Share

Part 5 : Gendhis Widuri

Di ruang obat Istana, Agra Gajendra beberapa kali melirik tempat dimana beberapa hari terakhir ini, Elang menghabiskan waktu untuk membuat ramuan. Masih ada tersisa beberapa bahan herbal di sana.

Setelah memastikan tidak ada orang, Agra mengayunkan langkah mendekati tempat dimana Elang menghabiskan waktu selama beberapa hari ini.

“Cendana dan Akar wangi?” lirihnya setelah mencium bahan herbal yang ada di sana.

Agra mencium tempat Elang menumbuk bahan-bahan herbal yang digunakan untuk mengobati sang Putri.

Tabib mempunyai penciuman yang sangat sensitif. Dia bisa membedakan beberapa jenis bahan herbal yang terkandung dalam sebuah ramuan dengan akurat. Semua itu karena mereka melatih penciuman mereka selama bertahun-tahun. Sebagai asisten tabib, Agra juga harus mempunyai kemampuan dasar ini.

Ketika Agra baru saja meletakkan lumpang kecil yang digunakan Elang, Gentala Wisesa tiba-tiba sudah berada di sana dengan wajah kaget.

“Agra? Untuk apa kamu di sini?” sapa Gentala begitu melihat Agra terlihat mencurigakan.

"Genta, aku … aku hanya melihat bahan herbal di tempat itu.”

“Ada urusan apa kamu dengan sisa bahan herbal yang digunakan Elang, Agra?” Gentala menatap penuh tanda tanya. Dalam hati dia merasa curiga.

Kemarin bukankah Agra masih acuh tak acuh, saat Genta mengajaknya membantu Elang. Sekarang, kenapa dia berada di tempat ini diam-diam.

“Agra, jangan-jangan kamu diam-diam—”

“Jangan berpikir macam-macam, kamu Genta!” potong Agra. Genta itu terlalu mudah menyimpulkan segala sesuatu.

“Apa salah kalau aku curiga padamu, Agra? Apa yang kamu lakukan hari ini memang mencurigakan!” balasnya.

“Jangan sembarangan! Aku baru saja datang. Aku lihat ada akar wangi dan cendana di sini. Apa salah kalau aku mencium baunya?” Agra harus mengatakan sesuatu untuk menghilangkan kecurigaan Gentala. Takutnya, akan menimbulkan sesuatu yang tidak baik untuknya.

Selepas berkata demikian, Agra mengayunkan langkah pergi. Gentala masih berdiri terpaku di tempatnya tak bergerak sedikitpun. Tatapan matanya mengisyaratkan kecurigaan pada Agra.

“Aah, lupakan saja! Aku akan membuat ramuan untuk Elang. Pasti tubuhnya luka-luka sekarang.” Gentala melihat prajurit yang menggelandang Elang ke Penjara sangat kasar memperlakukannya. Elang pasti disiksa oleh mereka. Genta membuatkan ramuan untuk mengobati luka.

“Entah bagaimana nasibmu setelah ini. Hukuman apa yang sudah menunggumu nanti. Aah, kasihan sekali kamu, Lang.” Gentala menyiapkan beberapa bahan herbal yang akan dia tumbuk untuk dia kirimkan ke Penjara.

Kemudian, Gentala sudah sibuk dengan pekerjaannya. Agra ternyata masih ada di sana, memperhatikan apa yang dilakukan oleh Gentala dengan wajah aneh.

Sesekali, Agra melirik akar wangi dan cendana yang sempat disembunyikannya di balik baju.

Dengan langkah tergesa, Agra meninggalkan ruang obat istana menuju tempat tinggalnya.

Hanya tersisa Gentala Wisesa yang masih sibuk membuat ramuan obat untuk teman sejawatnya yang saat ini sedang bernasib sial.

“Aah, sudah selesai. Aku akan mengantarnya ke Penjara.” Ada senyuman terbit dari sudut bibir Genta. Selain obat, Gentala juga membawa sedikit makanan untuk Elang.

“Kamu harus kuat menghadapi hal yang mungkin saja lebih buruk lagi di masa depan, Lang.” Genta geleng-geleng kepala menyadari hidup di dalam Istana telah membuat orang bisa berbuat sangat kejam. Demi mendapatkan sedikit uang atau jabatan, dia bahkan bisa mengorbankan siapapun.

“Istana memang sekejam ini, Lang. Jika tidak punya kemampuan bertahan, harus rela dijadikan tumbal.” Gentala membuang napas kasar setelahnya.

***

Terdengar suara langkah kaki khas bangsawan sedang berjalan mondar-mandir di taman keputren. Sepasang kaki berbalut selop indah berhiaskan benang emas serta batu permata berkilauan yang menciptakan irama khusus jika dipakai untuk melangkah.

Langkah kaki itu milik Raden Ayu Gendhis Widuri, putri dari salah satu selir yang dimiliki Gusti Prabu.

“Ibunda Selir, apa luka di wajah Kenes Kirana tidak bisa disembuhkan?” tanyanya penuh harap.

Sejak kecil, dia tidak bisa hidup tenang. Semua orang selalu mengelu-elukan nama Gusti Putri Kenes Kirana. Meski sama-sama putri Gusti Prabu, tapi mereka jelas mempunyai kedudukan yang berbeda. Kenes adalah putri dari Gusti Ratu, sedangkan Gendhis hanya putri seorang Selir.

“Meski bisa sembuh, pasti masih meninggalkan bekas luka. Tak akan sama lagi seperti sebelumnya!” sahut sang Ibu dengan wajah puas.

“Apa kamu senang, hmm?” Ada senyum licik terulas dari bibir Gayatri. Dia memang tak bisa menyingkirkan Gusti Ratu dari sisi Gusti Prabu, tapi Gendhis Widuri harus mengalahkan kecantikan Kenes Kirana.

“Aah, ibu. Aku belum pernah merasa begitu senang, seperti hari ini. Akhirnya, aku akan menjadi putri tercantik di Damar Langit. Kenes hanya akan menjadi putri yang tak akan lagi diingat namanya. Ha-ha-ha.”

Aura kebahagiaan menyelimuti Keputren yang ditempati Gendhis Widuri. Bertolak belakang dengan Istana Keputren milik Kenes Kirana yang saat inj sedang berkabut duka.

"Salah sendiri, kamu terlalu menonjol, Kenes! Semua orang selalu menomor satukan kamu dan selalu mengabaikanku! Sekarang akhirnya, tiba giliranku untuk bersinar di dalam Istana ini," gumam Gendhis dengan wajah bahagia.

Gendhis Widuri adalah putri dari selir Gayatri. Meski mereka adalah saudara tiri, tapi tidak ada kemiripan fisik. Kenes mewarisi kecantikan Gusti Ratu yang sangat memikat. Sementara Gendhis memiliki kulit sawo matang dan hidung tidak begitu tinggi, sangat jauh berbeda dengan Kenes.

"Jangan terlalu memperlihatkan kebahagiaanmu, Gendhis! Di hadapan Gusti Prabu dan yang lainnya, kamu harus terlihat sedih dengan musibah yang terjadi pada Kakang Mbokmu!” Selir Gayatri mengingatkan.

“Baik, Ibunda. Aku akan mengingatnya.”

“Jangan sampai membuat semua orang curiga pada kita, Gendhis! Istana ini bisa memakan manusia tanpa mayat!” Begitu masuk Istana, mereka harus pandai bermain peran. Meski tak sesuai dengan hati nurani, mereka harus ikut bahagia jika pemilik tahta bahagia. Mereka harus ikut bersedih ketika pemilik tahta bersedih. Tak peduli sebenci apa, tidak boleh menampakkan kebencian jika tak ingin celaka.

“Ibunda sudah mengajarkan semuanya kepadamu, bagaimana cara bertahan hidup di dalam Istana. Kamu harus menggunakannya seumur hidup!” Selir Gayatri kembali menasihati.

“Hanya dengan seperti ini kamu bisa bertahan di Istana keputren. Di luar sana, ada begitu banyak gadis cantik. Jika Gusti Prabu menghendaki mereka menjadi Selir, persaingan di Keputren ini akan makin ketat. Kamu harus mengingat semua pelajaran yang sudah Ibu ajarkan ini! Mengerti?!”

“Ibunda tidak usah khawatir. Aku sudah mengingat semua yang Ibunda ajarkan.” Gendhis Widuri berkata untuk menenangkan hati sang Ibu.

"Jangan hanya mengingat saja, tapi lakukan dengan baik. Pamanmu sudah bekerja keras untuk kita. Dia tidak tega kita selalu menjadi bayang-bayang di Istana ini. Hanya Gusti Ratu dan Kenes Kirana yang menjadi tokoh utama, kita hanya peran pelengkap yang tak pernah dianggap penting."

"Ibunda Selir, aku tidak akan lupa. Paman sudah bekerja keras untuk memperbaiki nasib kita. Aku pasti tidak akan menyia-nyiakan kerja kerasnya."

Gayatri menatap puas putrinya. Tak sabar rasanya untuk menikmati menjadi tokoh utama dalam Istana ini, saat Kenes Kirana sudah tersingkir sepenuhnya.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
taqiyyuut aja
oh....ini dalangnya....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status