LOGINLara memilih gaun berwarna Hijau lembut dengan renda yang menjulang ke lantai. Ia benar-benar membongkar isi lemari Elara. Dan gaun yang satu ini adalah gaun yang paling mending diantara gaun yang lain.
Lara membolak-balikkan badannya di depan cermin, memastikan dandannya sudah pantas dan cantik. Ia ingin terlihat segar dan hidup dihadapan permaisuri iblis itu. Tidak ada yang lebih menyakitkan selain melihat orang yang kau benci hidup sehat dan bahagia, bukan? Cornell menyematkan jepit terakhir di kepala Lara. Dalam hati ia sangat bahagia melihat Tuannya hari ini. Putri Lara terlihat lebih 'hidup' dari sebelumnya. Meskipun banyak sekali ingatannya yang hilang, tapi melihatnya sehat dan bahagia seperti ini sudah terasa seperti anugrah untuk Cornell. "Oke Cornell, aku siap! " Seru Lara pada Cornell, lebih ke dirinya sendiri. Ia meyakinkan diri sendiri bahwa hari ini ia akan baik-baik saja. Cornell mengangguk lalu mempersilahkan Tuannya untuk berjalan terlebih dulu. **** Muka mereka semua punya subtitle. Itulah yang Lara pikirkan saat ini. Semua orang di ruangan ini memakai baju yang mewah, warna ungu terang yang katanya sangat sulit didapatkan di zaman inipun dipakai oleh sang raja dan permaisuri. Sedangkan pejabat dan putri-putri beda ibu yang berkumpul disini terlihat jelas bahwa mereka kaget dengan perubahan pada diri Elara. Gadis yang biasanya terlihat lusuh dengan gaun seadanya, sekarang terlihat cerah dengan tatanan rambut serta gaun yang senada. Membuatnya terlihat sangat menawan dan secara tidak sengaja mencuri perhatian yang harusnya menjadi milik sang raja. Tapi ada pula beberapa dari mereka yang tidak senang dengan itu. Dengan terang-terangan, mereka memperlihatkan tatapan seperti tatapan jijik padanya. Karena Lara yang sekarang ini tidak mengenal mereka dan juga tidak mau peduli dengan mereka, jadi ia mengabaikan mereka tentu saja. **** Sang Raja terlihat bahagia dengan kedatangan Lara pagi ini. Beliau bahkan berdiri menghampiri Lara saat ia sedang mengucapkan salam pada Paduka dan Permaisuri. "Putriku, aku senang melihatmu sehat kembali. " Ujar Sang Raja sambil memegang kedua lengan Lara. Lara tersenyum, antara senang dan terharu. Dulu bahkan orang yang ia sebut ayah tidak pernah tersenyum setulis ini padanya. "Ini semua berkat yang mulia juga. " Sahut Lara sambil tersenyum. Paduka kaget, begitu pula dengan orang-orang di sekitarnya. Mereka tak menyangka bisa mendengar suara seorang Elara Sinclair di istana ini. Biasanya, apapun yang paduka katakan, Elara hanya akan tersenyum. Satu-satunya tempat Elara bisa bersuara adalah di dalam ruangannya sendiri. Tak heran rumor bahwa sang putri menjadi bisu tersebar di penjuru istana. Di sisi lain, ada permaisuri yang hampir habis kesabarannya. Ia tak suka melihat Paduka berbelas kasih pada seorang anak bajingan itu. Anak itu bahkan tidak mengindahkan peringatannya. Tiap Paduka pergi, ia pasti akan menyiksanya secara verbal, kadang fisik juga kalau moodnya sedang jelek. Tiap ia menyiksa Lara, ia selalu memperingatkan anak itu supaya tidak mengeluarkan suara sedikitpun di luar ruangan ini. Atau akan lebih banyak jarum yang menancap di punggungnya. Ya, ia menggunakan jarum dan menusuk punggung Lara hingga ia puas. Kenapa jarum? karena bekasnya tak berbekas tapi dalam lukanya. Dua hari lagi paduka pergi, dan sepertinya ia harus memberi Elara pelajaran lagi. Anak bajingan tetaplah bajingan. Untuk bernafas pun Elara tak berhak, pikir permaisuri. Nafasnya menderu menahan amarah yang bergemuruh. Sedari tadi ia mengepalkan tangannya hingga jari-jarinya memutih. Rasanya ingin sekali melempar vas bunga yang ada di sisinya ke kepala gadis itu. Tapi kepala pelayan menyentuh bahunya seranya memberinya essential oil beraroma mint dan mawar yang ia dapat dari pedangang yang berkunjung ke negara ini. "Tenangkan dirimu permaisuri, jika anda gegabah semua akan hancur, " bisik kepala pelayan disamping telinganya. Permaisuri menghela nafas dalam, aroma mint dan rose menyeruak ke hidung membuatnya sedikit lebih tenang. "Minyak ini menyegarkan, nanti kau beli lagi dan simpan di ruanganku, mengerti? " "Baik permaisuri. " **** Lara tidak tahu atas dasar apa pertemuan ini diadakan. Ia hanya duduk di kursi yang ada di pinggir jendela. Sedari tadi ia menjelajahi makanan yang tersedia, tak ada satupun yang menbuatnya terkesan. Makanan khas Eropa semuanya hambar. Sambil menyesap champane di tangannya, ia berpikir akankah ia makan nasi padang lagi? sepertinya tidak mungkin. Ayolah setidaknya taburkan garam yang lebih banyak, apa susahnya! Ketika ia sedang asyik melamun, tiba-tiba seorang wanita dengan gaun biru langit cerah menghampirinya. Wajahnya terlihat cantik tapi jauh dari kata ramah. "Aku kira kamu sudah mati, Elara. " Gumamnya. Lara hanya melihatnya sekilas lalu lanjut meminum champange nya. "Maaf nona, tapi aku yakin kau tahu keadaanku yang kehilangan ingatan ini... hm... jadi, siapa namamu? " Wajah jengkel lawan bicaranya ini makin ketara. Mereka memiliki warna mata yang sama, yaitu hijau kecoklatan. Lara pikir oh mungkin saudara seayahnya. "Aku Liorentia, bisa-bisanya kau lupa padaku dasar adik kurang ajar. " Sahutnya sambil menyambar segelas champange yang ditawari oleh seorang pelayan. Yah meskipun ia dipanggil kurang ajar, setidaknya Lara masih diakui sebagai adik oleh Lioren. "Oh, maaf maaf, " sahut Lara sambil terkekeh. Lioren tersikap, ia tidak pernah melihat Lara tersenyum apalagi terkekeh seperti itu. "Kalau kau tidak keberatan, adakah hal kurang ajar yang aku lakukan padamu dulu? aku benar-benar kehilangan ingatanku... dan pelayanku sepertinya tidak berniat memberitahuku apapun... er.... kakak, " Ucap Lara, agak sedikit ragu karena ia merasa lancang memanggil Lioren kakak. Terlebih lagi dia 'kan anak dari permaisuri... Tapi yang ia dapatkan malah senyum tulus dari Lioren. Gadis itu ikut duduk disamping Lara, menghela nafas dulu sebelum ia mulai berbicara, "Kau tahu? dulu kau selalu melihatku dari jauh saat aku sedang bermain. Kau seperti takut melihatku dan kau juga memanggilku tuan putri, bukan kakak. " Lioren memutar gelasnya sambil menunduk, ada rasa sedih mengingat Lara kecil yang selalu terlihat sedih dan kurus. "Pernah dulu aku melihat tanganmu diperban, dan matamu bengkak besar seperti bola tenis. Aku menghampirimu dan bertanya siapa yang melakukan ini padamu. Tapi kamu hanya diam sambil menggeleng kencang lalu menangis. Sejak saat itu kamu tidak pernah keluar dari istanamu, Lara" jelasnya panjang lebar. Lara terdiam ssbentar berusaha mencerna penjelasan Lioren. Mungkin kejadian saat ia memegang pecahan cangkir itu. Hari dimana ibundanya ikut tersiksa dan Lara semakin diam karena takut berbicara. "Maafkan aku kak, tapi tempat ini selalu menjadi neraka megah untukku," jawab lara dengan lirih. Lioren bingung, kenapa adiknya berpikir seperti itu? "Kenapa kamu berkata seperti itu? " Lioren tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. "Aku tidak bisa mengatakannya sekarang kak, aku tidak mau mati muda, " candanya. Tapi seperti biasa, bercandaan Lara sulit ditanggapi oleh lawan bicaranya. "Kau tidak boleh mati, aku tidak bisa membayangkan betapa sedihnya ayah jika kau pergi. " Lara hanya tersenyum simpul. Ia tahu betul apa yang akan terjadi jika Lara benar-benar mati. Di plot novel yang sesungguhnya, setelah Lara mati, tak lama kemudian ayahnya menyusulnya dan Lioren ini akan menjadi musuh bebuyutan ibunya sendiri. Mari bertahan hidup di neraka megah ini, Elara! Batin gadis itu pada dirinya sendiri.Lara bangun dengan posisi tengkurap. Punggungnya sakit karena beberapa tusukan jarum dan rasanya ia terlalu lelah untuk sekedar menangis. Jadi begini rasanya jadi tokoh yang disiksa di sinetron-sinetron itu? pikirnya. Lara berpikir, bagaimana dulu Elara hidup ya... apakah ia akan menangis di pagi harinya, atau berakhir mengisolasi diri seperti yang selalu ia lakukan (sebagai Elara). kalau Lara ... ia marah. Ia tak terima diperlakukan seperti ini. Tapi jelas tidak mungkin untuk langsung mendatangi permaisuri dan menamparnya. Ya kalau begitu ceritanya hidupnya akan tamat dan novel ini akan berjalan sesuai alur lamanya. Tapi sekarang 'kan Adelia - yang ada di dalam tubuh Elara, ini sangat sekali ingin hidup. Adelia - yang mendeklarasikan dirinya sebagai Lara- ini hanya terdiam sambil menunggu obat yang akan di bawakan oleh Cornell. Punggungnya sakit, tentu saja. Tapi hatinya tidak sesedih itu untuk menangis. Entah karena ia sudah tahu bahwa ia akan disiksa cepat atau lambat, atau h
Lara ingat benar, saat ia menjadi Adel dulu, ia juga pernah merasa selelah ini. Bukan bukan karena pekerjaan atau pulang terlambat karena terjebak macet bukan. Tapi karena ia seharian menjadi bride's maid pada acara nikahan kakak tirinya. Adel yang introvert, yang perlu ber'gua' selama sehari penuh setelah 6 hari kerja itu benar-benar merasa energinya habis terkuras. Mirip seperti sekarang ini. Sepulangnya ia dari pesta -yang kata paduka itu kecil- ia langsung merebahkan diri di kasur besarnya. Lara menghela nafas dalam-dalam, memejamkan matanya. Mengingatkan dirinya kalau ini baru hari pertama kehidupan resminya sebagai putri Elara Sinclair. Lara meringis membayangkan bagaimana nasib ia di hari-hari selanjutnya. Baru saja ia memejamkan matanya, suara ketukan pintu terdengar. "Putri, yang mulia permaisuri ingin berkunjung." sialan. runtuknya dalam hati. Rasa-rasanya Lara ingin mengunci pintu kamarnya, menyumpal telinganya, tidak peduli siapa yang berdiri di depan pint
Lara menunggu Lioren dan Kael sambil melihat-lihat makanan yang ada di pesta ini. matanya berbinar saat melihat macaroon dan pudding custard di bagian dessert. "Semuanya, terimakasih telah menghadiri pesta ini, " Paduka secara tiba-tiba berkata, "mungkin beberapa dari kalian heran, untuk apa pesta ini? Hari ini bukan ulang tahunku maupun permaisuri, " Paduka tersenyum, ada kebanggaan tercermin di senyumnya. Lara berpikir, setampan apa paduka saat muda, jika di usia tua pun beliau masih bisa memancarkan senyuman semenawan ini. "Aku secara personal mengadakan pesta ini untuk kesembuhan salah satu putri tercintaku yang seperti kalian tahu, ia mengalami koma beberapa waktu yang lalu." Lara tersentak kaget, jangan bilang dia... dia yang akan disoraki dengan gembira. Tidak, tolong, ia tidak butuh spotlight, dia hanya ingin hidup damai di kehidupan ini... "Semuanya tepuk tangan untuk putriku, Elara Sinclair!" Semua pasang mata, benar-benar semua orang di ruangan ini, melihat Lara yang
Namanya Arkael. Bangsawan negeri Etheria dan juga calon penerus penyihir utama kerajaan ini. Badannya cukup proposional. Tinggi dengan short torso, bagian atas badannya terlihat pendek karena kakinya sangat panjang. Kulitnya putih, mungkin lebih putih dari Elara. Rambut hitam legam senada dengan matanya. Ia memakai kacamata bulat, sekilas mengingatkan Elara pada tokoh Harry Potter tapi versi Asia timur. Wajahnya kecil jika dibandingkan dengan bahunya yang lebar. Ah, melihat dia mengingatkannya pada karakter manhwa yang dulu sering ia baca. Secara keseluruhan pria itu menarik.Tapi Lara tahu benar, Arkael tidak akan bisa ditakdirkan dengan Elara.Tapi sekarang Elara bukan Elara yang sesungguhnya.Tatapan mereka bertemu. Lara gugup dan berusaha mengedarkan pandangannya ke arah lain, berusaha menghindar dari tatapan pria itu.“Lara, kau tahu, pria itu yang memakai jas hitam itu,” sahut Lioren, merujuk pada Arkael, “Gosipnya ia berhasil melewati ujian internal para penyihir istana, loh!”
Lara memilih gaun berwarna Hijau lembut dengan renda yang menjulang ke lantai. Ia benar-benar membongkar isi lemari Elara. Dan gaun yang satu ini adalah gaun yang paling mending diantara gaun yang lain. Lara membolak-balikkan badannya di depan cermin, memastikan dandannya sudah pantas dan cantik. Ia ingin terlihat segar dan hidup dihadapan permaisuri iblis itu. Tidak ada yang lebih menyakitkan selain melihat orang yang kau benci hidup sehat dan bahagia, bukan? Cornell menyematkan jepit terakhir di kepala Lara. Dalam hati ia sangat bahagia melihat Tuannya hari ini. Putri Lara terlihat lebih 'hidup' dari sebelumnya. Meskipun banyak sekali ingatannya yang hilang, tapi melihatnya sehat dan bahagia seperti ini sudah terasa seperti anugrah untuk Cornell. "Oke Cornell, aku siap! " Seru Lara pada Cornell, lebih ke dirinya sendiri. Ia meyakinkan diri sendiri bahwa hari ini ia akan baik-baik saja. Cornell mengangguk lalu mempersilahkan Tuannya untuk berjalan terlebih dulu. ****Muka mereka
Cecilia- ibunya Elara-, memeluk Lara erat-erat. Wanita paruh baya itu sekuat tenaga berusaha menutup kedua telinga malaikat kecilnya supaya tidak mendengar hal-hal menyakitkan yang diucapkan sang permaisuri padanya. "Cecilia, kau mungkin paling dicintai. Kau mungkin cinta pertama beliau atau apalah itu. Tapi kau harus ingat," permaisuri mengangkat dagu Cecilia dengan kipasnya. Lara melihatnya, ia tidak mengerti sepenuhnya tapi ia paham bahwa permaisuri ini bukan orang baik. "Aku bisa saja membunuhmu, atau putri kecilmu ini selama sang raja tidak ada." Cecilia ketakutan, Lara bisa merasakan ibunya bergetar saking takutnya. "Jadi, ikuti kataku. Tolak jika Paduka memberimu hadiah atau penjaga baru. Aku benci melihatmu diperlakukan istimewa seperti itu." Puas melihat ketakutan Cecilia, Permaisuri duduk, meminum tehnya dan bergumam, "Lagipula apa yang ia cari darimu ya? Aku lebih muda, cantik, dan keluargaku juga menpunyai pengaruh besar untuk raja. Sedangkan kau? kau hanya anak angkat d







