Raisa masuk ke kamarnya. Wanita itu tersenyum lembut pada Kun yang tengah bergoler dengan mata terpatri pada layar ponsel di tangan. Sekilas Kun melirik Raisa, tanpa membalas senyuman.
Mendapati Kun semakin bersikap dingin, Raisa menelan ludah. Lalu perlahan menghampiri sang suami.
"Mas mau langsung tidur atau mau aku pijitin?" tanya Raisa.
"Tidak perlu," jawab Kun tanpa melihat sang istri.
Lagi, Raisa menyunggingkan senyum lembut meski sadar perhatiannya tidak akan mendapat balasan apa-apa selain tatapan dingin.
Sudah pukul sepuluh malam, Raisa harus segera tidur. Atau dirinya akan kesiangan. Besok pagi-pagi dia harus memasak untuk sarapan dan bekal Kun. Bi Imas sedang pulang kampung karena anaknya sedang sakit.
Raisa merebahkan tubuh di samping Kun, berjarak dua jengkal. Dada itu kembali berdebar. Rasa di mana hati Raisa direngkuh nyenyat saat menyadari bahwa dirinya dan Kun seperti orang asing. Bukan seperti sepasang suami istri.
"Pa, Kun tidak bohong, Pa," elak Kun sambil mengibaskan tangan di udara."Kamu pikir aku bodoh, hah? Aku tahu dari ayahmu kalau kamu tidak menginap di sana!" bentak Sanjaya dengan bibir gemetar menahan amarah.Kun terdiam begitu mendengar kalimat Sanjaya. Benar, dirinya tidak menginap di rumah ayahnya di kampung. Akan tetapi, dia menghabiskan malam di rumah Delila, sang istri siri.Sementara, di tempatnya berdiri, Raisa kembali harus menahan perih. Pikiran-pikiran negatif perlahan tumbuh berjejal memenuhi kepala."Pa, maaf. Kun memang tidak menginap di rumah Ayah. Kun menginap di rumah teman," ucap Kun pelan.Belum sempat Sanjaya mengeluarkan suara lagi, terdengar seseorang melangkah mendekati keduanya. Raisa tersenyum sambil menimang sebuah paper bag berisi bekal Kun yang sudah disiapkannya."Mas, kamu lupa membawa bekal." Raisa berkata lembut dan menyerahkan bekal di tangannya.Kun berusaha tersenyum pada Raisa, lalu m
"Kamu hamil?" tanya Sanjaya dengan gurat semringah. Senyumnya terkembang lebar.Mendapatkan tebakan sang mertua Raisa buru-buru membulatkan mata. Ini adalah kekeliruan. Raisa seketika merasa dilema. Bingung hendak menjelaskan apa. Semua jawaban akan membuat Sanjaya kecewa.Tidak mungkin Raisa mengiyakan pertanyaan Sanjaya, tapi dia juga tak mungkin mengatakan pada sang mertua jika dirinya mengidap penyakit itu.Raisa membeku dengan pikiran berkecamuk ketika sebuah notifikasi berbunyi. Ojek online pesanannya sudah berada di depan."Pa, aku pamit. Sudah ditunggu sama ojeknya," ucap Raisa sambil mendekat dengan mengukurkan tangan."Kamu naik ojek?" Sanjaya menaikkan alis."Iya, Pa."Pria setengah baya itu berdecak. "Seharusnya kamu diantar oleh Kun!""Tidak apa-apa, Pa. Kalau begitu aku berangkat," ujar Raisa lalu berderap pergi."Hati-hati!" Sanjaya mengingatkan.Sambil melangkah, Raisa menoleh dengan senyum tersung
"Assalamualikum." Raisa berderap menuju sang bapak dengan senyum lembut. "Waalaikum salam. Ada apa, Nduk? Apa yang terjadi?" tanya Sulaiman dengan wajah heran bercampur cemas. Raisa mengernyit melihat Sulaiman. Duh, Bapak pasti khawatir karena Raisa ke rumah sendirian, batin Raisa. Raisa kembali tersenyum. Wajahnya semringah, menunjukkan bahwa tidak ada yang terjadi dengan rumah tangganya. "Raisa kebetulan ke kantor desa antar hape Mas Kun, Pak. Jadi, ya mampir ke sini," jelas Raisa. Sulaiman akhirnya bisa tersenyum. Lalu mengajak Raisa masuk. Rasa damai seketika membasuh hati Raisa. Penat dan letih dengan kehidupan rumah tangganya, seketika lindap. Seandainya bisa, Raisa ingin kembali ke masa di mana dirinya masih lajang, ingin berlama-lama menikmati aroma ketenangan ini. Tidak ada rasa sakit. Tidak ada kecewa. Tidak ada ... Kun. "Nesha sama Zidan di mana, Pak?" Raisa bertanya sambil berjalan. Matanya mengedar p
Raisa buru-buru bersiap ketika dikabarkan bahwa Kun berada di rumah sakit. Pria itu mengalami kecelakaan Subuh tadi."Ada apa, Raisa?" tanya Sulaiman. Pria itu menghampiri Raisa saat mendengar suara Raisa berbicara dengan suara panik."Aku harus pulang, Pak. Mas Kun kecelakaan," ucap Raisa dengan air muka cemas.Sulaiman terkejut begitu mendengar penuturan anaknya. Cemas juga menggantungi wajah lelaki setengah baya itu."Kecelakaan? Kenapa bisa?" tanya Sulaiman.Raisa menggeleng. Tidak tahu. Bi Imas tidak menceritakan apa-apa. Yang perempuan itu katakan bahwa Kun sedang tidak sadarkan diri hingga saat ini."Raisa pamit, Pak. Assalamualikum," ucap Raisa sambil mengulurkan tangan."Waalaikum salam. Hati-hati, Nduk."Raisa menunggu ojek online yang dipesannya. Syukurlah dia dengan cepat mendapatkan ojek di hari yang masih pagi ini.Tak lama kemudian, ojek yang dipesan datang. Segera Raisa meminta sang driver agar mema
Delila menghambur ke arah Kun dengan mata berkaca-kaca. Raisa yang tadinya tersenyum menyambut kedatangan Delila, seketika meredupkan senyum itu. Kepalanya digelantungi tanda tanya."Mas, tidak apa-apa?" tanya Delila dengan air mata perlahan menyembul dari sudut mata.Kun mengalihkan pandangan pada Raisa yang membeku tidak paham dengan apa yang disaksikannya.Kun panik. Bagaimana kalau Raisa curiga? Tidak. Rasa penasaran sudah terpahat jelas di wajah Raisa. Raisa pasti berpikir macam-macam tentangnya."Delila, kamu datang dengan suami kamu?" Kun balik bertanya. Sorot matanya mengintimidasi. Meminta agar Delila menghentikan aksi bodohnya di depan Raisa.Delila terdiam sejenak. Sebenarnya dia benci dengan semua sandiwara ini. Dengan segala kenyamanan bersama Kun selama ini, membuatnya perlahan berniat untuk menjadi satu-satunya istri Kun.Namun, dia harus bersabar. Jika saat ini dia membeberkan semuanya, bukan hanya Raisa yang pergi, tap
"Raisa, apa kabar?" tanya Ben, masih dengan senyum lebar. Pandangannya hanya sekilas tertuju pada pria di atas kursi roda. Setelah itu, Ben kembali lagi menumbuk tatapan pada perempuan di depannya. Sungguh, dia sangat merindukan Raisa, sudah lebih empat tahun sejak saat yang menyakitkan itu. Ah, sudahlah! Lupakan semuanya!"Alhamdulillah baik, Kak Ben. Bagaimana dengan Kak Ben?" Raisa balik bertanya, kini senyumnya tidak selebar sebelumnya. Ya, dia harus menjaga sikap, ada Kun di dekatnya."Aku baik. Sangat baik, Raisa.""Alhamdulillah. Oh iya, perkenalkan ini suamiku," ucap Raisa sambil menunjuk dengan wajah pada Kun yang terduduk."Ah, ya." Senyum Ben perlahan meredup, berubah senyum tipis dan getir. "Aku baru tahu kalau kamu sudah menikah, Raisa."Ben memindah pandangan pada pria di atas kursi roda. Mengulurkan tangan untuk menyalami sambil berseru pelan, "Beni."Namun, beberapa saat, Kun hanya membiarkan tangan yang terjulur itu mengamba
Keterkejutan tidak hanya terpahat di wajah Dokter Farah. Namun juga Kun. Pria itu pucat pasi begitu pandangannya berserobok dengan pandangan dokter muda tersebut.Kepala Kun dijejali beragam tanda tanya. Bagaimana dokter yang menangani keluhan Delila bisa kenal dengan Raisa? Bagaimana bisa mereka terlihat begitu akrab? Lalu benaknya seketika diserang rasa khawatir dan takut berkecamuk. Ini akan menjadi petaka baginya dan rumah tangganya dengan Raisa.Kun segera menghindari kamera. Sedangkan Raisa mengernyit dengan rasa penasaran mencuat atas apa yang baru saja disaksikannya. Kenapa mereka berdua terlihat begitu terkejut?"Mbak?" panggil Raisa.Dokter Farah segera terbangun dari keterkejutannya. Buru-buru wanita itu meminta diri untuk mengakhiri panggilan."Raisa, aku ada pasien. Kita lanjut lain kali saja, ya.""Oh, iya, Mbak. Semangat, ya," kata Raisa dengan senyum tulus.Sambungan telepon terputus. Raisa berbalik, menatap sang
Dokter Farah terkesiap ketika Kun menyodorkan koper disesaki uang ratusan ribu. Bukan karena melihat uang itu? Bukan. Benaknya kini dapat menvonis Kun lelaki seperti apa. Lelaki yang dengan mudahnya menggunakan harta sebagai alat untuk mencapai segala keingingan. "Bagaimana, Dokter?" tanya Kun sekali lagi dengan begitu percaya diri. Dokter Farah hanya memaku tatapan, tidak memberikan reaksi apa-apa, membuat Kun seketika dihinggapi rasa ragu. Ragu jika dokter di depannya tidak menerima tawaran. "Jika kurang, saya bisa menambahnya, Dokter," imbuh Kun dengan gurat penuh harap. Dokter Farah menatap pria di hadapannya dengan datar. Benaknya telah bergelut dengan ragam opini, kini dia merasa harga dirinya diinjak-injak. Berani-beraninya Kun menyamakan dirinya dengan kebanyakan manusia di luar sana yang akan mudahnya disogok dengan seonggok uang. "Pak Kun, apakah Anda selalu seperti ini untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan?" Dua net