Telunjuk itu masih bergerak walau tak menimbulkan suara. Alva merentangkan tangannya pada sandaran sofa dengan kaki yang ia silangkan. Matanya menatap sosok yang datang menemuinya dan saat ini sedang membalas tatapan tajamnya.
“Lo bergerak tanpa sepengetahuan gue, Erick Christian,” tutur Alva. Erick mengangguk masih dengan senyum yang mengembang sejak tadi. Sungguh ia sedang merasa bangga pada dirinya sendiri yang telah membuka jalan untuk Alva memperkenalkan karyanya.
Satu jam lalu ia datang ke kediaman Alva, dan sang tuan rumah langsung mencecarnya dengan berbagai macam pertanyaan perihal kabar yang rupanya menjadi kejutan pagi ini. Kronologi itu Erick ceritakan pada Alva dengan senyum yang terus terbit karena merasa sangat bangga pada dirinya telah melakukan sesuatu yang berarti bagi sahabatnya itu sendiri. Rasa penasaran menjadi alasan Erick melakukannya, dan dengan spontan ia memperdengarkan maha karya Alva Melviano pada pihak label tempatnya bernaung
Rasanya punggungku sudah merasa lebih baik, batin Elena yang sayup-sayup matanya mulai menjemput kesadaran dengan mata menyesuaikan penglihatannya yang masih kabur. Beberapa kali mata itu mengerjap dengan ingatan yang telah pulih setelah ia tertidur beberapa saat. Mata Elena mulai terbuka sempurna dengan layar yang menyala tanpa suara menjadi hal pertama yang ia lihat saat ini.Tv? Nyala? Batin Elena. Lirikan matanya memperhatikan sekitar. Dirinya masih berada di ruang tamu, dimana tempat ia merebahkan diri tadi. Eh aku harus bangun, pikirnya. Baru saja akan bergerak, sesuatu segera menyadarkannya. Kepala Elena sedikit bergerak dan merasakan permukaan yang sedang menjadi bantalan tidurnya saat ini. I..ini paha siapa? Batin Elena. Rasanya ia belum berani bergerak sekarang karena keterkejutan yang ia rasakan. Matanya mencari sesuatu yang dapat membantunya untuk mengetahui sebenarnya siapa yang sedang berada dengan dirinya saat ini.Lirikan mata Elena menangkap bayangan d
Pintu mobil terbuka, Rosie mulai keluar dan melangkahkan kakinya memasuki tempat pertemuannya malam ini. Undangan makan malam yang diadakan oleh salah satu desainer yang bernama Ariel. Rekan seprofesi sekaligus sahabatnya sejak masa kuliah dan kebetulan Ariel mendapatkan pasangan yang berasal dari negara Prancis ini. Keberadaan Ariel bersama Jacob suaminya menarik perhatian Rosie. Seraya berjalan ke arah sepasang suami istri itu Rosie memperhatikan sebagian area yang memang dikhususkan untuk para tamu undangan Ariel dan Jacob.“Selamat datang Nyonya Rosie.” Ariel menyambut kedatangan Rosie dan berhambur memeluknya. “Wah aku sangat merindukanmu,” ucap Ariel yang mulai melepaskan pelukannya.Rosie terkekeh. “Ya aku juga merindukanmu, terima kasih sudah mengundangku ke acara makan malam ini,” tutur Rosie.“Kamu adalah tamu spesialku hm, aku sangat senang kamu datang ke Paris karena itu kamu bisa datang ke acara kecil-kecila
Elena memperhatikan kedua orang yang sedang menyantap sarapan paginya. Kekhawatiran sedang dirasakan Elena, tapi di lihat dari raut wajah Erick yang duduk di depannya dan juga Alva yang berada di sampingnya mereka tampak baik-baik saja bahkan terlihat menikmati.“Boleh aku tambah ayamnya?” tanya Alva.“Hm?” Elena sontak menoleh. “Oh tentu, biar aku ambilkan.” Elena mengambil potongan ayam itu dan menyimpannya ke dalam piring Alva. Alva kembali melahap makanannya, Elena senang melihatnya sampai ia lupa dengan makanannya sendiri. Sungguh Elena merasa lega karena apa yang disediakan dapat diterima seperti ini.“Va jangan lupa sore ini,” ucap Erick yang menyadarkan Elena akan keterpanaannya memandangi Alva. Alva menimpalinya hanya dengan anggukan, ia pun kembali menoleh pada Elena yang rupanya juga sedang menoleh ke arahnya.“Di butik masih sibuk?” suara Alva mengerjapkan mata Elena, Ia pun mengalihk
Gara-gara permintaan menyebalkan itu, Elena enggan untuk beristirahat. Kalau tidak Mei yang menyuruhnya mungkin ia akan terus bekerja. Alva membuatnya malu, bisa-bisanya ia nekat melakukan itu. Keterlaluan, sungguh ia tak nyaman.Elena hendak memencet sandi unitnya, namun ia berbalik dan menatap tajam pintu unit yang ada di depannya itu. Apa aku harus memarahinya sekarang?Setelah melakukan pertimbangan singkat, ia pun berjalan mendekat ke arah pintu unit Alva. Ia memencet bel dan mengetuk pintu.Dia ada di unitnya kan? Apa lagi-lagi dia sedang berada di ruang musiknya?Pintu unit Alva tak kunjung terbuka padahal ia sudah memencet dan mengetuk pintu beberapa kali, Elena pun berbalik dan segera membuka pintu unitnya dengan tergesa. Pintu terbuka dan apa yang ia harapkan tak terjadi. Tak ada sepatu yang berada di dekat pintu. Sepatu milik Erick biasanya, karena kalau Alva sendiri selalu mengenakan sandal rumahnya dan langsung masuk menggunakan sandal itu.
Dinding lift yang dingin menjadi sandaran tubuh Alva. Percakapan Roy dan Rosie malam itu kembali terngiang di telinganya mengingatkan Alva akan rencana yang beberapa hari lalu ia sepakati bersama Erick. Pencarian akan siapa ibu kandungnya.“Va, tentang masa lalu lo…” Secara kebetulan Erick mengatakan apa yang sedang Alva pikirkan saat ini. “Apa lo punya orang yang bisa lo tanyain, tentunya yang bisa lo percaya,” lanjut Erick.“Belum ada langkah yang gue ambil sampai sekarang,” jawab Alva karena memang ia belum melakukan apapun untuk pencarian siapa perihal orang tua kandungnya itu.Suara getaran ponsel terdengar. Alva yang merasakan getaran dari saku celananya langsung merogoh benda itu. Alva kembali memalingkan wajahnya malas ketika melihat siapa yang sedang menghubunginya. Erick melirik ke arah layar kecil yang masih menampilkan nama seseorang di sana.“Bokap lo?”“Hm,” jawab Alva
Elena kembali dari dapur dengan nampan yang berisi minuman untuk disuguhkan pada Alva dan Erick. Namun, ia melihat Alva maupun Felic masih berdiri dengan saling diam. Beberapa saat lalu perbincangan kedua orang itu Elena dengar dan memang merupakan topik yang cukup serius.“Ayo duduk dulu.” Alva dan Felic menoleh ke arah Elena dan mengikutinya bergabung dengan Erick yang sudah sejak tadi pada sofa panjang itu.“Makasih cantik pasti ini enak banget,” kata Erick yang mengambil salah satu gelas yang Elena simpan di atas meja. Alva melihat Erick yang mengerlingkan matanya jahil ke arah Elena dan hal itu membuat Alva sedikit kesal. Elena tersenyum atas apa yang Erick ucapkan.Elena duduk pada single sofa yang tak jauh dari sofa panjang yang di duduki Alva, Erick dan Felic. Mata Elena melirik Alva dan Felic bergantian. Perbincangan itu belum berlanjut lagi. Sepertinya ia perlu memberikan ruang hanya untuk Alva dan Felic agar perbincangan periha
Felicia mendekatkan kursinya dengan kursi yang ditempati Alva. Ia memperhatikan wajah Alva dari dekat. Mendengar permintaan Alva barusan membuat Felic ingin menggoda kakaknya itu.“Sejak kapan kakak kesulitan menaklukan hati perempuan?” Felic bertanya masih dengan posisinya dekat dengan Alva. Alva menempelkan telunjuknya di kening Felic dan memundurkan wajah itu.Setahu Felic kakaknya ini selalu mudah mendapatkan seseorang yang ia inginkan, bahkan malah mereka yang mengejarnya bukan Alva yang sengaja mencari. Hidup menjadi seorang model menjadikan Alva dikenal banyak orang dan banyak yang menyukainya. Banyak juga dari teman-teman Felic yang menanyakan banyak hal tentang Alva, terkadang ia lelah menjadi adik seseorang yang terkenal dan didambakan banyak orang seperti Alva.“Tak semudah itu mendapatkan Elena, untuk itu Kakak butuh bantuan kamu,” kata Alva yang mulai memakan sarapannya.“Jangan bilang Kakak tertarik karena dia s
Alva maupun Roy masih berdiri di tempatnya. Alva memusatkan perhatiannya ke arah lain, sedangkan Roy menatap nanar putranya.“Ya, Rosie bukanlah ibu kandungmu. Tapi dia yang merawatmu sejak kecil hingga dewasa Alva.” Roy melangkah mendekat menyimpan tangannya di pundak Alva. “Dia sangat menyayangimu, dia menganggapmu seperti anak kandungnya sendiri,” tutur Roy yang mencoba memberi pengertian pada Alva.“Dia hanya gila akan reputasi, bukan menyayangiku.” Plak! Suara nyaring itu terdengar, tangan Roy lolos melayangkan tamparannya. Ucapan Alva sangat ia tak sukai. Posisi wajah Alva menoleh ke arah samping karena tamparan keras Roy pada wajahnya.“Jangan sembarangan kamu kalau ngomong, kamu tidak akan menjadi sesukses ini tanpa dirinya,” suara tinggi itu menggema. Alva menoleh perlahan menghadapkan wajahnya ke arah Roy. Mata Roy membulat ketika melihat ada cairan merah di sudut bibir Alva. Tangannya bergetar, semua ini