Di ruang obat Istana, Agra Gajendra beberapa kali melirik tempat dimana beberapa hari terakhir ini, Elang menghabiskan waktu untuk membuat ramuan. Masih ada tersisa beberapa bahan herbal di sana.
Setelah memastikan tidak ada orang, Agra mengayunkan langkah mendekati tempat dimana Elang menghabiskan waktu selama beberapa hari ini.“Cendana dan Akar wangi?” lirihnya setelah mencium bahan herbal yang ada di sana.Agra mencium tempat Elang menumbuk bahan-bahan herbal yang digunakan untuk mengobati sang Putri.Tabib mempunyai penciuman yang sangat sensitif. Dia bisa membedakan beberapa jenis bahan herbal yang terkandung dalam sebuah ramuan dengan akurat. Semua itu karena mereka melatih penciuman mereka selama bertahun-tahun. Sebagai asisten tabib, Agra juga harus mempunyai kemampuan dasar ini.Ketika Agra baru saja meletakkan lumpang kecil yang digunakan Elang, Gentala Wisesa tiba-tiba sudah berada di sana dengan wajah kaget.“Agra? Untuk apa kamu di sini?” sapa Gentala begitu melihat Agra terlihat mencurigakan."Genta, aku … aku hanya melihat bahan herbal di tempat itu.”“Ada urusan apa kamu dengan sisa bahan herbal yang digunakan Elang, Agra?” Gentala menatap penuh tanda tanya. Dalam hati dia merasa curiga.Kemarin bukankah Agra masih acuh tak acuh, saat Genta mengajaknya membantu Elang. Sekarang, kenapa dia berada di tempat ini diam-diam.“Agra, jangan-jangan kamu diam-diam—”“Jangan berpikir macam-macam, kamu Genta!” potong Agra. Genta itu terlalu mudah menyimpulkan segala sesuatu.“Apa salah kalau aku curiga padamu, Agra? Apa yang kamu lakukan hari ini memang mencurigakan!” balasnya.“Jangan sembarangan! Aku baru saja datang. Aku lihat ada akar wangi dan cendana di sini. Apa salah kalau aku mencium baunya?” Agra harus mengatakan sesuatu untuk menghilangkan kecurigaan Gentala. Takutnya, akan menimbulkan sesuatu yang tidak baik untuknya.Selepas berkata demikian, Agra mengayunkan langkah pergi. Gentala masih berdiri terpaku di tempatnya tak bergerak sedikitpun. Tatapan matanya mengisyaratkan kecurigaan pada Agra.“Aah, lupakan saja! Aku akan membuat ramuan untuk Elang. Pasti tubuhnya luka-luka sekarang.” Gentala melihat prajurit yang menggelandang Elang ke Penjara sangat kasar memperlakukannya. Elang pasti disiksa oleh mereka. Genta membuatkan ramuan untuk mengobati luka.“Entah bagaimana nasibmu setelah ini. Hukuman apa yang sudah menunggumu nanti. Aah, kasihan sekali kamu, Lang.” Gentala menyiapkan beberapa bahan herbal yang akan dia tumbuk untuk dia kirimkan ke Penjara.Kemudian, Gentala sudah sibuk dengan pekerjaannya. Agra ternyata masih ada di sana, memperhatikan apa yang dilakukan oleh Gentala dengan wajah aneh.Sesekali, Agra melirik akar wangi dan cendana yang sempat disembunyikannya di balik baju.Dengan langkah tergesa, Agra meninggalkan ruang obat istana menuju tempat tinggalnya.Hanya tersisa Gentala Wisesa yang masih sibuk membuat ramuan obat untuk teman sejawatnya yang saat ini sedang bernasib sial.“Aah, sudah selesai. Aku akan mengantarnya ke Penjara.” Ada senyuman terbit dari sudut bibir Genta. Selain obat, Gentala juga membawa sedikit makanan untuk Elang.“Kamu harus kuat menghadapi hal yang mungkin saja lebih buruk lagi di masa depan, Lang.” Genta geleng-geleng kepala menyadari hidup di dalam Istana telah membuat orang bisa berbuat sangat kejam. Demi mendapatkan sedikit uang atau jabatan, dia bahkan bisa mengorbankan siapapun.“Istana memang sekejam ini, Lang. Jika tidak punya kemampuan bertahan, harus rela dijadikan tumbal.” Gentala membuang napas kasar setelahnya.***Terdengar suara langkah kaki khas bangsawan sedang berjalan mondar-mandir di taman keputren. Sepasang kaki berbalut selop indah berhiaskan benang emas serta batu permata berkilauan yang menciptakan irama khusus jika dipakai untuk melangkah.Langkah kaki itu milik Raden Ayu Gendhis Widuri, putri dari salah satu selir yang dimiliki Gusti Prabu.“Ibunda Selir, apa luka di wajah Kenes Kirana tidak bisa disembuhkan?” tanyanya penuh harap.Sejak kecil, dia tidak bisa hidup tenang. Semua orang selalu mengelu-elukan nama Gusti Putri Kenes Kirana. Meski sama-sama putri Gusti Prabu, tapi mereka jelas mempunyai kedudukan yang berbeda. Kenes adalah putri dari Gusti Ratu, sedangkan Gendhis hanya putri seorang Selir.“Meski bisa sembuh, pasti masih meninggalkan bekas luka. Tak akan sama lagi seperti sebelumnya!” sahut sang Ibu dengan wajah puas.“Apa kamu senang, hmm?” Ada senyum licik terulas dari bibir Gayatri. Dia memang tak bisa menyingkirkan Gusti Ratu dari sisi Gusti Prabu, tapi Gendhis Widuri harus mengalahkan kecantikan Kenes Kirana.“Aah, ibu. Aku belum pernah merasa begitu senang, seperti hari ini. Akhirnya, aku akan menjadi putri tercantik di Damar Langit. Kenes hanya akan menjadi putri yang tak akan lagi diingat namanya. Ha-ha-ha.”Aura kebahagiaan menyelimuti Keputren yang ditempati Gendhis Widuri. Bertolak belakang dengan Istana Keputren milik Kenes Kirana yang saat inj sedang berkabut duka."Salah sendiri, kamu terlalu menonjol, Kenes! Semua orang selalu menomor satukan kamu dan selalu mengabaikanku! Sekarang akhirnya, tiba giliranku untuk bersinar di dalam Istana ini," gumam Gendhis dengan wajah bahagia.Gendhis Widuri adalah putri dari selir Gayatri. Meski mereka adalah saudara tiri, tapi tidak ada kemiripan fisik. Kenes mewarisi kecantikan Gusti Ratu yang sangat memikat. Sementara Gendhis memiliki kulit sawo matang dan hidung tidak begitu tinggi, sangat jauh berbeda dengan Kenes."Jangan terlalu memperlihatkan kebahagiaanmu, Gendhis! Di hadapan Gusti Prabu dan yang lainnya, kamu harus terlihat sedih dengan musibah yang terjadi pada Kakang Mbokmu!” Selir Gayatri mengingatkan.“Baik, Ibunda. Aku akan mengingatnya.”“Jangan sampai membuat semua orang curiga pada kita, Gendhis! Istana ini bisa memakan manusia tanpa mayat!” Begitu masuk Istana, mereka harus pandai bermain peran. Meski tak sesuai dengan hati nurani, mereka harus ikut bahagia jika pemilik tahta bahagia. Mereka harus ikut bersedih ketika pemilik tahta bersedih. Tak peduli sebenci apa, tidak boleh menampakkan kebencian jika tak ingin celaka.“Ibunda sudah mengajarkan semuanya kepadamu, bagaimana cara bertahan hidup di dalam Istana. Kamu harus menggunakannya seumur hidup!” Selir Gayatri kembali menasihati.“Hanya dengan seperti ini kamu bisa bertahan di Istana keputren. Di luar sana, ada begitu banyak gadis cantik. Jika Gusti Prabu menghendaki mereka menjadi Selir, persaingan di Keputren ini akan makin ketat. Kamu harus mengingat semua pelajaran yang sudah Ibu ajarkan ini! Mengerti?!”“Ibunda tidak usah khawatir. Aku sudah mengingat semua yang Ibunda ajarkan.” Gendhis Widuri berkata untuk menenangkan hati sang Ibu."Jangan hanya mengingat saja, tapi lakukan dengan baik. Pamanmu sudah bekerja keras untuk kita. Dia tidak tega kita selalu menjadi bayang-bayang di Istana ini. Hanya Gusti Ratu dan Kenes Kirana yang menjadi tokoh utama, kita hanya peran pelengkap yang tak pernah dianggap penting.""Ibunda Selir, aku tidak akan lupa. Paman sudah bekerja keras untuk memperbaiki nasib kita. Aku pasti tidak akan menyia-nyiakan kerja kerasnya."Gayatri menatap puas putrinya. Tak sabar rasanya untuk menikmati menjadi tokoh utama dalam Istana ini, saat Kenes Kirana sudah tersingkir sepenuhnya.BersambungDi jalanan Kotaraja, tiga ekor kuda hitam berlari seperti kesetanan menuju arah istana. Penunggangnya tidak berpakaian sebagaimana umumnya penduduk Damar Langit yang sebagian besar telanjang dada. Tubuh tiga pria itu dibalut pakaian panjang serba hitam dengan tutup kepala hanya menampakkan mata mereka. Penampilan yang tidak biasa ini sejujurnya mengundang perhatian di sepanjang jalan. Alih-alih ada yang berani bertanya, mereka lebih memilih untuk menyingkir.Sejak Damar Langit dikuasai Bratasena, Kotaraja tak ubahnya menjadi kota seribu pertarungan. Ada begitu banyak pendekar berkeliaran. Centeng-centeng bayaran sang Raja baru, siap memenggal setiap kepala yang berani protes dengan kebijakan menyengsarakan rakyat. Penduduk dipaksa tunduk dengan segala cara. Para prajurit jaga di gerbang istana pun tak ada yang berani menghentikan ketika salah satu dari ketiganya mengeluarkan lempengan logam kuningan sebesar telapak tangan anak kecil berukir singa ketika mereka melintas. Itu tanda pen
“Apakah ada kabar dari tempat lain, kabar dari Pangeran Elang atau Pangeran Hadyan, Kangmas Arya Wursita?” Gusti Prabu Maheswara Kamandaka tengah berada di tenda bersama Arya Wursita dan Mahawira. “Mohon ampun, Gusti Prabu. Baru saja saya akan melaporkan.” Arya Wursita tersenyum lebar. Gusti Prabu menganggapnya sebagai pertanda baik. “Kalau begitu, aku siap mendengarnya, Kangmas Patih.” Arya Wursita berdiri tegak. Nyaris saja tak bisa menahan diri untuk tertawa lantang karena hatinya diliputi kebahagiaan, “sesuai dengan prediksi Gusti Pangeran Arya Elang Taraka, Bratasena sungguh memasang jebakan di tengah perjalanan. Pasukan yang dipimpin Gusti Pangeran Arya dicegat para begal dan pendekar dari lembah hitam di Hutan Larangan, Gusti Prabu.” Dengan dada yang dipenuhi ledakan kebahagiaan, Patih Arya Wursita melaporkan kejadian yang menimpa Elang dan pasukannya. Elang mengirimkan satu prajurit untuk menyampaikan kejadian Hutan Larangan pada Gusti Prabu.“Apakah semua baik-baik saja, K
Jatayu mengangkasa di ketinggian. Dari bawah, tubuh raksasanya tak tampak. Hanya seperti burung elang yang terbang di langit. Tenda-tenda sudah rampung didirikan. Elang Taraka pasti merasa puas melihat aktivitas para prajurit dari atas sana. Pasukan elitnya tengah sibuk mengerjakan tugas masing-masing. Ada padang rumput luas yang dipilih untuk menempatkan kuda-kuda mereka. Gentala sudah bergabung dengan prajurit yang bertugas menjaga kuda-kuda perang di padang rumput tersebut. Pangeran Hadyan Ganendra sungguh membuktikan keseriusannya membantu Gusti Prabu Maheswara Kamandaka. Dia memberikan senjata, ransum dan kuda perang kualitas terbaik untuk perang ini. Jenis Kuda Bima yang diberikan Pangeran Hadyan didatangkan khusus dari pulau seberang lautan sebelah timur. Kuda jenis ini dipilih karena kekuatan fisiknya yang mampu bertahan di segala medan. Tidak diragukan lagi ketangguhannya. “Namaku Gentala. Mulai hari ini, Gusti Pangeran menugaskan aku untuk membantu kalian mengurus kuda,” t
Pemuda yang tengah terpuruk dalam penyesalan itu tak berani mengangkat wajah. Tatapannya tertunduk memanah tanah merah tempatnya bersimpuh di depan Elang Taraka. Bahu yang terus bergetar seakan mengisyaratkan penyesalan teramat dalam. “Andaikan dulu Raden Mas Bratasena tidak membutakan mata saya, saya tidak akan kehilangan sahabat terbaik seperti kalian berdua,” isaknya dengan suara parau. Agra membuang wajah. Sulit baginya untuk menerima permintaan maaf orang yang telah berkhianat. Terlebih, pengkhianatan Gentala tidak sederhana. Dia ikut andil dalam kejahatan si Pemberontak Bratasena. Situasinya tidak jauh berbeda dengan Elang Taraka. Pangeran muda itu diliputi kegamangan. Betapa kekecewaanya menggunung selepas mengetahui sahabat yang dipercaya ternyata serigala berbulu domba.Sekian waktu berlalu tanpa kata. Hanya keheningan yang merajai. Gentala melirik Elang yang masih membeku di tempatnya.“Gusti Pangeran, meski saya harus menebus dosa dengan menjadi budak Andika. Saya bersed
Selepas keluar dari Hutan Larangan, pasukan elit yang dipimpin oleh Elang Taraka melanjutkan perjalanan keluar masuk desa menuju Kotaraja. Perjalanan dengan pasukan besar yang terdiri dari kavaleri dan infanteri tentunya memakan lebih banyak waktu. Alih-alih mempercepat, di sebuah tanah lapang yang luas mereka malah membentangkan tenda untuk istirahat. “Gusti Pangeran, bukankah ini akan menghabiskan terlalu banyak waktu?” Agra bertanya selepas usai mendirikan tenda untuk istirahat Kenes Kirana.“Kita akan menghadapi perang habis-habisan dengan Bratasena, Agra. Berperang dengan fisik kelelahan setelah perjalanan panjang tidak menguntungkan kita. Kami sudah memperhitungkan semua ini.” Merpati putih baru saja mengirimkan pesan. Pasukan Tumenggung Mahawira juga melakukan hal yang sama. Hanya Pangeran Hadyan yang berjalan lebih cepat. Agra manggut-manggut. Keberadaannya di tempat ini nantinya tidak terjun langsung dalam pertempuran. Sesuai keahliannya, Agra dan Mbok Sumi bertugas di tend
Balairung Istana Damar Langit diliputi kesunyian beberapa saat lamanya. Jajaran pejabat istana tak ada yang berani mengangkat wajah. Jangankan bicara, mereka bahkan tidak berani mengeluarkan suara napas. Pedang yang terhunus di tangan Bratasena mengucurkan darah. Di tengah ruangan, tergeletak jasad prajurit telik sandi dengan leher digorok. Nasib sial yang menimpa prajurit malang itu terjadi sesaat setelah dia menyampaikan informasi kejadian di Hutan Larangan. Begal dan pendekar dari lembah hitam yang diberi tugas menghadang pasukan Maheswara Kamandaka telah kocar-kacir.“Aku tidak suka mendengar berita buruk. Kalian semua harus tahu itu!” Suara Bratasena menggelegar. Dadanya naik turun penuh gejolak kemarahan. Dia mempunyai harapan besar akan kemenangan garnisun yang mencegat di Hutan Larangan tersebut. Gerombolan begal yang dikenal bengis dan kejam itu diharapkan mampu memadamkan api pemberontakan Maheswara Kamandaka. Alih-alih berhasil meraih kemenangan, sebaliknya mereka justru d
Angin berderu serupa tornado bergulung menerbangkan dedaunan kering. Pusaran itu terus bergerak seakan membentuk ruang untuk arena pertarungan tiga sosok yang ada di dalam sana. Tubuh-tubuh linglung yang sebelumnya terjebak dalam dunia mimpi perlahan mulai terbangun, dipaksa menyaksikan pertarungan yang akan terjadi.Maharesi Acarya berdiri dengan tenang di pinggir. Sementara Elang dan Toh Geni berhadapan layaknya pertemuan dua musuh bebuyutan.“Katakan padaku, apa alasanmu membunuh orang tuaku, Toh Geni?” Suara Elang terdengar tenang, kendati mengandung kemarahan yang begitu dalam. Toh Geni hanya menyeringai. Tak berniat memberi jawaban.“Kau berniat membunuhku, maka lakukan saja jika engkau mempunyai kemampuan!”Elang menyipitkan mata. Dua tangannya terkepal. Kemarahan makin berkobar, merasa diremehkan. “Maka akan aku penuhi keinginanmu.” Elang mulai menyerang. Tiap gerakannya menuju titik-titik mematikan lawan. Tak berniat memberi ampunan. Pria di depannya itu yang telah membuatny
Hiruk pikuk pertempuran seketika menghilang. Hutan yang diliputi peperangan berubah hening seakan tak berpenghuni. Desau angin bahkan tak berani menunjukkan dirinya dikuasai ketakutan. Bukan hanya hewan-hewan penghuni Wono Daksino saja yang terpengaruh dengan suara seruling. Manusia yang mendengar alunan magis itu juga menjadi linglung. Seakan terenggut kesadarannya, mereka terjerembab di dalam mimpi buruk. Peniup seruling berperan sebagai penguasa mimpi bisa sesuka hati mempermainkan siapapun yang terjebak di dalamnya. Waktu seakan berhenti berputar. Tak ada yang bergerak, hanyut dalam halusinasi. Hanya tiga orang yang bisa keluar dari kebekuan sang Waktu.“Kita berjumpa lagi, Teman.” Jiwa semua orang telah dibelenggu di alam mimpi, ketika pria tua itu berhenti meniup seruling. Dengan wajah tanpa dosa, dia menyapa Maharesi Acarya Adiwilaga. Senyuman menghias di bibir keriputnya.“Setelah tujuh belas tahun berpisah, akhirnya kita bereuni kembali, Acarya. Harusnya, pertemuan kita akan
Para begal dan pendekar dari lembah hitam telah siaga melakukan penyerangan begitu Elang dan pasukannya melewati hutan. Kejutan yang disiapkan Bratasena ini tidak main-main. Para begal dipersenjatai militer lengkap siap tempur. Dengan kekejaman alami yang telah mendarah daging dalam naluri penjahat, mereka tidak bisa dihadapi prajurit sembarangan. Ditambah lagi dengan kekuatan dari para pendekar lembah hitam, menjadikan kesombongan mereka terbang ke awang-awang.“Akhirnya tamu istimewa kita telah tiba, Teman-teman. Mari kita sambut dengan hidangan pembuka. Ha-ha-ha….” Gemuruh sorak-sorai seketika meramaikan hutan yang mencekam. Dari balik pepohonan hutan, sosok hitam bermunculan. Berjumlah tidak kurang dari lima ratus orang yang menghadang pasukan yang dipimpin Elang.“Mana Maheswara Kamandaka?! Kalau kamu sujud di bawah kakiku sekarang juga, aku pasti akan mengurungkan niat untuk membantai prajuritmu!” Seorang pria dengan mata sebelah kanannya ditutupi potongan kulit binatang berwarn