“Makan yang banyak Va,” ucap Elena. Alva yang hendak memasukkan makanan pada mulutnya menoleh terlebih dahulu dan tersenyum. “Aktivitasmu akan padat bukan,” tambah Elena yang kini menimbulkan respon lain yang Alva berikan.
“Apa Reno mengatakan sesuatu?” tanya Alva seraya mengaduk makanan dan melahapnya kembali. Ia menatap Elena menunggu jawaban yang akan Elena lontarkan. Keinginan mendapat jawaban segera tak berhasil Alva dapatkan, ia perlu menunggu jawaban apa yang akan Elena berikan setelah terdiam beberapa saat. Kegugupan sangat terlihat dari raut wajah dan gestur tubuh Elena.
“Iya, Reno bilang hari ini kamu ada photoshoot salah satu brand pakaian,” jawab Elena dengan senyum yang ia berikan pada akhirnya agar sedikit menyamarkan kegugupannya.
Alva melanjutkan sarapannya, begitu juga dengan Elena yang tak lagi berani mengatakan sesuatu karena Alva belum menimpali ucapan sebelumnya. Tapi Elena merasa tak tenang, ia belum bisa memastikan kalau Alva akan pergi bekerja atau tidak sedangkan Reno meminta bantuannya agar Alva tak melewatkan jadwalnya hari ini.
“Mm jam berapa kamu berangkat Va?” tanya Elena lagi yang masih berusaha agar dapat memenuhi permintaan Reno padanya.
“Aku tak akan pergi,” jawaban yang cukup mengejutkan Elena. Hal yang mungkin Reno sangat takutkan. Alva menyudahi acara makannya, setelah menenggak setengah gelas air mineral ia bangkit dan berjalan menuju tangga.
Elena yang melihat itu langsung mengambil langkah cepat, memanggil Alva dan menghalangi Alva yang hendak menaiki tangga.
“Apa alasan kamu untuk tidak pergi?”
“Kamu mau aku pergi dari sini?” bukannya menjawab, Alva kembali bertanya dengan pertanyaan yang kembali mengejutkan Elena karena bukan itu maksud Elena sebenarnya. Sungguh Elena merasa tak enak pada Alva.
“Bukan begitu maksudku Va, mm.. Reno bilang-“
“Reno lagi?” Alva memotong ucapan Elena seraya memalingkan wajahnya. Mata Elena mengerjap, Alva terlihat kesal ketika mendengar nama Reno disebutkan.
“Maaf, tapi katanya ini adalah brand besar Va, dia suruh aku untuk memastikan kamu tidak melewatkan ini.” Elena berucap seraya menunduk. Sungguh Elena bingung saat ini seharusnya ia tidak ikut campur masalah ini. Tapi ia juga khawatir dengan karir Alva, karena keprofesionalan pekerjaan. Reno juga mengatakan kalau Alva tak profesional dalam projek kali ini, dikhawatirkan nama baiknya akan tercemar akan telah adanya kontrak yang telah disepakati. Apalagi ini adalah brand yang sudah terkenal.
“Ck!” decakan terdengar Alva kembali akan melangkah tapi lagi-lagi Elena menahannya.
“Aku akan ikut,” ucap Elena begitu saja dan berhasil membuat Alva menoleh padanya. “Aku temani kamu untuk photoshoot kali ini,” tambah Elena.
Elena merasa gegabah dengan ucapannya yang jelas-jelas merugikan dirinya sendiri karena ia pun harus pergi ke butik Mei untuk bekerja tapi kenapa ia begitu saja mengatakan itu. Elena pusing dibuatnya. Cara ini pun sebenarnya belum tentu akan berhasil tapi kenapa Elena merasa begitu percaya diri.
“Baiklah,” ucap Alva kemudian. Elena kembali dibuatnya terkejut karena ia tak menyangka cara gegabahnya itu berhasil. “Asal…” Alva menggantungkan ucapannya seraya melangkah mendekat. “Kamu menjadi asistenku seharian ini,” pinta Alva membuat mata Elena terbelalak.
***
Elena menggigit jemarinya beberapa kali. Ia melirik jalanan dan Alva bergantian. Elena merasa apa yang ia lakukan kini adalah sebuah kesalahan. Seharusnya dirinya berada dalam perjalanan menuju butik, bukan sebuah tempat yang sebenarnya Elena tak tahu dimana.
Alva melajukan mobilnya menuju tempat yang akan menjadi lokasi photoshootnya kali ini. Beberapa kali ia pun melirik ke arah Elena yang sepertinya sedang mengkhawatirkan sesuatu. Tapi bukannya ikut khawatir, Alva malah tersenyum miring karena ia merasa tak bersalah Elena sendiri yang menawarkan diri bukan dan jelas Alva tak akan menolak itu. Hari ini ia akan mengerjai Elena karena telah memaksanya bekerja begitu saja padahal ia sangat malas bertemu dengan Reno. Walaupun ia sendiri tahu kalau ia tak datang karirnya mungkin akan bergoyang dalam artian reputasinya akan terganggu karena kontrak yang telah ia sepakati sebelumnya. Tapi sungguh Alva sudah tak peduli akan hal itu.
“Alva,” panggilan Elena menolehkan wajah Alva ke arahnya.
“Kenapa? Ada masalah?” tanya Alva yang kembali memfokuskan pandangannya pada jalanan yang ada di depan.
“Aku.. aku belum izin sama tante Mei,” lirih Elena.
“Ya sudah izin aja sekarang,” balas Alva dengan santainya.
“Aku takut,” aku Elena yang menimbulkan kekehan Alva setelahnya.
“Ish, kenapa kamu ketawa?” kesal Elena karena Alva malah menertawainya.
Bukannya berhenti, tawa Alva semakin menjadi. Elena semakin kesal dibuatnya, ia memilih mendiamkan Alva dengan tangan yang ia lipatkan di depan dada seraya memalingkan wajahnya ke arah jendela sampingnya. Tak lupa ia bibirnya yang cemberut membuat Alva semakin ingin menggodanya.
“Kamu sendiri yang mau menemaniku hari ini bukan? kenapa harus takut?” tanya Alva kemudian berusaha menahan tawanya agar kesal Elena berkurang.
“Iya, tapi.. aku gak tahu harus izin seperti apa Alva.” Hembusan nafas pelan serta kekehan kembali terdengar dari arah Alva.
“Biar aku yang bicara,” kata Alva berhasil membuat Elena kembali menoleh ke arahnya. Tak menyia nyiakan hal itu, Elena pun segera merogoh ponsel dari tasnya dan mencari nomor kontak Mei untuk segera ia hubungi. Degup jantungnya perlahan menambah ritme kecepatannya, Elena sangat gugup dan kekhawatiran masih ia rasakan walaupun Alva lah yang akan berbicara pada Mei untuk izin kali ini.
Telepon pun tersambung, Elena segera menyerahkannya pada Alva. Alva memintanya untuk memegang ponsel itu dan mengaktifkan loudspeakernya agar keduanya dapat langsung mendengar suara Mei.
“Ya halo El,” sapa Mei lebih dulu.
“Ha..halo tan,” jawab Elena gugup, Alva tersenyum miring mendengar Elena yang masih saja ketakutan. Gemas sekali pikir Alva.
“Ya ada apa El? Kamu sudah berangkat?” tanya Mei lebih dulu. Elena belum menjawab, ia berharap Alva akan menimpali ucapan Mei.
“Halo tan,” Alva pun mulai membuka suara.
“Loh, ada kamu Va.”
“Heem, Alva pinjam Elena untuk hari ini ya tan,” ucap Alva yang menimbulkan tatapan tajam Elena yang ada di sampingnya. Pinjam? Dia pikir aku barang, batin Elena kesal. Ia cukup terperanjat dengan bahasa yang Alva gunakan. Meminta izin yang sangat tidak formal. Oh tidak, apakah Elena akan aman.
Mei terkekeh mendengar ucapan keponakannya itu. “Mau kamu bawa kemana desainer tante hm?” tanya Mei dengan nada yang terdengar sedang menggoda.
“Aku akan ajak dia bekerja, dia akan menjadi asistenku seharian ini,” tutur Alva. Sungguh Elena semakin kesal dibuatnya. Alva berbicara seenaknya saja walaupun memang ia Alva meminta Elena menjadi asisten pribadinya untuh satu hari ini tapi tetap saja Elena masih kesal, terlebih lagi pada dirinya yang begitu saja mengiyakan permintaan Reno padanya tadi pagi. Lagi pula siapa Reno? Ah! Rasanya Elena ingin pergi ke butuh saja sekarang.
“Jangan macam-macam Alva, kamu mengerjai tante hm? Gak mungkin Elena mau jadi asisten pribadi kamu,” tutur Mei yang sangat disetujui Elena, karena memang sebenarnya Elena tak ingin melakukan semua ini.
“Aku tidak bercanda tante, dia sendiri yang menawarkan diri. Jadi, sudah ya aku pinjam dia dan jangan ganggu kita, bye tan.” Klik!
Mulut Elena menganga dengan mata membulat, bahasa penutup yang sangat menyebalkan. Elena yakin Mei juga merasakan hal yang sama dengan dirinya. Dasar tuan muda menyebalkan, batin Elena.
“Apa yang mau kamu katakan? Jangan menggerutu,” ucap Alva membuat Elena heran kenapa laki-laki itu bisa mengetahui apa yang sedang dia katakan di dalam hati.
“Apa tidak ada terima kasih untukku yang sudah membantumu?” tutur Alva cukup membuat Elena tersindir.
“Makasih,” ucap Elena kemudian.
“Aku tak mau itu,” timpal Alva, Elena heran dibuatnya. Alva mendekatkan wajahnya ke arah Elena dan kemudian menepuk pelan pipi dengan jari telunjuknya. Mata Elena kembali membulat setelah mengerti maksud Alva.
“Jangan macam-macam Alva.” Bukannya menyambut permintaan Alva, Elena malah mendorong wajah Alva agar menjauh tapi Alva kembali mengatur posisinya dan lagi-lagi ia menepuk pipi kirinya agar Elena segera mendaratkan bibir itu di permukaan wajahnya. Jelas saja Elena kembali menolak.
“Apa aku yang harus melakukannya?” pertanyaan itu bersamaan dengan laju mobil Alva yang semakin melambat karena lampu merah yang ada di depan saja.
“Ya gak mung-“ ucapan Elena terhenti karena terkejut Alva langsung mengecup pipi kanannya ketika mobil yang dikendarainya berhenti. Sontak Elena menoleh dengan mata terbelalak dan tangan yang menyentuh permukaan wajahnya yang di sentuh Alva.
“Mari kita bersenang-senang,” ucap Alva yang mengedipkan sebelah matanya pada Elena yang sangat terkejut dengan aksi Alva.
Pukulan pada lengan Alva pun Elena layangkan ketika kesadaran itu mulai bermunculan. Belum juga menjadi asisten pribadi Alva sudah membuatnya kesal dan jantungan. Bagaimana tidak Alva begitu saja mengecupnya dan menimbulkan pacuan hebat pada jantungnya.
“Apa kabar nasibku seharian ini?” batin Elena yang semakin merasa salah langkah dan menyesali ucapan gegabahnya.
***
“Nunduk sedikit Va.”Alva menunduk mengikuti arahan Andres. Apalagi urusannya dengan Andres kalau bukan perihal pemotretan. Ya, Alva sedang melakukan pemotretan koleksi terbaru butik Meisie yang mengeluarkan rancangan terbaru edisi pria. Mei sendiri yang meminta Alva untuk menjadi modelnya dan Alva tak keberatan karena memang ia masih menjalani karirnya sebagai model. Walaupun profesi ini adalah profesi yang sempat Rosie paksakan padanya tapi seiring berjalannya waktu Alva pun mulai menikmatinya. Profesi ini sudah menjadikan namanya dikenal banyak orang, tak lupa Alva juga sudah berterima kasih sekaligus meminta maaf pada Rosie karena pernah ada perselisihan di antara mereka. Dengan senang Rosie menerima maaf dan terima kasih itu, dan terjadilah moment haru di antara mereka. Alva tersenyum tipis mengingat semua itu, ia bersyukur kini hubungannya dengan keluarga sudah membaik apalagi dilengkapi dengan seseorang yang sudah ia ikat beberapa bulan lalu.Waktu b
Elena menoleh ke arah samping, dimana Alva yang sedang mengemudikan mobilnya. Ia pun melirik ke bawah, dimana tangannya yang sejak tadi terus saja digenggam oleh Alva. Elena sudah beberapa kali melepaskan genggaman tangan itu karena ia takut Alva tak leluasa mengemudi. Tapi, Alva sendiri yang tak membiarkan itu. Ia kembali menarik tangan Elena ketika genggaman tangan itu terlepas. Ia menyimpan tangan Elena di pangkuannya saat perlu mengemudi dengan dua tangan dan selebihnya ia kembali menggenggam tangan Elena.“Va, lepas dulu ya, biar kamu leluasa,” ucap Elena yang masih membujuk Alva agar tak terus menggenggam tangannya.“Gak apa-apa, masih bisa ko. Tenang aja,” jawabnya yang selalu mengatakan tidak apa-apa saat Elena membujuknya.“Tapi Va-““Stttt, kamu ngantuk hm? Tidur aja nanti aku bangunin kalau udah sampe.” Alva malah mengalihkan pembicaraan.“Sebentar lagi juga sampe, tangg
Aku tidak akan membiarkanmu terlepas darikuAku akan membuatmu tak sanggup untuk pergiKarena aku membutuhkanmu dan ingin memilikimu seutuhnyaBisakah kamu menyukaiku , bersamalah dengankuKamu bilang tak mau bertemu lagi jika aku masih menahanmu seperti iniJustru dengan ini aku tak akan membiarkanmu pergiSepertinya banyak hal yang aku tak tahu tentangmumenolak karena takut dicampakkan setelah didapatkanApa kamu perlu waktu untuk memikirkan jawabannyaTolong jaga hati kamu untukku selama aku dalam proses meyakinkan kamuAku tak pernah main-main tentang perasaan, yang hanya bisa dirasakan tanpa alasan. Aku menyukaimu bahkan menyayangimu, entah kenapa dan bagaimanaIzinkan aku untuk berjalan bersamamuAkan aku kendalikan apa yang bisa ku kendalikanBerhara
Ini pertama kalinya Elena memasuki ruang kerja Rosie, ia mengagumi ruangan yang didesain sangat cantik dengan perpaduan warna putih dan gold yang memang merupakan tema warna butik Rosie. Namun, hal itu bukan yang menjadi fokusnya saat ini, tetapi tujuan Rosie melibatkan dirinya atas pertemuannya dengan Alva memberikan tanda tanda tanya besar untuknya. Ada apa ini, tidak seperti biasanya.“Jangan khawatir, ada aku disini,” ucap Alva tiba-tiba. Sepertinya ia mengetahui kekhawatiran dari raut wajah Elena.Elena tersenyum tipis, ia menunduk seraya mengulum bibirnya. Sungguh ini menegangkan baginya. Rasa penasaran membuatnya semakin tegang, apa kabar nanti? Elena berharap masih dapat bernafas dengan lancar.Pintu ruangan terbuka. Rosie yang tadi izin keluar sebentar kini sudah kembali. Elena semakin menunduk, rasanya ia segan untuk mengangkat wajahnya. Berbeda dengan Alva yang duduk santai dan terlihat biasa saja.“Maaf menunggu lama,”
Punggungnya terasa pegal, padahal sudah diganjal oleh bantal. Elena mulai membuka matanya, ia menunduk melihat Alva yang begitu pulas dipelukannya. Lengannya yang Alva tindih ingin sekali Elena gerakan tapi takut Alva terbangun. Elena mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan jam dinding. Pukul dua dini hari, waktu saat ini. Rupanya sudah beberapa jam mereka dalam posisi seperti ini. Sebelumnya Elena meminta Alva untuk tidur di kamar, tapi Alva ingin Elena menemaninya. Karena enggan dan tak enak jika harus berduaan di dalam kamar Elena pun menolak. Bersikukuh tak ingin tidur tanpa Elena, Alva pun mengatur posisi tidur dan hasil akhirnya seperti ini. Elena pikir Alva hanya akan bertahan sebentar saja dengan posisi tidur itu, tapi nyatanya tidak. Ia begitu pulas tidur di lengan Elena dengan tangan yang melingkar di pinggang Elena. Sungguh, Elena merasa memiliki bayi besar.Bagaimana tidak pulas, kalau di lihat-lihat Alva tidur dengan posisi cukup nyaman. Kakinya ia selonjork
Perasaan apa ini? Kenapa begitu sakit? Seharusnya aku tak merasa kecewa, kenapa malah sebaliknya, batin Elena dengan tangan yang terus menggenggam erat pegangan pintu. Emosi yang ia rasakan sedang tak dapat bekerja sama. Tangan Elena menutup pintu dengan kasar, gerakan di luar kendalinya membuat ia sendiri terkejut.Takut ketahuan, Elena pun bergegas menjauhi pintu dan masuk ke kamar mandi. Berharap kedua orang yang ada di luar tak mendengar suara itu. Tenang El, mereka pasti gak denger, batin Elena menenangkan diri sendiri.Elena menghadapkan tubuhnya ke arah cermin wastafel yang ada di kamar mandi. Ia mengusap wajahnya, memejamkan mata sebentar seraya menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar.“Kenapa sesakit ini sih liat mereka pelukan.”“Gak boleh El, kamu gak boleh kayak gini. Mereka saudara, tapi kenapa tatapan Rachel…” Elena menggelengkan kepalanya, ia membuang pikiran buruknya terhadap Rachel. Bayangan akan Al