Home / Romansa / Elegi Cinta Raisa / Pria Paruh Baya di Kamar

Share

Pria Paruh Baya di Kamar

Author: Haris Fayadh
last update Last Updated: 2021-08-03 16:02:07

Kun yang ingin melangkah ke dalam terpaksa urung setelah melihat Raisa tengah berdiri di samping tembok pembatas teras. Entah sejak kapan Raisa berada disitu? Keterkejutan jelas berjejak di mata Kun yang membulat. 

“Raisa!” Kun terlonjak.

Mendapati ekspresi Kun, Raisa mengernyit bingung. “Kenapa, Mas? Kok, seperti lihat hantu gitu?”

Kun mengembuskan napas pelan saat tidak melihat gurat curiga dari wajah sang istri. Ia menyunggingkan senyum, keterkejutannya seketika menghilang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

“Em, tidak.” Kun mengangkat bahu. Lalu pandangan Raisa beralih pada sosok wanita yang berada di belakang Kun. Kepalanya dijubeli tanda tanya saat wanita itu terlihat habis menangis.

Kun memutar kepalanya kebelakang.

“Sayang, perkenalkan dia Delila.” Kun menunjuk Delila yang mematung dengan wajah datar.

Raisa melangkah mendekat sambil tersenyum, meskipun rasa heran masih menggantung di wajahnya, bertanya-tanya kenapa Delila menangis.

“Raisa ....” Raisa menyerukan namanya setelah menjulurkan tangannya untuk menyalami Delila.

Alih-alih membalas menyalami, wanita yang diajak bicara di hadapannya hanya mematung dengan mata enggan berkedip. Sorot matanya tajam, tersirat dendam yang membuat Raisa kikuk seketika. Raisa heran dan bingung. Kemudian menarik uluran tangannya yang tidak tersambut. Tersenyum canggung.

Sejurus kemudian, Delila meninggalkan Kun dan Raisa yang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Agar tidak menimbulkan curiga, segera Kun mengonfirmasi kenapa sikap Delila begitu dingin terhadap Raisa.

“Dia sedang ada sedikit masalah pada rumah tangganya,” terang Kun yang seketika membuat Raisa mengangguk paham.

“Pakaiannya seperti suster, Mas,” ucap Raisa.

“Oh, iya ... dia caregiver di sini.”

“Caregiver? Bukannya Mas bilang dia pembantu? Memangnya ada siapa lagi di rumah ini, Mas?” Raisa menatap lamat-lamat mata Kun. Menuntut penjelasan.

Kun menarik napas dalam-dalam, kemudian mengajak Raisa melangkah menuju sebuah kamar. Kun ingin menunjukkan sesuatu. Raisa mengekor di belakang Kun dengan perasaan bingung sekaligus penasaran.

Setelah berada di depan pintu kamar, Kun berhenti. Mengetuk pintu pelan sambil berseru, “Pa?”

Pa? Raisa semakin bingung saat mendengar Kun memanggil dengan sebutan “Pa.” Apakah yang dimaksud Kun adalah “Papa”? Raisa membenak, memikirkan sebuah kejanggalan yang menusuk-nusuk kepalanya.

Tidak ada sahutan dari dalam, Kun memutar gagang pintu pelan dan mulai masuk setelah daun pintu terbuka.

“Pa?” Kun melangkah pelan menuju seseorang yang tengah duduk di atas kursi roda menghadap ke luar jendela. Kun menjongkok di hadapan pria paruh baya itu, lalu menyentuh tangannya lembut.

“Papa, apa kabar?” Kun bertanya dengan wajah mengulas senyum. Sepintas Kun melemparkan tatapan pada Raisa yang mematung di ambang pintu kamar. Rasa bingung jelas sekali terpahat di wajah Raisa. 

Kun memanggil papa pada orang tua di depannya, bagaimana bisa? Bukankah orang tua Kun berada di desa?

“Kenapa kamu ke sini?” Laki-laki di hadapan Kun menatapnya dengan tajam.

Kun tahu itu bukan pertanyaan dengan makna mengusir, tapi pertanyaan kecewa karena Kun jarang sekali berkunjung untuk menjenguk sang papa.

“Maaf, Pa,” ucap Kun pelan. “Pa, Kun ingin memperkenalkan seseorang,” imbuh Kun. Bersamaan dengan senyum yang mengembang, dia melayangkan pandangan pada Raisa yang masih tidak beranjak dari tempat berdirinya. Memberi isyarat pada Raisa agar mendekat.

Raisa melangkah ragu menuju Kun dan orang yang duduk di kursi roda. Orang itu memalingkan wajahnya pada Raisa. Terhenyak, saat matanya menangkap wanita itu. Wajah itu ... tidak asing di mata Sanjaya—papa Kun. Netra Sanjaya perlahan terlihat berkaca-kaca.

“Wajahmu persis seperti wajah ibumu, Nak.” Sanjaya akhirnya membuka suara setelah beberapa lama tertegun. 

Raisa menanggapi dengan sepotong senyum. Hampir semua orang berkata seperti itu, batinnya. Tapi, dari mana mertuanya ini tahu mamanya? 

Setelah melihat wajah Raisa, perasaan bersalah Sanjaya kembali tumbuh. Potongan-potongan kisah kelamnya bersama Widia—almarhumah ibu Raisa—merebak kembali di pelupuk matanya.

Kun merasa aneh saat melihat perubahan wajah papanya.

"Papa kenal Raisa?" tanya Kun dengan dahi mengernyit.

"Tentu saja papa kenal. Namanya Raisa, istrimu, kan?" Sanjaya tertawa, dengan cepat menetralisir sikap anehnya.

Kun ikut tertawa, meski rasa penasaran masih menggantung di benaknya. Sementara Raisa hanya tersenyum simpul.

“Papa sudah makan?” tanya Kun.

“Sudah.” Sanjaya menjawab datar.

“Papa ingin bicara denganmu,” imbuh Sanjaya seraya menatap Kun lekat. 

Mendengar suara  tegas dan tatapan Sanjaya, Kun paham bahwa papanya hanya ingin bicara berdua dengannya. Kun menatap Raisa sambil tersenyum, berisyarat agar dia meninggalkan mereka berdua.

“Kamu menikahinya secara siri?” Sanjaya bertanya setelah Raisa keluar meninggalkan mereka berdua.

“Iya, Pa. Kenapa?” Kun menjawab, mengira bahwa itu adalah pertanyaan biasa.

Sanjaya mendengkus, menatap Kun dengan tatapan tidak suka. Kemudian memejamkan mata untuk menahan emosinya.

“Secepatnya daftarkan pernikahan kalian secara sah menurut perundang-undangan negara!”

“Tapi, Pa ....”

“Jangan membantah!” Sanjaya mengacungkan jari telunjuknya di depan wajah Kun.

Kun hanya bisa mendengkus kesal. Bagaimanapun dia telah berjanji tidak akan membuatnya kecewa. Akan tetapi, kenapa harus menyuruhnya meresmikan pernikahannya dengan Raisa yang memang tidak diniatkan serius oleh Kun? Bukankah dahulu papanya juga lelaki hidung belang yang banyak menikahi perempuan?

***

Di dalam kamarnya, Sanjaya mengusap wajahnya gusar. Menyesali kenapa Kun menikah dengan gadis itu. Luka itu, yang sudah bertahun-tahun dipendamnya kini terpaksa timbul kepermukaan. Ah, ini akan terasa sangat menyiksa.

Apalagi Sanjaya menyadari bahwa watak Kun tidak akan jauh berbeda dengannya, tidak pernah puas dengan satu wanita. Itulah sebabnya meskipun Raisa bukan anak kandungnya, tapi dia lahir dari rahim Widia, wanita yang sangat ia cintai. Sanjaya tidak akan tega melihat Raisa menangis di tangan Kun.

“Seharusnya Kun menikahi wanita lain!”

***

Raisa sedang menunggu Kun di dalam kamar, tidak sabar ingin segera menanyakan sesuatu. Perempuan itu tersenyum saat melihat pintu kamarnya terbuka dan Kun mulai masuk. Raisa sedikit mengernyit karena suaminya masuk dengan wajah kusut. Apa yang terjadi?

“Kamu kenapa, Mas?” Raisa berdiri, mengamati wajah Kun seksama.

“Tidak. Tidak apa-apa,” jawab Kun. Tersenyum tanggung. Kemudian meraih ponselnya yang tergeletak di atas kasurnya.

“Mas ....” Kun menoleh ke arah Raisa yang mulai duduk di sampingnya. 

Ah, dia lupa. Raisa pasti ingin bertanya tentang pria setengah baya yang dipanggilnya “Papa” tadi.

Kun menaruh ponselnya sembarang di atas kasur. “Pria di dalam kamar tadi adalah ayah kandungku, Raisa.”

Raisa tercengang mendengar ucapan Kun. “Jadi ....”

“Benar, Ayah dan Ibu mengadopsiku sejak usiaku masih kecil.” Maksudnya adalah orangtua Kun yang berada di desa, yang selama ini orang-orang kenal.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Elegi Cinta Raisa   Epilog

    Saat itu, setelah mendapatkan kecewa lagi dari perempuan yang sangat dicintainya, Ben langsung pergi begitu saja, tidak menghiraukan panggilan Raisa.Beberapa hari terakhir, pria itu juga tidak masuk kantor. Raisa semakin gelisah sebab nomor Ben tak dapat dihubungi.Raisa berjalan menuju sebuah rungan di mana Pras berada. Barangkali dia tahu di mana keberadaan Ben kini."Pak Ben tidak masuk kerja beberapa hari. Kamu tahu dia ke mana?""Ben sedang ke luar negeri. Aku tidak tahu pasti ada urusan apa," jawab Pras.Raisa tersenyum dan berterima kasih. Lalu dia berderap keluar ruangan.Waktu pulang tiba. Rasa penat yang mendera kian bertambah saat Dokter Farah menunjukkan sebuah foto.Raisa membekap mulut saat tiba-tiba dadanya terasa terhimpit."Ini Pak Ben, bukan?" Dokter Farah awalnya ragu untuk memberi tahu Raisa. Namun, jika mendiamkannya, sama halnya dengan mengkhianati Raisa.Raisa tak mampu berkata-kata, dia han

  • Elegi Cinta Raisa   Kecewa

    Ben tidak kuasa menahan cemburu saat Raisa bertemu Kun. Bayangan Kun ketika membingkai wajah Raisa bergelantungan di matanya. Kejadian empat hari lalu itu benar-benar membuat hatinya perih.Ben mendengkus, sebelum akhirnya Raisa masuk dengan membawa sebuah baki berisi segelas teh dan kudapan."Ada apa?" tanya Raisa. Perempuan itu mengambil posisi duduk di depan Ben."Tidak ada apa-apa, Raisa." Ben berbohong.Raisa mengangguk dengan senyum lembut tersungging. Kemudian dia berlalu dari hadapan Ben.Tadi pagi, Sanjaya mengabarkan pada Raisa jika Kun akan dibawa pulang besok. Berkat Raisa yang selalu datang menemui Kun, kondisi pria itu berangsur pulih.Sementara, Raisa merasa ragu untuk memberi tahu Ben jika setiap hari dirinya mengunjungi Kun. Takut pria itu cemburu.Setelah mempertimbangkan, Raisa memutuskan untuk tetap merahasiakannya pada Ben. Dia yakin sebentar lagi Kun akan kembali seperti sediakala dan dirinya tidak perlu mengunju

  • Elegi Cinta Raisa   Mengamuk

    Sanjaya semringah melihat Kun tersenyum. Sudah sangat lama dirinya tidak melihat sang anak segembira itu. Hampir setiap malam, Kun mengalami mimpi buruk.Lalu saat terjaga, maka yang selalu disebut adalah nama Raisa. Hingga sakit yang diderita Kun semakin parah dan tubuhnya semakin kurus.Beberapa psikiater sudah dikunjungi. Akan tetapi, tidak ada hasil signifikan. Semua menyarankan agar Kun dipertemukan dengan seseorang yang selalu disebutnya.Semakin hari, Kun semakin aneh. Nama Raisa selalu diracaukan olehnya. Terkadang, ketika melihat seorang wanita berhijab, maka dia tersenyum girang dan sambil berseru nama Raisa. Begitu mendekat, maka senyum itu menguncup."Raisa ...."Raisa yang sejak tadi melamun, menoleh ke arah Sanjaya di sampingnya. Menunggu kalimat lanjukan yang akan dikatakan oleh pria itu.Hari sudah hampir gelap. Sesuai janjinya, Sanjaya akan mengantar perempuan itu pulang."Terima kasih," ucap Sanjaya.

  • Elegi Cinta Raisa   Pria di Taman Rumah Sakit Jiwa

    Seorang diri, Ben termenung meratapi betapa sialnya nasibnya. Setelah sekian lama berjuang untuk mendapatkan cinta Raisa, dia kira semuanya akan berjalan mulus sesuai harapan. Nyatanya anggapannya meleset. Pada saat makan malam waktu itu, setelah kedua orang tuanya tau jika Raisa janda dan sudah memiliki anak, mereka dengan lantang mengutarakan ketidaksetujuan pada hubungan Ben dan Raisa. "Pokoknya Mama tidak setuju kamu menikah dengan Raisa!" Ben yang sudah melihat jejak tidak mengenakkan di wajah sang mama, menghela napas panjang. Dia menggeleng pelan dengan kepala terasa berdenyut. "Apa yang salah dengan dia, Ma?" Ben bertanya dengan suara keras dan dahi mengkerut, sekilas menatap sang Papa yang hanya menyimak dengan mata fokus pada layar televisi yang tengah menampilkan berita. "Apa kamu sudah tidak waras, Ben? Tidak adakah wanita yang masih gadis?" Perempuan itu menatap nanar wajah sang anak. Ben membuang napas. Dia sangat t

  • Elegi Cinta Raisa   Dua Pria Mencurigakan

    Raisa mematut diri di depan cermin. Saat ini, dia merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Ben akan memperkenalkan dirinya kepada orangtua pria tersebut. Entahlah, ini benar-benar membuat dia gugup.Setelah segalanya siap, Raisa menoleh kepada Nadia di dalam box bayi. Perempuan anggun itu menatap wajah polos sang bayi. Tiba-tiba berkelebat wajah pria yang sangat familier saat melihat sang anak. Ya, wajah bayi itu begitu mirip dengan Kun.Teringat kembali tentang permintaan Sanjaya dua hari lalu agar menemui Kun, Raisa merasa kepalanya berdenyut. Itu adalah kunjungan Sanjaya yang kedua kalinya dengan permintaan sama."Apakah Kun benar-benar sakit? Atau ini hanya akalan mereka saja?" Raisa memijit pelipis sebelum akhirnya sebuah ketukan pintu terdengar."Masuk," kata Raisa.Rahmi masuk dan langsung berkata, "Pak Ben menunggu di ruang tamu."Raisa mengerutkan kening lalu buru-buru melihat ponsel. Benar saja, ada dua panggilan tak terjawab d

  • Elegi Cinta Raisa   Inikah Karma?

    Raisa dan Ben memasuki sebuah restoran mewah bergaya Italia yang sudah terlihat ramai oleh pengunjung. Raisa berjalan di samping Ben yang kini memasuki lift. Keduanya tiba di lantai tiga tak lama kemudian berjalan menuju lift. Mereka menuju lantai tiga. Ruangan luas dengan dinding nyaris seluruhnya kaca itu tidak seramai di lantai dasar.Dari sana, Raisa dapat melihat kendaraan yang padat merayap di jalanan. Ben menuju meja di dekat kaca. Tak lama setelah mereka duduk, waiter datang dengan menyerahkan buku menu setelah sebelumnya menyapa dengan begitu ramah."Mau makan apa?" Ben bertanya, membuat Raisa yang sebelumnya melempar pandangan ke luar menoleh ke arah pria di depannya."Apa saja." Raisa menjawab sekenanya, lalu kembali mengarahkan pandangan pada semua objek yang tertangkap mata di luar.Ben mengembuskan napas, kemudian memberitahu waiter menu yang dia pesan."Kamu sepertinya lebih tertarik memandang keluar daripada ke sini," celetuk Ben.&n

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status