“Dayaaang ...."
Suara lengkingan itu sejenak membuat aktivitas para Dayang di Kaputren terhenti. Dalam sekejap mata, mereka lari tunggang langgang menuju ke ruangan pribadi Raden Ayu Kenes Kirana."Mohon ampun, Raden Ayu. Kami datang menghadap," ucap salah seorang Dayang dengan suara bergetar. Terlihat wajah ketakutan di sana.Ada hal apa yang membuat sang Putri begitu tidak berkenan hatinya? Tak biasanya, Raden Ayu Kenes Kirana segusar ini memanggil mereka."Dayang, kenapa wajahku seperti ini?" Tadi malam, mereka membalurkan ramuan buatan Elang di wajah Raden Ayu. Begitu bangun pagi, jerawat yang meradang di wajah sang Putri bukannya berkurang, malah makin bengkak parah. Kini, tak terlihat lagi sisa kecantikan Raden Ayu Kenes Kirana yang kecantikannya sudah dikenal di seantero Damar Langit. Yang tersisa hanyalah wajah yang dipenuhi jerawat meradang kemerahan, mengerikan.“Kenapa jadi begini, Dayang? Huwaaa….”Kehebohan di Istana Keputren, tempat tinggal Raden Ayu Kenes Kirana pagi ini segera tersebar sampai Balairung Istana. Gusti Prabu Maheswara Kamandaka dan Gusti Ratu sampai harus bergegas untuk menenangkan sang Putri.Begitu sampai di sana, kamar Raden Ayu sudah porak poranda seperti kapal pecah. Cermin indah yang terletak di sudut ruang sudah pecah berantakan. Raden Ayu menghancurkan cermin kesayangannya hanya karena dia kecewa melihat wajahnya yang berubah mengerikan.Para Dayang juga tak bisa berbuat apa-apa, mereka hanya duduk bersimpuh di lantai, tak berani mengangkat wajah saking takutnya.Semalam, mereka yang membalurkan ramuan ke wajah Raden Ayu. Sudah pasti, mereka akan mendapatkan hukuman dari Gusti Prabu karena kesalahan itu.“Ada apa ini? Katakan padaku dengan jelas!” Gusti Prabu menatap gusar pada para Dayang yang duduk bersimpuh di sana.“A-ampun, Gu-gusti Prabu. Semalam, kami membalutkan ramuan obat yang dibuat oleh asisten tabib istana. Katanya, ini adalah obat untuk wajah Raden Ayu. Ternyata, pagi ini … bukannya sembuh, Sakit Raden Ayu makin parah,” lapor salah satu Dayang mewakili.Gusti Ratu sudah memeriksa wajah Kenes Kirana yang meradang kemerahan. Tak berani menyentuh, takut makin memperparah sakitnya.“Kangmas, ini memang lebih parah dari sebelumnya!” ucap Gusti Ratu dengan nada sedih. Sebagai sesama wanita, Gusti Ratu bisa merasakan apa yang saat ini dirasakan putrinya.Gusti Prabu membuang napas gusar.“Bawa sisa ramuan yang kalian gunakan semalam ke sini!” titahnya.“Kamu! Panggil tabib senior ke sini!” Gusti Prabu akan melakukan investigasi secara pribadi. Dia curiga, ada masalah dengan ramuan yang dibuat oleh Elang. Sejak awal, dia memang tidak yakin bahwa Elang mempunyai kemampuan membuat ramuan mujarab.Dua Dayang itu segera melakukan titah Baginda Raja tanpa berani bertanya lagi.“Romo, ini sudah jelas, ramuan itu yang membuat wajahku makin parah begini! Romo harus memberi hukuman berat pada orang itu!” raung Kenes Kirana yang terbawa emosi. Siapa yang tidak marah, semalam kondisi jerawatnya jauh lebih baik. Sekarang sudah separah ini, hingga dia tak berani bercermin.“Kita selidiki dulu, Cah Ayu. Jika belum ada buktinya, kita tidak sembarangan menghukum orang!” Gusti Ratu menjelaskan dengan bijak. Semarah apapun, sebagai seorang Raja Damar Langit, Gusti Prabu Maheswara Kamandaka memang tidak boleh bersikap seenaknya sendiri.Semua ada aturannya!“Kita tunggu dulu hasilnya, Raden Ayu. Kamu sabar dulu!” titah Gusti Prabu.Tak berapa lama kemudian, dua orang tabib senior sudah datang menghadap. Sisa ramuan yang semalam dibalurkan di wajah Raden Ayu juga sudah dibawa ke hadapan Gusti Prabu.Selama beberapa saat, dua tabib senior itu memeriksa sisa ramuan yang ada di dalam wadah emas tersebut.“Gusti Prabu, ramuan ini terdapat ekstrak daun jelatang dan kemadu. Dua bahan yang mempunyai efek gatal dan menimbulkan peradangan pada kulit.” Salah satu tabib melaporkan, setelah memeriksa ramuan yang dibuat oleh Elang.“Sebagai asisten tabib, seharusnya Elang sudah mengetahui dua bahan ini tidak boleh mengenai kulit. Kenapa, dia sengaja mengekstraknya dicampurkan dalam ramuan?” sahut tabib satunya.“Selain dua bahan itu, ada kandungan cendana, akar wangi, klabet dan bahan-bahan lainnya. Kalau bahan-bahn itu saya kira tidak ada masalah, hanya daun jelatang dan kemadu ini yang membuat kulit Raden Ayu jadi meradang seperti sekarang.”“Jadi, menurut kalian apakah semua ini dilakukan dengan sengaja oleh Elang Taraka?” Gusti Prabu mengepalkan tangan penuh amarah.Bisa-bisanya, ada seorang asisten tabib yang begitu gegabah dalam menjalankan tugas untuk merawat putrinya.“Berani sekali dia mencelakai putriku!”“Romo, Panjenengan harus memberikan hukuman berat! Jangan sampai hal ini terulang lagi di kemudian hari!” Kenes Kirana sudah begitu marah.Pembuktian dari dua tabib senior itu telah membuat kemarahan Gusti Prabu membara. Hatinya belum akan tenang jika belum memberikan hukuman berat untuk Elang Taraka.***"Elang, ramuan apa yang telah kamu berikan untuk dibalurkan di wajah Raden Ayu?" bisik Prajurit yang menyambutnya di pintu Balaitung Istana."Apa yang terjadi?""Wajah sang Putri bengkak memerah, mengerikan," sahutnya dengan wajah entah."Tidak mungkin. Aku sudah mencobanya pada wajah para Dayang sebelumnya. Tidak ada masalah apapun di kulit mereka," elak Elang tak percaya.Elang merasa tubuhnya seperti dibanting dari ketinggian dan terjatuh ke dasar jurang, remuk.Seperti dugaannya, ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan dirinya untuk mendapatkan keuntungan.Padahal Elang sudah berupaya sangat hati-hati dalam proses membuat ramuan, sampai tak mengizinkan seorang pun terlibat dalam pembuatannya. Ternyata, masih ada celah yang bisa digunakan oleh orang itu untuk mencelakainya.Di atas singgasana, Gusti Prabu menatapnya penuh kemarahan. Dia tidak suka ada orang yang mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan padanya.Elang Taraka masuk ke Balairung Istana dengan jantung yang berdegup kencang. Meski dia yakin bahwa ramuan yang dibuatnya sudah benar, tetap saja jika bukti sudah mengarah padanya karena campur tangan pihak lain, dia tidak bisa berbuat apa-apa.Satu hal yang masih menjadi simpul besar di dalam hatinya, siapakah orang yang begitu jahat menjadikan dirinya sebagai tumbal?Berbagai macam pertanyaan timbul tenggelam berkecamuk di dalam benaknya."Elang! Kamu sengaja ingin merusak wajahku?! Apa salahku padamu? Kenapa kamu tega sekali menghancurkan masa depanku?!” Kenes begitu murka begitu melihat kedatangan Elang.Belum sempat Elang memberi pembelaan, Gusti Prabu sudah memberi titah.“Berikan sisa ramuan buatannya, biar dia tahu apa kesalahannya!” titah Gusti Prabu pada pengawal yang berada di sisinya.Begitu Elang mencium sisa ramuan buatannya, matanya terbelalak sempurna. Ada orang yang sengaja menambahkan daun jelatang dan kemadu di dalam ramuan buatannya.'Astaga, ini campuran dari daun jelatang dan kemadu, siapa yang lancang mengganti ramuanku?' batin Elang panik."Gusti Prabu, mohon ampun. Ini bukan ramuan buatan hamba," ucap Elang dengan gemetar."Apaaa? Lancang!""Jika bukan ramuanmu, lalu ramuan siapa? Kamu pikir aku kelinci percobaan ramuan abal-abal kamu?" Kenes Kirana tak sabar mendengar pembelaan Elang. Bisa-bisanya dia tidak mengakui ramuan buatannya. Memangnya, siapa lagi yang membuat ramuan selain dirinya?Sejak awal dia sudah meragukan kemampuan Elang Taraka, tapi masih mencoba untuk percaya. Sekarang, semua kepercayaannya sudah hancur lebur."Aku menyesal telah mempercayaimu!" ucap sang Putri di tengah isaknya."Raden Ayu, tolong dengarkan say---""Pergi! Dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi!" Kenes segera memotong ucapan Elang Taraka, sebelum dia menyelesaikan kalimatnya.Elang tak tahu harus bagaimana membela dirinya sendiri. Dia yakin, ada orang yang saat ini tengah tertawa gembira melihat kemalangannya.“Prajurit, jebloskan dia ke Penjara!” titah Gusti Prabu sesaat kemudian.Tak diberi kesempatan untuk menjelaskan, Gusti Prabu sudah memberi titah supaya Elang di penjara sembari menunggu hukuman selanjutnya.Dua orang prajurit membawa Elang keluar dari Balairung Istana.Dari salah satu sudut Istana, ada seseorang yang menghela napas lega melihat Elang digelandang prajurit menuju Penjara.BersambungDi jalanan Kotaraja, tiga ekor kuda hitam berlari seperti kesetanan menuju arah istana. Penunggangnya tidak berpakaian sebagaimana umumnya penduduk Damar Langit yang sebagian besar telanjang dada. Tubuh tiga pria itu dibalut pakaian panjang serba hitam dengan tutup kepala hanya menampakkan mata mereka. Penampilan yang tidak biasa ini sejujurnya mengundang perhatian di sepanjang jalan. Alih-alih ada yang berani bertanya, mereka lebih memilih untuk menyingkir.Sejak Damar Langit dikuasai Bratasena, Kotaraja tak ubahnya menjadi kota seribu pertarungan. Ada begitu banyak pendekar berkeliaran. Centeng-centeng bayaran sang Raja baru, siap memenggal setiap kepala yang berani protes dengan kebijakan menyengsarakan rakyat. Penduduk dipaksa tunduk dengan segala cara. Para prajurit jaga di gerbang istana pun tak ada yang berani menghentikan ketika salah satu dari ketiganya mengeluarkan lempengan logam kuningan sebesar telapak tangan anak kecil berukir singa ketika mereka melintas. Itu tanda pen
“Apakah ada kabar dari tempat lain, kabar dari Pangeran Elang atau Pangeran Hadyan, Kangmas Arya Wursita?” Gusti Prabu Maheswara Kamandaka tengah berada di tenda bersama Arya Wursita dan Mahawira. “Mohon ampun, Gusti Prabu. Baru saja saya akan melaporkan.” Arya Wursita tersenyum lebar. Gusti Prabu menganggapnya sebagai pertanda baik. “Kalau begitu, aku siap mendengarnya, Kangmas Patih.” Arya Wursita berdiri tegak. Nyaris saja tak bisa menahan diri untuk tertawa lantang karena hatinya diliputi kebahagiaan, “sesuai dengan prediksi Gusti Pangeran Arya Elang Taraka, Bratasena sungguh memasang jebakan di tengah perjalanan. Pasukan yang dipimpin Gusti Pangeran Arya dicegat para begal dan pendekar dari lembah hitam di Hutan Larangan, Gusti Prabu.” Dengan dada yang dipenuhi ledakan kebahagiaan, Patih Arya Wursita melaporkan kejadian yang menimpa Elang dan pasukannya. Elang mengirimkan satu prajurit untuk menyampaikan kejadian Hutan Larangan pada Gusti Prabu.“Apakah semua baik-baik saja, K
Jatayu mengangkasa di ketinggian. Dari bawah, tubuh raksasanya tak tampak. Hanya seperti burung elang yang terbang di langit. Tenda-tenda sudah rampung didirikan. Elang Taraka pasti merasa puas melihat aktivitas para prajurit dari atas sana. Pasukan elitnya tengah sibuk mengerjakan tugas masing-masing. Ada padang rumput luas yang dipilih untuk menempatkan kuda-kuda mereka. Gentala sudah bergabung dengan prajurit yang bertugas menjaga kuda-kuda perang di padang rumput tersebut. Pangeran Hadyan Ganendra sungguh membuktikan keseriusannya membantu Gusti Prabu Maheswara Kamandaka. Dia memberikan senjata, ransum dan kuda perang kualitas terbaik untuk perang ini. Jenis Kuda Bima yang diberikan Pangeran Hadyan didatangkan khusus dari pulau seberang lautan sebelah timur. Kuda jenis ini dipilih karena kekuatan fisiknya yang mampu bertahan di segala medan. Tidak diragukan lagi ketangguhannya. “Namaku Gentala. Mulai hari ini, Gusti Pangeran menugaskan aku untuk membantu kalian mengurus kuda,” t
Pemuda yang tengah terpuruk dalam penyesalan itu tak berani mengangkat wajah. Tatapannya tertunduk memanah tanah merah tempatnya bersimpuh di depan Elang Taraka. Bahu yang terus bergetar seakan mengisyaratkan penyesalan teramat dalam. “Andaikan dulu Raden Mas Bratasena tidak membutakan mata saya, saya tidak akan kehilangan sahabat terbaik seperti kalian berdua,” isaknya dengan suara parau. Agra membuang wajah. Sulit baginya untuk menerima permintaan maaf orang yang telah berkhianat. Terlebih, pengkhianatan Gentala tidak sederhana. Dia ikut andil dalam kejahatan si Pemberontak Bratasena. Situasinya tidak jauh berbeda dengan Elang Taraka. Pangeran muda itu diliputi kegamangan. Betapa kekecewaanya menggunung selepas mengetahui sahabat yang dipercaya ternyata serigala berbulu domba.Sekian waktu berlalu tanpa kata. Hanya keheningan yang merajai. Gentala melirik Elang yang masih membeku di tempatnya.“Gusti Pangeran, meski saya harus menebus dosa dengan menjadi budak Andika. Saya bersed
Selepas keluar dari Hutan Larangan, pasukan elit yang dipimpin oleh Elang Taraka melanjutkan perjalanan keluar masuk desa menuju Kotaraja. Perjalanan dengan pasukan besar yang terdiri dari kavaleri dan infanteri tentunya memakan lebih banyak waktu. Alih-alih mempercepat, di sebuah tanah lapang yang luas mereka malah membentangkan tenda untuk istirahat. “Gusti Pangeran, bukankah ini akan menghabiskan terlalu banyak waktu?” Agra bertanya selepas usai mendirikan tenda untuk istirahat Kenes Kirana.“Kita akan menghadapi perang habis-habisan dengan Bratasena, Agra. Berperang dengan fisik kelelahan setelah perjalanan panjang tidak menguntungkan kita. Kami sudah memperhitungkan semua ini.” Merpati putih baru saja mengirimkan pesan. Pasukan Tumenggung Mahawira juga melakukan hal yang sama. Hanya Pangeran Hadyan yang berjalan lebih cepat. Agra manggut-manggut. Keberadaannya di tempat ini nantinya tidak terjun langsung dalam pertempuran. Sesuai keahliannya, Agra dan Mbok Sumi bertugas di tend
Balairung Istana Damar Langit diliputi kesunyian beberapa saat lamanya. Jajaran pejabat istana tak ada yang berani mengangkat wajah. Jangankan bicara, mereka bahkan tidak berani mengeluarkan suara napas. Pedang yang terhunus di tangan Bratasena mengucurkan darah. Di tengah ruangan, tergeletak jasad prajurit telik sandi dengan leher digorok. Nasib sial yang menimpa prajurit malang itu terjadi sesaat setelah dia menyampaikan informasi kejadian di Hutan Larangan. Begal dan pendekar dari lembah hitam yang diberi tugas menghadang pasukan Maheswara Kamandaka telah kocar-kacir.“Aku tidak suka mendengar berita buruk. Kalian semua harus tahu itu!” Suara Bratasena menggelegar. Dadanya naik turun penuh gejolak kemarahan. Dia mempunyai harapan besar akan kemenangan garnisun yang mencegat di Hutan Larangan tersebut. Gerombolan begal yang dikenal bengis dan kejam itu diharapkan mampu memadamkan api pemberontakan Maheswara Kamandaka. Alih-alih berhasil meraih kemenangan, sebaliknya mereka justru d