jake dan Victor. Sekarang aku temannya Junko juga. Namaku Thomas," kataku.

Mama Gesa mengangguk. Dia melepas cengkeramannya untuk menjangkau cangkir latte-nya melalui meja bar. Dengan jeans ciut indigo dan baju pink manis berlengan sabrina, Mama Gesa tentu saja wanita modis. Walau kelihatannya tidak benar, Mama Gesa mungkin saja sudah berumur empat puluh tahun.

"Nah, Thomas. Sebenarnya aku harus pergi," menyeruput latte. "tapi aku bingung anakku yang mana yang akan mengantarku." Menatapku dan Gesa secara bergantian.

"Itu aku, Ma," katanya, mempersiapkan diri menuang susu ke dalam campuran cokelat dan espresso dalam cangkir kaca. "Max memiliki urusan dengan si Anak Cowok. Tapi dia masih di jalan."

"Perjalanan jauh. Aku harus menunggu di kamar." Mama Gesa menunjukkan latte-nya padaku. "Kupikir kau adalah teman yang akan bergabung dengan bimbingan belajar rintisannya." Sambil memelankan suara, dia mengangkat kedua alis lukisnya. "Dia butuh rekan kerja di bidang science."

"Sudah kumantapkan." Ternyata Gesa masih bisa mendengar suara pelan mamanya. Gesa menyentuh dada dengan tangan kiri sementara tangan kanannya terangkat ke sebelah telinga. "Aku mencari yang ahli fisika dan matematika saja. Kimia dan biologi tentunya akan terselamatkan. Tapi itu boleh diurus belakangan."

Di sebelah lenganku telah diletakkan mochaccino bertabur bubuk cokelat. Bungkus kertas panjang berisi gula digeletakkan di pangkal cangkir. Wangi cokelat yang kuat menyengat hidungku. Mulutku penuh liur. Ini sensasi sugesti yang muncul berdasarkan provokasi penampilan. Singkat kata moccachino ini menggoda. Foam-nya setebal 1,5 cm dan aku bisa membayangkan kelembutan busa itu yang akan mengempis dan meleleh di mulutku.

"Thomas, kita bertemu lagi nanti saat Max sudah datang." Mama Gesa yang rupawan melenggang kembali ke dalam kamar megahnya, menutup pintu kayu di belakangnya.

"Jadi kau akan bertanya mamaku akan pergi ke mana atau aku kuliah di jurusan apa atau kalau bukan Belanda, lalu aku mempelajari bahasa apa? Atau tentang bimbingan belajar rintisanku? Ingat, kan? Aku berusaha menahanmu sampai Max datang, jadi kau harus merasa tertarik dulu padaku." Tangannya terjulur di tepi meja. Keadaan lengannya yang keluar dari pipa kausnya yang longgar membuatku berusaha mengukuhkan pandangan hanya ke arah wajahnya untuk tidak menyusuri lebih jauh ke dalam sana, membayangkan sebesar apa payudaranya yang kelihatan rata dari luar.

Aku memang tertarik padamu, kataku dalam hati.

"Keempatnya," jawabku sambil menurunkan pandangan ke moccachino-ku. "Biasanya kita butuh dua minuman untuk mengobrol."

"Kau benar." Dia mengangguk dan dengan gerakan ringkas menyalakan grinder. Bau kopi seperti diperbarui lagi dan lagi. Semakin lama semakin kuat tapi membuatku mulai terbiasa dan, parahnya, betah. Lalu dia memasukkan portafilter dan menunggu espresso keluar. Dia memakai seloki untuk yang satu ini. Seloki itu digeser ke arah meja di depan kursi di sebelahku. Gesa berjalan memutari meja bar untuk keluar dari dapur. Aku melihat celana parasut hitamnya yang hanya sepanjang paha dan memaki dalam hati karena harus memandangi tungkai yang bersih dari bulu itu. Betisnya kuat. Saat dia berjalan, terbentuk garis yang menonjolkan daging betis itu. Dan telapak kakinya bergerak tidak terburu-buru.

Jantungku berdentam, menggila di dalam rongga dadaku ketika Gesa menyentuhkan bokong ratanya ke atas kursi bundar lalu memutar badannya menghadapku. Dia menyugar poninya ke atas. Garis rambutnya rendah dan dahinya ditumbuhi banyak anak rambut. Aku ingin membelainya.

"Mama punya tempat konsultansi kecantikan di Jalan Tegal Jaya. Jam kerjanya berdasarkan desakan hati. Jadi salah satu dari anak-anaknya harus selalu berada dalam kondisi siap jika desakan hati itu datang. Tapi tempat itu diawasi oleh asisten Mama dan dipenuhi staf. Sebenarnya Mama tidak perlu datang, tapi dia suka datang untuk menghirup bau kehidupan di sana. Maksudnya bau serbuk bedak dan cairan maskara yang menyengat. Dan aku yakin Mama akan tetap begitu walau tempat itu nantinya sudah dikelola oleh Junko setelah lulus sekolah."

"Jadi kesukaan terhadap makeup diwariskan secara genetik."

Alisnya terangkat. "Gen yang itu tidak menyentuh tubuhku."

"Gen mana yang menyentuh tubuhmu?"

Aku mengingat moccachino-ku. Gesa juga menolehnya. Dia membuat gerakan dengan alisnya, menyuruhku untuk mencicipi moccachino buatannya. Aku meneguknya sekali. Kopi dan cokelat pahit berbaur saling melengkapi. Sebuah rasa yang menyentil dan kemudian menjotos lidahku. Rasanya pahit, asin, harum dan sedikit manis. Kupikir itu bubuk cokelat, tapi aku tahu sekarang kalau taburan itu adalah bubuk kayu manis. Aku tersenyum dan menjilat kumis busa di atas bibirku.

"Yang ini," katanya sambil memamerkan senyum bangga. "Ayahku seorang roaster kelahiran Mataram yang saat ini menetap di Marsiling, Singapura."

Jadi, Max pasti kakak tirinya.

"Junko bisa melakukan sesuatu tentang kopi?"

"Junko bisa melakukan makeup."

Kami saling tatap sejenak sebelum memuntahkan tawa yang puas. Lalu handphone di kantung celanaku bergetar. Aku mengambilnya dan melihat nama Jacob di layar.

"Jacob." Aku mengangguk pada seseorang yang tidak ada di depanku. "Aku di lantai satu bersama kakak iparmu."

"Tom, kupikir kau belum jalan."

"Akan kumatikan."

"Baiklah. Kami menonton Game of Thrones di sini."

"Tapi The Hunger Games belum selesai."

"Aku harus memancing minat cewek-cewek ini dulu. Setelah mereka mengemis agar kita melanjutkan, baru kita selesaikan secara serempak semuanya."

Ide bagus. Keduanya memiliki jalan cerita yang antimembosankan. Cewek-cewek itu akan merasakan yang namanya panas-dingin dan menggigil karena kecanduan pada film survival dan pertempuran. Mereka akan merasakan apa yang kami rasakan selama bertahun-tahun saat menunggu seri yang katanya akan segera dirilis dengan bulir keringat sebesar kemiri. Aku suka sekali dengan gagasan itu. "Bagus, Jake. Aku setuju."

"Oke." Telepon mati.

"Sinyalnya tidak mengalami gangguan, kan? Hm, sesuatu seperti interferensi gelombang. Kalian… Dia di atas." Maksudnya adalah kami sangat dekat.

Aku menggeleng. "Aku kepingin memperkenalkan cewek-cewek itu pada Ragnarok tanpa menyeret mereka ke dalam politik Captain America. Menurutmu bisa tidak?"

"Bisa." Gesa mengangguk dengan yakin dan patuh. "Asgard kan punya dunianya sendiri sementara semesta Marvel berputar. Kalau saja mereka menggilai sebuah bacaan. Akan lebih mudah memengaruhi mereka tentang mitologi Nordik dengan bukunya Roger Green atau komiknya Jack Kirby."

"Kau membaca mitologi Nordik?" Aku sadar telah memekik, jadi aku berdeham saat dia mengangkat alisnya karena terkejut.

"Biar kutebak." Dia kembali memasang pose satu tangan di dada dan satunya lagi di sebelah telinga. "Kau rela memberikan seluruh cahaya dalam hidupmu demi mencegah terjadinya Ragnarok."

"Aku rela menempa godam yang bisa menggantikan Mjollnir untuk Thor demi bisa menyentuh jenggot merahnya."

Gesa tertawa, panjang dan memengaruhi. Mau tidak mau aku pun tertawa. "Aku rela memberikan jiwa dermawan Max demi menukarnya dengan jiwa perkasa Thor. Dia akan semakin digilai cewek."

"Kupikir mitologi Nordik lantas membuatmu kepingin mempelajari bahasa Skandinavia."

"Seandainya saja kode bahasa bekerja dengan cara yang sama seperti cara kepalaku memproses pengaruh fluida terhadap benda terbang, aku akan mempelajari semua bahasa itu."

"Kau bilang holla, Ma tadi."

"Aku juga bisa bilang sawatdii kha, Anak Cowok."

Aku memutar bola mata dengan main-main. Kudengar desah senyum di sebelahku. "Kau mempelajari semua salam di dunia ini?"

"Tidak, tidak," Gesa menggeleng-geleng. "yang terjadi adalah aku cuma iseng. Dan sungguh, kalau sering didengarkan, sebuah kata asing memang akan akrab di ingatanku. Dan aku mulai mengucapkannya terus-menerus karena aku suka. Masalahnya adalah kalau mulai terlalu banyak, kepalaku bakal eror."

"Tentang fluida dan benda terbang? Sepertinya ini ada hubungannya dengan bimbingan belajar rintisan. Atau mungkin kuliahmu?"

"Oh, ya. Haruskah kita berkenalan secara resmi?" Dia menjangkau selokinya dan meneguk espresso dengan cepat. Jakun mungilnya naik dan turun dengan cara mengesankan. Jemariku akan terasa pas di sana. Aku disergap sebuah keyakinan yang terangnya seperti cahaya yang membutakan.

"Harus," kataku. "Kau boleh berhenti memanggilku Anak Cowok dan mulai memanggilku Thomas. Aku sudah semester tiga. Terlalu dewasa untuk dipanggil Anak Cowok."

"Baiklah, Thomas. Kita hanya berbeda dua tahun."

"Tapi aku seumuran Junko."

Gesa mengangkat busur alisnya. "Berarti kita berbeda empat tahun?"

Aku tersenyum, memperlihatkan kemenangan dalam ekspresiku.

"Jongen."

Dia mulai lagi.

"Tidak boleh marah. Kau mungkin sudah dewasa, tapi bagiku kau adik manis seperti Junko. Aku tahu bahasa Norwegianya nama laki-laki itu Thomas."

"Kau tahu?"

Dia mengangguk. "Han heter Thomas."

"Dan kau masih bilang kalau kau cuma iseng?"

"Aku menonton serial drama Norwegia berjudul SKAM. Jadi aku sedikit penasaran tentang kalimat yang sering digunakan di Norwegia."

"Kau mau menipuku, ya? Jangan bilang padaku kalau ternyata kau mengambil jurusan Sastra Sesuatu di kampusmu."

"Tidak, Thomas, sungguh. Aku akan segera menjalani tahun keempat penuh tekanan dan kegelapan di jurusan Aeronotika dan Astrononika, jadi aku mencari hiburan ke sana sini. Ke mana-mana. Termasuk menjarah drama-drama Junko dan belanja buku obralan secara masif dan kompulsif. Aku benar-benar butuh pelarian dari tugas akhir. Skripsi sebenarnya agak tidak berperikemanusiaan. Dia menyerap daya hidupku seperti Inkubus."

Inkubus menyerap daya hidup manusia melalui hubungan badan. Dia beruntung melakukan itu dengan Gesa. Aku meminum mochaccino dalam satu tegukan panjang sampai tersisa hanya sepertiga cangkir. "Kau harus mencari seseorang yang bisa meniupkan angin kehidupan dalam tubuhmu seperti Njord."

Aku menyadari arti kata-kataku dalam dua detik yang sangat terlambat. Ketika menolehnya, Gesa sedang menatapku. Menatap dengan cara yang mampu membuatku yakin kalau aku sedang ditatap. Dan selama ini orang-orang hanya bicara sekilas padaku tanpa pernah benar-benar menatap mataku. Bahkan ketika Junko memelototiku, menyalurkan rasa gemas dan kesalnya padaku, dia tidak sedang menatapku. Tapi ini adalah tatapan yang sesungguhnya: ketika dia melihatku dan dia hanya menatapku saja.

Tatapan itu membangkitkan bulu di tanganku. Aku tidak tahu sejauh apa aku telah menjangkaunya dengan mengatakan itu, tapi pasti sangat dalam.

Biasanya aku tahu waktu yang tepat untuk bangun dari kursiku dan mencium seorang gadis. Karena itulah waktu yang diinginkannya juga. Ketika aku bangun dan menyergap gadis itu dalam ciuman yang panjang dan dalam. Tapi ini pertama kalinya aku berpikir bahwa bisa saja dia yang melakukan itu padaku karena aku menginginkan ini sebagai waktu yang tepat untuk berciuman dengannya.

Mendadak aku gentar. Dengan malu aku mengakhiri tatapanku lebih dulu. Dia bisa membaca hasrat itu dalam mataku karena aku mempertontonkannya seperti ikan dalam akuarium kaca yang bening dan jernih. Aku membiarkan hasrat itu transparan dari tatapannya. Aku direbus dan dibekukan dari dalam. Dahiku panas-dingin.

Kemudian, saat mendongak ke depan, kudapati Max menjulang di tempat daun pintu seharusnya berada saat tertutup. Dia membuatku mengira-ngira tinggi pintu itu sekitar 210 cm dan dia sendiri setinggi 190 cm.

"Du kommst," katanya dengan nada main-main. Saat ini dia sedang bersandar pada lengan kiri—terbalut kain kemeja berwarna seperti lemon—yang menyentuh bagian atas kusen dengan gerakan lentur. Satu tangannya lagi tenggelam dalam jeans besar yang tampaknya sanggup membuatku tenggelam di dalamnya. Tapi dia keren.

"Aku tidak bicara dalam bahasa Jerman, Max." Aku memberitahu.

Max tertawa dan memantulkan telapak kakinya ke depan seperti pegas yang dilontarkan lalu melangkah dengan sangat lambat menuju kami.

"Terisa dua pertanyaan, tapi salah satunya tentang bahasa akan kujawab."

Aku menoleh Gesa dan seketika meraup wangi mint yang segar dari rambutnya. Jantungku kembali berdebar-debar. Sejak kapan kami terpisah dalam jarak sedekat ini? Siku kami sama-sama bersandar pada tepi meja bar. Bedanya, dia menggunakan siku kanannya dan aku menggunakan siku kiriku. Dan pose itu seolah bertujuan untuk menyatukan dahi kami dimulai dari sentuhan-sentuhan lembut antara ujung rambut satu sama lain.

"Inggris," lanjutnya, berbicara di depan wajahku. "tapi karena kau penggemar mitologi Nordik yang membuatku merasa cocok denganmu, sial, aku akan belajar bahasa Belanda untukmu."

"Untukku?"

Gesa mengangguk. "Mungkin kau sebenarnya merindukan Belanda dan ingin bicara dalam bahasa ayahmu? Kita bisa mengobrol di ruang terbuka agar kau bisa merokok."

"Kau tahu aku merokok?"

"Thomas." Dia menyebut namaku sambil tersenyum. Bibir itu kelihatan seperti buah persik. "Waktu aku tiba di halaman belakang Normal Roaster, kau sedang merokok."

Dia melihatku. Tanpa kusadari dia menyadari keberadaanku jauh sebelum aku bertanya pada Max apakah dia orang Jerman.

Gesa lalu menandaskan espresso-nya dan mengernyit sebelum bangkit berdiri. "Aku mau mengantar Mama ke Edrei Beauty, Max." Dia menepuk bahu panjang Max sebelum melirikku dari balik bulu mata hitamnya. Dan kemudian samar-samar dia tersenyum.

Lirikan itu takkan pernah kuketahui jika tidak benar-benar menatap matanya. Lirikan yang sama efektifnya dengan granat. Sebuah benda yang agak kecil untuk menimbulkan ledakan berbahaya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
puspa maharani
Bakal banyak ngomongin Belanda sama mito Nordik kayaknya ya?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status