LOGINThe most important thing in the world is family and love. The strength of a family, like the strength of an army, is in its loyalty to each other. Family time is sacred time and should be protected and respected. Family is where life begins & love never ends. — Copyright 2021 © Xyrielle All Rights Reserved No Copy Stories No Plagiarism Disclaimer: This is a work of fiction. Names, characters, business, events and incidents are the products of the author’s imagination. Any resemblance to actual persons, living or dead, or actual events is purely coincidental.
View MorePukul 02:47 dini hari. Angka merah di jam digital menyala seperti mata iblis dalam kegelapan kamar. Aku terbangun lagi dengan perasaan hampa yang menggerogoti dada.
Di sampingku, Dimas tidur membelakangi tubuhku. Bahunya naik-turun teratur, tenggelam dalam tidur lelap yang tak terganggu. Suara napasnya bercampur dengan dengingan AC, menciptakan simfoni kesunyian yang terlalu familiar.
Aku menggeser tubuh perlahan di atas kasur king size yang terasa terlalu luas untuk dua orang yang tak lagi berbagi kehangatan. Sprei satin krem itu dingin menyentuh kulit, sedingin jarak yang menganga di antara kami.
Mata yang enggan terpejam memandang langit-langit polos. Cat putih sempurna tanpa retakan—seperti kehidupan pernikahan yang kami pamerkan pada dunia. Tapi di balik kesempurnaan itu, ada kehampaan yang menggerogoti dari dalam.
Kapan terakhir kali Dimas menyentuhku dengan lembut? Bukan sentuhan terburu-buru di pagi hari atau sentuhan mekanis saat ia membutuhkan pelepasan. Memori itu terasa jauh, seolah milik orang lain.
Tiga tahun sudah sejak kami menikah. Rasanya seperti tinggal bersama orang asing yang kebetulan berbagi nama keluarga. Dimas Prasetya, suami mapan yang setia pada pekerjaannya, selalu pulang tepat waktu tapi tak pernah benar-benar "pulang" untukku.
Aku bangkit dari tempat tidur, kaki telanjang menyentuh lantai parket sejuk. Cermin besar memantulkan bayangan seorang wanita 29 tahun dengan rambut sebahu berantakan, mengenakan piyama sutra dusty pink—hadiah anniversary pertama dari Dimas. Dulu ia bilang warna itu cocok dengan kulitku. Sekarang, bahkan dalam lingerie termahal, matanya tetap tertuju pada laptop atau ponsel.
Langkah membawaku ke jendela yang menghadap taman belakang. Gordyn cream kusingkap, membiarkan cahaya bulan masuk. Pohon mangga yang kami tanam saat baru menikah kini tinggi, daunnya bergoyang tertiup angin.
Aku ingat betapa excited-nya kami merancang rumah ini. Dimas yang pendiam jadi cerewet membahas setiap detail. Kami pernah bertengkar karena perbedaan selera warna cat. Sekarang kusadari, pertengkaran itu lebih hidup dibanding percakapan datar belakangan ini.
"Morning, sayang." "Sudah makan?" "Jangan lupa kunci pintu." "Aku pulang agak malam."
Kalimat-kalimat pendek itu sudah jadi rutinitas. Tidak ada lagi "Aku merindukanmu" atau mata yang berbinar saat bertemu. Yang ada hanya kewajiban suami-istri yang dijalankan dengan autopilot.
Tiba-tiba, musik memecah keheningan. Suara jazz lembut dengan saxophone sensual dari rumah sebelah—rumah yang baru ditempati minggu lalu. Siapa yang masih terjaga jam segini?
Aku mendekatkan wajah ke jendela, mengintip. Lampu rumah sebelah menyala, bayangan seseorang bergerak di balik tirai. Penasaran itu memberikan sensasi yang sudah lama tak kurasakan. Sesuatu yang baru, berbeda dari rutinitas membosankan yang menjerat hidupku.
Dulu, sebelum menikah, aku Raisa yang berbeda. Yang bekerja di bank, punya teman kantor, sering keluar malam, tertawa lepas, merasa hidup. Sekarang hanya Raisa si istri Dimas, hari-hari diisi rutinitas yang sama: bangun, masak, bersih-bersih, menunggu suami pulang, tidur, lalu bangun dengan perasaan hampa yang sama.
Kapan aku mulai kehilangan diriku sendiri?
Musik berganti—lebih slow, lebih intim. Melody itu membuatku teringat malam-malam pertama pernikahan. Saat Dimas masih mencium keningku sebelum tidur, memelukku erat, saat kami bercinta dengan mata terbuka, saling tenggelam dalam hasrat tulus.
Sekarang bercinta pun jadi rutinitas. Sebulan sekali, dengan gerakan terprediksi. Dimas menyentuh dengan terburu-buru, aku merespons seadanya, lalu selesai. Tidak ada foreplay, kata manis, atau pelukan setelahnya. Ia langsung ke kamar mandi, aku terbaring dengan perasaan kosong.
Aku pernah mencoba membicarakan ini. Setelah "sesi rutin" yang mekanis, aku bertanya, "Dimas, apa kita baik-baik saja?"
"Kenapa? Ada masalah apa?"
"Aku merasa kita... berbeda. Jarang bicara, jarang dekat."
"Raisa, kita kan sudah menikah. Wajar kalau tidak seperti dulu lagi."
Kalimat itu seperti tamparan halus. Jadi menikah berarti kehilangan keintiman? Menerima kehambaran sebagai sesuatu "wajar"?
Malam itu aku menangis dalam diam sementara Dimas tertidur nyenyak. Sejak itu, aku tak pernah lagi membicarakan perasaanku. Untuk apa? Ia sudah merasa hidup kami "normal-normal saja."
Tapi aku tidak. Aku merasa mati perlahan-lahan.
Musik dari rumah sebelah berhenti. Kesunyian kembali menyelimuti. Aku masih berdiri di jendela, memandang rumah yang kini gelap. Siapa dia? Pertanyaan-pertanyaan menari di kepala, memberikan distraksi dari keresahan. Sudah lama aku tidak merasakan penasaran seperti ini.
Jam menunjukkan 03:15. Sebentar lagi subuh. Dimas bangun 05:30 untuk jogging—rutinitas yang ia jalani tanpa mengajakku. Setelah itu sarapan dalam diam, lalu berangkat kerja hingga malam. Dan aku? Melanjutkan hari dengan aktivitas sama: bersih-bersih rumah yang sudah bersih, memasak untuk orang yang makan tanpa berkomentar, menonton TV sendirian.
Hidup yang sempurna di mata orang lain. Rumah mewah, suami mapan, tidak ada masalah finansial atau kekerasan. Tapi mengapa rasanya seperti mati?
Aku kembali ke tempat tidur. Dimas masih memunggungi, seolah bahkan dalam tidur tidak membutuhkanku. Aku berbaring hati-hati, tidak ingin membangunkannya.
Di luar, burung-burung mulai berkicau samar. Fajar akan menyingsing, membawa hari baru dengan rutinitas sama, perasaan sama, kekosongan sama.
Tapi malam ini berbeda. Ada musik dari rumah sebelah. Ada seseorang yang juga terjaga. Untuk pertama kali dalam waktu lama, aku merasa penasaran pada sesuatu. Dan entah mengapa, perasaan itu membuatku sedikit lebih hidup.
Ketika tidur datang, aku bermimpi tentang musik jazz lembut, bayangan di balik tirai, dan kemungkinan-kemungkinan yang belum pernah kupikirkan sebelumnya.
Masaya akong nakikita masaya ang pamilya ko sa nakalipas na taon maraming pagsubok ang dumating sa pamilya namin na hindi ko inaakala at maiisip na malalampasan namin. Kapag holidays umuuwi ang pamilya ko sa Pilipinas para makasama ang mga anak ko na nakapag-asawa na rin may masaya na silang pamilya ngayon.Dati, ang pamilyang meron kami parang babasaging pinggan na imposible nang mabuo dahil sa pinag-daanan namin mula sa relasyon ko kay Chris, sa pagkamatay ng anak ko at muntik mawalan nang pamilya ang anak ko. Kuntento na ako sa nakikita ko ngayon na dati imposible ko pang makita dahil nabulag ako binalik niya ang paningin ko nakita niya ang pag-asa sa isipan ko at binalik nito ang nawalang paningin ko."Elisa!" narinig kong tawag nang taong tumanggap sa nakaraan ko at minahal ako nang lubos pati ang mga anak ko.Napangiti na lang ako at yumakap kaagad sa asawa ko hinalikan naman niya ako sa labi ko na tinugon ko kaagad. "I love you, mommy.." pahayag niya nang humiwalay na siya sa p
Nakita ko na hinawakan niya ang kamay ni Amila at napangiti ako siya ang nakamana ng kabaitan ni Mama sa amin magkakapatid."Gago talaga ang magulang niya nasira tuloy ang magandang mukha ni ate Amila, kuya sana magising na siya, Eliza kung naririnig mo kami gisingin mo ang ate Amila mo kung nandito ka." banggit ng kapatid ko kinilabutan ako sa sinabi nito may third eye kami kaya alam kong nasa paligid lang sila.Kaya gusto ko alagaan at bantayan si Amila dahil nakikita ko siyang umiiyak at natatakot sa isang sulok ng kwartong ito. Hindi lang ako nagpa-halata dahil hindi pa rin nawawala ang takot ko sa multo. Nakikita namin noon si Papa noong dumalaw kami sa sementeryo kita namin na malungkot siya na hindi na siya ang kasama namin."Papa!" tawag namin ng kapatid ko nang umalis sandali si Mama at daddy sa tapat ng puntod ni Papa hinayaan nila kami tumambay."Papa, bakit mo nagawa sa amin 'yon?!" sumbat ng kapatid ko alam kong nakatingin sa amin si Papa ayaw niyang lumapit sa amin."Akal
Huminga na lang ako pagkatapos ko kausapin si Amila hinawakan ko ulit ang baby bump niya. Tumayo na ako at lumakad palabas ng kwarto niya nakita ko na nakikipag-usap si daddy sa magulang ng kaibigan ni Amila.Nakatayo lang ako at hindi nila ako napapansin ng umubo ako ng mahina tinawag ako ni daddy."Ricky?" tawag ni daddy sa akin nang mapansin niyang natutulala na lang ako sa likod nila.Kaagad niya ako nilapitan at niyakap nang mahigpit at hindi ko naiwasang humagulgol ng iyak kahit may mga taong nakakakita sa akin humigpit ang yakap ko nang hinimas niya ang ulo ko. Hindi ko na maintindihan ang nararamdaman ko ngayon parang gusto ko na lang bumagsak sa sahig huminga na lang ako ng malalim."Daddy!! Tama na!!!" sigaw ko habang umiiyak nang malakas wala na akong pakialam sa paligid namin.Naramdaman kong inaalo ako ni daddy at naalala ko noong bata pa ako ganito si Papa 'yong hindi pa siya nag-bibisyo sobra pa nga kaya nagalit ako sa gumagawa ng pinag-babawal na gamot dahil sa droga n
Napangiti na lang ako sa mag-asawa at nagsalita ako sa kanilang dalawa."Salamat sa malasakit nyo sa amin na kahit nyo kami kamag-anak at ka-close talaga tinulungan nyo kami sa problema namin," sabi ko sa kanilang dalawa nakita ko ang kanilang itsura."Nakita kasi nang anak ko ang tunay nyong ugali lalo na si Ricky, Troy kaya tinulungan namin kayo sa pinag-dadaanan nyo at hindi ko inaakala na magagawa nila ang ganito sa kanilang nag-iisang anak hindi hayop ang anak nila para parusahan ng matindi nagmahal lang naman si Amila ayoko matulad ang anak ko sa kaibigan niya at sa ninuno ng asawa ko na hindi nakakapili ng asawa ang mga panganay na anak—babae man o lalaki sa kanilang angkan." diing sagot sa akin ng magulang nang kaibigan ni Amila.I nodded because we have the same vision for our beloved children."My wife and I also have the same vision for our children who will find a partner in life in due time." I said."We want to see our son happy in his dream family of his own," Amila's f






Maligayang pagdating sa aming mundo ng katha - Goodnovel. Kung gusto mo ang nobelang ito o ikaw ay isang idealista,nais tuklasin ang isang perpektong mundo, at gusto mo ring maging isang manunulat ng nobela online upang kumita, maaari kang sumali sa aming pamilya upang magbasa o lumikha ng iba't ibang uri ng mga libro, tulad ng romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel at iba pa. Kung ikaw ay isang mambabasa, ang mga magandang nobela ay maaaring mapili dito. Kung ikaw ay isang may-akda, maaari kang makakuha ng higit na inspirasyon mula sa iba para makalikha ng mas makikinang na mga gawa, at higit pa, ang iyong mga gawa sa aming platform ay mas maraming pansin at makakakuha ng higit na paghanga mula sa mga mambabasa.
reviews