Elisi ni Elisa (Scarce Series #18)

Elisi ni Elisa (Scarce Series #18)

last updateLast Updated : 2023-07-20
By:  Amarra LuzCompleted
Language: Filipino
goodnovel18goodnovel
10
1 rating. 1 review
106Chapters
3.8Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

The most important thing in the world is family and love. The strength of a family, like the strength of an army, is in its loyalty to each other. Family time is sacred time and should be protected and respected. Family is where life begins & love never ends. — Copyright 2021 © Xyrielle All Rights Reserved No Copy Stories No Plagiarism Disclaimer: This is a work of fiction. Names, characters, business, events and incidents are the products of the author’s imagination. Any resemblance to actual persons, living or dead, or actual events is purely coincidental.

View More

Chapter 1

Kabanata Uno

Pukul 02:47 dini hari. Angka merah di jam digital menyala seperti mata iblis dalam kegelapan kamar. Aku terbangun lagi dengan perasaan hampa yang menggerogoti dada.

Di sampingku, Dimas tidur membelakangi tubuhku. Bahunya naik-turun teratur, tenggelam dalam tidur lelap yang tak terganggu. Suara napasnya bercampur dengan dengingan AC, menciptakan simfoni kesunyian yang terlalu familiar.

Aku menggeser tubuh perlahan di atas kasur king size yang terasa terlalu luas untuk dua orang yang tak lagi berbagi kehangatan. Sprei satin krem itu dingin menyentuh kulit, sedingin jarak yang menganga di antara kami.

Mata yang enggan terpejam memandang langit-langit polos. Cat putih sempurna tanpa retakan—seperti kehidupan pernikahan yang kami pamerkan pada dunia. Tapi di balik kesempurnaan itu, ada kehampaan yang menggerogoti dari dalam.

Kapan terakhir kali Dimas menyentuhku dengan lembut? Bukan sentuhan terburu-buru di pagi hari atau sentuhan mekanis saat ia membutuhkan pelepasan. Memori itu terasa jauh, seolah milik orang lain.

Tiga tahun sudah sejak kami menikah. Rasanya seperti tinggal bersama orang asing yang kebetulan berbagi nama keluarga. Dimas Prasetya, suami mapan yang setia pada pekerjaannya, selalu pulang tepat waktu tapi tak pernah benar-benar "pulang" untukku.

Aku bangkit dari tempat tidur, kaki telanjang menyentuh lantai parket sejuk. Cermin besar memantulkan bayangan seorang wanita 29 tahun dengan rambut sebahu berantakan, mengenakan piyama sutra dusty pink—hadiah anniversary pertama dari Dimas. Dulu ia bilang warna itu cocok dengan kulitku. Sekarang, bahkan dalam lingerie termahal, matanya tetap tertuju pada laptop atau ponsel.

Langkah membawaku ke jendela yang menghadap taman belakang. Gordyn cream kusingkap, membiarkan cahaya bulan masuk. Pohon mangga yang kami tanam saat baru menikah kini tinggi, daunnya bergoyang tertiup angin.

Aku ingat betapa excited-nya kami merancang rumah ini. Dimas yang pendiam jadi cerewet membahas setiap detail. Kami pernah bertengkar karena perbedaan selera warna cat. Sekarang kusadari, pertengkaran itu lebih hidup dibanding percakapan datar belakangan ini.

"Morning, sayang." "Sudah makan?" "Jangan lupa kunci pintu." "Aku pulang agak malam."

Kalimat-kalimat pendek itu sudah jadi rutinitas. Tidak ada lagi "Aku merindukanmu" atau mata yang berbinar saat bertemu. Yang ada hanya kewajiban suami-istri yang dijalankan dengan autopilot.

Tiba-tiba, musik memecah keheningan. Suara jazz lembut dengan saxophone sensual dari rumah sebelah—rumah yang baru ditempati minggu lalu. Siapa yang masih terjaga jam segini?

Aku mendekatkan wajah ke jendela, mengintip. Lampu rumah sebelah menyala, bayangan seseorang bergerak di balik tirai. Penasaran itu memberikan sensasi yang sudah lama tak kurasakan. Sesuatu yang baru, berbeda dari rutinitas membosankan yang menjerat hidupku.

Dulu, sebelum menikah, aku Raisa yang berbeda. Yang bekerja di bank, punya teman kantor, sering keluar malam, tertawa lepas, merasa hidup. Sekarang hanya Raisa si istri Dimas, hari-hari diisi rutinitas yang sama: bangun, masak, bersih-bersih, menunggu suami pulang, tidur, lalu bangun dengan perasaan hampa yang sama.

Kapan aku mulai kehilangan diriku sendiri?

Musik berganti—lebih slow, lebih intim. Melody itu membuatku teringat malam-malam pertama pernikahan. Saat Dimas masih mencium keningku sebelum tidur, memelukku erat, saat kami bercinta dengan mata terbuka, saling tenggelam dalam hasrat tulus.

Sekarang bercinta pun jadi rutinitas. Sebulan sekali, dengan gerakan terprediksi. Dimas menyentuh dengan terburu-buru, aku merespons seadanya, lalu selesai. Tidak ada foreplay, kata manis, atau pelukan setelahnya. Ia langsung ke kamar mandi, aku terbaring dengan perasaan kosong.

Aku pernah mencoba membicarakan ini. Setelah "sesi rutin" yang mekanis, aku bertanya, "Dimas, apa kita baik-baik saja?"

"Kenapa? Ada masalah apa?"

"Aku merasa kita... berbeda. Jarang bicara, jarang dekat."

"Raisa, kita kan sudah menikah. Wajar kalau tidak seperti dulu lagi."

Kalimat itu seperti tamparan halus. Jadi menikah berarti kehilangan keintiman? Menerima kehambaran sebagai sesuatu "wajar"?

Malam itu aku menangis dalam diam sementara Dimas tertidur nyenyak. Sejak itu, aku tak pernah lagi membicarakan perasaanku. Untuk apa? Ia sudah merasa hidup kami "normal-normal saja."

Tapi aku tidak. Aku merasa mati perlahan-lahan.

Musik dari rumah sebelah berhenti. Kesunyian kembali menyelimuti. Aku masih berdiri di jendela, memandang rumah yang kini gelap. Siapa dia? Pertanyaan-pertanyaan menari di kepala, memberikan distraksi dari keresahan. Sudah lama aku tidak merasakan penasaran seperti ini.

Jam menunjukkan 03:15. Sebentar lagi subuh. Dimas bangun 05:30 untuk jogging—rutinitas yang ia jalani tanpa mengajakku. Setelah itu sarapan dalam diam, lalu berangkat kerja hingga malam. Dan aku? Melanjutkan hari dengan aktivitas sama: bersih-bersih rumah yang sudah bersih, memasak untuk orang yang makan tanpa berkomentar, menonton TV sendirian.

Hidup yang sempurna di mata orang lain. Rumah mewah, suami mapan, tidak ada masalah finansial atau kekerasan. Tapi mengapa rasanya seperti mati?

Aku kembali ke tempat tidur. Dimas masih memunggungi, seolah bahkan dalam tidur tidak membutuhkanku. Aku berbaring hati-hati, tidak ingin membangunkannya.

Di luar, burung-burung mulai berkicau samar. Fajar akan menyingsing, membawa hari baru dengan rutinitas sama, perasaan sama, kekosongan sama.

Tapi malam ini berbeda. Ada musik dari rumah sebelah. Ada seseorang yang juga terjaga. Untuk pertama kali dalam waktu lama, aku merasa penasaran pada sesuatu. Dan entah mengapa, perasaan itu membuatku sedikit lebih hidup.

Ketika tidur datang, aku bermimpi tentang musik jazz lembut, bayangan di balik tirai, dan kemungkinan-kemungkinan yang belum pernah kupikirkan sebelumnya.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Maligayang pagdating sa aming mundo ng katha - Goodnovel. Kung gusto mo ang nobelang ito o ikaw ay isang idealista,nais tuklasin ang isang perpektong mundo, at gusto mo ring maging isang  manunulat ng nobela online upang kumita, maaari kang sumali sa aming pamilya upang magbasa o lumikha ng iba't ibang uri ng mga libro, tulad ng romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel at iba pa. Kung ikaw ay isang mambabasa, ang mga magandang nobela ay maaaring mapili dito. Kung ikaw ay isang may-akda, maaari kang makakuha ng higit na inspirasyon mula sa iba para makalikha ng mas makikinang na mga gawa, at higit pa, ang iyong mga gawa sa aming platform ay mas maraming pansin at makakakuha ng higit na paghanga mula sa mga mambabasa.

reviews

Amarra Luz
Amarra Luz
Completed na po ito! Sana magustuhan nyo
2023-07-25 23:00:54
0
0
106 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status