Share

Benarkah Pras Tidak Melakukannya?

“Apa yang ingin kamu bicarakan? Cepatlah, aku harus segera pulang.” Raisa menatap lamat-lamat pria di depannya.

“Aku minta maaf, Raisa ....” Pras berkata pelan dan langsung disambar oleh Raisa sebelum pria itu merampungkan ucapannya. Perih hati Pras.

“Kamu tidak perlu minta maaf.” Raisa berusaha tegar, menatap jauh ke samping kanan. Memandang kosong lalu lalang kendaraan di atas aspal yang terpanggang matahari. Sebenarnya, cappucino dingin di depannya terlihat sangat menggoda di cuaca panas seperti ini, tapi entahlah, tiba-tiba dia tidak berselera walau hanya sekadar menyentuhnya.

“Dengarkan penjelasanku ....”

“Semua sudah jelas, Pras. Aku sudah menjadi istri orang lain. Apa lagi yang kamu harapkan dariku?” Raisa menatap Pras dengan mata berkaca-kaca. 

Sakit rasanya saat wanita di hadapannya tidak lagi memanggilnya dengan sebutan “Mas” seperti biasanya.

“Semua berita itu tidak benar, Raisa. Semuanya fitnah.”

“Kamu benar, wanita memang fitnah terbesar bagi pria.”

“Kamu harus tahu kebenarannya, Raisa ....”

“Dengan apa?” Raisa menatap lekat-lekat Pras. “Dengan mendengar ucapanmu? Bahkan tidak sulit bagiku untuk mengatakan bahwa besok akan kiamat.” Raisa sudah tahu masalah yang terjadi, yang dilakukan oleh Pras, bahkan ketika perempuan itu bertanya kepada orang tua Pras. Apa lagi yang perlu dijelaskan? Alasan-alasan? Tidak, Raisa bukan anak kecil lagi. Naif memang, ketika Raisa menolak penjelasan dari orang yang bersangkutan, tapi ... entahlah, semua tidak akan mengubah apa-apa lagi.

“Kamu tidak berpikir kenapa tersangka kasus pemerkosaan hanya dipenjara selama tiga bulan?” 

Deg, benar sekali. Kenapa tidak terpikirkan oleh Raisa tentang durasi singkat Pras di dalam penjara yang notabene tersangka kasus besar, kasus pemerkosaan. Bukankah tiga bulan itu ganjil? Ah, lagi-lagi rasa kecewa mensugesti hatinya bahwa saat ini semua bisa saja mungkin. Apalagi saat uang sudah mengintervensi, hukum dengan mudahnya goyah. Setidaknya begitulah yang Raisa ketahui di Indonesia.

“Saat ini semuanya mudah sekali, Pras ....” Raisa menelan ludah, matanya yang sejak tadi hanya mengembun kini mulai menggenang.

“Mungkin kamu akan percaya jika melihat video sidang terakhirku. Sidang yang menyatakan bahwa aku tidak bersalah. Sayangnya video tidak ada padaku saat ini.”

Raisa terdiam. Benarkah Pras tidak pernah melakukan pemerkosaan itu? Jika benar, Raisa telah melakukan kesalahan besar dengan mengambil tindakan salah. Tindakan yang akan menjadi penyesalan seumur hidupnya.

Raisa mengerjap-ngerjap yang seketika membuat air matanya merebak di antara pipinya. Terlihat Pras merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebungkus tisu kecil. Menariknya dua lembar lalu mengulurkan untuk mengusap air mata Raisa. Namun, segera Raisa mengangkat tangannya, menahan aksi romantis yang hendak dilakukan Pras. Pras tidak lagi berhak melakukan itu.

“Aku bisa sendiri ....” Raisa menyusut air matanya. Kemudian beranjak bangkit. “Aku harus pulang,” ucapnya tanpa menatap Pras. Perempuan itu berbalik badan meninggalkan Pras.

“Tunggu! Bagaimana dengan minumannya?” Pras ikut bangkit. Sebenarnya, dia ingin sekali berlama-lama duduk dengan Raisa. Ingin melepas rindu.

Raisa berhenti. Balik kanan. “Berapa?” tanyanya sambil merogoh tas untuk mengambil uang.

“Eh, bukan. Aku sudah membayarnya. Maksudku, kamu belum meminumnya sama sekali?”

“Aku tidak haus.” Raisa berbalik badan, melangkah. Pras sigap melangkah menyusul Raisa yang melangkah cepat.

“Apa lagi?”

“Biar aku antar,” tawar Pras. Langkahnya sudah sejajar dengan Raisa. “Aku mohon, Raisa.”

Raisa tidak menjawab.

“Aku anggap kamu setuju.” Pras tersenyum. Raisa menghentikan langkah dan menatap Pras. Baiklah, Pras, Raisa tidak akan berdebat lagi.

Sepanjang perjalanan kecanggungan menyergap dada masing-masing. Tidak ada suara, kecuali deru mesin dan desau angin saat menghantam wajah mereka. Raisa duduk di ujung jok seperti sebelumnya. Memegang erat behel motor.

Tiga puluh menit berlalu. Mereka sudah samping di rumah Raisa. 

“Terima kasih,” ucap Raisa, menatap Pras selintas lalu. 

Pria dengan seragam Gojek itu tersenyum, mengangguk pelan. Menatap Raisa yang melangkah menuju pintu rumah besar di depannya hingga hilang di balik pintu.

“Ehem.” Suara bariton itu mengagetkan Raisa. Perempuan berhijab itu menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Kun sedang duduk di sofa.

“Mas kapan pulang?” Raisa balik bertanya. Melangkah dan mengulurkan tangan untuk menyalami Kun. Namun, pria itu sama sekali tidak menggerakkan tangannya untuk menyambut uluran tangan Raisa.

“Kamu dari mana?” Kun bertanya dengan tatapan menohok. 

“Maaf, Mas. Aku sebenarnya sudah menelepon nomor Mas sebelum berangkat, tapi nomor Mas tidak bisa dihubungi,” terang Raisa gugup. Menundukkan kepala sambil meremas jemari.

“Harusnya kamu kirim pesan!” sergah Kun.

 Astaga, benar juga. Raisa teringat sudah mengetik pesan untuk izin pada Kun, tapi lupa mengirimnya setelah bertemu Pras. 

“Sudahlah!” Kun berlalu dari hadapan Raisa.

“Mas ....” 

Kun menghentikan langkah. Menoleh sedikit pada perempuan yang wajahnya menunyiratkan gurat bersalah. Raisa tidak menyangka keadaan menjadi semakin keruh, harusnya dia tidak keluar tanpa mendapat izin terlebih dahulu. Bukankah begitu seharusnya?

“Aku minta maaf ....” Raisa berkata pelan, menatap canggung Kun.

Kun berbalik badan, tersenyum manis. Namun, detik berikutnya senyum itu berubah menjadi menakutkan. “Kamu tidak perlu meminta maaf. Kamu bebas melakukan apa saja yang kamu mau. Dan aku ... aku juga bebas melakukan apa yang aku inginkan.”

“Ma-maksud Mas?” Raisa bertanya terbata, tidak paham. Tidak paham kenapa Kun berkata demikian. Kenapa hanya karena satu kesalahan Kun begitu mudahnya mengatakan kalimat yang begitu menyakitkan itu?

Kun sudah akan mengeluarkan kalimatnya ketika Sanjaya datang, menatap keduanya dengan heran.

“Ada apa?” tanya Sanjaya pada Kun, setelah sebelumnya melihat wajah Raisa. Sebelumnya Sanjaya medengar ada keributan kecil di ruang depan yang membuat tidur siangnya terusik.

“Tidak ada apa-apa, Pa. Hanya sebuah peringatan kecil untuk Raisa.” Kun tersenyum. Perubahan drastis terjadi ketika pria itu berbicara dengan Sanjaya.

“Peringatan apa, Kun?” Sanjaya tidak mengerti.

“Peringatan bahwa seorang istri harus izin terlebih dahalu sebelum keluar rumah.” Kun menatap sinis Raisa yang tidak kuasa beradu pandang dengannya.

Sanjaya menatap Raisa yang sedang menekuri lantai. Mengumpulkan kesabaran atas perlakuan Kun yang begitu menyakitkan itu. Bagaimana mungkin bisa dengan mudahnya Kun mengadu pada Sanjaya tentang masalah kecil seperti ini. Harusnya ini bisa diselesaikan dengan kepala dingin. Tidak perlu melibatkan orang lain, apalagi melibatkan Sanjaya yang merupakan mertua Raisa. Kun benar-benar membuat Raisa merasa harga dirinya jatuh.

“Aku minta maaf, Mas ....” Raisa berkata serak. Mendongak, memperlihatkan air yang mulai menggenangi netranya.

“Bagaimana dia mau minta izin sedangkan kamu tidak pulang selama tiga hari!” Sanjaya memandang Kun. 

Kun tidak habis pikir, kenapa Sanjaya selalu saja membela Raisa.

“Dia punya ponsel, Pa,” sergah Kun, volume suaranya tertahan.

“Ah, sudahlah. Ini hanya masalah sepele, Kun. Lupakan, dan bicarakan baik-baik. Jangan kekanak-kanakan seperti ini!” Sanjaya berlalu dari hadapan mereka. 

Kun mendengkus kesal, menatap punggung Sanjaya hingga menghilang dari balik pintu penghubung. Kemudian beralih pada Raisa yang masih mematung. “Kamu harus jelaskan tentang video ini!”

Raisa terenyuh. Mengernyit, tidak paham dengan maksud ucapan Kun yang mulai mengulurkan ponselnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status