Sore hari akan segera berakhir dan Alva masih menggulirkan mouse. Teringat akan permintaan mamanya tadi, membuat suasana hatinya terasa tak baik. Sungguh malas ia rasakan untuk menemani mamanya ke pesta keluarga Audy. Pesta apa sih. Kenapa mereka sering mengadakan pesta, batin Alva.
Alva memandangi langit-langit ruangan seraya mencari cara agar bisa pergi untuk menghindari acara makan malam membosankan itu. Tak lama sesuatu terbersit di pikirannya, rasanya sudah lama ia tak mengecek keadaan apartemen yang saat ini ditempati oleh karyawan butik Mei. Walau apartemen itu ia biarkan ditinggali oleh orang lain, tapi bukan berarti ia begitu saja membiarkan apartemen itu tanpa pengontrolannya.
Alva membiarkan apartemenemenemenemen itu di isi oleh orang lain karena tak lagi ia tempati. Sayang juga jika tak berpenghuni. Untuk itu ia tawarkan pada Hendrik putra pertama Mei, tapi Hendrik menolaknya karena saat ini ia telah memiliki rumah dan apartemennya sendiri.
Hari terakhir ia mengeceknya adalah seminggu yang lalu. Jadi, ia harus melihat rekaman video setelah hari itu. Alva melihatnya seraya memakan makanannya yang ia pesan lewat jasa pesan antar. Terlalu malas jika harus keluar mencari makan apalagi di luar sedang turun hujan ditambah ia sedang bosan dengan masakan rumah.
Satu sendok makanan berhasil masuk ke dalam mulutnya dengan mata yang mulai memperhatikan rekaman video pada layar laptop yang ada di depannya. Alva membulat ketika melihat seorang wanita memasuki apartemennya seraya menarik koper.
"Oh ini," kata Alva seraya mengangguk dan terus memperhatikan wanita itu yang masuk lebih dalam. Sayangnya wajah wanita itu tak terlihat jelas karena membelakangi kamera. Ia pun terus mengawasi setiap apa yang wanita itu lakukan sampai pada video hari kemarin. Alva terbatuk ketika melihatnya keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melingkar di tubuhnya dan membungkus kepalanya. Handuk yang hanya sebatas dada dengan panjang sepaha. Ia berjalan-jalan di ruang tengah dengan ponsel yang ada di tangannya. Duduk diatas sofa masih dengan ponsel yang ia mainkan.
"Kenapa gak pake baju dulu aja sih," gerutu Alva. Tak lama setelah itu, wanita yang sedang ia awasi menaiki tangga menuju kamarnya. Alva tak membuka video yang ada di kamar. Tak mungkin ia melihatnya kan. Bisa dibilang setelah 20 menit, wanita tadi kembali ke lantai bawah, berjalan menuju dapur seraya ponsel yang baru saja ia tempelkan di telinganya.
"Apa dia sesibuk itu? Ponselnya selalu tak jauh dari tangannya," ucap Alva.
Alva beralih ke video CCTV hari ini. Seperti yang ia lakukan sebelumnya. Wanita itu selalu keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk pendeknya dan tak langsung menggunakan pakaiannya di kamar mandi, padahal kamar mandi diapartemenemenemenemenemen Alva lumayan besar dan tak masalah jika berdandan disana. Dan lagi-lagi ia berjalan-jalan di ruang tengah dan lagi-lagi hanya dengan menggunakan handuk dan memainkan ponsel.
"Bagaimana jika ada tamu, atau orang lain yang masuk begitu saja. Apa dia tak memikirkan keselamatannya," ucap Alva ditujukan untuk seseorang yang ada pada layar cctv tersebut.
Mengingat siapa saja yang bisa masuk. Mungkin hanya dirinya, Mei dan wanita itu karena Alva hanya memberitahu Mei tentang kata sandi apartemenemenemenemennya.
Mei adalah adik dari Rosie. Ia memang dekat dengan Mei, karena sejak dulu Rosie selalu menitipkan Alva pada Mei jika Rosie sedang ada pekerjaan di luar kota. Alva Pun lebih sering curhat pada Mei tentang apapun itu dan bisa dibilang Alva lebih dekat Mei daripada ibunya sendiri. Tak heran jika ia begitu saja menyerahkan apartemen itu pada Mei.
Drttt! Ponselnya bergetar. Mama.
"Ya ma?"
"Alva mama sebentar lagi pulang, jangan lupa untuk makan malam nanti.”
"Maaf ma, Alva sudah ada janji dari jauh-jauh hari. Felic aja ya yang temenin mama."
"Kamu ini, jangan cari alasan."
"Ma maaf ya Alva gak bisa ikut mama malam ini. Have fun ma, see you."
"Alva-"
Panggilan segera diputuskan oleh Alva. Sungguh tak sopan memang, tapi harus bagaimana lagi ia tak ingin bertemu dengan keluarga Audy apalagi dengan Audy. Alva menangkup kepalanya. Janji dengan siapa? Ia tak memiliki janji dengan siapapun. Alasan itu hanya ia buat-buat untuk menghindari acara makan malam.
***
"Elena, kamu belum pulang?" Mei berjalan menghampiri Elena di mejanya, matanya memperhatikan meja Elena yang rupanya sudah terlihat rapi.
"Baru mau Nyonya," jawab Elena seraya tersenyum. Lalu ia kembali menyimpan beberapa alat gambar yang belum ia simpan ke tempatnya.
"Tadi Rosie datang ke butik. Dia menanyakanmu, katanya mau bertemu. Tapi baru mau masuk butik ini, ponselnya sudah berdering mungkin lain kali kalian akan bertemu.”
Elena tersenyum dan mengangguk. "Ia Nyonya tidak apa-apa. Nyonya Rosie pasti sangat sibuk. Mendengar mau ketemu aku aja, sudah suatu kehormatan besar," Mei terkekeh.
"Ia dia memang sibuk. Butiknya memiliki cabang diluar kota bahkan luar negeri. Tak heran jika kita jarang bertemu dengannya," Elena mengangguk mendengar penjelasan Mei. Rosie boutique memang sudah menjadi bisnis besar bahkan sangat besar.
Setelah obrolan ringan Elena berpamitan untuk pulang. Hari ini ia memang keluar butik tepat jam 8 malam, karena butik sedang ramai dan ada pelanggan memintanya untuk merancang sebuah baju khusus untuknya.
***
Dua minggu telah ia lewati, baru selama itu ia tinggal di kota besar dan baru selama itu juga ia bekerja di butik Meisie.
Elena memasuki apartemen dengan berjalan gontai. Sangat lelah rasanya hari ini, siang tadi butik Meisie pemotretan untuk produk barunya dan Elena berkecimpung disana. Ia sibuk kesana kemari. Seperti biasa setelah merilekskan tubuhnya dengan mandi air dingin ia bersantai di ruang tengah sebelum mengenakan bajunya. Sekedar mengecek media sosial, membaca komik yang belum ia selesaikan bahkan membaca n***l pada ponselnya.
Setelah air yang ada di tubuhnya benar-benar mengering Elena naik ke lantai atas mengenakan pakaian rumahnya lalu kembali ke dapur memasak sesuatu untuk makan malam. Elena tak pandai memasak, jadi ia membeli bahan-bahan yang ada di kulkas pun untuk makanan yang sekiranya ia bisa memasaknya dan tak membutuhkan waktu lama. Seperti telur, mie dan sayuran. Sedangkan daging, jujur ia tak membelinya karena itu terlalu memakan banyak waktu ketika menyajikannya.
Semenjak di kampong pun ia memang jarang membantu mamanya dalam hal urusan dapur, Elena lebih sering membantu hal lain seperti mencuci, menyapu, mengepel kecuali memasak. Jadi, kalau soal bersih-bersih Elena sangat ahli. Lihat saja apartemenemenemenemen ini ia usahakan untuk selalu bersih. Meja makan pun selalu bersih. Haha.
Setelah makan Elena menonton televisi, memberikan waktu sejenak pada perutnya sebelum merebahkan diri di atas ranjang nyaman itu. Baru kali ini ia menemukan ranjang yang nyaman selain ranjang miliknya.
Satu jam berlalu Elena Pun naik ke lantai atas. Menghempaskan tubuhnya dan menyelimutinya dengan nyaman.
***
Alva memasuki mobilnya, sungguh kepalanya berat sekali padahal ia sudah meminum obat yang resepnya diberikan oleh dokter yang ia sengaja datangkan ke tempat ia bekerja kali ini yaitu sebuah perusahaan salah satu produk pakaian olahraga yang sedang menjadikannya model produk baru mereka.
Alva datang dan pergi seorang diri, bahkan ia terpisah kendaraan dengan manajernya. Alva memang tak suka menggunakan sopir, ia lebih suka dan nyaman mengendarai mobilnya sendiri kecuali ada hal mendadak yang mengharuskannya memakai sopir.
Dokter menyarankan ia harus istirahat yang cukup, tapi pekerjaannya tak bisa ia tinggalkan begitu saja selama masih bisa dikerjakan Alva akan mengerjakannya tanpa lecet sedikitpun. Rosie dan Mei pun terus-menerus mengingatkan Alva beristirahat tapi karena Alva yang keras kepala ia terus bekerja dan pulang larut malam. Alasan ia melakukan ini adalah karena dengan ini ibunya dapat bangga terhadap dirinya.
Kepalanya sungguh sudah sangat berat. Kawasan ini, Alva sangat mengenalnya ia segera membelokkan mobilnya dan memarkirkannya di basement. Menelusuri koridor dan memencet PIN yang menjadi kata sandi apartemen tersebut.
Alva segera memasukinya melepaskan sepatunya dan naik ke lantai atas dengan pandangan yang sedikit mengabur. Alva menghempaskan tubuhnya diatas ranjang king size yang berada di sana memakai kain yang hangat itu sampai batas dada. Tapi tetap saja hawanya sangat dingin, ia menggigil terus mencari kehangatan dan menemukan seseorang yang sedang berbaring disana Alva memeluk orang itu, meminta suhu hangat dari tubuhnya.
Elena merasa terusik, ia merasakan getaran dari arah belakang dan sesuatu yang berat berada di pinggangnya.
"Apa sih?" Elena berusaha membuka matanya yang terasa sangat berat. Sontak ia terperanjat ketika ada tangan yang melingkar di pinggangnya. Elena berbalik dan mendapatkan seseorang di sana. Matanya membulat mendapati orang yang ia kenal. Alva? Kenapa dia bisa ada disini?
"Alva! Kenapa kamu-" Elena segera bangkit tapi Alva kembali menariknya dan kembali memeluk Elena. Mata Elena semakin terbebelak. Tubuh Alva bergetar, Elena menoleh dan memperhatikan wajah Alva. Dia demam!
"Sebentar aku ambil air hangat dulu," ucap Elena yang kini mengangkat tangan Alva yang menahannya agar tidak pergi dan bersikeras untuk melepaskan rengkuhan itu.
Elena tak bisa diam saja. Ia segera mengambil air hangat dan handuk kecil lalu mengompres Alva. Keterkejutan masih dirasakan Elena, bagaimana bisa Alva ada di sini, dan masuk ke apartemenemenemenemen ini. Apa jangan-jangan dia adalah pemilik tempat ini yang sebenarnya, alias keponakan Nyonya Mei. Sungguh Elena kembali terbelalak. Selama ini, ia ingin bertemu dengan pemilik apartemen ini tapi selalu saja ada hambatan ketika Mei akan mengatakannya dan tak jarang Elena lupa ketika akan menanyakannya kembali. Jadi selama ini dia sudah tinggal di tempat milik Alva.
Elena memperhatikan Alva yang mulai rileks tak terlalu menggigil seperti tadi. Ia kembali mencelupkan handuk itu ke dalam air hangat dan kembali menempelkannya pada kening Alva.
Matanya masih ingin tertutup. Elena menguap dan menoleh ke arah sofa yang ada di lantai bawah. Tapi, apakah akan baik-baik saja jika ia meninggalkan Alva seorang diri, dan juga tak mungkin dirinya tidur di samping alva. Elena pun bangkit dari sisi ranjang tersebut. Tapi ketika hendak melangkah tangannya tertarik dan menjadikannya berbaring di atas ranjang.
"Masih dingin, disini aja." Suara serak itu terdengar jelas di pendengaran Elena. Bagaimana tidak, Alva memeluknya, menempelkan tubuhnya pada tubuh Elena. Wajah Elena yang berhadapan dengan dada bidang Alva yang terbalut kaos putih itu menegang. Ia sulit menelan salivanya.
"Tapi Va-"
"Suttt." Alva yang merasa terganggu meminta Elena untuk diam dengan mata terpejam.
Elena sedikit memundurkan tubuhnya, tak nyaman jika terlalu menempel. Rengkuhan Alva pada tubuhnya tak sedikit pun merenggang. Elena memilih untuk tetap membuka matanya menunggu Alva benar-benar terlelap, untuk itu ia bisa melepaskan rengkuhan Alva. Tapi rasa kantuknya ini sulit berkompromi dan akhirnya Elena memejamkan matanya karena rasa kantuk masih menguasai dirinya yang terbangun pada tengah malam seperti ini.
***
Alva membuka mata, kepalanya kini sudah tak terlalu berat. Pemandangan pertama pagi ini adalah wajah seorang wanita yang masih tertidur pulas. Alva memandangnya dalam diam. Memperhatikan setiap inci wajah cantik itu. Hmm sangat cantik dan juga menarik, gumamnya. Wanita yang menjadi rekannya pada pemotretan saat itu. Si model dadakan. Jam sudah menunjukkan pukul lima pagi. Tapi ia sangat sulit untuk beranjak, tempat ini terlalu nyaman untuk ditinggalkan. Alva memilih untuk memejamkan matanya kembali.
Elena menggerakkan kepalanya. Matanya perlahan terbuka. Wajah itu membuat jantungnya berdetak sangat cepat. Wajah yang menggiurkan untuk dipandangi. Membuat siapa pun terpesona padanya. Jangan lupakan beberapa helai rambut panjangnya menutupi wajah bagian atasnya. Elena mengerjap, tak seharusnya ia terus-menerus memandangi wajah Alva. Ia pun mengangkat tangan Alva yang berada di atas pinggangnya. Menyibakkan selimut dan pergi mandi. Ia membawa baju ganti, untuk ia pakai di kamar mandi. Tak mungkinkan ia keluar dengan hanya mengenakan handuk seperti yang biasa ia lakukan.
Setelah mandi, ia belum melihat Alva. Mungkin dia masih tidur. Elena membuka kulkasnya.
"Orang yang demam biasanya dibuatkan sup kan." Elena Pun mengeluarkan beberapa sayuran dan telur ayam. Tak ada daging di kulkas nya, jadi ia membuat sup hanya dengan sayuran saja dengan omelet yang akan menjadi teman si hidangan utama.
"Jadi, lo yang tinggal di apartemen gue?" Elena yang mendengar itu pun terlonjak kaget, untung saja ia tidak sedang memegang penggorengan atau pisau. Bisa-bisa itu membahayakannya. Ia membalikkan badan dan mendapati Alva yang sudah duduk di sana. Menumpukan kedua tangannya di meja bar.
"I..i..iya," jawab Elena gugup.
"Maaf supnya cuman sayuran aja, saya gak beli daging." Secara tidak langsung Elena menawari Alva makan.
"Saya gak pandai memasak, jadi kalo gak enak bilang aja, biar nanti saya beli makanan di luar."
Elena ikut duduk, berhadapan dengan Alva yang kini mengambil sendok untuk mencicipi sup yang ada disana.
"Mm, kurang garam." Mendengar itu Elena langsung mengambil garam dan menyerahkannya pada Alva. Alva mengambil setengah sendok garam dan kembali mengadukannya pada sup. Ia kembali mencicipi nya dan menganggukkan kepala sebuah isyarat bahwa rasanya kini sudah pas.
Alva pun mulai makan sedangkan Elena hanya diam memandangi Alva yang sedang makan, tak ada komentar.
Apakah makanannya baik-baik saja?
Fokusnya mengabur ketika Alva menyodorkan sendok yang berisi nasi dan sayur tersebut.
"Aaaa," Alva menyuruh Elena membuka mulutnya. Sungguh Elena terkejut, tapi ia langsung menggeleng seraya tersenyum.
"Duluan aja."
"Ayo makan sekarang, gue gak mau makan sendiri." Elena Pun mengangguk dan ikut makan.
"Maaf sebelumnya saya gak tau kalau pemilik apartemen ini adalah tuan," ucap Elena disela makannya. "Jadi, terima kasih sudah mengizinkan saya tinggal disini, tuan."
"Mm." Alva kembali memasukkan omelet ke dalam mulutnya. Dia hanya bergumam singkat, apa dia gak suka aku tinggal disini?
"Maaf jika tuan muda keberatan saya bisa pindah secepatnya."
"Jangan," kata Alva cepat, dan itu membuat Elena terlonjak.
"Mm tinggal aja di sini. Sayang kalo gak ada penghuninya dan tolong jangan bicara formal sama gue santai aja, kita seumuran kan." Mata Elena membulat, benarkah?
"Umur lo berapa?"
"24," jawab Elena.
Alva mengangguk "Sama," ucapnya. Oh benarkah. "Panggil Alva aja." Elenapun mengangguk dan tersenyum. Ia melanjutkan makannya. Setelah selesai makan dan merapikan semua alat makan dan mencucinya. Ia menghampiri Alva yang sedang menonton tv diruang tengah.
Elena naik untuk mempersiapkan diri pergi bekerja. Selesai bersia-siap ia kembali turun.
"Mm.. Alva aku berangkat, ada obat di atas nakas, kamu bisa minum itu."
Secara Alva pemilik apartemen tersebut, tak mungkinkan Elena menyuruh Alva pergi, ia memilih untuk pergi bekerja dengan membiarkan Alva yang masih duduk santai di sofa. Elena kembali membalikkan badannya.
"Mm Va. Makasih udah izinin aku tinggal disini," ucapnya seraya tersenyum.
"Mm," gumam Alva seraya mengangguk dan tersenyum. Setelah itu Elena kembali melanjutkan langkahnya keluar apartemen.
***
Elena merenggangkan otot-ototnya setelah beberapa jam berkutat pada rancangan barunya. Setelah ini ia bisa langsung pulang dan sebelumnya ia akan mampir ke supermarket untuk berbelanja bahan masakan, camilan dan juga minuman.
Kini Elena berada di supermarket yang tak jauh dari apartemen.
"Halo ma, apa kabar?"
"Baik sayang, kamu apa kabar? Mama kangen."
"Baik ma, aku lebih kangen ma. Mama lagi apa?"
Percakapan antara ibu dan anak pun berlanjut sampai Elena selesai berbelanja. Ia kembali menaiki taksi menuju apartemen, karena jika berjalan kaki jarak itu cukup jauh, dan rasanya ia sangat lelah.
Elena merapikan belanjaannya. Ia mengikuti cara mamanya yang selalu merapikannya langsung setelah berbelanja. Dulu ia sangat malas untuk melakukan hal mudah yang akan terasa sulit jika kita tak biasakan tapi sekarang ketika tinggal sendiri hal itu tak bisa dihindari dan ternyata itu menyenangkan juga. Menata semua bahan menjadi terlihat rapi dan bersih. Andai saja ini apartemen miliknya, pasti akan lebih menyenangkan.
Setelah menyelesaikan pekerjaan tadi Elena pergi mandi, rambutnya yang panjang ia cepol asal agar tidak menyusahkannya ketika membersihkan diri. Mungkin sudah menjadi kebiasaannya, ia selalu lupa untuk membawa baju ganti ke kamar mandi. Untuk itu ia keluar menggunakan handuk yang dililitkan. Handuk berwarna putih dengan panjang diatas lutut.
Lagi-lagi kebiasaan memang sulit untuk diubah. Bukannya segera mengenakan pakaian ia malah duduk di sofa seraya memainkan ponselnya mengecek media sosial yang ia punya. Tenggorokan yang terasa kering membuat Elena bangkit berjalan menuju dapur untuk mengambil minum. Ia menuangkan air lalu meminumnya dengan jemari yang masih menari di layar ponsel.
***
Setelah menyelesaikan pemotretannya hari ini, Alva kembali mengunjungi apartemen, entahlah ia sangat ingin datang kesana. Mungkin merindukan suasana yang sudah lama ia tinggalkan atau karena seseorang yang berada disana. Alva terkekeh geli tentang pemikirannya sendiri.
Bukan kebiasaanya setelah bekerja langsung pulang. Biasanya ia akan berlama-lama di kantor agensi atau tidak ia akan pergi nongkrong bersama teman-temannya. Sengaja mencari-cari kegiatan di luar agar tak pulang cepat. Tapi kali ini, ia ingin segera pulang rasanya, walaupun bukan pulang kerumah besar itu, rumah yang terlihat baik-baik saja.
Ia membuka pintu apartemen, lalu memasukinya. Jaket yang sedari tadi ditenteng ia letakkan di atas sofa. Langkahnya terhenti ketika melihat seseorang berdiri di depan meja bar dengan tangan kanan memegang segelas air yang sedang ia minum dan tangan kirinya memegang ponsel. Dia hanya menggunakan handuk yang ia lilitkan, menampilkan jelas pundak dan lehernya, karena rambut itu ia cepol asal. Handuk yang dikenakan pun hanya sebatas pahanya.
Oh shit! Apa dia nguji gue. Apa dia gak sadar gue datang. Alva berjalan mendekat tanpa mengeluarkan suara dari langkahnya.
***
Elena meletakkan gelas yang sedari tadi ia pegang. Kini Alva tepat di belakang Elena mendekatkan wajahnya ke arah telinga Elena sehingga ia dapat menghirup wangi sabun yang Elena pakai."Apa ini kebiasaan lo." Suara itu membuat Elena terlonjak kaget dan langsung berbalik, ponsel yang hampir terjatuh ia pegang erat dengan kedua tangannya."A..A..Alva!" Wajah terkejutnya begitu lucu dan menggemaskan dimata Alva, sungguh ia menahan senyumnya agar tak tersungging. Mata Elena membulat dan tubuhnya sedikit bergetar.Alva melangkah semakin mendekat dan memperangkapnya. Kedua tangan Alva tumpukan pada pinggiran meja bar, mengurung Elena di dalamnya. Elena langsung menutupi bagian dadanya yang sedikit terlihat padahal Alva sudah menyadarinya sejak tadi. Elena semakin beringsut ke belakang walaupun tak ada ruang lagi di sana."Mau menggoda hm?""Mm m..maaf Va aku gak tau kamu bakal datang," lirih yang terdengar jelas bahwa ia sedang ketakutan. Elena kini men
Audy Queena seorang yang memiliki profesi yang sama seperti Alva. Wanita itu duduk di samping Alva seraya bergelayut manja di lengannya. Alva merasa risih dengan kedatangan Audy, ia menghempaskan tangan itu berkali-kali tapi Audy terus kembali melingkarkannya."Audy! Gue risih tau gak." Alva sungguh geram, ia pun memilih untuk segera melajukan mobilnya meninggalkan parkiran butik.“Lo turun di halte depan,” ucap Alva yang segera melajukan mobilnya. Dengusan kesal terdengar dari arah sampingnya. Alva tak memperdulikan itu, ia fokus pada jalanan yang ada di depan sana.“Siapa dia?” tanya Audy seraya menoleh ke arah samping, Alva tak kunjung menjawab membuat Audy kesal dibuatnya.“Aku kecewa semalam kamu gak datang.” Kini Audy mengganti topik pembicaraannya. Tapi masih saja Alva terdiam tak menimpali. Sungguh dirinya kesal, ia meremas pakaiannya menahan kekesalan yang ia rasakan.“Turun,” perintah Alva.
Alva berjalan mendekat ke arah Elena, Elena pun mundur dan sialnya langkahnya terhenti karena kabinet yang berada di belakangnya."Tinggal di sini, gue gak bisa urus apartemen sendirian," ucap Alva dengan mata memperangkat mata Elena yang sedang terbelalak."Tapi Va, kita gak bisa tinggal satu apartemen," lirih Elena."Gue gak tinggal, mungkin sesekali datang ke sini untuk memastikan apartemen gue aman." Alva menimpali.Aman? Apa maksudnyaElena memanyunkan bibirnya."Lo boleh pake kamar utama, ruang sebelahnya bakal gue ubah jadi kamar biar gampang buat gue tidur kalo datang kesini," papar Alva. Ruang lain? Elena sendiri tak mengetahui ruangan itu. Ia merasa enggan membukanya walaupun ia sangat penasaran ingin melihat apa yang ada di dalamnya."Tapi Va-""Apa? Lo mau kita tidur seranjang, gue sih gak masalah." Alva mengedikkan bahunya sedangkan Elena terperanjat dengan ucapan Alva yang menurutnya sensitif.Alva t
Elena memandangi pantulan dirinya di cermin, ia memegang dadanya. Ia merasakan hal aneh, ini sungguh menegangkan. Ia akan datang melihat dirinya yang terekspos di khalayak ramai. Entah foto yang mana yang akan diperlihatkan dan sedang mengenakan baju yang mana Elena tak tahu, yang ia tahu saat ini adalah dirinya merasa gugup.Ting tong!Suara bel apartemenemenemen berbunyi, ia segera keluar untuk membukanya.Ceklek!Seorang laki-laki mengenakan setelan jas berdiri membelakanginya. Elena sangat mengenalinya. Itu adalah Alva.Tapi kenapa ia harus memencet bel? Kenapa tak langsung masuk seperti biasanya."Alva," panggil Elena. Alva membalikkan badannya. Mata Elena membulat melihat penampilan Alva yang lebih memukau dibandingkan biasanya setelan jas berwarna maroon dengan dalaman kemeja hitam membuatnya terlihat semakin mempesona. Mata Elena kembali membulat, kini ia melihat gaun yang ia kenakan memiliki warna yang coc
"Aku bisa makan sambil melakukan pekerjaanku Alva." Alva menggeleng, ia kembali mengajak Elena untuk duduk di sofa dan mendudukkannya."Gak El, makan ya makan dulu aja, jangan nyambi.""Ish," Elena menggerutu, tapi ia tetap menurut dan hal itu membuat Alva senang."Gitu dong," Alva mengusap sisi wajah Elena. Elena terbelalak lagi-lagi Alva memberi perlakuan manis padanya. Bersamaan dengan itu, Rosie datang dan melihat aksi Alva."Alva," keduanya menoleh. Elena tampak kaget sedangkan Alva merasa santai saja."Ya ma?""Kamu, lagi apa? Disini?"Elena langsung bangkit dari duduknya ia tak enak karena sebelumnya duduk berdekatan dengan Alva, ralat Alva yang mendekatinya."Mm ma..maaf Nyonya kami..""Sudah saya bilang, jangan panggil saya Nyonya, panggil saja Tante hm."Mata Elena mengerjap, membuat Alva gemas melihatnya. Bukannya membantu Elena untuk menjelaskan keberadaannya di tempat ini. Alva malah menyandarka
Suara berisik itu membangunkan Alva yang masih sangat mengantuk, ia mulai membuka matanya seraya menguap. Bangun dari tempat yang cukup membuatnya sakit badan, karena walaupun empuk tetap saja sofa tidak senyaman tempat tidur. Alva merenggangkan ototnya, ia menoleh ke arah dapur dimana seseorang berada. Ia mengulum senyumnya seraya berjalan menghampiri Elena yang sedang sibuk dengan perlengkapan tempur."Pagi Al," sapa Elena ketika melihat Alva datang dengan wajah khas bangun tidurnya."Hm pagi." Alva menghampiri Elena yang sedang menyiapkan sarapan."Mm aku cuman masak nasi goreng, g..gapapa?" Elena tak berani menatap Alva yang melirik bergantian dirinya dan nasi goreng yang sudah tersedia di atas meja."Thanks." Alva mengusap puncak kepala Elena seraya tersenyum. Senyum yang membuat Elena menahan nafasnya sejenak. Senyuman Alva cukup membuatnya terpesona. Alva sudah duduk manis dan meminum air putih yang tersedia di dalam gelas tinggi itu.Alva m
"Hhh..." Elena berjalan gontai memasuki lift, satu jam lalu ia baru kembali setelah acara pulang kampungnya beberapa hari kebelakang. Cukup melelahkan membuat Elena ingin segera sampai dan merebahkan tubuhnya, kulit yang terasa lengket rasanya ingin segera berdiri di bawah shower dengan air dingin yang menghujaninya. Membayangkannya saja sudah membuat Elena nyaman. Tapi apa daya keinginannya harus tertunda terlebih dahulu karena keberadaan Alva di sana yang berdiri seraya melipatkan kedua tangan menyambut kedatangan Elena. Tatapannya terasa mengintimidasi, sedikit membuat Elena heran."Hai Va, apa kabar?" Tak kaku memang, tapi mata mengintimidasi Alva membuat Elena semakin lama menjadi takut."Mm aku bersih-bersih dulu." Baru tiga langkah kakinya berjalan, suara Alva membuatnya kembali berhenti."Kenapa gak bilang d
"Kamu tau, Anya pernah memanggilku bibi, padahal aku neneknya." Mei terkekeh, sedangkan Elena membulatkan matanya. Anak kecil saja menganggapnya seperti itu, tidak heran memang Mei masih terlihat muda, mungkin jika Elena tak mengenalinya, ia akan menganggap umur Mei hanya 3 tahun lebih tua darinya."Walaupun begitu aku tidak lupa umur ko, tenang saja. Gini-gini aku sudah punya cucu satu," Mei kembali tersenyum lebar membuat matanya yang sipit semakin menyipit.Elena memang sangat membenarkan itu, Mei memang terlihat 10 tahun lebih muda dari umurnya yang sekarang, ia memang sangat pandai merawat diri dan lihatlah kulitnya masih terlihat kencang dan segar. Tak heran jika cucunya sendiri memanggil bibi, bukan oma atau nenek seperti seharusnya. Mungkin untuk ukuran oma, Mei belum cocok menyandang gelar itu.Drrrttt!Ponsel Mei bergetar, menandakan ada panggilan masuk."H