Share

4/1. Liontin Bulan Sabit

Teramat dalam luka yang tertoreh, hingga kepercayaan pun sukar 'tuk tergenggam.

***

Sepasang kekasih itu melangkah penuh percaya diri. Tak peduli jika mereka menjadi pusat perhatian semua orang. Kemesraan yang mereka ciptakan, membuat semua orang diam-diam merasa iri. Secara keduanya memiliki fisik yang sempurna. Cantik dan tampan. Wajar jika mereka semua merasa iri melihatnya. Seolah keduanya memang sengaja diciptakan sebagai sepasang kekasih yang sempurna.

Keduanya sudah terbiasa mendapatkan tatapan itu selama satu tahun hubungan mereka berlangsung. Berjalan bersama di tempat umum, saling berpegangan tangan tanpa niatan untuk melepaskan adalah momen romantis yang sering mereka tunjukkan di depan umum.

Pandangan iri dari orang-orang itu terputus, tatkala sepasang kekasih itu masuk ke sebuah toko perhiasan. Langsung saja mereka disambut oleh seorang wanita cantik.

"Hai, Felisya. Apa kabar?" Irene langsung menghampiri Felisya dan mereka saling bercipika-cipiki.

"Hai, aku baik."

Irene menatap seorang lagi yang berdiri di samping Felisya. Tampaknya ia terkagum-kagum dengan sosok lelaki yang menurutnya paket komplit, tipe idaman kaum wanita.

Felisya tahu dan sangat hafal tingkah kaum wanita jika mereka melihat Raka. Dan Irene termasuk salah satu di antaranya. Sengaja ia menyenggol lengan Irene untuk menyadarkannya dari khayalannya tentang Raka.

"Sori ya. Kalau yang ini udah nggak available lagi. Jadi, cari buruan yang lain sana," sindir Felisya sambil bergelayut manja di lengan Raka.

Irene cemberut. "Siapa tau dia khilaf tunangan sama kamu."

Felisya melotot garang. Irene malah memasang wajah innocent, seolah tanpa dosa.

"Siapa, Fel?" tanya Raka.

"Dia Irene pemilik toko jewelry ini sekaligus yang nge-desain cincin pertunangan kita."

Raka menjulurkan tangan, memperkenalkan diri. "Raka."

Irene gugup bukan main saat tangannya bergerak menyambut uluran tangan Raka. Kapan lagi bisa bersalaman dengan cowok ganteng, pikirnya.

"Irene," ucapnya dengan suara selembut mungkin.

Felisya langsung menarik tangan Irene. Karena jika terlalu lama ia tak yakin jika Irene kebal akan pesona yang dimiliki Raka.

"Elah, nggak liat orang senang dikit." Irene mencibir perlakuan Felisya yang terlalu posesif.

"Cuma memperingati. Gimana cincinnya udah jadi?" tanya Felisya.

Irene mencibir. "Pengalihan topik. Ikut aku!"

Raka dan Felisya mengikuti langkah Irene yang berjalan ke arah ruang kerjanya. Mereka berdua duduk selagi Irene mengambil pesanan mereka dan tak butuh waktu lama Irene kembali dengan kotak beludru warna merah di tangan.

Irene meletakkan kotak itu di atas meja kerjanya. Saat ia membuka kotak, dua cincin berwarna silver berpendar indah tertimpa cahaya lampu ruangan. 

Ukirannya sederhana tetapi itu membuatnya tampak lebih elegan. Felisya benar-benar jatuh hati dengan cincin yang dibuat khusus untuknya dan Raka. Sungguh persis seperti apa yang ia bayangkan.

"Gimana?" tanya Irene meminta pendapat.

"Aku nggak pernah meragukan kemampuanmu. Ini sesuai dengan keinginanku," ucap Felisya sambil menatap kagum kedua cincin itu.

Irene tersenyum puas.

"Gimana sayang?" tanya Felisya meminta pendapat dari Raka.

Raka tersenyum. "Aku suka," jawabnya singkat.

"Kamu tahu. Aku membuat cincin ini karena aku terinspirasi dari melihat bulan dan bintang."

"Oh, ya? Jadi cincin ini ada maknanya?" Felisya tampak sangat antusias.

"Tentu," ujarnya bangga.

"Kalian ibarat bulan dan bintang. Dua benda langit dengan sinar yang indah. Jika salah satu di antaranya hilang, maka yang lain akan melindungi dengan cahaya. Saling melengkapi tak peduli dengan pekatnya malam atau awan mendung yang menutupinya."

Mata Felisya berkilat-kilat senang. "Wah, aku nggak nyangka sedalam ini makna cincin pertunangan kami dan aku suka perumpamaanmu kami seperti bulan dan bintang."

"Sayang, menurutmu aku bulan atau bintang?" tanya Felisya pada Raka.

Raka menatap Felisya cukup lama, sebelum akhirnya berkata, "Bintang."

"Kenapa?"

"Karena bulan sendiri tak ada artinya tanpa bintang di sisinya."

Felisya menatap Raka penuh cinta. Penjelasan Raka barusan sudah cukup baginya untuk mengetahui perasaan Raka yang tak bisa hidup tanpanya.

Lain hal dengan Raka. Memang ia mengucapkannya dengan tulus, tetapi ada kehampaan yang ia rasakan. Dia tidak tahu apa itu. Diam-diam penjelasan Irene mengusik hati dan pikiran Raka. Liontin, bulan sabit dan bintang. Dua hal itu langsung menyeret ingatannya kembali ke masa dua tahun silam.

***

Felisya menggenggam erat tangan Raka di atas meja. Dari tadi Raka hanya diam dan menatap makanan di atas meja tanpa sedikit pun menyentuhnya. Hal itu membuat Felisya terganggu tentunya.

Raka tersentak ketika tangannya disentuh oleh Felisya. Ia menatap tangannya dan beralih menatap Felisya. Lamunannya buyar seketika.

"Apa ada masalah?" tanya Felisya cemas.

Raka menggeleng, "Tidak ada."

"Tapi kamu nggak nyentuh sama sekali makananmu sejak makanan ini ada di meja. Apa makanannya nggak enak?"

Raka menarik napas. "Bukan itu. Aku cuma memikirkan pekerjaanku aja," balas Raka datar.

Raka menarik tangannya dari genggaman Felisya. Ia mengambil sendoknya dan mulai menyuap. Felisya tak sepenuhnya percaya. Melihat perubahan sikap yang ditunjukkan Raka, terlintas sebuah pertanyaan yang siap ia lontarkan. Namun, mungkin hanya perasaannya saja. Sehingga ia tak jadi bertanya.

"Kak Felisya? Kak Raka?"

Seorang gadis muncul tiba-tiba menghentikan acara makan mereka di food court. Felisya menatap gadis itu penuh tanda tanya.

"Siapa, ya?" tanya Felisya penasaran.

Tanpa meminta izin terlebih dahulu, gadis itu langsung duduk di samping Felisya. Kaget. Hal pertama yang dirasakan gadis itu saat pertemuan tak sengajanya dengan Felisya dan Raka. Dia begitu sangat gembira terlihat dari wajahnya.

"Aku Naomi, Kak. Teman Syila waktu SMA," ucap Naomi antusias.

"Naomi?" ulang Felisya tak percaya.

Naomi mengangguk. "Apa kabar, Kak?"

"Baik. Kamu ke mana aja?"

Naomi mengerutkan dahi. "Lho, Syila emang nggak cerita, ya sama Kakak?"

Kebingungan tercetak jelas di raut wajah Felisya.

"Aku pindah sekolah ke Australia, Kak," jelas Naomi.

"Oh." Felisya tak mampu berkomentar apa pun.

"Ngomong-ngomong Syila di mana, Kak? Biasanya, kan kalian bertiga selalu bersama kalau jalan keluar," tanya Naomi heran.

Pertanyaan Naomi membuat Felisya tak berkutik. Jujur dia tak memiliki alasan bagus untuk menjawab pertanyaan Naomi.

"Dia lagi sibuk kuliah." Kali ini Raka yang menjawab.

Felisya memandang Raka penuh antisipasi. Takut apa yang dia khawatirkan akan terjadi pada Raka. Namun, ia tak melihat perubahan ekspresi sedikit pun. Datar tanpa emosi. Saat menjawab pun terdengar tenang dan enteng.

"Oh. Aku kangen banget sama dia, Kak. Sejak dua minggu kepindahanku ke Aussie. Kita jarang banget kontak-kontakan. Terus tiba-tiba kita lost kontak gitu." Nada suara Naomi terdengar sedih.

"Aku inget banget waktu sebelum aku berangkat ke Aussie. Dia sedih banget waktu kehilangan liontinnya. Katanya hilang pas jam pelajaran olahraga. Aku ikut bantu dia nyari liontin itu, Kak. Sampai magrib di lapangan outdoor. Aku merasa bersalah, deh nggak bisa bantu dia soalnya aku harus prepare buat berangkat ke Aussie paginya."

Felisya tersentak. Tubuhnya langsung menegang. Ia memalingkan wajah menatap Raka. Pandangannya masih datar tanpa emosi sedikit pun.

"Tapi liontin itu udah ketemu kan, Kak?" tanya Naomi waswas.

"Iya," ucap Raka datar.

"Syukur, deh. Aku kasihan sama Syila waktu tahu ia kehilangan liontinnya. Dia kelihatan sedih banget terus nangis. Katanya liontin itu sangat berarti baginya," katanya lega.

"Oh ya, Kak. Kakak punya nomer HP-nya Syila?"

Felisya terdiam. Ia berpikir untuk mencari sejuta alasan untuk menyangkal pertanyaan Naomi. Namun, tak ada satu pun jawaban yang tercetus di otaknya.

"Na, gue cariin ternyata lo di sini. Filmnya mau mulai, nih."

Seorang laki-laki datang tiba-tiba dengan wajah menahan kesal. Ia menatap Naomi dengan tajam, tetapi aksinya tidak berpengaruh sama sekali pada Naomi. Bukannya takut, ia malah tertawa.

Seketika ketegangan Felisya mengendur. Entah dia harus bersyukur atau berterima kasih sebab suara yang menginterupsi tadi mengalihkan perhatian Naomi.

"Gue lagi ngobrol sama Kakak temen gue."

Vikri menatap Naomi dengan dongkol. "Tapi filmnya udah mau mulai. Sia-sia dong gue beli tiket, tapi kita nggak jadi nonton."

"Bawel. Bentar dulu dong, Vik." Naomi mulai kesal jika pacarnya itu mulai cerewet.

"Gue kasih 30 detik tanpa ada bantahan," ucap Vikri penuh otoriter.

"Maaf ya, Kak. Aku harus pergi sekarang. Kalau nggak nanti bantengnya ngamuk."

Vikri, pacar Naomi langsung memelototinya. Sedangkan Naomi sama sekali tak peduli.

''Salam buat Syila, ya, Kak. Bilang sama dia aku kangen banget sama dia."

Felisya mengangguk kikuk.

"Bye, Kak Feli, Kak Raka." Naomi melambaikan tangan sebelum pergi.

Felisya menatap kepergian keduanya yang saling berpegangan tangan. Perasaannya campur aduk. Beralih menatap Raka, pria itu  sibuk dengan makanannya. Sepertinya kejadian tadi bukan hal yang mengganggu baginya.

Felisya tentunya bernapas lega. Perkataan Naomi tak berpengaruh bagi Raka. Sehingga tak ada yang perlu untuk dikhawatirkan. Kembali ia menyantap makanannya yang sempat tertunda dengan perasaan lega.

Apa yang dipikirkan Felisya sepenuhnya salah besar. Bukan berarti apa yang ditunjukkan Raka di permukaan sama persis dengan isi hatinya. Mungkin Felisya menganggap raut wajah Raka yang datar menunjukkan jika dia sudah melupakan masa lalunya dan ia sama sekali tak peduli. Padahal di dalam hatinya ada pergolakan batin yang membuat berbagai kemungkinan muncul secara perlahan.

Liontin. Bulan dan bintang.

"Maaf, Kak. Aku nggak sengaja menghilangkan liontin pemberian Kakak pas jam pelajaran olahraga. Aku udah cari liontin itu, tapi nggak ketemu."

***

Raka menggenggam erat liontin berbentuk bulan sabit dan bintang itu penuh amarah. "Lo temuin ini di mana?"

"Di klub."

Raka menatap tajam ke arah lelaki yang berdiri tepat di hadapannya. Dia salah satu orang yang bekerja di klub.

''Bohong!"

"Terserah lo mau percaya atau nggak. Gue punya bukti lain selain liontin ini. Bukti kalau dia sering datang ke sini."

Satu pukulan telak menghantam rahang lelaki itu hingga ia jatuh tersungkur. Dengan cepat, Raka menindih tubuh lelaki itu dan mencengkeram kerah kemejanya. Amarah sudah menguasai Raka sepenuhnya. Dua pukulan kembali ia layangkan ke wajah lelaki itu hingga darah terlihat di sudut bibirnya.

Lelaki itu bahkan tak sedikit pun menampakkan ketakutan saat matanya bertubrukan dengan mata Raka yang kesetanan. Ia malah memasang smrik, seolah menantang Raka.

"Bahkan gue pernah nyicipin tubuhnya."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status