Share

Rahasia Kun

Author: Haris Fayadh
last update Last Updated: 2021-08-05 16:35:02

Raisa segera melangkah menuju kamarnya setelah memberikan teh tawar pada Sanjaya, mertuanya. Dengan perasaan bimbang, perempuan itu meniti satu-persatu tangga menuju lantai dua. Perempuan itu berhenti di depan kamar, kembali mengingat suara erangan, baju Delila yang kancing bagian atasnya tidak terpasang, serta tingkahnya yang gugup saat bertemu Raisa. Apa mungkin Kun ... ah, Raisa segera menepis pikiran itu untuk kesekian kalinya.

Perempuan itu mulai membuka pintu kamar dan masuk. Alangkah leganya saat matanya menangkap Kun tengah berbaring di atas kasur sambil memainkan ponsel. 

Sejak kapan Kun berada di dalam kamar? Ah, itu tidak penting. Yang penting saat ini adalah dugaan-dugaan negatif yang sejak tadi menderanya tidak benar-benar terjadi.

“Mas ke mana?”

“Aku?”

“Iya. Siapa lagi? Memangnya aku bicara dengan siapa lagi?”

Kun mengernyit, menatap sang istri lamat-lamat.

“Bukannya aku ada di depan kamu?”

“Iiih, tadi Mas ke mana? Aku mencari Mas ke mana-mana, Mas tidak ada.”

“Yakin sudah dicari ke mana-mana?”

Raisa berfikir sejenak, kemudian menyengir. Dia memang tidak menelusuri setiap ruang rumah megah itu.

“Sudahlah, aku maut tidur.” Kun meletakkan ponsel di atas nakas yang tidak jauh dari kepalanya, lalu menarik selimut memunggungi Raisa. Raisa hanya menatap Kun sebelum akhirnya teringat sesuatu.

“Mas ....”

“Apa lagi?” Kun menyahut dengan posisi tidak berubah, tanpa menoleh ke arah Raisa.

“Mas belum salat Isya. Sebaiknya mandi dulu, habis itu salat.”

“Nanti saja.” 

“Nanti kapan, Mas?”

“Isya waktunya panjang, Raisa.”

“Tapi, bagaimana kalau tidak bangun sampai Subuh?”

Tidak ada jawaban. Raisa mencoba memanggil suaminya dengan sedikit goncangan pelan di bahu. Namun, pria itu bergeming. Ingin mencoba lagi menggoncang lebih keras, tapi ia urungkan khawatir jika Kun marah dengan kelakuannya. 

Raisa menarik napas letih, berbaring dan menarik selimut. Berharap jika Kun benar-benar bangun sebelum Subuh untuk menunaikkan salat Isya yang tertunda.

***

Malam terasa begitu singkat. Terdengar suara azan Subuh mendayu-dayu dari toa-toa masjid. Saling sahut. Raisa terbangun oleh suara-suara syahdu itu. Mengucek-ngucek mata untuk menghilangkan sisa kantuk ketika sudah bangkit duduk. Tergopoh menyibak selimut saat teringat Kun belum salat Jsya. Lihatlah, laki-laki itu masih meringkuk nyaman di peraduan.

Sudah terlambat, waktu Isya sudah berlalu.

“Mas ....” Raisa berseru dengan menggoyang-goyang tubuh Kun pelan. Laki-laki itu hanya menggeliat, semakin meringkuk dan merapatkan selimut.

“Mas, bangun. Sudah Subuh.” Raisa mendekatkan suaranya ke telinga Kun. Namun, Kun bergeming. Raisa akhirnya turun dari ranjang untuk melangkah ke kamar mandi. Nanti dia akan mencoba membangunkan Kun lagi setelah selesai berwudhu.

Beberapa menit berlalu, Raisa kembali mendekat pada Kun untuk membangunkannya lagi.

“Sudah Subuh, Mas. Mas, bangun.” Masih dengan suara pelan dan guncangan-guncangan kecil. 

“Mas juga tidak shalat Isya.” Kali ini volume suara itu semakin meninggi. Namun, tetap dengan nada yang lembut. Samar senyum Raisa tersungging saat Kun mulai menyibak selimut dan bangkit duduk.

“Mas ....”

“Kenapa kamu cerewet sekali?!” bentak Kun. 

Bukan ucapan terima kasih atau ucapan-ucapan mesra layaknya pengantin baru yang didapat Raisa, tapi kalimat pedas yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Perih rasanya, hanya bisa menatap canggung sang suami dengan mata berkaca-kaca.

Kenapa? Raisa yang memang tidak kenal dengan sifat asli Kun, hanya bisa menelan ludah. Sedikit tersibak bagaimana watak asli laki-laki yang baru sehari semalam menikahinya itu.

Kun menunduk dan menyugar rambutnya kasar. Sedikit menyesal karena telah membuat wanita itu merasa ketakutan. Sejurus kemudian, Kun beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

***

Pagi hari saatnya Raisa menyiapkan hidangan sarapan pagi. Terbetik pertanyaan dalam benak perempuan itu, kenapa rumah sebesar ini tidak ada pembantu? Lalu, siapa yang selama ini menyiapkan makanan untuk Sanjaya? Delila, wanita itu bukan pembantu. Dia seorang caregiver yang memiliki tugas berbeda.

Kun sejak tadi mencari Raisa, dan akhirnya menemukannya sedang berkutat dengan peralatan masak di dapur. Kun mengamati isterinya yang sangat lihai memainkan alat-alat itu. Berbeda dari kebanyakan wanita-wanita kota.

“Ehem ....”

Sedikit terkejut Raisa mendengar deheman dari arah belakang. Matanya menangkap Kun sedang bersandar pada kosen pintu penghubung saat menoleh ke belakang.

“Mas?” Raisa menyapa Kun sambil tersenyum. Kun hanya tersenyum tipis, melangkah ke arah sang istri.

“Kamu bisa masak?” tanya Kun.

“Alhamdulillah bisa, Mas. Sedikit-sedikit.”

“Besok Bi Imas mungkin baru bisa bekerja lagi.”

“Bi Imas?”

“Iya, dia pembantu yang izin cuti karena anaknya sedang sakit.”

Raisa tersenyum sekilas.

“Aku ... minta maaf.”

“Untuk?” Raisa menghentikan gerakan tangannya, menoleh ke arah sang suami dengan alis terangkat. Menahan senyum yang sepertinya akan mengembang karena rasa gembira mengisi rongga dada.

“Ucapanku yang tadi,” ucap Kun.

Raisa manggut-manggut tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, berbalik badan, kembali berjibaku dengan peralatan masak.

“Raisa ....”

“Hemmm?”

“Kamu membuatku menunggu, Raisa.”

Kembali Raisa menoleh ke arah Kun. “Aku sudah memafkanmu, Mas. Tapi....”

“Tapi apa?”

“Kamu sudah meminta maaf sama Tuhan, Mas?”

“Untuk?”

“Mas sudah mengganti Salat Isya yang sengaja Mas tinggalkan?”

Kun mengangguk-anggukkan kepala. Paham dengan maksud ucapan Raisa.

Raisa berbalik badan, melanjutkan mengiris-iris bawang yang sempat tertunda. “Salat bukan hanya kewajiban, Mas, tapi kebutuhan bagi kita. Jadi ....”

“Oke, oke. Aku akan segera menggantinya, Raisa.” Kun mengangkat tangan. Menyerah dan berharap Raisa menghentikan celotehannya yang terus memojokkan Kun.

Raisa melirik Kun yang sudah berlalu dari hadapannya. Wanita itu tersenyum memandang punggung sang suami hingga menghilang di balik pintu penghubung. Semoga Kun tidak lagi enteng meninggalkan Salat, harap Raisa.

***

Kun sedang merebahkan tubuh di kursi malas di dalam kamarnya ketika tiba-tiba Delila masuk dan membuat Kun panik. Pria itu tergopoh bangkit dengan mata celingukan menatap ke arah luar kamar. Berharap Raisa tidak melihat keberadaan Delila.

“Delila, mau apa kamu ke sini?”

“Aku sudah tidak bisa nunggu lagi, Mas. Kapan Mas mau menikahi aku?”

“Astaga, Delila! Kenapa kamu tidak bisa sabar sedikit saja?”

“Sabar?” Delila menatap lekat Kun dengan mata mulai berkaca-kaca. “Aku tidak bisa sabar lagi, Mas!”

“Oke, oke. Aku akan menikahi kamu setelah menemukan rumah untuk kamu tinggali.”

“Rumah?” Mata Delila berbinar mendengar ucapan Kun.

“Iya. Sekarang kamu keluar. Jangan sampai Raisa melihat kamu di sini. Nanti kita akan bicarakan lagi.” Kun mendorong pelan Delila agar segera keluar dari kamar Kun.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Elegi Cinta Raisa   Epilog

    Saat itu, setelah mendapatkan kecewa lagi dari perempuan yang sangat dicintainya, Ben langsung pergi begitu saja, tidak menghiraukan panggilan Raisa.Beberapa hari terakhir, pria itu juga tidak masuk kantor. Raisa semakin gelisah sebab nomor Ben tak dapat dihubungi.Raisa berjalan menuju sebuah rungan di mana Pras berada. Barangkali dia tahu di mana keberadaan Ben kini."Pak Ben tidak masuk kerja beberapa hari. Kamu tahu dia ke mana?""Ben sedang ke luar negeri. Aku tidak tahu pasti ada urusan apa," jawab Pras.Raisa tersenyum dan berterima kasih. Lalu dia berderap keluar ruangan.Waktu pulang tiba. Rasa penat yang mendera kian bertambah saat Dokter Farah menunjukkan sebuah foto.Raisa membekap mulut saat tiba-tiba dadanya terasa terhimpit."Ini Pak Ben, bukan?" Dokter Farah awalnya ragu untuk memberi tahu Raisa. Namun, jika mendiamkannya, sama halnya dengan mengkhianati Raisa.Raisa tak mampu berkata-kata, dia han

  • Elegi Cinta Raisa   Kecewa

    Ben tidak kuasa menahan cemburu saat Raisa bertemu Kun. Bayangan Kun ketika membingkai wajah Raisa bergelantungan di matanya. Kejadian empat hari lalu itu benar-benar membuat hatinya perih.Ben mendengkus, sebelum akhirnya Raisa masuk dengan membawa sebuah baki berisi segelas teh dan kudapan."Ada apa?" tanya Raisa. Perempuan itu mengambil posisi duduk di depan Ben."Tidak ada apa-apa, Raisa." Ben berbohong.Raisa mengangguk dengan senyum lembut tersungging. Kemudian dia berlalu dari hadapan Ben.Tadi pagi, Sanjaya mengabarkan pada Raisa jika Kun akan dibawa pulang besok. Berkat Raisa yang selalu datang menemui Kun, kondisi pria itu berangsur pulih.Sementara, Raisa merasa ragu untuk memberi tahu Ben jika setiap hari dirinya mengunjungi Kun. Takut pria itu cemburu.Setelah mempertimbangkan, Raisa memutuskan untuk tetap merahasiakannya pada Ben. Dia yakin sebentar lagi Kun akan kembali seperti sediakala dan dirinya tidak perlu mengunju

  • Elegi Cinta Raisa   Mengamuk

    Sanjaya semringah melihat Kun tersenyum. Sudah sangat lama dirinya tidak melihat sang anak segembira itu. Hampir setiap malam, Kun mengalami mimpi buruk.Lalu saat terjaga, maka yang selalu disebut adalah nama Raisa. Hingga sakit yang diderita Kun semakin parah dan tubuhnya semakin kurus.Beberapa psikiater sudah dikunjungi. Akan tetapi, tidak ada hasil signifikan. Semua menyarankan agar Kun dipertemukan dengan seseorang yang selalu disebutnya.Semakin hari, Kun semakin aneh. Nama Raisa selalu diracaukan olehnya. Terkadang, ketika melihat seorang wanita berhijab, maka dia tersenyum girang dan sambil berseru nama Raisa. Begitu mendekat, maka senyum itu menguncup."Raisa ...."Raisa yang sejak tadi melamun, menoleh ke arah Sanjaya di sampingnya. Menunggu kalimat lanjukan yang akan dikatakan oleh pria itu.Hari sudah hampir gelap. Sesuai janjinya, Sanjaya akan mengantar perempuan itu pulang."Terima kasih," ucap Sanjaya.

  • Elegi Cinta Raisa   Pria di Taman Rumah Sakit Jiwa

    Seorang diri, Ben termenung meratapi betapa sialnya nasibnya. Setelah sekian lama berjuang untuk mendapatkan cinta Raisa, dia kira semuanya akan berjalan mulus sesuai harapan. Nyatanya anggapannya meleset. Pada saat makan malam waktu itu, setelah kedua orang tuanya tau jika Raisa janda dan sudah memiliki anak, mereka dengan lantang mengutarakan ketidaksetujuan pada hubungan Ben dan Raisa. "Pokoknya Mama tidak setuju kamu menikah dengan Raisa!" Ben yang sudah melihat jejak tidak mengenakkan di wajah sang mama, menghela napas panjang. Dia menggeleng pelan dengan kepala terasa berdenyut. "Apa yang salah dengan dia, Ma?" Ben bertanya dengan suara keras dan dahi mengkerut, sekilas menatap sang Papa yang hanya menyimak dengan mata fokus pada layar televisi yang tengah menampilkan berita. "Apa kamu sudah tidak waras, Ben? Tidak adakah wanita yang masih gadis?" Perempuan itu menatap nanar wajah sang anak. Ben membuang napas. Dia sangat t

  • Elegi Cinta Raisa   Dua Pria Mencurigakan

    Raisa mematut diri di depan cermin. Saat ini, dia merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Ben akan memperkenalkan dirinya kepada orangtua pria tersebut. Entahlah, ini benar-benar membuat dia gugup.Setelah segalanya siap, Raisa menoleh kepada Nadia di dalam box bayi. Perempuan anggun itu menatap wajah polos sang bayi. Tiba-tiba berkelebat wajah pria yang sangat familier saat melihat sang anak. Ya, wajah bayi itu begitu mirip dengan Kun.Teringat kembali tentang permintaan Sanjaya dua hari lalu agar menemui Kun, Raisa merasa kepalanya berdenyut. Itu adalah kunjungan Sanjaya yang kedua kalinya dengan permintaan sama."Apakah Kun benar-benar sakit? Atau ini hanya akalan mereka saja?" Raisa memijit pelipis sebelum akhirnya sebuah ketukan pintu terdengar."Masuk," kata Raisa.Rahmi masuk dan langsung berkata, "Pak Ben menunggu di ruang tamu."Raisa mengerutkan kening lalu buru-buru melihat ponsel. Benar saja, ada dua panggilan tak terjawab d

  • Elegi Cinta Raisa   Inikah Karma?

    Raisa dan Ben memasuki sebuah restoran mewah bergaya Italia yang sudah terlihat ramai oleh pengunjung. Raisa berjalan di samping Ben yang kini memasuki lift. Keduanya tiba di lantai tiga tak lama kemudian berjalan menuju lift. Mereka menuju lantai tiga. Ruangan luas dengan dinding nyaris seluruhnya kaca itu tidak seramai di lantai dasar.Dari sana, Raisa dapat melihat kendaraan yang padat merayap di jalanan. Ben menuju meja di dekat kaca. Tak lama setelah mereka duduk, waiter datang dengan menyerahkan buku menu setelah sebelumnya menyapa dengan begitu ramah."Mau makan apa?" Ben bertanya, membuat Raisa yang sebelumnya melempar pandangan ke luar menoleh ke arah pria di depannya."Apa saja." Raisa menjawab sekenanya, lalu kembali mengarahkan pandangan pada semua objek yang tertangkap mata di luar.Ben mengembuskan napas, kemudian memberitahu waiter menu yang dia pesan."Kamu sepertinya lebih tertarik memandang keluar daripada ke sini," celetuk Ben.&n

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status