Share

04. What'd You Do?

Margarita Bandares mengelap sudut matanya yang basah karena adegan drama yang baru saja ditontonnya. Drama keluarga yang tentram, yang menceritakan kehidupan keseharian yang solid, perjuangan melewati hari demi hari dalam keluarga sederhana adalah jenis drama yang paling dia  sukai.

Adegan yang simpel, yang mengungkapkan betapa hangat tokoh pria memperlakukan istrinya, meski hanya dengan sesuatu hal yang kecil, akan mampu meloloskan air matanya. Inilah yang baru saja terjadi. Wanita 51 tahun itu begitu terenyuh oleh kehangatan cinta tokoh pria di dalamnya.

Wanita berambut coklat pendek, dengan ujung-ujungnya yang mengikal itu bangkit dari sofa empuknya, yang senantiasa menemaninya menonton serial drama setiap siang. Perasaan yang begitu terikat pada adegan di serial dramanya membuat Margarita menginginkan perbincangan dengan gadis kecilnya yang manis.

Dia pun melangkahkan kaki menuju kamar Esme. Diketuknya perlahan sambil menanti jawaban. 

"Esme, Sayang. Kamu mau milkshake? Mom baru dapat stroberi tadi pagi. Kalau mau Mom buatkan ya?" seru Margarita dari depan pintunya.

Namun yang dinanti tak kunjung menjawab.

Margarita kembali mengetuk. Dia heran karena biasanya Esme selalu menjawab setiap diketuk meski baru sekali. Tapi ini, gadis manisnya tak kunjung menjawab.

Resah, Margarita memutar kenop pintu dan semakin terheran-heran karena pintu terbuka dengan mudah. Keningnya semakin berkerut saat mendapati ruang kamar anak gadisnya itu kosong. Tetapi televisi menyala.

Wanita itu meninggalkan kamar dan mulai mencari Esme di ruangan lain. Dia ke ruang duduk, ruang musik, perpustakaan, ruang gym, home theatre, balkon, taman, hingga ke setiap toilet yang ada di rumahnya. Nihil. 

Dia bertanya pada setiap pelayan yang lewat. Tidak ada yang melihat Esme. Firasatnya mulai tak enak.

"Hei, Bill!" seru Margarita pada salah seorang pengawal rumahnya yang sedang mengitari pekarangan samping rumah.

"Yes, Ma'am?" 

"Kau lihat Esme?"

"Nona Esme? Tidak, Ma'am. Sedari tadi pagi saya belum melihatnya."

"Lalu ke mana dia?" gumam Margarita. Kemudian dia memerintahkan pengawalnya itu. "Coba kau tanyakan driver. Apa Nona Esme ada keluar siang ini?"

"Baik, Ma'am."

Si pengawal mengeluarkan walkie talkienya dan menghubungi driver. Setelah bertanya tentang Esme, dia melapor pada sang nyonya. "Nona belum ke mana-mana sepanjang hari ini, Ma'am."

"Benarkah?" Margarita semakin heran. Dia kembali masuk ke dalam rumah. 

Dikeluarkannya ponsel dan ditekannya nomor Esme, seraya dia kembali menuju kamar putrinya itu. Saat nomor terhubung, terdengar bunyi dering ponsel dari dalam kamar. Margarita semakin bertambah heran. Firasatnya berkata ada yang salah tentang Esme di rumah ini.

Dengan jantung berdetak kencang merasa takut akan hal salah yang terjadi, dia membuka pintu kamar Esme. Ponsel putrinya itu tergeletak di atas lemari yang ada di meja rias. Jika ponselnya ada di meja rias, ke mana si empunya ponsel? 

Pikiran Margarita semakin kalut. Saat itulah dia tak sengaja melihat sebuah kerta yang dilipat dan tertulis 'Untuk Mom' di atasnya. 

Dengan tangan gemetar dibuka dan dibaca isinya.

Saat selesai, kedua kakinya terkulai lemah tak bertenaga. Dia berteriak frustrasi, sementara hati dan pikirannya kacau memikirkan apa yang harus dia lakukan.

Memberitahu sang suami? Itu sama saja mencari mati. Apalagi suaminya sedang meeting bisnis yang sangat penting.

Akhirnya, Margarita menekan sebuah nama di ponselnya, Enrique, putra sulungnya yang telah memilih untuk hidup mandiri, terpisah dari keluarga besar mereka. 

"Halo, Enrique?" tanya Margarita dengan suara bergetar.

"Ya, Mom. Ada apa?" tanya Enrique di ujung sana. Dia sedang latihan bersama bandnya, yang akan rekaman dalam beberapa hari lagi. Meski sibuk mengejar impiannya, Enrique menyadari keresahan hati ibunya lewat nada suaranya yang tertekan.

"Adikmu ...," seru Margarita dengan tangis tertahan.

"Kenapa dengan Esme, Mom?

"Dia minggat dari rumah."

"Apa? Minggat? Mom tidak bercanda kan?"

"Mana mungkin Mom bercanda tentang hal begini, Enrique?" Ibunya setengah membentak.

"Iy- iya, Mom. Jadi, sekarang Dad sedang mencari Esme? Kapan dia hilang?"

Ibunya menangis semakin keras. "Mom masih belum berani menghubungi Daddy-mu. Daddy sedang meeting penting di London. Bagaimana ini, Enrique? Ayahmu bisa membunuh Mom jika dia tahu tentang minggatnya Esme."

Margarita terduduk lemah dan tak sanggup menghentikan air matanya. Dia sungguh-sungguh takut, karena dia tahu betul suaminya, Marco Bandares, tidak akan segan melampiaskan kemarahannya padanya. Terlebih yang berurusan dengan Esme, putri kecil kesayangannya.

"Coba Mom kasih tahu Reymond dulu. Biar dia cari jejak Esme dulu. Kalau masih tidak ketemu, baru suruh Reymond yang melapor ke Dad."

"Iya, Enrique. Kamu juga tolong tanya-tanya keluarga kita yang lainnya ya."

"Iya, Mom. Nanti kabarin aku lagi, Mom."

"Iya."

Margarita bergegas memanggil Reymond seperti yang disarankan putra sulungnya. Reymond segera bergerak, berusaha mencari nona-nya. Tinggallah Margarita, sang ibu, yang kini menangisi ketakutannya yang sudah berlipat ganda. Entah mana yang harus lebih dia takuti, Esme yang menghilang, atau karena Marco pasti akan menyiksanya karena kabar hilangnya Esme.

                       

                                   ***

Esme membuka jendela hunian baru mereka yang berada di ruang duduk. Jendela itu mengarah tepat ke arah pantai. Aroma angin yang bercampur asin air laut pun menjadi ciri khas tersendiri yang akan srgera terpatri di benak Esme. 

"Aku heran," ujar Catherine saat melihat barang belanjaan sepupunya itu. Ditunjuknya sport outfits yang berwarna abu-abu, yang terdiri dari atasan dan bawahan. "Buat apa kau membeli ini?"

Esme tersenyum. "Aku mau jogging, besok pagi."

"Kau gila? Jogging? Kita jauh-jauh ke sini hanya untuk kau jogging?"

"Iya. Aku sudah lama memimpikan untuk bisa jogging sendirian, mengitari kompleks, bukan hanya di dalam halaman rumah."

"Yeaah." Catherine akhirnya tertawa setelah mengerti bagaimana terkekangnya Esme di rumah. "Enjoy it, Bitch!" 

"Tentu! aku akan memanfaatkan pelarian kita ini untuk melakukan semua yang tidak pernah kulakukan selama ini. Entah berapa lama kita bisa menikmati ini sebelum Dad menemukan kita." Esme terkikik.

"Tenang saja, mereka takkan bisa menemukan kita dengan mudah. Tidak ada jejak ke mana kita pergi. Kita tidak membawa ponsel ataupun nomor kartu kita. Kita juga sudah mempunyai ID card baru, dan kita pun membeli tiket dengan ID Card baru. Mereka tidak akan bisa melacak jejak kita."

"I hope so, Cath." 

"Oh, Little Girl. Kau tak ingat? Don't call me Catherine anymore. Call me, Alicia and you are Leah."

"Oh, iya. Kau benar. Mulai sekarang, aku, Leah dan kau, Alicia. Dan kita adalah Spencer bersaudara."

Mereka tertawa bersama lagi. Hingga Esme selesai membenahi pakaian barunya, dia bertanya pada Catherine. "Apa yang akan kau lakukan besok?"

Wanita itu tidak langsung menjawabnya, melainkan meliriknya penuh arti. Dan saat itulah ponsel barunya dengan nomor barunya berdering, membuat Esme terkejut. Apakah pelarian mereka sudah ketahuan secepat ini?

Tapi dilihatnya wajah Catherine tak menunjukkan sedikitpun rasa khawatir. Sepupunya itu malah tersenyum senang. 

Dan sebelum Catherine menjawab panggilan masuk itu, dia menunjuk layar ponselnya seraya menjawab Esme terlebih dahulu. "Dia yang akan menjadi kegiatanku besok." 

Senyum merekah lebar di wajah Catherine. Senyum yang nakal dan penuh imajinasi liar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status