Di belahan bumi lain, kegundahan tercipta di antara kesunyian dan hawa dingin yang menusuk. Pergerakan detak jarum jam semakin menjadi-jadi ditambah, suara sandal bulu milik Syila terseret, memecah keheningan yang menyelubung. Mondar-mandir ke sana kemari tanpa ada tanda-tanda kelelahan.
Bibir bawahnya ia gigit, bergantian dengan kuku ibu jari. Menatap keluar kaca jendela dengan cemas, sesekali melirik pintu apartemen, mengharapkan Alfa cepat kembali. Sejak Alfa meninggalkan pertengkaran kecil di antara mereka dua jam yang lalu, Syila dihantam kerisauan karena Alfa tak kunjung kembali. Rasa bersalah pun merayap memenuhi sisi hati Syila.
“Kapan menjenguk Tante Risa?”
Hanya itu yang ditanyakan Syila pada Alfa, mengingat sudah tiga hari berlalu dari janji awal Alfa yang mengatakan hanya dua hari di London. Namun, sampai sekarang Alfa belum menepati janji.Sudah barang tentu, Syila menagih janj
Dendam dan rasa sakit hanya akan membutakan mata dan akal sehat, sementara kenyataan yang sebenarnya terselubung rapat. Padahal hanya butuh sedikit kelapangan hati maka kebenaran itu akan tersingkap. ***Dari tempatnya berdiri, tatapannya menghunjam tepat di kedua manik mata Syila yang kini memancarkan ketakutan. Tanpa sadar ponsel yang masih menempel pada telinga, ia cengkeram kuat. Sayup-sayup suara Felisya di seberang yang sibuk berteriak memanggil Alfa bercampur isak, tak sanggup mengalihkan Syila dari keterkejutannya dari Alfa.Alfa berderap. Napas Syila tersekat, belum sempat ia menghindar, Alfa sudah berdiri di depannya. Merampas ponsel yang masih terhubung, lantas memeriksa. Kerutan-kerutan di dahinya muncul lalu ia mendongak, menatap Syila dengan dingin. Refleks Syila mundur,
“Sadarkah kamu dia tidak akan menginginkanmu lagi setelah kejadian itu. Masihkah ia menginginkan dirimu yang ternoda? Jangan bermimpi. Kamu hanya akan menghancurkan kebahagiaan orang yang sebelumnya menyayangimu jika kau tetap mengharapkannya.”Tangan Syila yang ia gunakan untuk menggedor pintu berubah menjadi kaku dan terjatuh lunglai di sisi tubuhnya. Ucapan Alfa berhasil menohok hatinya akan kenyataan yang sesungguhnya. Alfa benar. Lelaki yang ia cintai bahkan sangat membencinya. Meninggalkannya dengan luka yang sulit tersembuhkan. Ia pun telah menorehkan kekecewaan pada orang-orang terkasih. Tak mungkin baginya untuk membuat luka lagi dan menyakiti kakaknya. Dia berhak bahagia. Karena ia bukan siapa-siapa dan ia sendirian. Tubuhnya beringsut lalu jatuh menimpa dinginnya lantai. Ia menyandarkan tubuhnya yang lemah ke pintu. Terisak pelan dan memukul dada berkali-kali, berupaya melenyapkan rasa sakit serta sesak. Bahkan untuk men
Mungkin telah ribuan kali raga menampik perasaan cinta lantaran pekhianatan mematikan sebagian hati, tetapi cinta tak akan mudah lenyap jika rasa itu masih bersemayam walau hanya berupa titik kecil. ***Butiran salju melayang di udara. Menemani pejalan kaki di West End menjalani aktivitas mereka. Sekalipun dingin menjalar di seluruh tubuh, sedikit pun tak menyurutkan kegiatan mereka di siang hari itu. Namun, berbeda dengan seorang gadis bertopi rajut, mengenakan mantel bulu dan sepatu boot yang berdiri di salah satu coffee shop sedang memegangi gelas kertas berisi kopi. Ia tampak tak nyaman dengan suhu udara di bawah nol derajat. Karena memang ia tak terbiasa berada di negara yang memiliki empat musim tersebut.Uap putih keluar dari mulut be
“Can be faster again, please?!” geram Raka pada sopir taksi yang mengantarkan mereka langsung dari bandara ke tempat tujuan.“I'm sorry, but this is already the maximum speed.” “Shit!” umpat Raka.Julian memukul kepala Raka. Bosan dengan kegelisahan yang dialami Raka yang menurut Julian sangat berlebihan. Bahkan kalau boleh dengan senang hati ia akan menendang pantat Raka saat itu juga, karena tidak tahan dengan ketidaksabaran pria bodoh itu lantaran ingin cepat-cepat bertemu dengan Syila.“Lo—”“Apa?” potong Julian cepat sambil balas menatap mata Raka yang tajam.“Lo harus sabar. Syila akan baik-baik saja. Aku jamin.”“Tahu dari mana dia akan baik-baik saja?” Raka menghunuskan tatap
Karin mengerjapkan pandangan beberapa kali. Tak mempercayai keputusannya yang jelas-jelas di luar kontrol dirinya. Ia memijit keningnya yang terasa berdenyut. Pusing memikirkan kinerja otak yang mendadak buntu. Dan ia tak tahu harus melakukan apa selain menatap gadis yang menabraknya, yang saat ini duduk di sofa seraya memandangi lantai dengan tatapan kosong.Sebenarnya Karin tak yakin apakah gadis itu memandangi lantai atau lukisan surealisme di dinding karena tatapannya tak menampakkan ekspresi apa pun. Dan Karin tak tahu harus melakukan apa, mengingat setiap kali ia melemparkan pertanyaan pada gadis itu, tak ada satu pun yang dijawabnya. Hal itu membuat Karin gondok setengah mati. Lebih-lebih sekadar anggukan atau gelengan pun tidak dilakukannya. Bagaimana Karinharus bertindak jika lawan bicaranya membisu. Padahal rasa ingin tahunya sangat besar.Menyesal. Tentu saja. Bisa saja Karin berpura-pura tidak mengenalnya dan f
Malam pun telah larut. Namun, acara perayaan belum juga selesai. Benaknya pun sepenuhnya mengarah pada nasib gadis itu yang ia tinggal sendirian. Pikiran buruk memenuhi otak. Ia ingin memastikan gadis itu baik-baik saja, tetapi tak enak harus meninggalkan restoran di tengah-tengah acara sementara pesta itu untuk dirinya. Sudah ratusan kali Karin mendesah dan itu ditangkap oleh asistennya yang duduk bersebelahan dengannya. Bahkan asistennya itu bingung melihat Karin hanya menusuk-nusuk spageti dengan garpu tanpa memakannya.“Kamu kenapa?” tanya Lana cemas seraya menyentuh lengan Karin.Karin memijit kening, agak pusing. “Sepertinya aku kurang enak badan,” kata Karin berbohong.“Lebih baik kamu kembali ke hotel. Biar aku suruh Randy yang mengantar.” Lana bersiap memanggil Randy, tetapi Karin menolaknya.“Kamu serius mau pulang sendiri?”
Akhirnya aku menemukanmu ***Lelah dan pusing. Dua hal itu yang membuat langkah Karin terasa berat melebihi beban berton-ton sepanjang perjalanannya menuju hotel. Dalam hati ia mensyukuri jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh dari restoran tempat perayaan berlangsung. Sampai di kamarnya ia langsung merebahkan diri di sofa dan memejamkan mata, mencoba meredakan kepalanya yang berdenyut nyeri.Matanya terbuka, teringat alasan mengapa ia cepat-cepat pulang. Ia segera bangkit dan menilik gadis itu. Karin mendesah panjang melihat gadis itu meringkuk di tempat tidur Queen-size. Gadis itu juga sudah mengganti pakaiannya dengan kaos dan celana piyama miliknya. Meskipun, gadis itu tak memakan makanan yang Karin pesan, setidaknya tidurnya gadis itu sedikit membuat Karin merasa lega. Bagaimanapun juga gadis itu masih mau menuruti perkataannya.Dia mengamati air muka gadis itu yang tampak tak nyaman di sisi ranjang. Lipatan di keningnya bermunculan seiring erangan dan pergerakan mengibas-ibaska
Syila benar-benar merasa bingung dengan serentetan pertanyaan tanpa henti yang diajukan Karin padanya. Pertanyaannya adalah kenapa laki-laki itu dikait-kaitkan? Dan pada kenyataannya tidak ada hubungannya sama sekali.“Jawab!” tuntut Karin, lalu ia berkata dengan marah, “nanti biar aku yang akan membalas semua perbuatannya!”Syila mengerutkan dahi, ia mencerna semua kalimat yang terucap dari Karin. Lantas ia menyimpulkan satu hal bahwa Karin telah salah paham. “Kakak salah paham.”“Hah?” Karin melongo. Buru-buru ia membekap mulutnya dan melotot tajam. “Maksudnya?” tanyanya tolol.“Bukan Kak Julian, tapi ....” tiba-tiba tenggorokan Syila seolah disumpal benda tajam, terasa sakit dan napasnya pun tersendat-sendat layaknya dicekik tangan-tangan transparan.Karin memandangi buliran air mata yang meleleh di sudut mata Syila. “Tidak apa-apa kalau kamu tak bisa mengatakannya.” Karin bergerak merengkuh pundak Syila, sementara ia tak kuasa menahan gejolak kesedihan berupa isak tangis.Syila me