"Bagaimana menurutmu?" Catherine menoleh pada Esme saat pintu lift telah menutup, dan hanya mereka berdua yang masuk.
Dari nomor unit yang didapat Catherine tadi, unit mereka di lantai 17. Lift melaju naik ke lantai 17.
"Bagus. Ini pas untuk kita. Cukup mewah, tapi tetap pas di kantong," jawab Esme apa adanya.
Catherine terkikik mendengarnya. "Tenang saja! Jika uang kita habis, kita tinggal menelepon Jullio atau Enrique, dan merayu mereka untuk mengirimkan kita uang.""Tapi itu kan bisa membocorkan di mana keberadaan kita?"
"Pintar sedikit dong. Kita bisa pergi ke kota lain dulu barulah menelepon dari sana."
Esme mengangguk-angguk mendengarnya. Tiba-tiba lift berbunyi dan berhenti di lantai 3. Saat pintu terbuka, sepasang insan yang sempat dilihat Catherine di lobby tadi yang masuk. Catherine mundur sampai ke dinding belakang lift, seraya menarik Esme mengikutinya. Entah mengapa dia merasa tak suka melihat cara kedua orang itu memandangi mereka. Seakan mereka sangat waspada. Yang laki-laki menekan tombol close dan menekan nomor 19. Namun saat pintu lift hendak menutup, sebuah tangan tiba-tiba menahannya. Itu adalah pria tampan yang sempat dilirik Catherine saat di lobby, saat pria itu mengantri di belakang mereka. Pintu lift yang tak jadi menutup akhirnya menjadikan pria tampan itu masuk dan segera memosisikan dirinya di sudut paling belakang lift. Pria itu tidak menekan tombol apapun. Dia terlihat tidak peduli di lantai berapa mereka akan turun.Saat lift mencapai lantai 17, Catherine menarik Esme agar gegas keluar dari lift. Tak mereka sadari, sepasang kekasih yang menekan angka 19 tadi, ternyata juga ikut keluar.
Mereka berjalan hingga tiba di ujung koridor sempit di mana letak unit mereka berada. Saat tiba di depan pintu mereka, tiba-tiba tas pinggang Esme ditarik dengan cepat dan ternyata sepasang kekasih di lift tadi yang mengambilnya.
Esme terlalu terkejut untuk berteriak sedangkan Catherine yang menjeritkan, "Aaaaah!""Mereka mengambil uangku!" seru Esme pada akhirnya.
"Tolong! Tolong!" seru Catherine sambil dia melompat-lompat kecil merasa gelisah.
Di bagian depan koridor, berbelok ke kanan, terdengar suara percakapan yang menegangkan.
"Kembalikan tas itu!" seru suara rendah seorang pria.
"Kau pikir kau siapa, huh! Bedebah busuk! Minggir kau!" seru suara lelaki yang pastilah si perampok tadi.
Sedetik kemudian, terdengar suara teriakan ngeri seorang perempuan. Catherine dan Esme bergegas mendatangi sumber suara. Mereka terpukau melihat pria yang terakhir masuk di lift tadi sedang melumpuhkan sepasang kekasih yang merampok uang Esme.
Pria tampan itu memukul sang lelaki hingga terjatuh, kemudian dia memelintir tangan lelaki itu hingga terkunci dibelakang punggungnya. Ditariknya tas yang dipegang lelaki itu, kemudian dilemparnya ke arah Esme.
"Hentikan! Apa-apaan kau!" teriak wanita dari lelaki yang dibekuk si pria tampan.
"Kalian merampok orang lain. Tentu harus diberi pelajaran! Jika sampai kulihat kau berani mencoba merampok kedua lady ini lagi, akan kupatahkan tanganmu serta kakimu, serta kuremukkan tulang-tulang tanganmu ini. Mengerti?!"
Anggukan takut terlihat dari gerakan kepala si lelaki yang merampok. Setelahnya tangan yang sedang dipelintir itu dilepaskan. Kedua kekasih itu langsung angkat kaki berlari terbirit-birit dari situ.
Esme memeluk tas pinggangnya dan menatap si penolongnya dengan kedua mata yang berbinar-binar memuja. "Terima kasih. Jika kau tidak menghentikan mereka, aku tidak tau lagi bagaimana aku bisa membiayai hidupku selama di sini."
Si pria tampan itu mengangguk mantap. "Ya, kalian berdua lebih berhati-hatilah. Sebaiknya uangmu disimpan di rekening saja. Agar lebih aman. Jika begini, akan banyak perampok yang mengincarnya."
Esme menggeleng kali ini. "Sayang sekali, aku tidak punya rekening bank. Sepupuku ini juga tidak. Tapi, terima kasih banyak atas saranmu. Akan kupikirkan tempat menyimpan lain yang lebih aman."
Si pria mengangguk kembali kemudian dia berjalan melewati Esme serta Catherine yang juga turut terpana. Pria itu berbelok ke arah koridor tempat unit mereka. Mereka berpandang-pandangan sesaat lamanya, dan kemudian bergegas menyusulnya. Ternyata unit pria itu tepat berada di depan unit mereka.Dengan pandangan malu-malu, Esme menuju pintu unit mereka, yang persis di depan pria penolongnya tadi dan membukanya. Tatapannya penuh senyum merona pada pria itu. "Kita tetangga," kata Esme lagi.
Lagi-lagi, pria itu hanya mengangguk, membuka pintunya, kemudian masuk ke dalam.
Catherine mendorong Esme agar cepat masuk ke unit mereka.
"Waaaw! Dia keren sekali!" ujar Esme dengan kedua matanya terbelalak, serta raut terpesona masih tercetak jelas di wajahnya.
Catherine terkikik melihat sepupunya itu. "Iya, dia ganteng. Tapi terlalu kaku. Wajahnya saja datar seperti itu. Pasti orangnya kolot."
"Ah, wajah datarnya tak jauh beda dengan wajah ayahmu."
"Justru itu .... Aku malas dengan pria kaku. Apalagi kolot seperti ayahku! Hahaha. Aku lebih suka yang murah senyum seperti ayahmu."
"Hihihi, ayahku memang murah senyum tapi hanya pada kita yang perempuan-perempuan ini. Tapi kalau sudah dengan lawan bisnisnya, lalatpun akan tergeletak mati hanya karena tatapannya, hahaha."
"Hahaha, kau benar sekali! Uncle Marco memang memiliki senyum maut."
"Itulah ayahku. Ngomong-ngomong kalau aku sih dengan pria yang wajahnya datar dan kaku tak masalah, asal dia ganteng dan baik padaku. Dan yang tadi itu Gan-teng. Oh, aku baru satu hari di sini sudah jatuh cinta pada pria tadi? Aku pasti sudah gila!" ujar Esme sembari berputar-putar bersama dengan tas uangnya.
Catherine tertawa lagi. Wanita itu memaklumi bagaimana Esme yang seperti burung baru lepas sangkar, hanya melihat pria tampan sedikit saja sudah langsung jatuh cinta. So naive.
"Sudah, sudah!" ujar Catherine lagi. "Besok kukenalkan kau dengan pria-pria yang lebih tampan dan yang pasti masih muda, seumuran dengan kita. Bukan yang kolot seperti tadi."
Mendengar itu, Esme semakin membelalak lebar kedua matanya. "Kau bercanda!"
"Tidak! Aku serius!"
"Bagaimana bisa?" tanya Esme heran. Bukankah mereka baru saja tiba di pulau ini? Bagaimana bisa Catherine sudah memiliki teman untuk dikenalkannya?
***
Darren melangkah memasuki unit apartemen sewaannya yang akan menjadi huniannya selama tiga bulan ke depan. Di hadapannya, dia masih bisa menangkap suara pintu apartemen kedua gadis tadi ditutup dan dikunci dari dalam.
Pria dengan rambut tipis di rahangnya itu menggelengkan kepalanya. Setidaknya mereka ingat untuk mengunci pintu. Sedangkan cara mereka menyimpan dan mengambil uang di tas pinggang tadi sangatlah ceroboh.
Darren menggeleng lagi, berusaha berhenti memedulikan kedua gadis itu. Dia ke sini karena diperintahkan untuk berlibur. Meski begitu, dia bertekad akan menggunakan waktu liburannya untuk menyusuri sepak terjang Don Signoraz, The Evil Capo dari kartel Signoraz, lebih dalam lagi, agar mendapatkan kelemahan buronan most wanted di seluruh benua Amerika itu.
Dibukanya tas koper besar yang sedari tadi dibawanya. Selain pakaian, di dalamnya terdapat sebuah laptop, serta beberapa alat yang selama ini senantiasa sangat dia butuhkan dalam pekerjaannya.
Dikeluarkannya semua itu dan diaturnya di atas sebuah meja kerja. Setelah semua tersusun rapi, Darren menuju jendela. Dia bersandar di sana, membuka jendela membiarkan angin turut menyapu pengap di hunian sementaranya ini. Ditatapnya sebagian isi pulau Hawaii beserta lautnya yang terpampang di bawah sana. Senja yang telah membentang di awan mulai menggelap, hingga membuat kota itu bagaikan kelam dan kelabu.
Darren menatap langit yang mulai temaram. Bayangan James merasuk lagi di dirinya. Dibisiknya lirih ke atas sana,
"Tenanglah di alam sana, James. Aku akan membuat Don Signoraz membayar semua dosa-dosanya!"
Tiga hari di Claymont terasa kurang bagi Darren maupun Esme. Akan tetapi, apa mau dikata. Mereka sudah harus pulang. Pekerjaan Darren menantinya. Dengan pangkat baru, tanggung jawab baru, Darren tidak bisa berlama-lama cuti, meskipun dia berharap dia bisa. Sebelum meninggalkan Claymont di hari itu, pagi harinya Esme mengajak Darren menuju ke perkebunan anggur. Dia ingin membawa pulang anggur berkualitas yang langsung bisa dia petik di perkebunan itu. Kebetulan, pemilik perkebunan mengenal baik keluarga Darren. Mereka menyusuri perkebunan itu dengan Mr. Thompson, pemilik perkebunan. Pria paruh baya itu sambil menjelaskan pohon anggur mana yang buahnya berkualitas baik. Hingga tiba di deretan pohon yang berada tepat di tengah-tengah kebun, Mr. Thompson berhenti. “Ini yang paling berkualitas di sini. Dan kau beruntung, ada yang baru berbuah dan belum dipetik. Jika kau datang siang ini, aku yakin buah ini sudah tidak ada di sini.” Esme tersenyum senang. “Trims, Mr. Thompson. Tapi, ak
“Aku ingin tempat yang lebih tenang untuk hidup. Kota kecil atau pedesaan rasanya lebih cocok untukku.”“Pedesaan? Bagaimana kau bisa hidup di pedesaan?”“Aku bisa bertani. Atau beternak. Rasanya lebih menantang, dari pada hanya duduk seharian di apartemen dan menghabiskan uangku untuk minum dan makan saja.”Selesai mengucapkan itu, Martinez melewati Catherine begitu saja.Catherine begitu shock hingga dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Mengejar pria itu? Atau membiarkannya pergi? Catherine seperti kehilangan akalnya sendiri.Baru saat langkah Martinez semakin jauh darinya, Catherine baru tersadar. Gegas dia mengejar pria itu.“Jangan! Jangan pergi!”Martinez menghela napasnya. “Tekadku sudah bulat, Cath.”“Sudah bulat bagaimana? Kenapa kau tiba-tiba pergi? Padahal kau tidak boleh pergi! Kau ha
Pagi itu, Darren duduk di kursi makannya. Dia sedang menyesap kopinya saat matanya tertuju pada layar ponsel. Claire mengiriminya undangan pesta pernikahan. Sebagai kakaknya, tanpa dikirimi undangan pun Darren pasti harus hadir. Tetapi, adiknya itu tetap ingin mengiriminya undangan.Melihat undangan itu, Darren merasa ada yang menggelitik hatinya.Sepiring poblano peppers tersaji di hadapannya secara tiba-tiba. Esme menyusul dengan duduk di sebelah pria itu. Wajahnya tersenyum lembut, memancarkan kebahagiaan.“Wow! Sarapan yang menggiurkan,” ucap Darren dengan matanya berbinar penuh gejolak.“Ya! Tadi kebetulan bangun lebih pagi, dan semua bahannya ini lengkap. Jadi, aku masak saja ini.” Esme mengambil satu dan memasukkannya ke dalam mulut. Dia mengunyah dengan perlahan dan sambil menikmatii rasa yang bercampur dalam mulutnya.“Hmmm, ini sangat lezat. Kau tidak makan?”“Tentu, aku akan
“Apa yang terjadi di sini, biarlah berlalu. Tidak perlu disimpan dalam hati apalagi sampai dibawa pulang ke rumah kita. Aku tidak ingin kebersamaan kita nantinya ternoda dengan segala hal yang diucapkan Claire padamu. Bisakah?”Mendengar ucapan Darren, air mata Esme luruh lagi. Dia menganggukkan kepalanya. Darren menghapus air mata itu dan mengecup wajah Esme dengan penuh kasih.Setelahnya, mereka membawa segala barang bawaan mereka keluar kamar.Baru juga membuka pintu, sosok Claire sudah menghadang Esme di sana.“Mau apa lagi kau?” hardik Esme pada Claire. Rasanya seluruh persendian tubuhnya terasa sakit karena segala emosinya tersentak pada perseteruannya dengan Claire.Darren pun yang masih menarik koper di belakang Esme langsung menghardik Claire juga. “Claire, please. Apa tidak capek kau memikirkan hal itu terus-menerus?”Claire menggeleng. Wajahnya terlihat pucat dan lemah. Dan dengan
Catherine menahan napasnya selama perkelahian mereka dan baru mengembuskan napasnya itu saat Garry telah kehilangan kesadaran. Dia mengangkat wajahnya dan pandangannya tertaut pada tatapan mata Martinez. Di benaknya, dia mengharapkan Martinez akan menanyakan dengan lembut, ‘apa kau tidak apa-apa?’ Namun yang terjadi sesungguhnya, pria itu menatapnya marah dan membentaknya. “Apa kau sudah gila?! Apa kau sudah tidak punya harga diri lagi?!” Catherine shock minta ampun. Dia sampai terbelalak dan mulutnya menganga lebar. Martinez masih melanjutkan kemarahannya pada Catherine. “Kalau kau bodoh, lebih baik kau tinggal di rumah dan mengurus bayimu. Bukannya berkeliaran mencari lelaki lajang. Kau haus belaian atau apa, huh?!” Kata-kata Martinez begitu menusuk hati Catherine. Dia yang baru saja merasakan keterkejutan karena perlakuan Garry yang membuatnya takut, kini malah harus menghadapi kemarahan Martinez. Dia bahkan dikatai b
“LEPASKAN! KAU BAJINGAN!” Catherine berusaha keras untuk berteriak, memukul, menendang. Apa saja agar terlepas dari kungkungan Garry. Tetapi, pria itu jauh lebih kuat darinya.Kini, wajah Garry berada di atas wajahnya. Bibirnya menjelajah di sekeliling pipi dan lehernya, membiarkan liurnya menempel di kulit Catherine. Dan pada akhirnya bibir itu mendarat di bibirnya.Catherine meronta-ronta ingin melepaskan dirinya.Namun nyatanya, tangan Garry malah merobek kaosnya.Catherine semakin histeris. Segala tenaga dia kerahkan hanya untuk merasakan terjangan tenaga yang lebih besar lagi dari Garry.“HELP! HELP!!!” teriak Catherine putus asa. Garry sudah bagai binatang buas yang siap membantai korbannya. ***Tok tok tok.Darren mengetuk pintu kamar orang tuanya. Tak lama kemudian, ayahnya membuka pintu dengan perlahan. Te