Elena memperhatikan kedua orang yang sedang menyantap sarapan paginya. Kekhawatiran sedang dirasakan Elena, tapi di lihat dari raut wajah Erick yang duduk di depannya dan juga Alva yang berada di sampingnya mereka tampak baik-baik saja bahkan terlihat menikmati.
“Boleh aku tambah ayamnya?” tanya Alva.
“Hm?” Elena sontak menoleh. “Oh tentu, biar aku ambilkan.” Elena mengambil potongan ayam itu dan menyimpannya ke dalam piring Alva. Alva kembali melahap makanannya, Elena senang melihatnya sampai ia lupa dengan makanannya sendiri. Sungguh Elena merasa lega karena apa yang disediakan dapat diterima seperti ini.
“Va jangan lupa sore ini,” ucap Erick yang menyadarkan Elena akan keterpanaannya memandangi Alva. Alva menimpalinya hanya dengan anggukan, ia pun kembali menoleh pada Elena yang rupanya juga sedang menoleh ke arahnya.
“Di butik masih sibuk?” suara Alva mengerjapkan mata Elena, Ia pun mengalihk
Gara-gara permintaan menyebalkan itu, Elena enggan untuk beristirahat. Kalau tidak Mei yang menyuruhnya mungkin ia akan terus bekerja. Alva membuatnya malu, bisa-bisanya ia nekat melakukan itu. Keterlaluan, sungguh ia tak nyaman.Elena hendak memencet sandi unitnya, namun ia berbalik dan menatap tajam pintu unit yang ada di depannya itu. Apa aku harus memarahinya sekarang?Setelah melakukan pertimbangan singkat, ia pun berjalan mendekat ke arah pintu unit Alva. Ia memencet bel dan mengetuk pintu.Dia ada di unitnya kan? Apa lagi-lagi dia sedang berada di ruang musiknya?Pintu unit Alva tak kunjung terbuka padahal ia sudah memencet dan mengetuk pintu beberapa kali, Elena pun berbalik dan segera membuka pintu unitnya dengan tergesa. Pintu terbuka dan apa yang ia harapkan tak terjadi. Tak ada sepatu yang berada di dekat pintu. Sepatu milik Erick biasanya, karena kalau Alva sendiri selalu mengenakan sandal rumahnya dan langsung masuk menggunakan sandal itu.
Dinding lift yang dingin menjadi sandaran tubuh Alva. Percakapan Roy dan Rosie malam itu kembali terngiang di telinganya mengingatkan Alva akan rencana yang beberapa hari lalu ia sepakati bersama Erick. Pencarian akan siapa ibu kandungnya.“Va, tentang masa lalu lo…” Secara kebetulan Erick mengatakan apa yang sedang Alva pikirkan saat ini. “Apa lo punya orang yang bisa lo tanyain, tentunya yang bisa lo percaya,” lanjut Erick.“Belum ada langkah yang gue ambil sampai sekarang,” jawab Alva karena memang ia belum melakukan apapun untuk pencarian siapa perihal orang tua kandungnya itu.Suara getaran ponsel terdengar. Alva yang merasakan getaran dari saku celananya langsung merogoh benda itu. Alva kembali memalingkan wajahnya malas ketika melihat siapa yang sedang menghubunginya. Erick melirik ke arah layar kecil yang masih menampilkan nama seseorang di sana.“Bokap lo?”“Hm,” jawab Alva
Elena kembali dari dapur dengan nampan yang berisi minuman untuk disuguhkan pada Alva dan Erick. Namun, ia melihat Alva maupun Felic masih berdiri dengan saling diam. Beberapa saat lalu perbincangan kedua orang itu Elena dengar dan memang merupakan topik yang cukup serius.“Ayo duduk dulu.” Alva dan Felic menoleh ke arah Elena dan mengikutinya bergabung dengan Erick yang sudah sejak tadi pada sofa panjang itu.“Makasih cantik pasti ini enak banget,” kata Erick yang mengambil salah satu gelas yang Elena simpan di atas meja. Alva melihat Erick yang mengerlingkan matanya jahil ke arah Elena dan hal itu membuat Alva sedikit kesal. Elena tersenyum atas apa yang Erick ucapkan.Elena duduk pada single sofa yang tak jauh dari sofa panjang yang di duduki Alva, Erick dan Felic. Mata Elena melirik Alva dan Felic bergantian. Perbincangan itu belum berlanjut lagi. Sepertinya ia perlu memberikan ruang hanya untuk Alva dan Felic agar perbincangan periha
Felicia mendekatkan kursinya dengan kursi yang ditempati Alva. Ia memperhatikan wajah Alva dari dekat. Mendengar permintaan Alva barusan membuat Felic ingin menggoda kakaknya itu.“Sejak kapan kakak kesulitan menaklukan hati perempuan?” Felic bertanya masih dengan posisinya dekat dengan Alva. Alva menempelkan telunjuknya di kening Felic dan memundurkan wajah itu.Setahu Felic kakaknya ini selalu mudah mendapatkan seseorang yang ia inginkan, bahkan malah mereka yang mengejarnya bukan Alva yang sengaja mencari. Hidup menjadi seorang model menjadikan Alva dikenal banyak orang dan banyak yang menyukainya. Banyak juga dari teman-teman Felic yang menanyakan banyak hal tentang Alva, terkadang ia lelah menjadi adik seseorang yang terkenal dan didambakan banyak orang seperti Alva.“Tak semudah itu mendapatkan Elena, untuk itu Kakak butuh bantuan kamu,” kata Alva yang mulai memakan sarapannya.“Jangan bilang Kakak tertarik karena dia s
Alva maupun Roy masih berdiri di tempatnya. Alva memusatkan perhatiannya ke arah lain, sedangkan Roy menatap nanar putranya.“Ya, Rosie bukanlah ibu kandungmu. Tapi dia yang merawatmu sejak kecil hingga dewasa Alva.” Roy melangkah mendekat menyimpan tangannya di pundak Alva. “Dia sangat menyayangimu, dia menganggapmu seperti anak kandungnya sendiri,” tutur Roy yang mencoba memberi pengertian pada Alva.“Dia hanya gila akan reputasi, bukan menyayangiku.” Plak! Suara nyaring itu terdengar, tangan Roy lolos melayangkan tamparannya. Ucapan Alva sangat ia tak sukai. Posisi wajah Alva menoleh ke arah samping karena tamparan keras Roy pada wajahnya.“Jangan sembarangan kamu kalau ngomong, kamu tidak akan menjadi sesukses ini tanpa dirinya,” suara tinggi itu menggema. Alva menoleh perlahan menghadapkan wajahnya ke arah Roy. Mata Roy membulat ketika melihat ada cairan merah di sudut bibir Alva. Tangannya bergetar, semua ini
Wajah tampan menyebalkan itu masih ia pandangi, permintaan Alva tak Elena hiraukan. Ia terus mengobati sudut bibir pria itu. Alva hanya diam menikmati wajah Elena dari dekat, tak ada ringisan yang ia keluarkan walaupun sudut bibirnya terasa perih.“Apa yang terjadi sebenarnya?” Suara pelan Elena terdengar jelas dipendengaran Alva karena jarak mereka begitu dekat.“Tidak ada apa-apa,” jawab Alva tanpa pikir panjang. Elena melirikkan matanya, membalas tatapan Alva.“Ceritalah, siapa tahu aku bisa membantu,” kata Elena yang kini mulai menjauh karena pekerjaannya sudah selesai. Elena merapikan kotak obat itu dan menutupnya kembali.“Kamu mau bantu?” tanya Alva menolehkan wajah Elena. Anggukan Elena berikan dan mulai berdiri menghadap Alva.“Jika aku mampu melakukannya, aku akan berusaha untuk bisa membantumu,” tutur Elena. Senyum Alva terbit, ia berdiri dari duduknya dengan kedua tangan
Elena mengeluarkan tawanya, tawa yang sangat dibuat-buat. Apa yang Andres katakan sebelumnya membuat Elena gugup setengah mati. Teman tapi mesra? Apa iya? Elena merasa tidak bersikap seperti itu terhadap Alva. Tapi kalau tidak, kenapa dirinya segugup ini? “Bukannya itu judul sebuah film?” kata Elena menganggapnya candaan. Andres terkekeh, rupanya Elena seru juga di ajak mengobrol seperti ini. Bincang singkat itu terhenti, saat di mana sang model sudah kembali siap dengan busana yang berbeda. Elena kembali memperhatikan proses pengambilan gambar itu, matanya menatap intens wajah Rachel yang entah kenapa semakin ia melihatnya dengan seksama, wajah itu semakin mirip dengan Alva. “Pemilihan model yang bagus,” suara itu membuat Elena menoleh ke arah samping. Dimana ia melihat keberadaan Rosie dengan jarak beberapa langkah dari tempatnya. Rosie sedang berbincang dengan Mei yang berada di sampingnya. “Rachel satu agensi dengan Alva, mereka juga pernah berada
Nomor tujuan itu masih belum bisa dihubungi. Alva mencobanya beberapa kali tapi tetap saja nomor ponsel Elena belum aktif. Kakinya berjalan ke sana kemari tak bisa diam, membuat Mei maupun Reno geleng-geleng melihatnya.“Dia lagi asik sama temen-temennya Va, biarlah,” ucap Mei entah yang keberapa kali berusaha menenangkan Alva yang uring-uringan.“Tapi apa harus gak bisa dihubungi gini?” katanya. Mei menahan senyumnya melihat keponakannya ini yang sepertinya sudah tak bisa jauh dari Elena.“Kasih dia waktu buat main sama teman-temannya Va, lagi pula ini pertama kalinya loh Elena jalan bareng mereka.” Reno yang mendengar itu sontak menoleh pada Mei.“Serius Tan?” tanyanya yang tak percaya. Anggukan Mei berikan.“Elena selalu langsung pulang setelah pekerjaannya selesai, ia lebih memilih istirahat di rumah daripada ikut jalan sama yang lain. Padahal sudah bisa dikatakan lama mereka bersama. Tapi s