“Pakai ini!”
Kun melemparkan sepotong lingerie di depan Raisa yang sedang mengotak-atik ponselnya. Raisa mengernyit melihat pakaian aneh itu, pakaian yang tidak pernah terbayangkan untuk dikenakannya.
“Apa ini, Mas?”
“Aku ingin kamu mengenakannya setiap akan tidur.” Kun duduk di dekat Raisa seraya menjulurkan tangan untuk menyentuh wajah lembut perempuan itu. Namun, Raisa mengelak saat tangan itu tinggal beberapa senti dari pipinya. Senyum manis Kun seketika menguncup, menandakan bahwa dia tidak suka dengan sikap Raisa.
“Aku ... aku tidak biasa pakai itu, Mas.”
“Makanya harus dibiasakan mulai sekarang. Kamu akan terlihat cantik dengan pakaian itu, Sayang.” Kun tersenyum genit. Matanya yang tajam menatap lamat-lamat Raisa. Nafasnya mulai memburu menahan gejolak nafsu. Dada Raisa berdegup kencang saat nafas Kun menyapu wajahnya.
“Cepatlah, Sayang. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi!” suruh Kun, melonggarkan jarak wajahnya dari wajah sang istri.
Raisa menatap jam dinding di pojok kamar. Tanggung, waktu azan Isya sudah kurang sepuluh menit lagi. Tidak bisakah Kun bersabar barang sebentar saja?
“Apa tidak sebaiknya ... setelah Isya saja, Mas? Sebentar lagi azan. Tanggung.”
“Ck! Apa kamu mau salatku nanti tidak khusyuk?”
Baiklah, sepertinya suaminya itu benar-benar sudah tidak bisa menahan keinginannya. Raisa menurut. Bagaimanapun menuruti perintah suami adalah wajib selama perintah itu bukan suatu maksiat, sedangkan salat di awal waktu sunah. Wajib harus diprioritaskan.
Dengan canggung Raisa memakai pakaian itu. Rasa malu dan tidak pede jelas sekali terpampang dari wajah Raisa, dan itu membuat Kun semakin gemas terhadapnya. Kun ingin mengulang kembali menuangkan madu dalam cawan kosong Raisa yang tadi siang sempat gagal. Bukan, bukan gagal. Hanya saja tidak sempurna. Jauh dari sempurna.
***
Dengan perasaan kesal Kun melangkah keluar kamar. Terlalu berharap memang akan mengakibatkan rasa kecewa. Alih-alih mendapatkan kepuasan, kejadian tadi siang kembali terulang. Ada yang aneh dengan diri istrinya. Raisa sama sekali tidak menikmati proses malam pertama itu. Apakah masih terasa sakit? Bukankah itu adalah kedua kalinya mereka lakukan?
Kun menghisap dalam-dalam benda di ditangannya, kemudian mengembuskannya kasar. Menimbulkan kepulan asap putih menggantung di udara.
“Aaah!”
Kun membanting rokok yang baru saja dihisapnya, lalu menginjaknya dengan kasar. Pria itu bangkit dan beranjak dari dari balkon. Melangkah cepat menuruni tangga. Birahi yang tidak sempurna tersalurkan membuat emosinya mendidih.
Setelah berada di lantai dasar dan melewati satu petak ruangan, Kun menatap lekat sebentar sebuah pintu kamar yang sedang tertutup. Itu adalah kamar Delila. Kun menoleh ke belakang, memastikan Raisa tidak melihat ke mana dia saat ini. Setelah dirasa cukup aman, Kun melangkah menuju kamar Delila.
Sudah beberapa kali pintu diketuk, tapi Delila tak kunjung membukanya. Kemana dia? Apakah sudah tidur di jam segini? Kun kembali mengetuk sambil memanggil pelan nama Delila. Sesekali mengedarkan pandangan ke atas lantai dua, khawatir jika Raisa melihatnya.
Kun bernapas lega setelah pintu itu akhirnya terbuka. Delila tampak terkejut setelah melihat pria itu berdiri tanpa memakai baju, hanya mengenakan celena training.
“Mas ...,” serunya tertahan.
“Sssttt!” Kun menempelkan telunjuknya dibibirnya. Mengisyaratkan agar Delila tidak mengeluarkan suara apa-apa. Kemudian Kun masuk ke dalam kamar itu dan melancarkan aksinya yang sudah sebulan lamanya dirindukan Delila.
***
Malam semakin menua. Raisa sudah sangat mengantuk ketika melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
“Mas Kun di mana, sih?” gumamnya. Setelah mengeringkan rambut, Raisa memutuskan untuk mencari Kun. Ada rasa khawatir menyeruak ke dalam rongga dadanya. Meskipun Raisa tidak melihat wajah Kun yang kecewa karena tidak menuai kepuasan dalam malam pertamanya, tapi Raisa merasakan Kun berbeda saat meninggalkannya.
Pertama kali keluar kamar, Raisa bingung hendak mencari Kun ke mana di dalam rumah luas ini. Raisa melangkah menuju balkon, tidak ada. Setelah mengedarkan pandangan ke setiap koridor lantai dua, ada perasaan takut menyeruak karena rumah itu begitu sepi. Raisa akhirnya memutuskan untuk menuruni tangga guna mencari Kun di dapur. Raisa melangkah sambil menyerukan nama suaminya.
“Mas?” Suara pelan Raisa menggema memenuhi ruangan.
“Ehem ....” Terdengar deheman berat dari arah belakang Raisa yang sontak membuatnya menoleh ke arah sumber suara. Laki-laki di atas kursi roda tersenyum ketika Raisa berbalik. Raisa balas tersenyum dan melangkah menghampiri sang mertua.
“Eh, Papa belum tidur?” tanya Raisa lembut.
Sanjaya hanya tersenyum.
“Kamu mencari siapa?” Sanjaya menatap Raisa lamat-lamat.
“Mas Kun, Pa. Apa dia di dalam?” Mendengar ucapan Raisa, sanjaya terlihat mengernyit.
“Bukannya malam ini malam kalian?” goda Sanjaya, membuat wajah Raisa bersemu merah. Kemudian laki-laki itu tertawa kecil saat melihat Raisa menunduk malu-malu.
“Mas Kun keluar sejak sejam yang lalu, Pa. Saya kira dia bersama Papa,” ucap Raisa. “Papa perlu sesuatu?”
“Eh, sebenarnya Papa ingin memanggil Delila, mungkin dia lupa kalau Papa sudah memesan teh hangat tawar padanya.”
“Biar saya saja yang buatkan, Pa,” ucap Raisa.
“Em, asal kamu tidak sedang terburu-buru, Nak.”
“Maksud, Papa?” Raisa mengernyit, tidak paham.
Melihat Sanjaya tersenyum, kemudian Raisa paham dengan apa yang dimaksud oleh mertuanya itu. Untuk kedua kalinya, kedua pipi Raisa menimbulkan semburat warna merah karena malu. Namun, Raisa senang karena dia memiliki mertua yang cukup humoris.
Detik berikutnya Raisa minta diri untuk segera ke dapur. Sanjaya menatap punggung wanita itu lamat-lamat. Tersenyum saat kembali mengingat wajah widia, orang yang masih sangat dia cintai hingga saat ini. Seperti pinang di belah dua, wajah wanita itu benar-benar mirip dengan ibunya.
Raisa melangkah pelan sambil menyapukan pandangan ke setiap penjuru ruangan. Ia memasuki sebuah ruangan yang terdapat TV besar di dalamnya. Itu ruang keluarga. Di samping pintu penghubung dapur dan ruangan itu terdapat satu pintu kamar.
Sunyi menggantung di langit-langit ruangan, membuat derap langkah kaki Raisa terdengar jelas. Satu langkah dari pintu penghubung, sayup-sayup Raisa mendengar satu erangan dari dalam kamar yang berpintu putih di sampingnya. Raisa berhenti melangkah, mematung, dadanya berdentam-dentam tidak keruan.
Pikirannya tiba-tiba teringat akan Kun, sang suami. Namun, segera Raisa menepis pikiran negatif itu. Rasa penasaran membuatnya mendekatkan telinganya pada pintu kamar tersebut untuk memastikan dia tidak salah dengar. Akan tetapi, dia tidak mendengarkan apa-apa kecuali suara degup jantungnya yang seolah terdengar oleh gendang telinganya.
Cukup lama Raisa berada di dalam dapur, karena tidak menemukan air panas. Raisa melangkah dengan membawa teh tawar panas pesanan sang mertua. Ketika melewati pintu penghubung, Raisa dibuat terkejut saat seorang perempuan hampir saja menabraknya setelah keluar dari kamar itu dengan tergopoh.
“Ka-kamu ...? Delila gelagapan sambil memasang kancing yang tidak seluruhnya terpasang. Sedang Raisa meringis menahan perih karena terpercik air panas dari dalam gelas. Masih beruntung gelas yang dipegannya tidak terjatuh.
Raisa melirik ke dalam kamar, tapi segera Delila merapatkan pintu kamar tersebut. Ada yang aneh saat Raisa menangkap wajah Delila yang terlihat pucat.
“Ini untuk Pak Sanjaya?” tanya Delila.
Raisa mengangguk samar, benaknya masih penasaran dengan kejanggalan yang baru saja terjadi di hadapannya.
Raisa meneguk ludah. Benaknya kembali mengingat suara erangan yang tadi di dengarnya, lalu menghubungkan dengan tingkah Delila yang terlihat gugup. Apalagi saat perempuan itu gelagapan membenarkan letak baju yang kancing bagian atasnya tidak terpasang.
Saat itu, setelah mendapatkan kecewa lagi dari perempuan yang sangat dicintainya, Ben langsung pergi begitu saja, tidak menghiraukan panggilan Raisa.Beberapa hari terakhir, pria itu juga tidak masuk kantor. Raisa semakin gelisah sebab nomor Ben tak dapat dihubungi.Raisa berjalan menuju sebuah rungan di mana Pras berada. Barangkali dia tahu di mana keberadaan Ben kini."Pak Ben tidak masuk kerja beberapa hari. Kamu tahu dia ke mana?""Ben sedang ke luar negeri. Aku tidak tahu pasti ada urusan apa," jawab Pras.Raisa tersenyum dan berterima kasih. Lalu dia berderap keluar ruangan.Waktu pulang tiba. Rasa penat yang mendera kian bertambah saat Dokter Farah menunjukkan sebuah foto.Raisa membekap mulut saat tiba-tiba dadanya terasa terhimpit."Ini Pak Ben, bukan?" Dokter Farah awalnya ragu untuk memberi tahu Raisa. Namun, jika mendiamkannya, sama halnya dengan mengkhianati Raisa.Raisa tak mampu berkata-kata, dia han
Ben tidak kuasa menahan cemburu saat Raisa bertemu Kun. Bayangan Kun ketika membingkai wajah Raisa bergelantungan di matanya. Kejadian empat hari lalu itu benar-benar membuat hatinya perih.Ben mendengkus, sebelum akhirnya Raisa masuk dengan membawa sebuah baki berisi segelas teh dan kudapan."Ada apa?" tanya Raisa. Perempuan itu mengambil posisi duduk di depan Ben."Tidak ada apa-apa, Raisa." Ben berbohong.Raisa mengangguk dengan senyum lembut tersungging. Kemudian dia berlalu dari hadapan Ben.Tadi pagi, Sanjaya mengabarkan pada Raisa jika Kun akan dibawa pulang besok. Berkat Raisa yang selalu datang menemui Kun, kondisi pria itu berangsur pulih.Sementara, Raisa merasa ragu untuk memberi tahu Ben jika setiap hari dirinya mengunjungi Kun. Takut pria itu cemburu.Setelah mempertimbangkan, Raisa memutuskan untuk tetap merahasiakannya pada Ben. Dia yakin sebentar lagi Kun akan kembali seperti sediakala dan dirinya tidak perlu mengunju
Sanjaya semringah melihat Kun tersenyum. Sudah sangat lama dirinya tidak melihat sang anak segembira itu. Hampir setiap malam, Kun mengalami mimpi buruk.Lalu saat terjaga, maka yang selalu disebut adalah nama Raisa. Hingga sakit yang diderita Kun semakin parah dan tubuhnya semakin kurus.Beberapa psikiater sudah dikunjungi. Akan tetapi, tidak ada hasil signifikan. Semua menyarankan agar Kun dipertemukan dengan seseorang yang selalu disebutnya.Semakin hari, Kun semakin aneh. Nama Raisa selalu diracaukan olehnya. Terkadang, ketika melihat seorang wanita berhijab, maka dia tersenyum girang dan sambil berseru nama Raisa. Begitu mendekat, maka senyum itu menguncup."Raisa ...."Raisa yang sejak tadi melamun, menoleh ke arah Sanjaya di sampingnya. Menunggu kalimat lanjukan yang akan dikatakan oleh pria itu.Hari sudah hampir gelap. Sesuai janjinya, Sanjaya akan mengantar perempuan itu pulang."Terima kasih," ucap Sanjaya.
Seorang diri, Ben termenung meratapi betapa sialnya nasibnya. Setelah sekian lama berjuang untuk mendapatkan cinta Raisa, dia kira semuanya akan berjalan mulus sesuai harapan. Nyatanya anggapannya meleset. Pada saat makan malam waktu itu, setelah kedua orang tuanya tau jika Raisa janda dan sudah memiliki anak, mereka dengan lantang mengutarakan ketidaksetujuan pada hubungan Ben dan Raisa. "Pokoknya Mama tidak setuju kamu menikah dengan Raisa!" Ben yang sudah melihat jejak tidak mengenakkan di wajah sang mama, menghela napas panjang. Dia menggeleng pelan dengan kepala terasa berdenyut. "Apa yang salah dengan dia, Ma?" Ben bertanya dengan suara keras dan dahi mengkerut, sekilas menatap sang Papa yang hanya menyimak dengan mata fokus pada layar televisi yang tengah menampilkan berita. "Apa kamu sudah tidak waras, Ben? Tidak adakah wanita yang masih gadis?" Perempuan itu menatap nanar wajah sang anak. Ben membuang napas. Dia sangat t
Raisa mematut diri di depan cermin. Saat ini, dia merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Ben akan memperkenalkan dirinya kepada orangtua pria tersebut. Entahlah, ini benar-benar membuat dia gugup.Setelah segalanya siap, Raisa menoleh kepada Nadia di dalam box bayi. Perempuan anggun itu menatap wajah polos sang bayi. Tiba-tiba berkelebat wajah pria yang sangat familier saat melihat sang anak. Ya, wajah bayi itu begitu mirip dengan Kun.Teringat kembali tentang permintaan Sanjaya dua hari lalu agar menemui Kun, Raisa merasa kepalanya berdenyut. Itu adalah kunjungan Sanjaya yang kedua kalinya dengan permintaan sama."Apakah Kun benar-benar sakit? Atau ini hanya akalan mereka saja?" Raisa memijit pelipis sebelum akhirnya sebuah ketukan pintu terdengar."Masuk," kata Raisa.Rahmi masuk dan langsung berkata, "Pak Ben menunggu di ruang tamu."Raisa mengerutkan kening lalu buru-buru melihat ponsel. Benar saja, ada dua panggilan tak terjawab d
Raisa dan Ben memasuki sebuah restoran mewah bergaya Italia yang sudah terlihat ramai oleh pengunjung. Raisa berjalan di samping Ben yang kini memasuki lift. Keduanya tiba di lantai tiga tak lama kemudian berjalan menuju lift. Mereka menuju lantai tiga. Ruangan luas dengan dinding nyaris seluruhnya kaca itu tidak seramai di lantai dasar.Dari sana, Raisa dapat melihat kendaraan yang padat merayap di jalanan. Ben menuju meja di dekat kaca. Tak lama setelah mereka duduk, waiter datang dengan menyerahkan buku menu setelah sebelumnya menyapa dengan begitu ramah."Mau makan apa?" Ben bertanya, membuat Raisa yang sebelumnya melempar pandangan ke luar menoleh ke arah pria di depannya."Apa saja." Raisa menjawab sekenanya, lalu kembali mengarahkan pandangan pada semua objek yang tertangkap mata di luar.Ben mengembuskan napas, kemudian memberitahu waiter menu yang dia pesan."Kamu sepertinya lebih tertarik memandang keluar daripada ke sini," celetuk Ben.&n