Atas perintah bosnya hari ini, Elena harus menahan diri untuk tidak kemana-mana. Berada tak jauh dari keberadaan Alva saat ini sungguh memuakkan baginya. Dirinya sendiri pun tak tahu kenapa ini bisa ia rasakan begitu saja. Sang fotografer terus saja mengarahkan Alva dan Rachel untuk berpose bak sepasang kekasih dan hal itu membuat perasaan Elena panas. Apalagi kini Alva menatap ke arahnya dengan Rachel yang sedang berpose mengecup pipi kiri Alva. Elena memalingkan wajahnya.
Kenapa Alva menatapku seperti itu, batin Elena.
“Dekatkan wajah kalian sedikit, dengan tangan yang tergantung, berpose seraya memperlihatkan bagian tangannya ya,” ucap seorang fotografer itu. Elena kembali mengarahkan tatapannya ke arah Alva dan Rachel. Elena kesal sendiri kenapa perasaannya terus saja terganggu.
Kenapa sih aku ini, gerutu Elena.
“Sttt.” Suara itu sungguh mengagetkan Elena.
“Ops maaf, aku mengagetkanmu?” tanya Reno yang sudah berdiri di samping Elena.
“Ah mm gak ko,” aku Elena berbohong, padahal dirinya memang terlonjak kaget.
“Maaf jika aku mengejutkanmu,” ucap Reno yang tetap merasa bersalah.
“Ah iya tidak apa-apa,” ucap Elena seraya tersenyum.
Reno mengalihkan pandangannya ke arah depan, begitu juga dengan Elena yang mengikuti arah pandangan Reno.
“Menurutmu, bagaimana dengan mereka? Apakah mereka cocok?” tanya Reno.
“Ya, semua orang mengakuinya termasuk aku, kalau mereka memang sangat serasi,” tutur Elena yang berusaha menerima begitulah kenyataannya.
“Aku merasa ada kemiripan di antara mereka berdua, apa kamu melihatnya?” tanya Reno lagi membuat Elena mulai memperhatikan wajah Alva dan Rachel dengan seksama. Ah iya kenapa aku baru menyadarinya, batin Elena.
“Apakah mereka berjodoh?” kata Reno seraya terkekeh, tapi menimbulkan respon lain bagi Elena. Reno menoleh ke arah samping melihat raut wajah Elena setelah dirinya mengatakan itu.
“Apa kamu terganggu dengan apa yang aku katakan?” Elena mengerjap, terlihat jelas dirinya sedang mengontrol ekspresi wajahnya.
“Ah tidak… sama sekali,” jawab Elena ragu.
“Apa kamu dan Alva memiliki hubungan?” pertanyaan Reno kali ini dua kali lipat lebih mengejutkan Elena. Bagaimana bisa manajer seorang Alva ini menanyakan hal itu padanya.
“Aku penasaran kenapa kamu ada di samping Alva ketika dia bangun pagi tadi?” Mata Elena terbelalak, ia tak lagi bisa mengontrol ekspresi wajahnya. Sungguh dirinya bingung harus menjawab pertanyaan Reno dengan jawaban seperti apa. Elena tahu dirinya tak memiliki hubungan apa-apa tapi tentang ia berada di apartemen Alva, apakah Elena harus mengatakan yang sebenarnya pada Reno.
“Apa yang kalian bicarakan?” suara Alva mengalihkan perhatian keduanya. Rupanya Alva kini sudah berdiri tepat di depan Elena. Reno tersenyum ke arah Alva, tapi tidak dengan Elena yang masih memasang ekspresi terkejutnya.
“Lo ganggu dia?” tanya Alva yang mengundang kekehan Reno.
“Gue cuman tanya sesuatu,” jawab Reno kembali dengan senyuman di akhirnya.
“Alva maaf, aku harus menambah pewarna bibirnya,” ucap make up artist yang menghampiri Alva.
“Berikan padanya, biar dia yang melakukannya,” perintah Alva agar MUA itu menyerahkan tugasnya pada Elena.
“Eh kenapa aku?”
“Berani ngebantah?” Elena maupun MUA itu tak ada yang menimpali. Reno pun memberikan isyarat agar MUA tersebut menyerahkan tugasnya pada Elena dan dia pun menurut.
“Tambahkan ini dan ini ya,” ucap sang MUA memberikan arahan pada Elena.
“Baiklah.” Elena menerima itu dengan senyum yang dipaksakan. Alva kenapa sih maksa terus, batin Elena.
MUA tadi beranjak dari sana karena ada hal lain yang harus ia ambil, sedangkan Reno mendapatkan panggilan dari seseorang yang membuatnya ikut beranjak. Kini tinggal Alva yang mencondongkan wajahnya dan Elena memundurkan tubuhnya untuk memberi jarak.
Elena fokus pada bibir Alva yang sedang ia tambahkan pewarna karena takut melakukan kesalahan, sedang Alva menatap wajah serius Elena.
“Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Alva di sela-sela Elena yang sedang mengoleskan lip gloss pada bibirnya. Mata Elena mengerjap kehilangan fokus, tapi segera kembali menjemput kesadarannya mengabaikan pertanyaan Alva.
“Apa kamu cemburu melihatku dengan Rachel?” pertanyaan kali ini membuat gerak tangan Elena terhenti dan membalas tatapan mata Alva padanya.
“Hm?” Alva menuntut jawaban dengan menampilkan seringainya.
“Ok lanjut,” seruan sang fotografer menyelamatkan Elena. Tapi gerak Alva yang mengejutkan membuat Elena membeku. Alva mendekat dengan sebelah tangan yang menggamit pinggang Elena.
“Jangan cemburu sayang, aku hanya menjalankan tugas,” bisik Alva dengan diakhiri usapan lembut pada pinggang Elena.
Panas Elena rasakan pada seluruh tubuhnya, tubuhnya masih saja kaku padahal Alva sudah berjalan menjauh.
“Apa kamu baik-baik saja?” suara itu membuat Elena menoleh. Seorang MUA tadi berdiri di sampingnya.
“A..aku baik-baik saja,” jawab Elena seraya menyerahkan pewarna bibir tadi.
“Terima kasih atas bantuannya,” ucap MUA tadi seraya tersenyum, Elena mengangguk mengiyakan.
Tak jauh dari sana, Reno dan seseorang yang ada di sampingnya memperhatikan Alva dan Elena sejak tadi. Senyum miring terbit pada pria paruh baya yang sedang memperhatikan putranya dengan seorang gadis dari jauh.
“Apa kamu mengetahui hubungan antara gadis itu dengan putraku?”
“Maaf, saya sedang mencari kebenarannya tuan Roy,” jawab Reno seraya menunduk hormat.
***
Ruang tertutup dengan dentingan alat makan yang mengisi latar suasananya. Roy mengajak Alva makan malam bersama setelah pekerjaan Alva yang padat hari ini. Cukup sulit Roy membujuk putranya untuk bergabung tapi keberadaan Elena membantu Roy agar Alva bersedia makan malam bersamanya. Alva memberikan syarat, ia akan bergabung jika Elena pun ikut bergabung.
Suasana ini sungguh canggung, belum ada yang mengawali pembicaraannya sejak tadi membuat Elena merasa bersalah karena telah bergabung diacara makan malam antara seorang ayah bersama putranya. Jika bukan karena Alva, mungkin dirinya tak akan berada di sini. Ia lebih memilih makan diluar seorang diri.
“Malam ini kamu pulanglah ke rumah,” ucap Roy mengawali pembicaraan akhirnya. Elena memelankan gerak tangannya. Ia melirik Alva yang terlihat tak peduli dengan apa yang diucapkan ayahnya.
“Papa tak suka dengan sikapmu semalam dan melewatkan acara begitu saja,” ucap Roy lagi masih memancing Alva agar menanggapinya.
“Dan Papa juga kecewa atas sikapmu terhadap mama,” ucapan itu kini membuat gerak tangan Alva terhenti. “Perbaikilah sikapmu Alva, tak seharusnya kamu bersikap kasar sampai membuat mamamu marah besar.”
Ting! Dentingan sendok itu menggema di ruangan sepi ini. Tentu saja hal itu mengejutkan Roy dan juga Elena yang sampai menahan nafasnya.
“Bersikaplah sopan Alva, aku Papamu. Hormatilah aku.” Tak membentak, tapi suara Roy yang berat menandakan ia sedang menahan amarahnya. Elena yang sedari duduk di samping Alva kini tak lagi sanggup melanjutkan makannya, situasi ini begitu mencekam baginya.
“Waktuku tak banyak, terima kasih atas makan malamnya,” ucapan itu keluar dari mulut Alva. Tangannya menarik pergelangan tangan Elena dan membuatnya ikut bangkit dari duduknya. Alva menarik Elena keluar dari sana meninggalkan Roy yang terdiam menahan amarahnya.
***
“Nunduk sedikit Va.”Alva menunduk mengikuti arahan Andres. Apalagi urusannya dengan Andres kalau bukan perihal pemotretan. Ya, Alva sedang melakukan pemotretan koleksi terbaru butik Meisie yang mengeluarkan rancangan terbaru edisi pria. Mei sendiri yang meminta Alva untuk menjadi modelnya dan Alva tak keberatan karena memang ia masih menjalani karirnya sebagai model. Walaupun profesi ini adalah profesi yang sempat Rosie paksakan padanya tapi seiring berjalannya waktu Alva pun mulai menikmatinya. Profesi ini sudah menjadikan namanya dikenal banyak orang, tak lupa Alva juga sudah berterima kasih sekaligus meminta maaf pada Rosie karena pernah ada perselisihan di antara mereka. Dengan senang Rosie menerima maaf dan terima kasih itu, dan terjadilah moment haru di antara mereka. Alva tersenyum tipis mengingat semua itu, ia bersyukur kini hubungannya dengan keluarga sudah membaik apalagi dilengkapi dengan seseorang yang sudah ia ikat beberapa bulan lalu.Waktu b
Elena menoleh ke arah samping, dimana Alva yang sedang mengemudikan mobilnya. Ia pun melirik ke bawah, dimana tangannya yang sejak tadi terus saja digenggam oleh Alva. Elena sudah beberapa kali melepaskan genggaman tangan itu karena ia takut Alva tak leluasa mengemudi. Tapi, Alva sendiri yang tak membiarkan itu. Ia kembali menarik tangan Elena ketika genggaman tangan itu terlepas. Ia menyimpan tangan Elena di pangkuannya saat perlu mengemudi dengan dua tangan dan selebihnya ia kembali menggenggam tangan Elena.“Va, lepas dulu ya, biar kamu leluasa,” ucap Elena yang masih membujuk Alva agar tak terus menggenggam tangannya.“Gak apa-apa, masih bisa ko. Tenang aja,” jawabnya yang selalu mengatakan tidak apa-apa saat Elena membujuknya.“Tapi Va-““Stttt, kamu ngantuk hm? Tidur aja nanti aku bangunin kalau udah sampe.” Alva malah mengalihkan pembicaraan.“Sebentar lagi juga sampe, tangg
Aku tidak akan membiarkanmu terlepas darikuAku akan membuatmu tak sanggup untuk pergiKarena aku membutuhkanmu dan ingin memilikimu seutuhnyaBisakah kamu menyukaiku , bersamalah dengankuKamu bilang tak mau bertemu lagi jika aku masih menahanmu seperti iniJustru dengan ini aku tak akan membiarkanmu pergiSepertinya banyak hal yang aku tak tahu tentangmumenolak karena takut dicampakkan setelah didapatkanApa kamu perlu waktu untuk memikirkan jawabannyaTolong jaga hati kamu untukku selama aku dalam proses meyakinkan kamuAku tak pernah main-main tentang perasaan, yang hanya bisa dirasakan tanpa alasan. Aku menyukaimu bahkan menyayangimu, entah kenapa dan bagaimanaIzinkan aku untuk berjalan bersamamuAkan aku kendalikan apa yang bisa ku kendalikanBerhara
Ini pertama kalinya Elena memasuki ruang kerja Rosie, ia mengagumi ruangan yang didesain sangat cantik dengan perpaduan warna putih dan gold yang memang merupakan tema warna butik Rosie. Namun, hal itu bukan yang menjadi fokusnya saat ini, tetapi tujuan Rosie melibatkan dirinya atas pertemuannya dengan Alva memberikan tanda tanda tanya besar untuknya. Ada apa ini, tidak seperti biasanya.“Jangan khawatir, ada aku disini,” ucap Alva tiba-tiba. Sepertinya ia mengetahui kekhawatiran dari raut wajah Elena.Elena tersenyum tipis, ia menunduk seraya mengulum bibirnya. Sungguh ini menegangkan baginya. Rasa penasaran membuatnya semakin tegang, apa kabar nanti? Elena berharap masih dapat bernafas dengan lancar.Pintu ruangan terbuka. Rosie yang tadi izin keluar sebentar kini sudah kembali. Elena semakin menunduk, rasanya ia segan untuk mengangkat wajahnya. Berbeda dengan Alva yang duduk santai dan terlihat biasa saja.“Maaf menunggu lama,”
Punggungnya terasa pegal, padahal sudah diganjal oleh bantal. Elena mulai membuka matanya, ia menunduk melihat Alva yang begitu pulas dipelukannya. Lengannya yang Alva tindih ingin sekali Elena gerakan tapi takut Alva terbangun. Elena mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan jam dinding. Pukul dua dini hari, waktu saat ini. Rupanya sudah beberapa jam mereka dalam posisi seperti ini. Sebelumnya Elena meminta Alva untuk tidur di kamar, tapi Alva ingin Elena menemaninya. Karena enggan dan tak enak jika harus berduaan di dalam kamar Elena pun menolak. Bersikukuh tak ingin tidur tanpa Elena, Alva pun mengatur posisi tidur dan hasil akhirnya seperti ini. Elena pikir Alva hanya akan bertahan sebentar saja dengan posisi tidur itu, tapi nyatanya tidak. Ia begitu pulas tidur di lengan Elena dengan tangan yang melingkar di pinggang Elena. Sungguh, Elena merasa memiliki bayi besar.Bagaimana tidak pulas, kalau di lihat-lihat Alva tidur dengan posisi cukup nyaman. Kakinya ia selonjork
Perasaan apa ini? Kenapa begitu sakit? Seharusnya aku tak merasa kecewa, kenapa malah sebaliknya, batin Elena dengan tangan yang terus menggenggam erat pegangan pintu. Emosi yang ia rasakan sedang tak dapat bekerja sama. Tangan Elena menutup pintu dengan kasar, gerakan di luar kendalinya membuat ia sendiri terkejut.Takut ketahuan, Elena pun bergegas menjauhi pintu dan masuk ke kamar mandi. Berharap kedua orang yang ada di luar tak mendengar suara itu. Tenang El, mereka pasti gak denger, batin Elena menenangkan diri sendiri.Elena menghadapkan tubuhnya ke arah cermin wastafel yang ada di kamar mandi. Ia mengusap wajahnya, memejamkan mata sebentar seraya menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar.“Kenapa sesakit ini sih liat mereka pelukan.”“Gak boleh El, kamu gak boleh kayak gini. Mereka saudara, tapi kenapa tatapan Rachel…” Elena menggelengkan kepalanya, ia membuang pikiran buruknya terhadap Rachel. Bayangan akan Al
Roy mengusap bahu Rosie beberapa kali, ia mencoba menenangkan Rosie yang tak tenang semenjak penyampaian Alva pada media. Ponselnya berdering sejak tadi, beberapa pesan sempat Rosie terima tak lain mereka menanyakan kebenaran atas apa yang Alva sampaikan dan beberapa lainnya kembali mengulang masa lalu. Hal yang sangat Rosie khawatirkan saat ini, mereka yang tahu kembali mengungkit apa yang telah terjadi. Keterpurukan yang sudah Rosie kubur dalam-dalam dan menggantikannya dengan gemerlap yang merubah segalanya. Sungguh ia tak ingin masa itu kembali datang.Suara pintu terbuka membuat keduanya menoleh. Terlihat Reno yang hanya datang seorang diri tidak bersama seseorang yang ingin mereka temui saat ini.“Mana Alva?” tanya Rosie yang tak melihat keberadaan Alva memasuki ruang tunggu agensi musik itu.“Dia masih di studio, baru bisa ditemui 15 menit lagi. Maaf membuat Tuan dan Nyonya menunggu lama.” Reno menunduk memperlihatkan rasa hormatny
“Ya, aku memiliki hubungan yang cukup dekat dengannya.”“Apa kalian pacaran? Kamu terlihat memasuki rumah Rachel Aditya malam tadi. Apakah itu benar kamu Alva?”Alva tersenyum tipis, ia menunduk sebentar dan kembali memperlihatkan wajahnya pada kamera. “Dia adikku,” jawaban itu mengejutkan semua awak media.“Adik? Bukannya adikmu adalah Felicia?” tanya salah satu reporter yang ada di sana. Alva tak langsung menjawab, ia hanya menampilkan senyumnya di sana membuat semuanya penasaran akan apa yang Alva katakan selanjutnya.“Aku baru mengetahui kenyataan yang cukup mengejutkan.” Apa yang Alva utarakan begitu membuat riuh.“Nyonya Rosie, pemilik Rosie boutique yang cukup terkenal dikalangan para selebriti itu adalah ibumu, bukan begitu?” Alva menoleh pada reporter yang baru saja bertanya dan kembali menampilkan senyum tipisnya di sana.“Ibu kandungku bernama Kalina,&rd
Dua orang yang menempati meja dekat jendela itu masih saling diam. Rosie yang memandang keluar jendela memperhatikan keadaan di luar sana, sedangkan Rachel yang menunduk seraya mengaduk minumannya. Mulai tak nyaman dengan keadaan ini, Rachel pun menghembuskan nafas pelan seraya menempelkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia mulai memandang lurus ke arah Rosie yang belum mengatakan alasannya kenapa mengajak bertemu pagi ini juga.“Apa yang anda ingin sampaikan Nyonya Rosie?” tanya Rachel yang sudah tak tahan dengan keadaan saling diam.Helaan nafas Rosie terdengar, masih dengan memandang keluar ia pun menjawab, “Aku penasaran kenapa kamu dan Alva bisa ada di pemakaman itu?” akhirnya Rosie mengatakan maksudnya.Hal yang sudah Rachel duga sebelumnya, dan dugaan itu benar rupanya. Beberapa saat Rachel terdiam, sampai Rosie mulai menoleh ke arahnya karena gadis itu yang tak langsung menjawab.“Kenyataan ini sangat mengejutkan, ha