Share

Part 4 : Sangkar Besi

Rombongan para Prajurit membawa Elang Taraka ke penjara. Di sepanjang perjalanan menuju penjara, banyak pasang mata yang menyaksikan Elang Taraka diarak seperti layaknya pesakitan.

Tak ada lagi tatapan kekaguman seperti beberapa hari yang lalu dari wajah-wajah mereka. Sebelumnya, Elang mendapatkan puja-puji karena mendapatkan anugerah untuk membuatkan ramuan obat bagi sang Putri. Sebuah anugerah yang membuat orang merasa iri, tapi hari ini semua sirna berganti dengan cemoohan.

"Sayang sekali, dia mendapatkan nasib sial."

"Masih begitu muda, tampan lagi. Sayangnya harus masuk penjara."

Ucapan-ucapan senada terdengar dari berbagai sudut. Kasak-kusuk yang menyebar dari mulut ke mulut itu spontan menjalar seperti jamur di musim hujan. Sehingga nama Elang Taraka sebagai asisten tabib yang gagal menjalankan tugas sudah terdengar di seluruh pelosok negeri.

Elang Taraka berkali-kali harus mengelus dada, mendengar semua kasak-kusuk itu. Kadang manusia itu sibuk menghukumi orang lain, padahal belum jelas duduk persoalannya. Hari ini dia telah merasakan sendiri hal itu. Betapa kejam orang yang telah menjadikannya sebagai tumbal untuk mencapai tujuannya.

Belum sempat dia membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, tapi dia sudah dijebloskan di dalam penjara.

"Ayo, cepat!" hardik Prajurit yang bertugas membawanya ke penjara.

"Jangan menyusahkan pekerjaan kami!" Prajurit yang satunya ikut bersuara.

Elang membuang napas kasar. Kali ini dia harus menerima perlakuan kasar dari para Prajurit yang membawanya ke penjara.

Akhirnya Elang merasakan dinginnya lantai penjara. Bau engap udara bercampur dengan kegelapan cukup membuat hati pria tampan itu terdampar dalam kesendirian yang mencekam. Ruangan berjeruji besi itu terlihat begitu angkuh seolah tersenyum mengejek ketika dia duduk di dalam dengan lemah, tak berdaya.

Ada obor yang menyala di pintu masuk penjara. Beberapa orang prajurit berjaga di sana tampak acuh tak acuh. Penjara ini ada banyak ruang, masing-masing sudah ada penghuninya. Mereka hanya memandang Elang sebagai penghuni baru dengan tatapan penasaran.

Suasana di dalam penjara remang-remang, bahkan dia kesulitan untuk melihat dengan jelas luka gores yang terasa perih di lengannya.

Mau tidak mau, Elang harus menerima nasib. Dia harus bersiap mendapatkan perlakuan yang mungkin lebih keji di penjara nanti. Kesalahan yang dipikulkan di pundaknya terlalu besar. Tuduhannya tidak main-main, yaitu sengaja merusak wajah Tuan Putri Gusti Prabu Maheswara Kamandaka.

Beberapa kali dia mencoba berpikir. Kapan orang itu mempunyai kesempatan mencampurkan daun jelatang dan kemadu di dalam ramuan yang akan dibalurkan di wajah Raden Ayu?

“Apakah mereka bekerja sama dengan salah satu Dayang yang berada di sisi Raden Ayu?” gumam Elang Taraka.

“Lalu, apa tujuannya dengan merusak wajah Raden Ayu?”

“Apakah pelakunya adalah seorang wanita yang iri dan dengki dengan kecantikan Raden Ayu Kenes Kirana?”

Semua pertanyaan itu timbul tenggelam dalam benak, membuatnya sakit kepala. Elang membuang napas kasar.

Ada apa sebenarnya?

Elang berpikir keras bagaimana caranya dia membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah?

"Paman Pajurit, aku ndak bersalah. Kumohon sampaikan pada Raden Ayu, ada seseorang yang menjebakku," ujar Elang kepada Prajurit jaga itu.

“Ada seseorang yang berniat jahat untuk merusak wajah Raden Ayu. Gusti Prabu harus mengusut masalah ini sampai tuntas. Jangan sampai pelakunya masih melenggang di luar sana, dan aku yang tidak bersalah yang mendapatkan hukuman.” Elang yakin sekali, ada orang yang berniat merusak ketentraman di dalam istana.

Mungkin saja, tujuannya lebih besar dari apa yang bisa dibayangkannya.

Para penjaga penjara diam membisu, tidak menjawab ucapan asisten tabib yang tengah bernasib sial itu. Semuanya tetap acuh tak acuh mengabaikan keberadaan Elang.

"Tolong dengarkan aku sekali ini saja, Paman Prajurit. Tolong sampaikan kebenaran ini pada Raden Ayu," pinta Elang tak berdaya.

"Diam!" gertak salah satu Prajurit merasa terganggu dengan rengekan Elang.

Elang mendengus kasar. Dia kehabisan tenaga. Tak ada gunanya dia berteriak-teriak di tempat ini. Mereka tidak akan mendengarkannya. Tak tahu harus bagaimana, Elang hanya bisa bersandar di tembok penjara yang dingin dengan wajah frustrasi.

****

Di Kaputren, Raden Ayu Kenes Kirana masih dilingkupi suasana duka yang mendalam. Dirinya tidak sanggup menerima kenyataan pahit ini. Wajahnya meradang kemerahan dengan rasa panas dan gatal yang menyedihkan.

"Ibunda, ini bagaimana? Hiks ...." Suara isakan tertahan terasa menyayat hati bagi siapapun yang mendengarnya.

Gusti Ratu hanya bisa menghibur putrinya yang tengah bersedih menerima kenyataan pahit ini.

Putri dari Gusti Prabu Maheswara Kamandaka itu memiliki kecantikan yang tidak manusiawi. Sepasang manik mata berwarna hitam kecoklatan berpadu dengan bibir berwarna merah muda yang ranum memikat hati. Kulitnya yang seputih batu pualam, halus dan lembut seperti sutera. Duh, hati pria mana yang mampu menolak semua pesona itu?

Tak jarang para Ksatria sering beradu kesaktian hanya untuk membuktikan diri mereka yang paling layak dan kuat untuk mendapatkan cinta sang Putri.

Raden Ayu sudah terbiasa menjadi bintang kejora di seantero negeri. Jika berita tentang rusaknya wajah sang Putri ini sampai terdengar keluar istana, sudah bisa dipastikan pesonanya akan meredup.

Para Pangeran yang kemarin berbaris antri untuk meminangnya, akan beranjak pergi satu persatu. Dan kenyataan itu sangat mengerikan jika dibayangkan oleh sang Putri.

"Ibunda, Elang Taraka harus dihukum seberat-beratnya!” raungnya. Hatinya masih membara, karena menganggap Elang sebagai penyebab dari semua musibah ini.

Isak tangisnya semakin menjadi. Butir demi butir bening lolos dari sudut mata, serupa air hujan yang meluncur dari langit, tak bisa dihentikan.

Itu sungguh menjadi pemandangan paling mengerikan dalam seumur hidup Kenes.

“Ayahandamu sedang mengusut masalah ini. Elang Taraka sudah dimasukkan penjara.”

“Apa motifnya merusak wajahku, Bunda? Apa keuntungan yang didapatkannya dengan merusak wajahku?” Berulang kali Kenes memikirkan berbagai kemungkinan.

“Apa mungkin, Elang hanya anak buah dari musuh ayahandamu, Cah Ayu?” Gusti Ratu juga mulai berpikir tentang segala kemungkinan.

Saat ini, kemakmuran dan kesejahteraan kerajaan Damar Langit telah masyhur terdengar sampai di negeri tetangga. Seluruh penjuru negeri mengenal nama Gusti Prabu Maheswara Kamandaka, sang Raja penuh keagungan yang saat ini memerintah kerajaan Damar Langit.

Dibalik gegap gempita nama besar Damar Langit, pasti ada pula yang membencinya. Itu adalah hal yang tak bisa dihindari.

“Kenapa harus menyerang aku, Bunda?” Kenes Kirana kembali meraung. Terlalu sulit baginya untuk menerima kenyataan pahit ini.

Dalam hati, Gusti Ratu merasa bahwa, semua ini tidak terjadi secara kebetulan. Ada orang yang sengaja merencanakan semua ini. Namun, pelakunya masih bersembunyi di dalam kegelapan. Entah siapa itu? Elang pasti hanya pion yang digunakan untuk mencapai tujuan.

Namun, semua itu hanya sebatas kecurigaan pribadi. Sebelum ada bukti yang menguatkan, Gusti Ratu tidak berani mengungkapkan pada siapapun.

“Ibunda berjanji akan mencari tabib hebat untuk menyembuhkan kamu, Kenes!” Gusti Ratu tidak tahan melihat penderitaan putrinya.

Mencari tabib hebat yang mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan putrinya jelas tidak mudah. Apalagi, setelah para tabib melihat nasib Elang Taraka yang berakhir meringkuk di jeruji besi. Mereka tidak akan berani mencoba, karena takut dimasukkan penjara sebagaimana Elang.

Sungguh, jahat sekali orang yang berniat jahat pada putrinya.

“Jangan menangis lagi, Kenes,” tutur Gusti Ratu berusaha menenangkan.

Bersambung

Komen (2)
goodnovel comment avatar
taqiyyuut aja
mbak e heboh kr jerawatan xik...3
goodnovel comment avatar
Indah Syi
sabbaaaar sabaaar seperti kesabaran Elang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status