Share

Perjanjian

Mata Sulaiman membulat melihat uang seratus juta teronggok di atas meja. Bukan pertama kali dia melihat uang sebanyak itu, tetapi dia merasa tidak percaya bahwa Kun ternyata tidak main-main dengan ucapannya tadi malam. Terbetik rasa penasaran dalam benakya bagaimana mungkin Kun bisa dengan mudahnya meminjamkan uang padanya yang terhitung orang miskin? Bagaimana kalau ia tidak mampu mengembalikannya? Bagaimana kalau ....

"Ini, Pak Sulaiman, silahkan diambil."

Sekali lagi, Sulaiman menatap Kun dengan tatapan penuh terima kasih sekaligus bingung hendak berkata apa.

"Ta-tapi saya tidak bisa berjanji kapan bisa mengembalikannya, Pak Kun," ucap Sulaiman terbata.

Kun tertawa kecil demi mendapatkan lelaki didepannya berkata ragu.

"Pak Sulaiman tidak perlu mengembalikannya."

Terkesiap Sulaiman mendapati Kun berbicara demikian. Matanya membelalak tidak percaya.

"Maksud ... Pak Kun?" tanya Sulaiman dengan dahi mengkerut.

"Bapak tidak perlu mengembalikan uang itu. Itu saya berikan percuma kepada Raisa sebagai mahar."

Senyum Sulaiman yang sejak tadi merekah, kini menguncup sempurna. Pikirannya berkecamuk, ternyata pria di depannya tidak sepenuhnya ikhlas membantunya yang sedang terjepit kasus piutang. Ada maksud lain di balik sikapnya yang begitu baik untuk membantu Sulaiman. 

"Maaf, Pak. Saya tidak begitu paham dengan maksud Pak Kun. Mahar?"

"Saya ingin menikahi putri Bapak."

"Tapi, Pak ...."

"Bapak tenang saja, saya serius ingin menikahi anak Bapak. Saya memang sudah lama ingin menikah, tapi belum menemukan calon yang cocok. Entah kenapa setelah melihat Raisa saya langsung jatuh cinta, dan ... saya rasa Raisa adalah wanita yang salihah."

Rasa tidak percaya masih menggelayuti pikiran Sulaiman. Melihat wajah pria di depannya, rasa ragu yang sebelumnya menyembul kini perlahan memudar. 

Kapan lagi bisa mempunyai menantu Kepala Desa? Apalagi Kun adalah anak dari keluarga orang terkaya di desa. Pendidikannya juga tinggi, menurut berita yang beredar pria itu menyelesaikan pendikikan pasca sarjananya di salah satu universitas di London.

Senyumnya perlahan kembali mengembang. Melihat gurat wajah Sulaiman yang berubah cerah, segera Kun menyambarnya dengan kalimat-kalimat meyakinkan.

"Uang itu saya berikan percuma kepada Bapak. Untuk mahar, saya akan serahkan setelah selesai akad nikah. Insya Allah dua kali lipat dari itu. Bukankah kata Nabi mahar semakin banyak maka semakin baik?"

Sulaiman terkejut bukan main. Kalimat Kun membuat Sulaiman semakin tergiur. Wajah legamnya berbingkai senyum. Tidak salah lagi, pria itu benar-benar memiliki paket komplit yang lebih dari layak untuk dijadikan menantu. Sulaiman menerawang jauh, jemarinya mengetuk-ketuk pahanya yang terbalut celana kain belel. Berpikir porspektif.

"Bagaimana, Pak?"

"Baik ... baik, Pak. Saya setuju." Senyum Sulaiman mengembang, matanya berbinar.

Akhirnya. Kun melempar senyum pada lelaki paruh baya di depannya yang akan segera menjadi mertuanya.

"Saya ingin secepatnya pernikahan ini dilaksanakan, Pak."

"Tentu, Pak, tentu."

Setelah berbincang beberapa kalimat, Kun akhirnya minta diri. Pria itu beranjak dari duduknya yang kemudian menyalami Sulaiman. Mengucapkan salam dan melangkah keluar. 

Di halaman rumah, pria itu secara kebetulan berpapasan dengan Raisa yang baru saja pulang dari warung. Kun tersenyum saat keduanya bersitatap. Raisa mencoba membalas tersenyum meskipun terlihat tanggung, kemudian menunduk dan masuk ke dalam rumah dengan langkah lebih cepat.

***

"Raisa, itu apa?" tanya Sulaiman setelah melihat amplop cokelat berserakan di atas meja. Sedang Raisa tengah menulis sesuatu di atas kertas folio.

"Buat lamar kerja, Pak. Kebetulan ada temen nawarin lowongan kerja." Raisa menoleh selintas lalu pada bapaknya yang berdiri di ambang pintu kamar, kemudian kembali melanjutkan tulisan yang belum selesai.

"Lamar kerja?"

"Iya, Pak. Raisa mau ngumpulin biaya untuk kuliah. Bapak pengen Raisa kuliah, kan?" Raisa kembali menolehkan wajahnya pada Sulaiman dengan senyum menyungging.

Sulaiman menegakkan badan yang sebelumnya bersandar pada kosen pintu, menghela napas. Perubahan itu begitu cepat. Kini ada sesuatu yang memberatkan hatinya untuk menyutujui Raisa untuk kuliah.

"Bapak mau bicara sebentar."

"Mau bicara apa?" Raisa menghentikan gerakan tangannya. Meletakkan pulpen di atas kertas folio. Memandang Sulaiman yang melangkah mendekat lalu duduk di bibir dipan.

"Kamu tidak perlu kerja atau kuliah," ucap Sulaiman pelan, menatap anak sulungnya dengan wajah serius.

Raisa mengernyit mendengar ucapan bapaknya tersebut. Benaknya meraba-raba apa yang terjadi sehingga membuat Sulaiman berkata demikian. Bukankah dia yang berkeinginan Raisa untuk melanjutkan sekolah? Apakah gara-gara utang yang belum mampu dia bayar? Namun, kenapa pula dia tidak memperbolehkan Raisa untuk bekerja?

"Maksud Bapak?"

"Pak Kun melamar kamu."

Jantung Raisa berdentam dengan ritme lebih cepat, tidak beraturan, ketika mendengar kalimat pendek bapaknya. Matanya membulat. Menolak percaya.

"A-apa?" Mata Raisa mengerjap, mulutnya bertanya tergagap.

"Bapak sudah menerimanya, Raisa."

Kalimat berikutnya membuat jantung Raisa seolah berhenti berdetak. Kepalanya tergeleng dengan bola mata yang perlahan mulai berkaca-kaca. Sungguh di luar dugaan, laki-laki yang paling di hormatinya telah melakukan tindakan yang sulit di percaya. Menerima lamaran pria yang sama sekali tidak dikenalnya dengan sepihak.

"Pak ... kenapa? Raisa belum mau menikah, Pak." Air mata itu merebak tanpa dapat dibendung. Suaranya serak menahan isak.

Sulaiman terdiam. Rasa tidak tega menyeruak. Rasa bersalah kini mengkungkung rongga dadanya. Harusnya dia meminta pendapat terlebih dahulu pada Raisa sebelum menerima pinangan Kun meski ia tahu Raisa adalah anak yang tidak pernah menolak perintah bapaknya.

Namun, keyakinan kuat bahwa pria yang akan menjadi suami Raisa adalah laki-laki yang akan membuatnya bahagia dengan segala yang dimiliki, membuatnya mensugesti hatinya agar menepis jauh-jauh rasa bersalah. Ia harus menjelaskan kepada Raisa tentang kelebihan-kelebihan Kun, tentu saja memendam dalam-dalam pasal uang seratus juta yang baru saja diterimanya.

"Dengarkan Bapak, Nak. Pak Kun itu pria baik-baik, pendidikannya tinggi, bibit botonya sangat jelas. Banyak sekali orang yang mengidamkan pria sepertinya untuk dijadikan mantu."

Raisa masih terisak, wajahnya kini menunduk menekuri lantai papan di bawahnya. Betapa pun hatinya memberontak dengan keputusan bapaknya, ia tidak akan bisa untuk mengeluarkannya meskipun hanya dengan kata-kata. Doktrin yang didapatnya sejak kecil untuk tidak melawan orang tua membuatnya selalu menurut apa yang orang tuanya inginkan selama masih dalam batas wajar dan tidak mangkir dari garis agama.

"Lagi pula, bapak tidak memiliki biaya untuk kamu kuliah. Bapak berpikir lebih baik kamu menikah saja. Salah satu dari lima perkara yang harus disegerakan adalah menikahkan anak gadis. Iya to?"

Raisa mendongak dengan sisa-sisa tangis masih merayapi wajahnya. Ia menatap bapaknya lamat-lamat. Kulit wajah Sulaiman yang mulai menampakkan garis-garis kentara tanda usia sudah senja membuat Raisa selalu merasa kasihan. Raisa memejamkan mata yang seketika membuat bulir bening melesat merayap di antara pipinya.

Kamar 3x3 meter itu lengang.

"Maafkan bapak, Raisa."

Sulaiman menunduk. Memejamkan mata sebelum akhirnya mendongak untuk melontarkan kalimat dengan ragu.

"Bapak ... bapak bisa batalkan kalau kamu gak mau nikah sama Pak Kun."

Raisa mendongak untuk melihat wajah Sulaiman ketika mendapati kalimat itu. Mata laki-laki paruh baya itu terlihat kuyu, bibirnya menyungging tipis membentut kerutan di atasnya. Raisa tahu, kalimat itu terlontar karena besarnya kasih sayang. Sulaiman lebih memilih mengalah untuk anak-anaknya.

Rasa iba dan cinta pada Sulaiman mengalahkan segalanya. Betapa bapaknya harus menanggung malu jika membatalkan pernikahan yang telah disetujuinya? Belum lagi Raisa tersadar bahwa bapaknya sedang terhimpit hutang 100 juta yang harus segera lunas dalam tempo satu minggu. Sulit sekali, bahkan mustahil bagi mereka mendapat uang sebanyak itu dalam waktu seminggu.

Tiba-tiba gawai Raisa bergetar. Sebuah pesan masuk, membuyarkan lamunannya. Deretan angka tanpa nama yang mengirim pesan.

[Raisa, kenapa kamu ganti nomor? Berkali-kali aku coba hubungi tapi tidak bisa. Ini aku Pras]

Membaca sebuah nama di ujung kalimat, membuat rasa sakit menghimpit dadanya. Air mata kembali luruh saat pikirannya kembali mengulang potongan-potongan kisah menyakitkan yang disuguhkan oleh lelaki bernama Prasetya Nugraha.

Entah sadar atau tidak, bibirnya berucap, "Raisa mau, Pak." 

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status