Sepanjang perjalanan tak ada suara yang dikeluarkan Alva maupun Elena. Hening yang lagi-lagi membuatnya tak nyaman. Elena tahu mungkin ini masih perihal tentang pertemuan Alva dengan ayahnya. Masalah keluarga Alva yang bergitu saja Elena dengar walaupun tak sepenuhnya. Tapi dilihat dari respon dan sikap Alva saat ini, membuat Elena begitu saja berkesimpulan bahwa ini bukanlah masalah yang sederhana. Elena harus menahan dirinya bertanya banyak untuk saat ini, ia tak ingin membuat Alva semakin tertekan.
Mobil yang dikendarai Alva sudah sampai di area basement apartment, Elena segera ikut melepaskan seat belt saat melihat Alva yang sudah siap untuk keluar. Elena mempercepat langkahnya untuk mensejajarkan dirinya dengan Alva tanpa ragu ia meraih tangan Alva lalu menggenggamnya. Alva memperlambat gerak kakinya ketika tangan mereka terpaut, ia menunduk melihat Elena yang begitu saja menggenggamnya. Matanya pun beralih menatap Elena yang berjalan di sampingnya. Elena menoleh seraya tersenyum menetralkan ekspresinya karena detakan jantung beritme cepat ia rasakan. Senyum tipis Alva berikan seraya mempererat genggaman tangan itu mereka berjalan beriringan menuju lift untuk mengantarkan mereka ke lantai dimana tempat tinggal Alva berada.
Elena membukakan pintu apartemen untuk Alva dengan sebelah tangan yang masih Alva genggam erat. Alva mulai masuk mengikuti Elena dari belakang, pintu itu kembali Elena tutup rapat takut ada orang lain yang sembarang masuk. Elena berbalik dan mendapati Alva yang memandangnya, matanya pun melirik tangan yang masih berpaut erat.
“Apa kamu mau mandi air hangat? Biar aku siapkan,” tanya Elena.
“Aku bisa menyiapkannya sendiri,” respon Alva.
“Hari ini belum selesai bukan? aku masih jadi asisten pribadi kamu,” balas Elena berbicara sambil memiringkan kepalanya.
Alva tersenyum miring, ia pun menarik Elena mendekat ke arah sofa. Alva menduduki sandaran sofa dengan Elena yang ada di depannya.
“Kalau begitu bantu aku melepaskan baju ini,” tutur Alva berhasil membelalakan mata Elena. Gelengan Elena berikan.
“Asisten pribadiku kan? Seharusnya kamu siap untuk melakukan hal-hal yang sifatnya pribadi juga,” tutur Alva membuat Elena semakin terbelalak.
“Tapi Va, inikan-“
“Bukannya sejak tadi kamu membantuku berganti pakaian?”
“Ini beda Alva, tadi aku lakukan karena…” Hal ini sungguh membingungkan Elena. “A..aku isi bathtub dulu,” ucap Elena kemudian yang langsung berjalan meninggalkan Alva menghindari sejenak permintaan nyeleneh Alva. Senyum miring kembali terbit di wajah Alva, kegugupan Elena menjadi hiburan baginya. Menghilangkan sejenak tekanan yang sedang ia rasakan.
***
Perona pipi yang sudah Elena tambahkan menjadi tahap akhir ia berhias pagi ini. Pukul tujuh pagi ia sudah siap dengan sweater berwarna khaki yang pas di tubuhnya di padukan dengan celana jeans panjang. Elena membuka pintu kamar hendak membangunkan Alva yang sepertinya belum ia lihat sosoknya sejak tadi. Beberapa langkah Elena tiba-tiba terhenti ketika mendengar samar-sama suara obrolan dari lantai bawah. Perlahan ia pun mengintip dan sungguh terkejut ketika melihat Alva yang sedang berhadapan dengan Rosie. Elena segera memundurkan langkahnya, ia tak ingin Rosie mengetahui dirinya tinggal di sini. Entahlah ia takut Rosie berpikir macam-macam karena memang tak ada yang mengetahui dirinya tinggal di apartemen Alva kecuali Alva dan Mei.
“Syukurlah kamu ada di sini.” Rosie mengedarkan pandangannya. “Mama sempat khawatir kamu pergi begitu saja dan tak pulang ke rumah,” tambah Rosie yang kembali memusatkan pandangannya ke arah Alva yang sedari tadi berdiri seraya memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
Mata Rosie kembali menjelajah area dapur dan meja makan. “Belum ada sarapan, mau Mama siapkan?” Rosie menawarkan diri.
“Bisa to the point? Mau apa mama ke sini?” pertanyaan yang keluar dari mulut Alva cukup mengejutkan Rosie dan cukup menyayat hatinya.
“Mama pikir gak sepantasnya kamu berbicara seperti itu pada Mama.” Rosie menatap tak percaya ke arah Alva yang kini malah memalingkan wajahnya. “Apakah salah mama ingin memastikan kamu baik-baik aja?” masih dengan suara tenang tetapi berbeda dengan matanya, Rosie sudah berkaca-kaca.
“Apakah baru kali ini Mama punya waktu untuk memastikan keadaanku.. baik-baik saja?” pertanyaan berbalik Alva membuat Rosie terdiam, menatap nanar putranya yang juga kini sedang menatapnya dengan tatapan kosong.
***
Terdengar suara pintu tertutup menandakan Rosie sudah pamit pergi. Ini saatnya Elena keluar dari persembunyiannya. Elena menyembulkan kepalanya untuk memastikan bahwa sudah tak ada Rosie di sana. Setelah itu Elena perlahan melangkah ke arah tangga, ia melihat Alva yang berdiri diambang pintu yang mengarah ke balkon. Elena menghembuskan nafas pelan dengan langkah yang mendekat ke arah Alva.
Enggan Elena rasakan ketika ingin menyapa, tapi rupanya Alva berbalik lebih dulu dan tersenyum padanya.
“Selamat pagi,” sapa Alva yang kini menghadapkan tubuhnya ke arah Elena.
“Pagi,” jawab Elena yang juga membalas senyuman manis Alva.
“Mau sarapan apa? Maaf aku belum sempat memasak tadi,” ucap Elena yang sedikit tersinggung atas ucapan Rosie tadi yang memang belum ada apapun di meja makan. Seharusnya ia menyiapkan sarapan untuk Alva sebelum bersiap seperti ini.
“Aku suka apapun yang kamu masak,” tutur Alva yang mampu membuat rona merah di wajah Elena muncul. Gemas Alva rasakan, ingin sekali ia mendekat dan mengecupnya tapi apa daya Alva harus menahan diri untuk saat ini, tapi entah nanti.
“Mau kopi?” tanya Alva bergantian.
“Boleh,” jawab Elena.
Keduanya kini berjalan beriringan menuju dapur dengan Elena yang menyiapkan sarapan dan Alva yang membuat kopi. Nasi goreng menjadi pilihan yang tepat saat ini, mengingat waktu yang Elena punya tak banyak karena harus pergi bekerja.
Perbedaan Elena rasakan, Alva lebih banyak diam sejak kemarin. Rasanya pendiam bukanlah sifat Alva menjadikan Elena penasaran apa sebenarnya masalah yang sedang Alva alami. Untuk menjemput rasa penasarannya Elena menggerakkan tangannya lebih cepat, sepertinya ia bertanya nanti saja ketika mereka memakan sarapannya. Apakah itu ide yang bagus? Tanyanya dalam hati.
Dua gelas kopi dan dua piring nasi goreng telah tersaji di meja makan. Mereka duduk berhadapan dan mulai menyantap sarapan paginya. Anggukan Alva berikan ketika mencicipi nasi goreng buatan Elena. Ia kembali menyuapkannya tak sabar sampai merasa kepanasan padahal Elena sudah memperingati kalau Alva harus meniupnya terlebih dahulu.
Cukup khawatir ketika Elena ingin memulai pembicaraan perihal masalah itu, ia tak ingin mengganggu Alva yang terlihat sangat menikmati sarapan paginya. Elena kembali harus menahan diri menunggu waktu yang tepat untuk bertanya.
20 menit kemudian, piring yang berada di hadapan Alva sudah kosong. Alva begitu lahap sampai tak menyisakan satu butir nasi pun. Elena senang melihatnya karena Alva penerimaan atas sarapan pagi yang ia buat.
“Ada yang ingin aku tanyakan padamu.” Awalan Elena berikan, ini saatnya pikir Elena.
“Perihal masalah keluargaku?” Belum juga memberitahu maksudnya, Alva sudah lebih dulu mengetahuinya. Kepala Elena mengangguk mengiyakan akhirnya.
“Maaf kalau aku jadi ikut campur masalah kamu.” Elena menunduk sebentar dan kembali mengangkat kepala memusatkan perhatiannya pada Alva. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
Jeda Alva berikan, ia menyesap kopinya terlebih dahulu setelah itu bersiap untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Elena. Karena kedekatan yang ia rasakan membuat Elena tak lagi perlu berpikir panjang untuk menimbang-nimbang apakah ia harus berbagi cerita atau tidak dengan Elena.
“Selama ini aku hanya mengikuti keinginannya agar bisa menjadi anak yang membanggakan.” Kekehan Alva lakukan setelah mengatakan itu, tapi Elena tahu bahwa Alva merasakan sakit akan hal itu. “Menjadi model bukanlah keinginanku, itu hanya keinginan mereka.” Kalimat yang sepertinya terdengar biasa itu kini ikut menyayat perasaan Elena. Entah kenapa, begitu saja ia juga merasakan apa yang Alva rasakan.
***
“Nunduk sedikit Va.”Alva menunduk mengikuti arahan Andres. Apalagi urusannya dengan Andres kalau bukan perihal pemotretan. Ya, Alva sedang melakukan pemotretan koleksi terbaru butik Meisie yang mengeluarkan rancangan terbaru edisi pria. Mei sendiri yang meminta Alva untuk menjadi modelnya dan Alva tak keberatan karena memang ia masih menjalani karirnya sebagai model. Walaupun profesi ini adalah profesi yang sempat Rosie paksakan padanya tapi seiring berjalannya waktu Alva pun mulai menikmatinya. Profesi ini sudah menjadikan namanya dikenal banyak orang, tak lupa Alva juga sudah berterima kasih sekaligus meminta maaf pada Rosie karena pernah ada perselisihan di antara mereka. Dengan senang Rosie menerima maaf dan terima kasih itu, dan terjadilah moment haru di antara mereka. Alva tersenyum tipis mengingat semua itu, ia bersyukur kini hubungannya dengan keluarga sudah membaik apalagi dilengkapi dengan seseorang yang sudah ia ikat beberapa bulan lalu.Waktu b
Elena menoleh ke arah samping, dimana Alva yang sedang mengemudikan mobilnya. Ia pun melirik ke bawah, dimana tangannya yang sejak tadi terus saja digenggam oleh Alva. Elena sudah beberapa kali melepaskan genggaman tangan itu karena ia takut Alva tak leluasa mengemudi. Tapi, Alva sendiri yang tak membiarkan itu. Ia kembali menarik tangan Elena ketika genggaman tangan itu terlepas. Ia menyimpan tangan Elena di pangkuannya saat perlu mengemudi dengan dua tangan dan selebihnya ia kembali menggenggam tangan Elena.“Va, lepas dulu ya, biar kamu leluasa,” ucap Elena yang masih membujuk Alva agar tak terus menggenggam tangannya.“Gak apa-apa, masih bisa ko. Tenang aja,” jawabnya yang selalu mengatakan tidak apa-apa saat Elena membujuknya.“Tapi Va-““Stttt, kamu ngantuk hm? Tidur aja nanti aku bangunin kalau udah sampe.” Alva malah mengalihkan pembicaraan.“Sebentar lagi juga sampe, tangg
Aku tidak akan membiarkanmu terlepas darikuAku akan membuatmu tak sanggup untuk pergiKarena aku membutuhkanmu dan ingin memilikimu seutuhnyaBisakah kamu menyukaiku , bersamalah dengankuKamu bilang tak mau bertemu lagi jika aku masih menahanmu seperti iniJustru dengan ini aku tak akan membiarkanmu pergiSepertinya banyak hal yang aku tak tahu tentangmumenolak karena takut dicampakkan setelah didapatkanApa kamu perlu waktu untuk memikirkan jawabannyaTolong jaga hati kamu untukku selama aku dalam proses meyakinkan kamuAku tak pernah main-main tentang perasaan, yang hanya bisa dirasakan tanpa alasan. Aku menyukaimu bahkan menyayangimu, entah kenapa dan bagaimanaIzinkan aku untuk berjalan bersamamuAkan aku kendalikan apa yang bisa ku kendalikanBerhara
Ini pertama kalinya Elena memasuki ruang kerja Rosie, ia mengagumi ruangan yang didesain sangat cantik dengan perpaduan warna putih dan gold yang memang merupakan tema warna butik Rosie. Namun, hal itu bukan yang menjadi fokusnya saat ini, tetapi tujuan Rosie melibatkan dirinya atas pertemuannya dengan Alva memberikan tanda tanda tanya besar untuknya. Ada apa ini, tidak seperti biasanya.“Jangan khawatir, ada aku disini,” ucap Alva tiba-tiba. Sepertinya ia mengetahui kekhawatiran dari raut wajah Elena.Elena tersenyum tipis, ia menunduk seraya mengulum bibirnya. Sungguh ini menegangkan baginya. Rasa penasaran membuatnya semakin tegang, apa kabar nanti? Elena berharap masih dapat bernafas dengan lancar.Pintu ruangan terbuka. Rosie yang tadi izin keluar sebentar kini sudah kembali. Elena semakin menunduk, rasanya ia segan untuk mengangkat wajahnya. Berbeda dengan Alva yang duduk santai dan terlihat biasa saja.“Maaf menunggu lama,”
Punggungnya terasa pegal, padahal sudah diganjal oleh bantal. Elena mulai membuka matanya, ia menunduk melihat Alva yang begitu pulas dipelukannya. Lengannya yang Alva tindih ingin sekali Elena gerakan tapi takut Alva terbangun. Elena mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan jam dinding. Pukul dua dini hari, waktu saat ini. Rupanya sudah beberapa jam mereka dalam posisi seperti ini. Sebelumnya Elena meminta Alva untuk tidur di kamar, tapi Alva ingin Elena menemaninya. Karena enggan dan tak enak jika harus berduaan di dalam kamar Elena pun menolak. Bersikukuh tak ingin tidur tanpa Elena, Alva pun mengatur posisi tidur dan hasil akhirnya seperti ini. Elena pikir Alva hanya akan bertahan sebentar saja dengan posisi tidur itu, tapi nyatanya tidak. Ia begitu pulas tidur di lengan Elena dengan tangan yang melingkar di pinggang Elena. Sungguh, Elena merasa memiliki bayi besar.Bagaimana tidak pulas, kalau di lihat-lihat Alva tidur dengan posisi cukup nyaman. Kakinya ia selonjork
Perasaan apa ini? Kenapa begitu sakit? Seharusnya aku tak merasa kecewa, kenapa malah sebaliknya, batin Elena dengan tangan yang terus menggenggam erat pegangan pintu. Emosi yang ia rasakan sedang tak dapat bekerja sama. Tangan Elena menutup pintu dengan kasar, gerakan di luar kendalinya membuat ia sendiri terkejut.Takut ketahuan, Elena pun bergegas menjauhi pintu dan masuk ke kamar mandi. Berharap kedua orang yang ada di luar tak mendengar suara itu. Tenang El, mereka pasti gak denger, batin Elena menenangkan diri sendiri.Elena menghadapkan tubuhnya ke arah cermin wastafel yang ada di kamar mandi. Ia mengusap wajahnya, memejamkan mata sebentar seraya menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar.“Kenapa sesakit ini sih liat mereka pelukan.”“Gak boleh El, kamu gak boleh kayak gini. Mereka saudara, tapi kenapa tatapan Rachel…” Elena menggelengkan kepalanya, ia membuang pikiran buruknya terhadap Rachel. Bayangan akan Al