Kun yang ingin melangkah ke dalam terpaksa urung setelah melihat Raisa tengah berdiri di samping tembok pembatas teras. Entah sejak kapan Raisa berada disitu? Keterkejutan jelas berjejak di mata Kun yang membulat.
“Raisa!” Kun terlonjak.
Mendapati ekspresi Kun, Raisa mengernyit bingung. “Kenapa, Mas? Kok, seperti lihat hantu gitu?”
Kun mengembuskan napas pelan saat tidak melihat gurat curiga dari wajah sang istri. Ia menyunggingkan senyum, keterkejutannya seketika menghilang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
“Em, tidak.” Kun mengangkat bahu. Lalu pandangan Raisa beralih pada sosok wanita yang berada di belakang Kun. Kepalanya dijubeli tanda tanya saat wanita itu terlihat habis menangis.
Kun memutar kepalanya kebelakang.
“Sayang, perkenalkan dia Delila.” Kun menunjuk Delila yang mematung dengan wajah datar.
Raisa melangkah mendekat sambil tersenyum, meskipun rasa heran masih menggantung di wajahnya, bertanya-tanya kenapa Delila menangis.
“Raisa ....” Raisa menyerukan namanya setelah menjulurkan tangannya untuk menyalami Delila.
Alih-alih membalas menyalami, wanita yang diajak bicara di hadapannya hanya mematung dengan mata enggan berkedip. Sorot matanya tajam, tersirat dendam yang membuat Raisa kikuk seketika. Raisa heran dan bingung. Kemudian menarik uluran tangannya yang tidak tersambut. Tersenyum canggung.
Sejurus kemudian, Delila meninggalkan Kun dan Raisa yang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Agar tidak menimbulkan curiga, segera Kun mengonfirmasi kenapa sikap Delila begitu dingin terhadap Raisa.
“Dia sedang ada sedikit masalah pada rumah tangganya,” terang Kun yang seketika membuat Raisa mengangguk paham.
“Pakaiannya seperti suster, Mas,” ucap Raisa.
“Oh, iya ... dia caregiver di sini.”
“Caregiver? Bukannya Mas bilang dia pembantu? Memangnya ada siapa lagi di rumah ini, Mas?” Raisa menatap lamat-lamat mata Kun. Menuntut penjelasan.
Kun menarik napas dalam-dalam, kemudian mengajak Raisa melangkah menuju sebuah kamar. Kun ingin menunjukkan sesuatu. Raisa mengekor di belakang Kun dengan perasaan bingung sekaligus penasaran.
Setelah berada di depan pintu kamar, Kun berhenti. Mengetuk pintu pelan sambil berseru, “Pa?”
Pa? Raisa semakin bingung saat mendengar Kun memanggil dengan sebutan “Pa.” Apakah yang dimaksud Kun adalah “Papa”? Raisa membenak, memikirkan sebuah kejanggalan yang menusuk-nusuk kepalanya.
Tidak ada sahutan dari dalam, Kun memutar gagang pintu pelan dan mulai masuk setelah daun pintu terbuka.
“Pa?” Kun melangkah pelan menuju seseorang yang tengah duduk di atas kursi roda menghadap ke luar jendela. Kun menjongkok di hadapan pria paruh baya itu, lalu menyentuh tangannya lembut.
“Papa, apa kabar?” Kun bertanya dengan wajah mengulas senyum. Sepintas Kun melemparkan tatapan pada Raisa yang mematung di ambang pintu kamar. Rasa bingung jelas sekali terpahat di wajah Raisa.
Kun memanggil papa pada orang tua di depannya, bagaimana bisa? Bukankah orang tua Kun berada di desa?
“Kenapa kamu ke sini?” Laki-laki di hadapan Kun menatapnya dengan tajam.
Kun tahu itu bukan pertanyaan dengan makna mengusir, tapi pertanyaan kecewa karena Kun jarang sekali berkunjung untuk menjenguk sang papa.
“Maaf, Pa,” ucap Kun pelan. “Pa, Kun ingin memperkenalkan seseorang,” imbuh Kun. Bersamaan dengan senyum yang mengembang, dia melayangkan pandangan pada Raisa yang masih tidak beranjak dari tempat berdirinya. Memberi isyarat pada Raisa agar mendekat.
Raisa melangkah ragu menuju Kun dan orang yang duduk di kursi roda. Orang itu memalingkan wajahnya pada Raisa. Terhenyak, saat matanya menangkap wanita itu. Wajah itu ... tidak asing di mata Sanjaya—papa Kun. Netra Sanjaya perlahan terlihat berkaca-kaca.
“Wajahmu persis seperti wajah ibumu, Nak.” Sanjaya akhirnya membuka suara setelah beberapa lama tertegun.
Raisa menanggapi dengan sepotong senyum. Hampir semua orang berkata seperti itu, batinnya. Tapi, dari mana mertuanya ini tahu mamanya?
Setelah melihat wajah Raisa, perasaan bersalah Sanjaya kembali tumbuh. Potongan-potongan kisah kelamnya bersama Widia—almarhumah ibu Raisa—merebak kembali di pelupuk matanya.
Kun merasa aneh saat melihat perubahan wajah papanya.
"Papa kenal Raisa?" tanya Kun dengan dahi mengernyit.
"Tentu saja papa kenal. Namanya Raisa, istrimu, kan?" Sanjaya tertawa, dengan cepat menetralisir sikap anehnya.
Kun ikut tertawa, meski rasa penasaran masih menggantung di benaknya. Sementara Raisa hanya tersenyum simpul.
“Papa sudah makan?” tanya Kun.
“Sudah.” Sanjaya menjawab datar.
“Papa ingin bicara denganmu,” imbuh Sanjaya seraya menatap Kun lekat.
Mendengar suara tegas dan tatapan Sanjaya, Kun paham bahwa papanya hanya ingin bicara berdua dengannya. Kun menatap Raisa sambil tersenyum, berisyarat agar dia meninggalkan mereka berdua.
“Kamu menikahinya secara siri?” Sanjaya bertanya setelah Raisa keluar meninggalkan mereka berdua.
“Iya, Pa. Kenapa?” Kun menjawab, mengira bahwa itu adalah pertanyaan biasa.
Sanjaya mendengkus, menatap Kun dengan tatapan tidak suka. Kemudian memejamkan mata untuk menahan emosinya.
“Secepatnya daftarkan pernikahan kalian secara sah menurut perundang-undangan negara!”
“Tapi, Pa ....”
“Jangan membantah!” Sanjaya mengacungkan jari telunjuknya di depan wajah Kun.
Kun hanya bisa mendengkus kesal. Bagaimanapun dia telah berjanji tidak akan membuatnya kecewa. Akan tetapi, kenapa harus menyuruhnya meresmikan pernikahannya dengan Raisa yang memang tidak diniatkan serius oleh Kun? Bukankah dahulu papanya juga lelaki hidung belang yang banyak menikahi perempuan?
***
Di dalam kamarnya, Sanjaya mengusap wajahnya gusar. Menyesali kenapa Kun menikah dengan gadis itu. Luka itu, yang sudah bertahun-tahun dipendamnya kini terpaksa timbul kepermukaan. Ah, ini akan terasa sangat menyiksa.
Apalagi Sanjaya menyadari bahwa watak Kun tidak akan jauh berbeda dengannya, tidak pernah puas dengan satu wanita. Itulah sebabnya meskipun Raisa bukan anak kandungnya, tapi dia lahir dari rahim Widia, wanita yang sangat ia cintai. Sanjaya tidak akan tega melihat Raisa menangis di tangan Kun.
“Seharusnya Kun menikahi wanita lain!”
***
Raisa sedang menunggu Kun di dalam kamar, tidak sabar ingin segera menanyakan sesuatu. Perempuan itu tersenyum saat melihat pintu kamarnya terbuka dan Kun mulai masuk. Raisa sedikit mengernyit karena suaminya masuk dengan wajah kusut. Apa yang terjadi?
“Kamu kenapa, Mas?” Raisa berdiri, mengamati wajah Kun seksama.
“Tidak. Tidak apa-apa,” jawab Kun. Tersenyum tanggung. Kemudian meraih ponselnya yang tergeletak di atas kasurnya.
“Mas ....” Kun menoleh ke arah Raisa yang mulai duduk di sampingnya.
Ah, dia lupa. Raisa pasti ingin bertanya tentang pria setengah baya yang dipanggilnya “Papa” tadi.
Kun menaruh ponselnya sembarang di atas kasur. “Pria di dalam kamar tadi adalah ayah kandungku, Raisa.”
Raisa tercengang mendengar ucapan Kun. “Jadi ....”
“Benar, Ayah dan Ibu mengadopsiku sejak usiaku masih kecil.” Maksudnya adalah orangtua Kun yang berada di desa, yang selama ini orang-orang kenal.
Bersambung
“Pakai ini!”Kun melemparkan sepotong lingerie di depan Raisa yang sedang mengotak-atik ponselnya. Raisa mengernyit melihat pakaian aneh itu, pakaian yang tidak pernah terbayangkan untuk dikenakannya.“Apa ini, Mas?”“Aku ingin kamu mengenakannya setiap akan tidur.” Kun duduk di dekat Raisa seraya menjulurkan tangan untuk menyentuh wajah lembut perempuan itu. Namun, Raisa mengelak saat tangan itu tinggal beberapa senti dari pipinya. Senyum manis Kun seketika menguncup, menandakan bahwa dia tidak suka dengan sikap Raisa.“Aku ... aku tidak biasa pakai itu, Mas.”“Makanya harus dibiasakan mulai sekarang. Kamu akan terlihat cantik dengan pakaian itu, Sayang.” Kun tersenyum genit. Matanya yang tajam menatap lamat-lamat Raisa. Nafasnya mulai memburu menahan gejolak nafsu. Dada Raisa berdegup kencang saat nafas Kun menyapu wajahnya.“Cepatlah, Sayang. Aku tidak bisa menunggu lebih l
Raisa segera melangkah menuju kamarnya setelah memberikan teh tawar pada Sanjaya, mertuanya. Dengan perasaan bimbang, perempuan itu meniti satu-persatu tangga menuju lantai dua. Perempuan itu berhenti di depan kamar, kembali mengingat suara erangan, baju Delila yang kancing bagian atasnya tidak terpasang, serta tingkahnya yang gugup saat bertemu Raisa. Apa mungkin Kun ... ah, Raisa segera menepis pikiran itu untuk kesekian kalinya.Perempuan itu mulai membuka pintu kamar dan masuk. Alangkah leganya saat matanya menangkap Kun tengah berbaring di atas kasur sambil memainkan ponsel.Sejak kapan Kun berada di dalam kamar? Ah, itu tidak penting. Yang penting saat ini adalah dugaan-dugaan negatif yang sejak tadi menderanya tidak benar-benar terjadi.“Mas ke mana?”“Aku?”“Iya. Siapa lagi? Memangnya aku bicara dengan siapa lagi?”Kun mengernyit, menatap sang istri lamat-lamat.“Bukannya aku ada
Raisa mengirimi Kun pesan WhatsApp.[Mas, pulang kan hari ini?]Sudah beberapa hari Kun tidak pulang. Benak Raisa tentu saja meraba-raba sebab apa Kun mulai berubah menjadi tidak acuh dan seolah menjauhinya.Suami mana yang tidak kecewa karena sang isteri tidak bisa memuaskan kebutuhan biologisnya. Setengah bulan sudah mereka menikah, tapi Raisa masih seperti gadis perawan ketika berhubungan badan. Raisa tidak bisa berpura-pura baik-baik saja ketika rasa sakit mendera, sehingga membuat Kun selalu keluar kamar meninggalkan Raisa dengan perasaan kesal.Kun memang hanya izin bekerja sebelum pergi, tapi pekerjaan apa yang membuatnya tidak bisa pulang hingga tiga hari?[Tidak tahu]Raisa kembali menahan sakit saat membaca pesan Kun. Bukan hanya karena Kun tidak akan pulang lagi, tapi karena pesannya terlihat yang sangat cuek. Terlepas dari itu, Raisa sudah menyadari bahwa perubahan Kun sedikit banyak disebabkan oleh dirinya yang
Dering ponsel membuat tidur Kun terusik. Siapa yang pagi-pagi begini meneleponnya? Dengan susah payah Kun meraih ponsel yang terus melengking memekakkan telinganya. Dia menggeser tombol berwarna hijau tanpa melihat siapa yang sedang menelepon.“Halo?” seru Kun dengan suara serak.“Halo. Mas, kamu di mana?”Ketika mendengar suara perempuan di ujung telepon, Kun melebarkan jarak ponsel dari telinganya, menatap layarnya dengan mata terpicing. Ah, Delila. Kun mendesah malas.“Ada apa?”“Mas jangan mengelak terus. Aku mohon, Mas. Perutku semakin hari semakin membesar. Kapan Mas akan menikahiku?”Dari seberang telepon suara Delila terdengar mengiba. Namun, Kun benar-benar terganggu dengan telepon dari perempuan itu, apalagi dengan topik yang kontan membuat kepala Kun berdenyut.“Aku sudah berkali-kali bilang sama kamu, Delila, aku pasti bertanggung jawab. Tapi tidak sekarang. Aku s
Semburat cerah menjalar di wajah Pras saat melihat Raisa mendekat kepadanya. Perlahan senyumnya tersungging. Selain karena kasihan pada Pras jika membatalkan ojek, Raisa juga bisa terlambat untuk bertemu dengan Dokter Farah.“Terima kasih.” Dua kata keluar dari mulut Pras saat Raisa berada di dekatnya. Tangannya terjulur untuk memberi helm kepada perempuan di sampingnya. Raisa sama sekali tidak tertarik untuk menanggapi sikap ramah Pras.Ketika Pras sudah siap memegang stang, Raisa naik. Menjaga jarak, duduk di ujung jok dengan berpegangan pada behel sepeda motor. Setelah memastikan Raisa siap, Pras memacu kendaraannya memecah jalan.“Apa kabar?” Setelah cukup lama keduanya berdiam diri, akhirnya Pras menanyakan kabar.Namun, Raisa lagi-lagi tidak menanggapi ucapan Pras. Pria itu mafhum, keadaan sudah tidak sama lagi seperti dulu. Raisa punya hak untuk tidak menjawab pertanyaan Pras setelah semua yang terjadi.Keduanya kemba
“Apa yang ingin kamu bicarakan? Cepatlah, aku harus segera pulang.” Raisa menatap lamat-lamat pria di depannya.“Aku minta maaf, Raisa ....” Pras berkata pelan dan langsung disambar oleh Raisa sebelum pria itu merampungkan ucapannya. Perih hati Pras.“Kamu tidak perlu minta maaf.” Raisa berusaha tegar, menatap jauh ke samping kanan. Memandang kosong lalu lalang kendaraan di atas aspal yang terpanggang matahari. Sebenarnya, cappucino dingin di depannya terlihat sangat menggoda di cuaca panas seperti ini, tapi entahlah, tiba-tiba dia tidak berselera walau hanya sekadar menyentuhnya.“Dengarkan penjelasanku ....”“Semua sudah jelas, Pras. Aku sudah menjadi istri orang lain. Apa lagi yang kamu harapkan dariku?” Raisa menatap Pras dengan mata berkaca-kaca.Sakit rasanya saat wanita di hadapannya tidak lagi memanggilnya dengan sebutan “Mas” seperti biasanya.“Semua
Dengan jantung kebat-kebit Raisa meraih ponsel Kun. Betapa terkejutnya, saat layar ponsel menyala dan mendapati sebuah video dirinya dengan Pras.Itu adalah videonya dengan Pras saat duduk di dekat kantin rumah sakit. Dari mana Kun mendapatkannya? Batin Raisa bertanya-tanya. Namun, itu hanya video percakapan biasa. Raisa tidak melakukan apa-apa dengan Pras. Apa hanya karena itu Kun cemburu?“Apa ini, Mas?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Raisa.Mata elang Kun menohok tajam Raisa, hingga membuatnya terlihat ciut.“Kamu keluar untuk menemui laki-laki itu, kan?” Kun menatap Raisa penuh selidik.“Mas ... dia cuma tukang ojek online.” Raisa menjelaskan, karena memang tidak ada apa-apa dengannya dan Pras. Tetap mengatur volume suara agar tidak pecah.“Ojek online?” Kun tertawa kecil, sinis. “Kamu liat video satunya. Jangan bodohi aku. Aku bukan anak kecil lagi, Raisa.”
Malam berlalu. Azan shubuh berkumandang. Berseru agar orang-orang yang masih terlelap lekas bangun untuk menunaikan kewajiban. Mengajak untuk bergegas menyambut kemenangan.“Mas ....” Raisa yang sudah siap dengan pakaian salatnya menggoyang pelan tubuh Kun. Namun, beberapa kali Raisa mencoba membangunkan suaminya, pria itu hanya bergumam tidak jelas sembari merapatkan selimut. Setiap hari Raisa harus membangunkan Kun untuk shalat subuh, tak jarang Kun malah mengumpatnya karena kesal.Raisa menghela napas pelan. Ia turun dari ranjang, melangkah menuju sajadah yang sudah terhampar. Melakukan salat sunah Fajar. Setelah itu barulah ia akan mencoba membangunkan Kun lagi.Beberapa menit berlalu. Salat sunnah Fajar telah selesai Raisa kerjakan. Perempuan itu kembali untuk membangunkan Kun yang masih bergelung di bawah selimut hangatnya. Sebenarnya ada sedikit perasaan takut untuk membangunkan Kun, takut jika dia membentaknya lagi seperti tempo hari. N