Keesokan harinya, sebuah mobil Range Rover hitam terparkir tak jauh dari gerbang kos-kosan. Kedatangannya menarik perhatian penghuni kos lainnya yang sebagian besar wanita. Bisik-bisik mulai terdengar saat pemilik mobil itu keluar.
Seorang pria blasteran, berkemeja biru dongker, memakai celana jeans dan kacamata hitam bertengger di hidungnya yang mancung. Menambah kadar kemaskulinan sang lelaki hingga membuatnya menjadi dambaan kaum hawa. Apalagi garis rahang yang membingkai wajah serta cambang yang membuat siapa pun yang melihatnya tak akan mampu menahan decakan kekaguman.
Saat lelaki itu membuka kacamata hitamnya, tak terelakkan lagi teriakan demi teriakan tertahan dari gadis-gadis yang sengaja mencuri kesempatan menarik perhatian si lelaki. Sayangnya, ia tak mengindahkan.
Yang ia pedulikan adalah sesosok tubuh mungil keluar dari gerbang. Rambutnya yang tergerai mempercantik penampilannya yang hanya memakai kaos di balut blazer dan bawahannya skinny jeans.
"Harusnya kita ketemuan di tempat lain," ucap Syila.
"Kenapa?" tanya Julian heran.
"Kakak nggak lihat, semua penghuni kos yang rata-rata perempuan pada keluar liatin Kakak, tuh." Syila mengedikkan dagunya ke tempat di mana para gadis mencuri pandang ke arah mereka berdua.
Julian melongokan tubuh. Benar juga yang dikatakan Syila. "Ayo kita pergi sebelum aku jadi korban fantasi liar mereka".
Keduanya memasuki mobil milik Julian. Segera mobil itu bergerak membawa mereka membelah jalan raya yang dipadati kendaraan lain. Untung kepadatan arus kendaraan tak menghambat laju mobil, sehingga Julian bernapas lega bisa tepat waktu sampai ke butik.
Syila mengerutkan dahi. Sudah sepuluh menit berlalu, tapi Julian tak beranjak dari kursi kemudi. Ia mengamati Julian yang tengah menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya kasar.
"Kita udah sampai, Kak," kata Syila mengingatkan.
"Oh iya." Julian mengusap wajahnya kasar.
"Kakak kenapa?" tanya Syila cemas.
"Grogi," jawabnya singkat.
Julian keluar dari mobil. Ia merapikan sejenak pakaiannya dan melihat ke spion mobil memastikan tatanan rambutnya masih keren. Sebenarnya dia melakukan itu untuk siapa? Tanya Syila pada dirinya sendiri.
Sambutan hangat mereka dapatkan dari seorang wanita cantik, pegawai butik dilihat dari seragamnya saat mereka masuk ke butik itu. Julian mengamati ruangan tersebut sampai setiap sudut tak luput dari pengamatannya.
Impiannya akhirnya terwujud juga, batin Julian.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Lamunan Julian buyar. Ditatapnya pegawai itu dengan datar. "Saya ingin mengambil pesanan ibu saya atas nama Rahma Widjaya."
"Baik. Anda bisa duduk sebentar. Sementara saya akan mengambilkan pesanan Anda."
"Tunggu, saya ingin bos Anda yang melayani saya."
Wajah pegawai itu terperangah. "Maaf, tapi itu adalah tugas saya."
"Apa salah jika seorang pelanggan meminta pelayanan langsung ke pemilik butik ini? Saya orang yang sibuk. Setiap waktu yang saya miliki sangat berharga dan sekarang terbuang sia-sia karena kamu," ucap Julian menahan emosi.
''Maaf, tapi saat ini Bu Karin sedang sibuk. Jadi mohon maaf ...."
"Saya tidak butuh maaf dari kamu. Saya hanya minta bos kamu melayani saya saat ini juga, kamu mengerti?" sela Julian cepat.
Pegawai itu mati kutu. Syila merasa aneh dengan sikap Julian yang agaknya terlalu berlebihan.
Wanita itu menyerah. "Baik saya akan panggilkan atasan saya.''
Wanita itu pergi. Syila memandang Julian dengan heran. Ada kegusaran di mata Julian. Mondar-mandir berkali-kali sampai Syila pusing melihatnya. Sepenting apakah pemilik butik itu bagi Julian hingga dia mendadak seperti ini?
Sesosok gadis cantik berjalan tergesa-gesa ke arah mereka. Tampak tak kesulitan padahal ia memakai high heel sangat tinggi. Di belakangnya pegawai tadi mengekor sambil membawa paper bag.
Ketika mata Julian bertemu dengan mata indah itu. Keterkejutan sangat terlihat di mata gadis itu yang dibingkai indah dengan bulu mata yang lentik. Ada emosi yang meluap-luap di sana saat Syila melihatnya. Sedangkan Julian, Syila menangkap kerinduan yang tak tertahankan yang menggebu-gebu di kedua matanya. Satu hal yang Syila tangkap dari bahasa tubuh yang mereka tunjukkan.
Mereka pernah menjalani suatu hubungan yang spesial.
Saat Karin menatap Syila. Ia menunjukkan sikap sinis. Tatapannya seolah terganggu dengan kehadiran Syila. Beralih ia menatap Julian. Laki-laki yang sangat ingin ia tendang ke Mars.
"Ehem! Maaf, Apa Anda ingin mengajukan komplain?" Wajah Karin berubah dingin dan datar.
Julian awalnya terperanjat dengan perubahan air muka Karin yang signifikan. Namun, dia ingin mengetahui lebih lanjut dengan cara mengikuti permainan Karin. Maka dengan cara itulah ia dapat memuaskan hasrat penasarannya yang sekian lama bercokol di benak.
"Sudah lama kita tidak bertemu," jawab Julian santai.
Sekilas Karin mengerutkan dahi. "Saya sedang sibuk sekarang. Mohon Anda mengerti dan katakan keperluan Anda segera."
"Kamu berubah,'' balas Julian enteng.
Jika pengendalian diri Karin tak sebaik sekarang. Ia pastikan satu bogeman melayang ke muka Julian yang terlihat sangat memuakkan di mata Karin.
"Jika Anda hanya membuang waktu saya, sebaiknya Anda berkonsultasi dengan asisten saya," geram Karin.
"Kamu terlihat sexy," ucapnya penuh sensual.
Bukan hanya asisten Karin yang menatap mereka bingung, Syila pun juga. Bagaimana tidak, sejak tadi Julian dan Karin saling bercakap-cakap, tapi tidak nyambung satu sama lain.
Karin menatap Julian jijik. "Jika tidak ada keperluan, saya mohon Anda keluar sekarang juga," ucap Karin berusaha menahan kesabarannya.
"Kalau aku tidak mau?" Julian menaikkan alis sambil memasang tatapan meremehkan.
"Saya pastikan kursi di pojok sana melayang mengenai wajah Anda!"
***
Julian menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Ia mengusap wajah frustrasi. Ekspektasinya melenceng jauh sekali. Perkiraannya gadisnya itu masih sama dengan gadis lima tahun yang lalu. Namun, ternyata sudah berubah 180 derajat. Dia pikir ucapan Karin hanyalah gertakkan saja, ternyata gadis itu nekat mengambil kursi dan bersiap melemparnya. Untung dia cepat-cepat keluar dari butik itu. Kalau tidak wajahnya yang tampan bisa tak berbentuk lagi terkena lemparan kursi.
Di sampingnya, Syila mengamati perubahan drastis wajah Julian. Semenjak dari butik sampai mereka duduk di Cafe Orchid, Julian seperti orang aneh. Kadang mengumpat, mengebut di jalan, memaki traffic light yang tak kunjung berwarna hijau.
Puncaknya ketika seseorang tak sengaja menyenggol bahunya saat di pintu cafe, dia langsung menyemprot dengan makian kasar. Syila sadar penuh jika Karin pemilik butik itu adalah penyebab Julian sefrustrasi ini.
"Kak Ian, ada hubungan apa sama pemilik butik itu?" tanya Syila penasaran.
Julian menoleh sebentar. "Dia mantan terindah Kakak," jawabnya lesu, sambil memijit pelipisnya yang terasa berdenyut-denyut. Seperti mau pecah.
Syila terkejut mendengarnya. ''Kalau mantan terindah, kenapa sampai bisa putus?"
"Hubungan kita putus karena kesalahanku." Julian menerawang. Ingatannya atas perilakunya dulu yang buruk terhadap Karin, membuatnya semakin merasa bersalah.
"Aku tahu Kakak masih sayang sama dia. Kenapa Kakak tidak mencoba memperbaiki hubungan kalian?" saran Syila.
Julian mendesah. "Terlalu rumit, Syil. Terlalu dalam rasa sakit yang kutorehkan untuknya. Lagian kamu tadi lihat, kan dia sangat galak. Hampir saja wajah tampanku terkena imbasnya."
"Sudahlah tidak usah membahas masalah kakak. Kamu mau pesan apa?" Julian menegakkan punggung dan meraih buku menu di atas meja.
Julian memanggil seorang pria berseragam pelayan yang sudah siap dengan note dan pena.
"Terserah Kakak saja."
"Espresso satu, milkshake satu. Dua porsi kebab dan satu porsi es krim rasa chocolate banana," pesan Julian.
"Baik, pesanan segera kami antar." Setelah berkata seperti itu, pelayan tersebut langsung melesat ke arah dapur.
"Masih suka es krim?" tanya Julian ketika pesanan mereka telah tersaji di meja.
Syila mengangguk sambil menyunggingkan senyum tipis. "Masih, tapi tidak sefanatik dulu."
Julian menyeruput kopi pahit itu sambil mengamati perubahan di wajah Syila. Dia tahu pertanyaannya menyinggung masa lalu Syila.
Julian menatap Syila, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. "Aku ingin kamu bertemu dengan seseorang," kata Julian hati-hati.
Syila berhenti menyuapkan es krim ke mulut, lalu menatap Julian. "Siapa?"
"Aku ingin kamu berjanji padaku sebelum bertemu dengannya."
Syila merasa waswas ketika ia melihat wajah Julian yang terlihat sangat serius. Lalu gadis itu mengangguk ragu-ragu.
"Seberat apa pun nanti kamu harus tetap menjaga emosimu, oke? Percaya pada Kakak apa pun yang terjadi aku ada di samping kamu,"
Syila mengangguk. Meskipun keresahannya belum sepenuhnya memudar.
"Dia datang," gumam Julian pada dirinya sendiri.
Seorang laki-laki berwajah sedikit oriental menghampiri keduanya. Matanya terlihat sangat sayu dan lelah.
"Hai Syil, apa kabar?"
Syila membekap mulut rapat. Semua kilasan masa lalu langsung menyerbu. Syila menggeleng, mencoba tak mempercayai sosok di hadapannya. Namun, sosok itu nyata. Masa lalunya langsung terpampang sangat jelas. Kebencian, kepedihan rasa sakit, kecewa semua bercampur menjadi satu memenuhi hati, membuatnya sangat sesak.
"Minumlah! Tidak akan membuatmu mabuk."
"Kenapa kamu selalu menghindariku."
"Kamu bukan anakku lagi."
"Kamu sudah mengecewakan Mama dan Papa."
"Sudah berapa laki-laki yang sudah kamu layani, Jawab!"
Bisikan-bisikan langsung menyerbu memenuhi pikirannya. Kedua tangannya menutup kedua telinga. Berusaha menghalau bisikan-bisikan itu, tetapi tetap gagal.
Air matanya berhasil meloloskan diri. Pertahanan yang selama ini ia bangun hancur seketika. Sakit. Lebih sakit dari sebelumnya. Isaknya mulai terdengar memilukan.
"Pergi!" pekik Syila.
"Syil. Tenang!" Julian memegangi kedua bahu Syila yang bergetar hebat.
"Kumohon Pergi!"
"PERGI!!!"
"Syila!!!" teriak Julian memanggil Syila yang berlari keluar kafe.
Julian langsung berlari menyusul Syila tanpa menghiraukan keberadaan cowok oriental itu, bahkan ia tak peduli tatapan penasaran dari pengunjung lain. Ia khawatir jika ia tak segera menyusul, takutnya Syila akan melakukan hal yang gila.
Cowok oriental itu hanya bisa berdiri mematung menatap kepergian Syila dan Julian. Kesedihan dan penyesalan langsung memenuhi dirinya.
Teramat dalam luka yang tertoreh, hingga kepercayaan pun sukar 'tuk tergenggam.***Sepasang kekasih itu melangkah penuh percaya diri. Tak peduli jika mereka menjadi pusat perhatian semua orang. Kemesraan yang mereka ciptakan, membuat semua orang diam-diam merasa iri. Secara keduanya memiliki fisik yang sempurna. Cantik dan tampan. Wajar jika mereka semua merasa iri melihatnya. Seolah keduanya memang sengaja diciptakan sebagai sepasang kekasih yang sempurna.Keduanya sudah terbiasa mendapatkan tatapan itu selama satu tahun hubungan mereka berlangsung. Berjalan bersama di tempat umum, saling berpegangan tangan tanpa niatan untuk melepaskan adalah momen romantis yang sering mereka tunjukkan di depan umum.Pandangan iri dari orang-orang itu terputus, tatkala sepasang kekasih itu masuk ke sebuah toko perhiasan. Langsung saja mereka disambut oleh seorang wanita cantik."Hai, Felisya.
Sudah sepuluh menit Resti berdiri di depan kamar Syila. Berkali-kali ia mengetuk pintu kamarnya. Namun, tak ada respons. Semenjak kepulangan Syila, Resti merasa ada yang tidak beres dengan Syila. Ia ingin bertanya pada Syila apa yang sudah terjadi padanya. Namun, pertanyaannya tak sempat ia ucapkan. Pasalnya, Syila langsung mengurung diri dan tak mau keluar.Lamat-lamat ia mendengar suara tangisan tertahan dari dalam. Resti menghentikan aksi mengetuk pintu. Ia sadar jika Syila butuh waktu untuk menyendiri dan sekarang bukan waktunya ia untuk bertanya. Mungkin nanti jika Syila sudah merasa tenang."Bagaimana?" tanya Julian.Semenjak ia mengikuti taksi yang membawa Syila pergi dari Cafe Orchid, rasa khawatir terus melanda Julian. Ia takut jika Syila kenapa-kenapa makanya ia terus mengikuti taksi itu. Julian sangat lega ternyata Syila pulang ke kos-kosannya dan sekarang ia menyusul Resti karena ia tak sabar menunggu di luar. Hanya untuk
Seberapa keras pun kamu menghapus rasa cintamu terhadapnya, tetap akan sia-sia. Sekalipun berhasil tetap masih ada cinta yang tertinggal.***Sejak kejadian di Cafe Orchid, Syila berubah menjadi sosok yang sangat dingin dan sulit tersentuh. Resti menyadari perubahan itu. Masa lalu Syila memang mengubahnya menjadi gadis yang jarang tersenyum, datar dan sedikit bicara.Kali ini Syila sudah sangat keterlaluan. Dia membangun benteng tak kasat mata yang berdiri kokoh dan sulit tertembus oleh siapa pun. Bahkan, Resti tidak melihat ada sinar kehidupan sedikit pun di kedua bola mata Syila. Seolah raganya hidup, namun jiwanya telah mati.Syila semakin jarang mengajak Resti mengobrol. Itu pun ia lakukan jika ia membutuhkan sesuatu atau bertanya soal tugas kuliah. Selebihnya, Syila memendamnya sendiri. Resti
Entah apa yang membawanya berada di depan Restoran Gergeous. Mungkin, satu hal yang ia tahu bahwa hatinya penuh dengan perasaan ambigu. Antara percaya dan tidak. Pikirannya juga penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang akhir-akhir ini mulai mengganjal.Tarikan napas adalah hal yang pertama ia lakukan untuk meyakinkan diri bahwa jawaban atas pertanyaannya ada di sini. Setelah ia yakin dengan keputusannya adalah tepat, ia melangkah, memasuki restoran itu.Seorang laki-laki yang menjabat sebagai manajer restoran datang menghampiri. Manajer itu sangat mengenal baik sosoknya."Selamat datang, Pak Raka. Ada yang bisa saya bantu?" sapa manajer itu dengan ramah."Aku ingin bertemu langsung dengan Julian. Dia ada?" ucap Raka datar."Tentu. Beliau sedang berada di ruang kerjanya di lantai tiga.""Bisa kau antar aku ke ruangannya?""Silakan ikuti say
Mungkin kamu telah melepasku. Membiarkan mata hatimu tertutup oleh kabut dusta. Namun, biarlah aku tetap meraihmu sekalipun kau memilih tuk pergi menjauh. ***Uh!Kalau saja Resti tidak melarikan diri setelah kelas usai, Syila tidak akan membawa terlalu banyak buku tebal yang ia pinjam di perpustakaan kampus sebagai referensinya untuk mengerjakan tugas makalah.Ia pasti menyuruh Resti untuk membantu membawakannya dan jika Syila bertemu dengan Resti nanti, dia pastikan sahabatnya itu akan mendapatkan balasannya nanti.Karena sibuk merutuki sahabatnya itu, tanpa sadar ia menabrak seseorang. Akibatnya buku-buku di tangannya jatuh berserakan di lantai koridor. Syila menunduk. Memungut buku-bukunya satu per satu tanpa melihat siapa yang ia tabrak.“Maaf ...
Meski cinta terlalu menyakitkan, akankah tetap menyalahkannya sekalipun kata maaf terbuka lebar. Tetap saja akan sulit jika hatimu telah mematikan dirinya sendiri. *** Langit memperlihatkan warna biru memukau mata. Tak kalah birunya dengan deburan ombak yang saling berkejar-kejaran seirama arah angin yang berembus. Embusannya menerbangkan helaian rambut panjang milik seorang gadis cantik yang kini sedang menatap penuh kekaguman pada ombak pantai yang jarang ia lihat. Kaki telanjangnya tenggelam dalam butiran halus pasir putih. Lalu tak lama ombak menghantam bagian betisnya. Ia tertawa merasakan rok motif bunga-bunganya basah terkena air laut. Tak jauh dari tempat gadis itu berdiri, seorang laki-laki seumuran dengannya sedang duduk mengamati tingkah si gad
Kilasan itu langsung hadir begitu saja. Seakan waktu sengaja membawanya kembali ke masa dua tahun silam. Ia memejam, mencoba mengusir kenangan menyakitkan itu.Saat matanya perlahan terbuka. Ia dihadapkan dengan kenyataan yang lebih menyakitkan dari kenangannya yaitu sosok nyata dari Alfa. Berdiri di depan gerbang kampus sambil menatap Syila dengan penuh pengharapan.Tubuh Syila kaku. Ia memalingkan wajah dan menerobos mahasiswa lain yang juga keluar dari kampus. Tak peduli protes dari mereka yang tanpa sengaja Syila tabrak.“Syil!”Suara Alfa terus berteriak memanggil namanya. Langkah Syila semakin cepat karena ia tahu Alfa pasti mengejarnya.Sejak dari tadi Alfa sengaja menunggu Syila keluar dari gerbang kampus. Tujuannya adalah satu, yaitu berbicara padanya dan menyelesaikan masalah di antara mereka. Ia tahu itu akan sulit. Namun, ia h
Rasa itu masih ada meskipun berkali-kali menepisnya. Kekhawatiran itu diam-diam menjalar, walau kebencian terlalu pongah untuk merajai sisi hati. ***Raka tak habis pikir dengan adegan yang tanpa sengaja ia lihat di depan kafe dekat kampusnya. Awalnya ia ingin bertemu seseorang di kafe tersebut. Namun, sebuah pemikiran terlintas di benak Raka, membuatnya mengurungkan niat untuk masuk ke dalam kafe tersebut.Apakah ancaman Raka kemarin tak berarti apa-apa baginya?Mengingat hal itu Raka semakin geram. Dilihatnya Syila masuk ke dalam mobil Julian setelah Julian membukakan pintu mobil untuk Syila.Mobil itu perlahan berjalan meninggalkan pelataran parkir. Helm yang dipakai Raka belum sempat ia lepas. Terlebih lagi ia masih nangkring di atas motor sport merah-nya. Sehingga hal itu mem