Rombongan para Prajurit membawa Elang Taraka ke penjara. Di sepanjang perjalanan menuju penjara, banyak pasang mata yang menyaksikan Elang Taraka diarak seperti layaknya pesakitan.
Tak ada lagi tatapan kekaguman seperti beberapa hari yang lalu dari wajah-wajah mereka. Sebelumnya, Elang mendapatkan puja-puji karena mendapatkan anugerah untuk membuatkan ramuan obat bagi sang Putri. Sebuah anugerah yang membuat orang merasa iri, tapi hari ini semua sirna berganti dengan cemoohan."Sayang sekali, dia mendapatkan nasib sial.""Masih begitu muda, tampan lagi. Sayangnya harus masuk penjara."Ucapan-ucapan senada terdengar dari berbagai sudut. Kasak-kusuk yang menyebar dari mulut ke mulut itu spontan menjalar seperti jamur di musim hujan. Sehingga nama Elang Taraka sebagai asisten tabib yang gagal menjalankan tugas sudah terdengar di seluruh pelosok negeri.Elang Taraka berkali-kali harus mengelus dada, mendengar semua kasak-kusuk itu. Kadang manusia itu sibuk menghukumi orang lain, padahal belum jelas duduk persoalannya. Hari ini dia telah merasakan sendiri hal itu. Betapa kejam orang yang telah menjadikannya sebagai tumbal untuk mencapai tujuannya.Belum sempat dia membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, tapi dia sudah dijebloskan di dalam penjara."Ayo, cepat!" hardik Prajurit yang bertugas membawanya ke penjara."Jangan menyusahkan pekerjaan kami!" Prajurit yang satunya ikut bersuara.Elang membuang napas kasar. Kali ini dia harus menerima perlakuan kasar dari para Prajurit yang membawanya ke penjara.Akhirnya Elang merasakan dinginnya lantai penjara. Bau engap udara bercampur dengan kegelapan cukup membuat hati pria tampan itu terdampar dalam kesendirian yang mencekam. Ruangan berjeruji besi itu terlihat begitu angkuh seolah tersenyum mengejek ketika dia duduk di dalam dengan lemah, tak berdaya.Ada obor yang menyala di pintu masuk penjara. Beberapa orang prajurit berjaga di sana tampak acuh tak acuh. Penjara ini ada banyak ruang, masing-masing sudah ada penghuninya. Mereka hanya memandang Elang sebagai penghuni baru dengan tatapan penasaran.Suasana di dalam penjara remang-remang, bahkan dia kesulitan untuk melihat dengan jelas luka gores yang terasa perih di lengannya.Mau tidak mau, Elang harus menerima nasib. Dia harus bersiap mendapatkan perlakuan yang mungkin lebih keji di penjara nanti. Kesalahan yang dipikulkan di pundaknya terlalu besar. Tuduhannya tidak main-main, yaitu sengaja merusak wajah Tuan Putri Gusti Prabu Maheswara Kamandaka.Beberapa kali dia mencoba berpikir. Kapan orang itu mempunyai kesempatan mencampurkan daun jelatang dan kemadu di dalam ramuan yang akan dibalurkan di wajah Raden Ayu?“Apakah mereka bekerja sama dengan salah satu Dayang yang berada di sisi Raden Ayu?” gumam Elang Taraka.“Lalu, apa tujuannya dengan merusak wajah Raden Ayu?”“Apakah pelakunya adalah seorang wanita yang iri dan dengki dengan kecantikan Raden Ayu Kenes Kirana?”Semua pertanyaan itu timbul tenggelam dalam benak, membuatnya sakit kepala. Elang membuang napas kasar.Ada apa sebenarnya?Elang berpikir keras bagaimana caranya dia membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah?"Paman Pajurit, aku ndak bersalah. Kumohon sampaikan pada Raden Ayu, ada seseorang yang menjebakku," ujar Elang kepada Prajurit jaga itu.“Ada seseorang yang berniat jahat untuk merusak wajah Raden Ayu. Gusti Prabu harus mengusut masalah ini sampai tuntas. Jangan sampai pelakunya masih melenggang di luar sana, dan aku yang tidak bersalah yang mendapatkan hukuman.” Elang yakin sekali, ada orang yang berniat merusak ketentraman di dalam istana.Mungkin saja, tujuannya lebih besar dari apa yang bisa dibayangkannya.Para penjaga penjara diam membisu, tidak menjawab ucapan asisten tabib yang tengah bernasib sial itu. Semuanya tetap acuh tak acuh mengabaikan keberadaan Elang."Tolong dengarkan aku sekali ini saja, Paman Prajurit. Tolong sampaikan kebenaran ini pada Raden Ayu," pinta Elang tak berdaya."Diam!" gertak salah satu Prajurit merasa terganggu dengan rengekan Elang.Elang mendengus kasar. Dia kehabisan tenaga. Tak ada gunanya dia berteriak-teriak di tempat ini. Mereka tidak akan mendengarkannya. Tak tahu harus bagaimana, Elang hanya bisa bersandar di tembok penjara yang dingin dengan wajah frustrasi.****Di Kaputren, Raden Ayu Kenes Kirana masih dilingkupi suasana duka yang mendalam. Dirinya tidak sanggup menerima kenyataan pahit ini. Wajahnya meradang kemerahan dengan rasa panas dan gatal yang menyedihkan."Ibunda, ini bagaimana? Hiks ...." Suara isakan tertahan terasa menyayat hati bagi siapapun yang mendengarnya.Gusti Ratu hanya bisa menghibur putrinya yang tengah bersedih menerima kenyataan pahit ini.Putri dari Gusti Prabu Maheswara Kamandaka itu memiliki kecantikan yang tidak manusiawi. Sepasang manik mata berwarna hitam kecoklatan berpadu dengan bibir berwarna merah muda yang ranum memikat hati. Kulitnya yang seputih batu pualam, halus dan lembut seperti sutera. Duh, hati pria mana yang mampu menolak semua pesona itu?Tak jarang para Ksatria sering beradu kesaktian hanya untuk membuktikan diri mereka yang paling layak dan kuat untuk mendapatkan cinta sang Putri.Raden Ayu sudah terbiasa menjadi bintang kejora di seantero negeri. Jika berita tentang rusaknya wajah sang Putri ini sampai terdengar keluar istana, sudah bisa dipastikan pesonanya akan meredup.Para Pangeran yang kemarin berbaris antri untuk meminangnya, akan beranjak pergi satu persatu. Dan kenyataan itu sangat mengerikan jika dibayangkan oleh sang Putri."Ibunda, Elang Taraka harus dihukum seberat-beratnya!” raungnya. Hatinya masih membara, karena menganggap Elang sebagai penyebab dari semua musibah ini.Isak tangisnya semakin menjadi. Butir demi butir bening lolos dari sudut mata, serupa air hujan yang meluncur dari langit, tak bisa dihentikan.Itu sungguh menjadi pemandangan paling mengerikan dalam seumur hidup Kenes.“Ayahandamu sedang mengusut masalah ini. Elang Taraka sudah dimasukkan penjara.”“Apa motifnya merusak wajahku, Bunda? Apa keuntungan yang didapatkannya dengan merusak wajahku?” Berulang kali Kenes memikirkan berbagai kemungkinan.“Apa mungkin, Elang hanya anak buah dari musuh ayahandamu, Cah Ayu?” Gusti Ratu juga mulai berpikir tentang segala kemungkinan.Saat ini, kemakmuran dan kesejahteraan kerajaan Damar Langit telah masyhur terdengar sampai di negeri tetangga. Seluruh penjuru negeri mengenal nama Gusti Prabu Maheswara Kamandaka, sang Raja penuh keagungan yang saat ini memerintah kerajaan Damar Langit.Dibalik gegap gempita nama besar Damar Langit, pasti ada pula yang membencinya. Itu adalah hal yang tak bisa dihindari.“Kenapa harus menyerang aku, Bunda?” Kenes Kirana kembali meraung. Terlalu sulit baginya untuk menerima kenyataan pahit ini.Dalam hati, Gusti Ratu merasa bahwa, semua ini tidak terjadi secara kebetulan. Ada orang yang sengaja merencanakan semua ini. Namun, pelakunya masih bersembunyi di dalam kegelapan. Entah siapa itu? Elang pasti hanya pion yang digunakan untuk mencapai tujuan.Namun, semua itu hanya sebatas kecurigaan pribadi. Sebelum ada bukti yang menguatkan, Gusti Ratu tidak berani mengungkapkan pada siapapun.“Ibunda berjanji akan mencari tabib hebat untuk menyembuhkan kamu, Kenes!” Gusti Ratu tidak tahan melihat penderitaan putrinya.Mencari tabib hebat yang mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan putrinya jelas tidak mudah. Apalagi, setelah para tabib melihat nasib Elang Taraka yang berakhir meringkuk di jeruji besi. Mereka tidak akan berani mencoba, karena takut dimasukkan penjara sebagaimana Elang.Sungguh, jahat sekali orang yang berniat jahat pada putrinya.“Jangan menangis lagi, Kenes,” tutur Gusti Ratu berusaha menenangkan.BersambungDi jalanan Kotaraja, tiga ekor kuda hitam berlari seperti kesetanan menuju arah istana. Penunggangnya tidak berpakaian sebagaimana umumnya penduduk Damar Langit yang sebagian besar telanjang dada. Tubuh tiga pria itu dibalut pakaian panjang serba hitam dengan tutup kepala hanya menampakkan mata mereka. Penampilan yang tidak biasa ini sejujurnya mengundang perhatian di sepanjang jalan. Alih-alih ada yang berani bertanya, mereka lebih memilih untuk menyingkir.Sejak Damar Langit dikuasai Bratasena, Kotaraja tak ubahnya menjadi kota seribu pertarungan. Ada begitu banyak pendekar berkeliaran. Centeng-centeng bayaran sang Raja baru, siap memenggal setiap kepala yang berani protes dengan kebijakan menyengsarakan rakyat. Penduduk dipaksa tunduk dengan segala cara. Para prajurit jaga di gerbang istana pun tak ada yang berani menghentikan ketika salah satu dari ketiganya mengeluarkan lempengan logam kuningan sebesar telapak tangan anak kecil berukir singa ketika mereka melintas. Itu tanda pen
“Apakah ada kabar dari tempat lain, kabar dari Pangeran Elang atau Pangeran Hadyan, Kangmas Arya Wursita?” Gusti Prabu Maheswara Kamandaka tengah berada di tenda bersama Arya Wursita dan Mahawira. “Mohon ampun, Gusti Prabu. Baru saja saya akan melaporkan.” Arya Wursita tersenyum lebar. Gusti Prabu menganggapnya sebagai pertanda baik. “Kalau begitu, aku siap mendengarnya, Kangmas Patih.” Arya Wursita berdiri tegak. Nyaris saja tak bisa menahan diri untuk tertawa lantang karena hatinya diliputi kebahagiaan, “sesuai dengan prediksi Gusti Pangeran Arya Elang Taraka, Bratasena sungguh memasang jebakan di tengah perjalanan. Pasukan yang dipimpin Gusti Pangeran Arya dicegat para begal dan pendekar dari lembah hitam di Hutan Larangan, Gusti Prabu.” Dengan dada yang dipenuhi ledakan kebahagiaan, Patih Arya Wursita melaporkan kejadian yang menimpa Elang dan pasukannya. Elang mengirimkan satu prajurit untuk menyampaikan kejadian Hutan Larangan pada Gusti Prabu.“Apakah semua baik-baik saja, K
Jatayu mengangkasa di ketinggian. Dari bawah, tubuh raksasanya tak tampak. Hanya seperti burung elang yang terbang di langit. Tenda-tenda sudah rampung didirikan. Elang Taraka pasti merasa puas melihat aktivitas para prajurit dari atas sana. Pasukan elitnya tengah sibuk mengerjakan tugas masing-masing. Ada padang rumput luas yang dipilih untuk menempatkan kuda-kuda mereka. Gentala sudah bergabung dengan prajurit yang bertugas menjaga kuda-kuda perang di padang rumput tersebut. Pangeran Hadyan Ganendra sungguh membuktikan keseriusannya membantu Gusti Prabu Maheswara Kamandaka. Dia memberikan senjata, ransum dan kuda perang kualitas terbaik untuk perang ini. Jenis Kuda Bima yang diberikan Pangeran Hadyan didatangkan khusus dari pulau seberang lautan sebelah timur. Kuda jenis ini dipilih karena kekuatan fisiknya yang mampu bertahan di segala medan. Tidak diragukan lagi ketangguhannya. “Namaku Gentala. Mulai hari ini, Gusti Pangeran menugaskan aku untuk membantu kalian mengurus kuda,” t
Pemuda yang tengah terpuruk dalam penyesalan itu tak berani mengangkat wajah. Tatapannya tertunduk memanah tanah merah tempatnya bersimpuh di depan Elang Taraka. Bahu yang terus bergetar seakan mengisyaratkan penyesalan teramat dalam. “Andaikan dulu Raden Mas Bratasena tidak membutakan mata saya, saya tidak akan kehilangan sahabat terbaik seperti kalian berdua,” isaknya dengan suara parau. Agra membuang wajah. Sulit baginya untuk menerima permintaan maaf orang yang telah berkhianat. Terlebih, pengkhianatan Gentala tidak sederhana. Dia ikut andil dalam kejahatan si Pemberontak Bratasena. Situasinya tidak jauh berbeda dengan Elang Taraka. Pangeran muda itu diliputi kegamangan. Betapa kekecewaanya menggunung selepas mengetahui sahabat yang dipercaya ternyata serigala berbulu domba.Sekian waktu berlalu tanpa kata. Hanya keheningan yang merajai. Gentala melirik Elang yang masih membeku di tempatnya.“Gusti Pangeran, meski saya harus menebus dosa dengan menjadi budak Andika. Saya bersed
Selepas keluar dari Hutan Larangan, pasukan elit yang dipimpin oleh Elang Taraka melanjutkan perjalanan keluar masuk desa menuju Kotaraja. Perjalanan dengan pasukan besar yang terdiri dari kavaleri dan infanteri tentunya memakan lebih banyak waktu. Alih-alih mempercepat, di sebuah tanah lapang yang luas mereka malah membentangkan tenda untuk istirahat. “Gusti Pangeran, bukankah ini akan menghabiskan terlalu banyak waktu?” Agra bertanya selepas usai mendirikan tenda untuk istirahat Kenes Kirana.“Kita akan menghadapi perang habis-habisan dengan Bratasena, Agra. Berperang dengan fisik kelelahan setelah perjalanan panjang tidak menguntungkan kita. Kami sudah memperhitungkan semua ini.” Merpati putih baru saja mengirimkan pesan. Pasukan Tumenggung Mahawira juga melakukan hal yang sama. Hanya Pangeran Hadyan yang berjalan lebih cepat. Agra manggut-manggut. Keberadaannya di tempat ini nantinya tidak terjun langsung dalam pertempuran. Sesuai keahliannya, Agra dan Mbok Sumi bertugas di tend
Balairung Istana Damar Langit diliputi kesunyian beberapa saat lamanya. Jajaran pejabat istana tak ada yang berani mengangkat wajah. Jangankan bicara, mereka bahkan tidak berani mengeluarkan suara napas. Pedang yang terhunus di tangan Bratasena mengucurkan darah. Di tengah ruangan, tergeletak jasad prajurit telik sandi dengan leher digorok. Nasib sial yang menimpa prajurit malang itu terjadi sesaat setelah dia menyampaikan informasi kejadian di Hutan Larangan. Begal dan pendekar dari lembah hitam yang diberi tugas menghadang pasukan Maheswara Kamandaka telah kocar-kacir.“Aku tidak suka mendengar berita buruk. Kalian semua harus tahu itu!” Suara Bratasena menggelegar. Dadanya naik turun penuh gejolak kemarahan. Dia mempunyai harapan besar akan kemenangan garnisun yang mencegat di Hutan Larangan tersebut. Gerombolan begal yang dikenal bengis dan kejam itu diharapkan mampu memadamkan api pemberontakan Maheswara Kamandaka. Alih-alih berhasil meraih kemenangan, sebaliknya mereka justru d
Angin berderu serupa tornado bergulung menerbangkan dedaunan kering. Pusaran itu terus bergerak seakan membentuk ruang untuk arena pertarungan tiga sosok yang ada di dalam sana. Tubuh-tubuh linglung yang sebelumnya terjebak dalam dunia mimpi perlahan mulai terbangun, dipaksa menyaksikan pertarungan yang akan terjadi.Maharesi Acarya berdiri dengan tenang di pinggir. Sementara Elang dan Toh Geni berhadapan layaknya pertemuan dua musuh bebuyutan.“Katakan padaku, apa alasanmu membunuh orang tuaku, Toh Geni?” Suara Elang terdengar tenang, kendati mengandung kemarahan yang begitu dalam. Toh Geni hanya menyeringai. Tak berniat memberi jawaban.“Kau berniat membunuhku, maka lakukan saja jika engkau mempunyai kemampuan!”Elang menyipitkan mata. Dua tangannya terkepal. Kemarahan makin berkobar, merasa diremehkan. “Maka akan aku penuhi keinginanmu.” Elang mulai menyerang. Tiap gerakannya menuju titik-titik mematikan lawan. Tak berniat memberi ampunan. Pria di depannya itu yang telah membuatny
Hiruk pikuk pertempuran seketika menghilang. Hutan yang diliputi peperangan berubah hening seakan tak berpenghuni. Desau angin bahkan tak berani menunjukkan dirinya dikuasai ketakutan. Bukan hanya hewan-hewan penghuni Wono Daksino saja yang terpengaruh dengan suara seruling. Manusia yang mendengar alunan magis itu juga menjadi linglung. Seakan terenggut kesadarannya, mereka terjerembab di dalam mimpi buruk. Peniup seruling berperan sebagai penguasa mimpi bisa sesuka hati mempermainkan siapapun yang terjebak di dalamnya. Waktu seakan berhenti berputar. Tak ada yang bergerak, hanyut dalam halusinasi. Hanya tiga orang yang bisa keluar dari kebekuan sang Waktu.“Kita berjumpa lagi, Teman.” Jiwa semua orang telah dibelenggu di alam mimpi, ketika pria tua itu berhenti meniup seruling. Dengan wajah tanpa dosa, dia menyapa Maharesi Acarya Adiwilaga. Senyuman menghias di bibir keriputnya.“Setelah tujuh belas tahun berpisah, akhirnya kita bereuni kembali, Acarya. Harusnya, pertemuan kita akan
Para begal dan pendekar dari lembah hitam telah siaga melakukan penyerangan begitu Elang dan pasukannya melewati hutan. Kejutan yang disiapkan Bratasena ini tidak main-main. Para begal dipersenjatai militer lengkap siap tempur. Dengan kekejaman alami yang telah mendarah daging dalam naluri penjahat, mereka tidak bisa dihadapi prajurit sembarangan. Ditambah lagi dengan kekuatan dari para pendekar lembah hitam, menjadikan kesombongan mereka terbang ke awang-awang.“Akhirnya tamu istimewa kita telah tiba, Teman-teman. Mari kita sambut dengan hidangan pembuka. Ha-ha-ha….” Gemuruh sorak-sorai seketika meramaikan hutan yang mencekam. Dari balik pepohonan hutan, sosok hitam bermunculan. Berjumlah tidak kurang dari lima ratus orang yang menghadang pasukan yang dipimpin Elang.“Mana Maheswara Kamandaka?! Kalau kamu sujud di bawah kakiku sekarang juga, aku pasti akan mengurungkan niat untuk membantai prajuritmu!” Seorang pria dengan mata sebelah kanannya ditutupi potongan kulit binatang berwarn