Share

Rahasia Kun

Raisa segera melangkah menuju kamarnya setelah memberikan teh tawar pada Sanjaya, mertuanya. Dengan perasaan bimbang, perempuan itu meniti satu-persatu tangga menuju lantai dua. Perempuan itu berhenti di depan kamar, kembali mengingat suara erangan, baju Delila yang kancing bagian atasnya tidak terpasang, serta tingkahnya yang gugup saat bertemu Raisa. Apa mungkin Kun ... ah, Raisa segera menepis pikiran itu untuk kesekian kalinya.

Perempuan itu mulai membuka pintu kamar dan masuk. Alangkah leganya saat matanya menangkap Kun tengah berbaring di atas kasur sambil memainkan ponsel. 

Sejak kapan Kun berada di dalam kamar? Ah, itu tidak penting. Yang penting saat ini adalah dugaan-dugaan negatif yang sejak tadi menderanya tidak benar-benar terjadi.

“Mas ke mana?”

“Aku?”

“Iya. Siapa lagi? Memangnya aku bicara dengan siapa lagi?”

Kun mengernyit, menatap sang istri lamat-lamat.

“Bukannya aku ada di depan kamu?”

“Iiih, tadi Mas ke mana? Aku mencari Mas ke mana-mana, Mas tidak ada.”

“Yakin sudah dicari ke mana-mana?”

Raisa berfikir sejenak, kemudian menyengir. Dia memang tidak menelusuri setiap ruang rumah megah itu.

“Sudahlah, aku maut tidur.” Kun meletakkan ponsel di atas nakas yang tidak jauh dari kepalanya, lalu menarik selimut memunggungi Raisa. Raisa hanya menatap Kun sebelum akhirnya teringat sesuatu.

“Mas ....”

“Apa lagi?” Kun menyahut dengan posisi tidak berubah, tanpa menoleh ke arah Raisa.

“Mas belum salat Isya. Sebaiknya mandi dulu, habis itu salat.”

“Nanti saja.” 

“Nanti kapan, Mas?”

“Isya waktunya panjang, Raisa.”

“Tapi, bagaimana kalau tidak bangun sampai Subuh?”

Tidak ada jawaban. Raisa mencoba memanggil suaminya dengan sedikit goncangan pelan di bahu. Namun, pria itu bergeming. Ingin mencoba lagi menggoncang lebih keras, tapi ia urungkan khawatir jika Kun marah dengan kelakuannya. 

Raisa menarik napas letih, berbaring dan menarik selimut. Berharap jika Kun benar-benar bangun sebelum Subuh untuk menunaikkan salat Isya yang tertunda.

***

Malam terasa begitu singkat. Terdengar suara azan Subuh mendayu-dayu dari toa-toa masjid. Saling sahut. Raisa terbangun oleh suara-suara syahdu itu. Mengucek-ngucek mata untuk menghilangkan sisa kantuk ketika sudah bangkit duduk. Tergopoh menyibak selimut saat teringat Kun belum salat Jsya. Lihatlah, laki-laki itu masih meringkuk nyaman di peraduan.

Sudah terlambat, waktu Isya sudah berlalu.

“Mas ....” Raisa berseru dengan menggoyang-goyang tubuh Kun pelan. Laki-laki itu hanya menggeliat, semakin meringkuk dan merapatkan selimut.

“Mas, bangun. Sudah Subuh.” Raisa mendekatkan suaranya ke telinga Kun. Namun, Kun bergeming. Raisa akhirnya turun dari ranjang untuk melangkah ke kamar mandi. Nanti dia akan mencoba membangunkan Kun lagi setelah selesai berwudhu.

Beberapa menit berlalu, Raisa kembali mendekat pada Kun untuk membangunkannya lagi.

“Sudah Subuh, Mas. Mas, bangun.” Masih dengan suara pelan dan guncangan-guncangan kecil. 

“Mas juga tidak shalat Isya.” Kali ini volume suara itu semakin meninggi. Namun, tetap dengan nada yang lembut. Samar senyum Raisa tersungging saat Kun mulai menyibak selimut dan bangkit duduk.

“Mas ....”

“Kenapa kamu cerewet sekali?!” bentak Kun. 

Bukan ucapan terima kasih atau ucapan-ucapan mesra layaknya pengantin baru yang didapat Raisa, tapi kalimat pedas yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Perih rasanya, hanya bisa menatap canggung sang suami dengan mata berkaca-kaca.

Kenapa? Raisa yang memang tidak kenal dengan sifat asli Kun, hanya bisa menelan ludah. Sedikit tersibak bagaimana watak asli laki-laki yang baru sehari semalam menikahinya itu.

Kun menunduk dan menyugar rambutnya kasar. Sedikit menyesal karena telah membuat wanita itu merasa ketakutan. Sejurus kemudian, Kun beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

***

Pagi hari saatnya Raisa menyiapkan hidangan sarapan pagi. Terbetik pertanyaan dalam benak perempuan itu, kenapa rumah sebesar ini tidak ada pembantu? Lalu, siapa yang selama ini menyiapkan makanan untuk Sanjaya? Delila, wanita itu bukan pembantu. Dia seorang caregiver yang memiliki tugas berbeda.

Kun sejak tadi mencari Raisa, dan akhirnya menemukannya sedang berkutat dengan peralatan masak di dapur. Kun mengamati isterinya yang sangat lihai memainkan alat-alat itu. Berbeda dari kebanyakan wanita-wanita kota.

“Ehem ....”

Sedikit terkejut Raisa mendengar deheman dari arah belakang. Matanya menangkap Kun sedang bersandar pada kosen pintu penghubung saat menoleh ke belakang.

“Mas?” Raisa menyapa Kun sambil tersenyum. Kun hanya tersenyum tipis, melangkah ke arah sang istri.

“Kamu bisa masak?” tanya Kun.

“Alhamdulillah bisa, Mas. Sedikit-sedikit.”

“Besok Bi Imas mungkin baru bisa bekerja lagi.”

“Bi Imas?”

“Iya, dia pembantu yang izin cuti karena anaknya sedang sakit.”

Raisa tersenyum sekilas.

“Aku ... minta maaf.”

“Untuk?” Raisa menghentikan gerakan tangannya, menoleh ke arah sang suami dengan alis terangkat. Menahan senyum yang sepertinya akan mengembang karena rasa gembira mengisi rongga dada.

“Ucapanku yang tadi,” ucap Kun.

Raisa manggut-manggut tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, berbalik badan, kembali berjibaku dengan peralatan masak.

“Raisa ....”

“Hemmm?”

“Kamu membuatku menunggu, Raisa.”

Kembali Raisa menoleh ke arah Kun. “Aku sudah memafkanmu, Mas. Tapi....”

“Tapi apa?”

“Kamu sudah meminta maaf sama Tuhan, Mas?”

“Untuk?”

“Mas sudah mengganti Salat Isya yang sengaja Mas tinggalkan?”

Kun mengangguk-anggukkan kepala. Paham dengan maksud ucapan Raisa.

Raisa berbalik badan, melanjutkan mengiris-iris bawang yang sempat tertunda. “Salat bukan hanya kewajiban, Mas, tapi kebutuhan bagi kita. Jadi ....”

“Oke, oke. Aku akan segera menggantinya, Raisa.” Kun mengangkat tangan. Menyerah dan berharap Raisa menghentikan celotehannya yang terus memojokkan Kun.

Raisa melirik Kun yang sudah berlalu dari hadapannya. Wanita itu tersenyum memandang punggung sang suami hingga menghilang di balik pintu penghubung. Semoga Kun tidak lagi enteng meninggalkan Salat, harap Raisa.

***

Kun sedang merebahkan tubuh di kursi malas di dalam kamarnya ketika tiba-tiba Delila masuk dan membuat Kun panik. Pria itu tergopoh bangkit dengan mata celingukan menatap ke arah luar kamar. Berharap Raisa tidak melihat keberadaan Delila.

“Delila, mau apa kamu ke sini?”

“Aku sudah tidak bisa nunggu lagi, Mas. Kapan Mas mau menikahi aku?”

“Astaga, Delila! Kenapa kamu tidak bisa sabar sedikit saja?”

“Sabar?” Delila menatap lekat Kun dengan mata mulai berkaca-kaca. “Aku tidak bisa sabar lagi, Mas!”

“Oke, oke. Aku akan menikahi kamu setelah menemukan rumah untuk kamu tinggali.”

“Rumah?” Mata Delila berbinar mendengar ucapan Kun.

“Iya. Sekarang kamu keluar. Jangan sampai Raisa melihat kamu di sini. Nanti kita akan bicarakan lagi.” Kun mendorong pelan Delila agar segera keluar dari kamar Kun.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status