Margarita Bandares mengelap sudut matanya yang basah karena adegan drama yang baru saja ditontonnya. Drama keluarga yang tentram, yang menceritakan kehidupan keseharian yang solid, perjuangan melewati hari demi hari dalam keluarga sederhana adalah jenis drama yang paling dia sukai.
Adegan yang simpel, yang mengungkapkan betapa hangat tokoh pria memperlakukan istrinya, meski hanya dengan sesuatu hal yang kecil, akan mampu meloloskan air matanya. Inilah yang baru saja terjadi. Wanita 51 tahun itu begitu terenyuh oleh kehangatan cinta tokoh pria di dalamnya.
Wanita berambut coklat pendek, dengan ujung-ujungnya yang mengikal itu bangkit dari sofa empuknya, yang senantiasa menemaninya menonton serial drama setiap siang. Perasaan yang begitu terikat pada adegan di serial dramanya membuat Margarita menginginkan perbincangan dengan gadis kecilnya yang manis.
Dia pun melangkahkan kaki menuju kamar Esme. Diketuknya perlahan sambil menanti jawaban.
"Esme, Sayang. Kamu mau milkshake? Mom baru dapat stroberi tadi pagi. Kalau mau Mom buatkan ya?" seru Margarita dari depan pintunya.
Namun yang dinanti tak kunjung menjawab.
Margarita kembali mengetuk. Dia heran karena biasanya Esme selalu menjawab setiap diketuk meski baru sekali. Tapi ini, gadis manisnya tak kunjung menjawab.
Resah, Margarita memutar kenop pintu dan semakin terheran-heran karena pintu terbuka dengan mudah. Keningnya semakin berkerut saat mendapati ruang kamar anak gadisnya itu kosong. Tetapi televisi menyala.
Wanita itu meninggalkan kamar dan mulai mencari Esme di ruangan lain. Dia ke ruang duduk, ruang musik, perpustakaan, ruang gym, home theatre, balkon, taman, hingga ke setiap toilet yang ada di rumahnya. Nihil.
Dia bertanya pada setiap pelayan yang lewat. Tidak ada yang melihat Esme. Firasatnya mulai tak enak.
"Hei, Bill!" seru Margarita pada salah seorang pengawal rumahnya yang sedang mengitari pekarangan samping rumah.
"Yes, Ma'am?"
"Kau lihat Esme?"
"Nona Esme? Tidak, Ma'am. Sedari tadi pagi saya belum melihatnya."
"Lalu ke mana dia?" gumam Margarita. Kemudian dia memerintahkan pengawalnya itu. "Coba kau tanyakan driver. Apa Nona Esme ada keluar siang ini?"
"Baik, Ma'am."
Si pengawal mengeluarkan walkie talkienya dan menghubungi driver. Setelah bertanya tentang Esme, dia melapor pada sang nyonya. "Nona belum ke mana-mana sepanjang hari ini, Ma'am."
"Benarkah?" Margarita semakin heran. Dia kembali masuk ke dalam rumah.
Dikeluarkannya ponsel dan ditekannya nomor Esme, seraya dia kembali menuju kamar putrinya itu. Saat nomor terhubung, terdengar bunyi dering ponsel dari dalam kamar. Margarita semakin bertambah heran. Firasatnya berkata ada yang salah tentang Esme di rumah ini.
Dengan jantung berdetak kencang merasa takut akan hal salah yang terjadi, dia membuka pintu kamar Esme. Ponsel putrinya itu tergeletak di atas lemari yang ada di meja rias. Jika ponselnya ada di meja rias, ke mana si empunya ponsel?
Pikiran Margarita semakin kalut. Saat itulah dia tak sengaja melihat sebuah kerta yang dilipat dan tertulis 'Untuk Mom' di atasnya.
Dengan tangan gemetar dibuka dan dibaca isinya.
Saat selesai, kedua kakinya terkulai lemah tak bertenaga. Dia berteriak frustrasi, sementara hati dan pikirannya kacau memikirkan apa yang harus dia lakukan.
Memberitahu sang suami? Itu sama saja mencari mati. Apalagi suaminya sedang meeting bisnis yang sangat penting.
Akhirnya, Margarita menekan sebuah nama di ponselnya, Enrique, putra sulungnya yang telah memilih untuk hidup mandiri, terpisah dari keluarga besar mereka.
"Halo, Enrique?" tanya Margarita dengan suara bergetar.
"Ya, Mom. Ada apa?" tanya Enrique di ujung sana. Dia sedang latihan bersama bandnya, yang akan rekaman dalam beberapa hari lagi. Meski sibuk mengejar impiannya, Enrique menyadari keresahan hati ibunya lewat nada suaranya yang tertekan.
"Adikmu ...," seru Margarita dengan tangis tertahan.
"Kenapa dengan Esme, Mom?
"Dia minggat dari rumah."
"Apa? Minggat? Mom tidak bercanda kan?"
"Mana mungkin Mom bercanda tentang hal begini, Enrique?" Ibunya setengah membentak.
"Iy- iya, Mom. Jadi, sekarang Dad sedang mencari Esme? Kapan dia hilang?"
Ibunya menangis semakin keras. "Mom masih belum berani menghubungi Daddy-mu. Daddy sedang meeting penting di London. Bagaimana ini, Enrique? Ayahmu bisa membunuh Mom jika dia tahu tentang minggatnya Esme."
Margarita terduduk lemah dan tak sanggup menghentikan air matanya. Dia sungguh-sungguh takut, karena dia tahu betul suaminya, Marco Bandares, tidak akan segan melampiaskan kemarahannya padanya. Terlebih yang berurusan dengan Esme, putri kecil kesayangannya.
"Coba Mom kasih tahu Reymond dulu. Biar dia cari jejak Esme dulu. Kalau masih tidak ketemu, baru suruh Reymond yang melapor ke Dad."
"Iya, Enrique. Kamu juga tolong tanya-tanya keluarga kita yang lainnya ya."
"Iya, Mom. Nanti kabarin aku lagi, Mom."
"Iya."
Margarita bergegas memanggil Reymond seperti yang disarankan putra sulungnya. Reymond segera bergerak, berusaha mencari nona-nya. Tinggallah Margarita, sang ibu, yang kini menangisi ketakutannya yang sudah berlipat ganda. Entah mana yang harus lebih dia takuti, Esme yang menghilang, atau karena Marco pasti akan menyiksanya karena kabar hilangnya Esme.
***
Esme membuka jendela hunian baru mereka yang berada di ruang duduk. Jendela itu mengarah tepat ke arah pantai. Aroma angin yang bercampur asin air laut pun menjadi ciri khas tersendiri yang akan srgera terpatri di benak Esme.
"Aku heran," ujar Catherine saat melihat barang belanjaan sepupunya itu. Ditunjuknya sport outfits yang berwarna abu-abu, yang terdiri dari atasan dan bawahan. "Buat apa kau membeli ini?"
Esme tersenyum. "Aku mau jogging, besok pagi."
"Kau gila? Jogging? Kita jauh-jauh ke sini hanya untuk kau jogging?"
"Iya. Aku sudah lama memimpikan untuk bisa jogging sendirian, mengitari kompleks, bukan hanya di dalam halaman rumah."
"Yeaah." Catherine akhirnya tertawa setelah mengerti bagaimana terkekangnya Esme di rumah. "Enjoy it, Bitch!"
"Tentu! aku akan memanfaatkan pelarian kita ini untuk melakukan semua yang tidak pernah kulakukan selama ini. Entah berapa lama kita bisa menikmati ini sebelum Dad menemukan kita." Esme terkikik.
"Tenang saja, mereka takkan bisa menemukan kita dengan mudah. Tidak ada jejak ke mana kita pergi. Kita tidak membawa ponsel ataupun nomor kartu kita. Kita juga sudah mempunyai ID card baru, dan kita pun membeli tiket dengan ID Card baru. Mereka tidak akan bisa melacak jejak kita."
"I hope so, Cath."
"Oh, Little Girl. Kau tak ingat? Don't call me Catherine anymore. Call me, Alicia and you are Leah."
"Oh, iya. Kau benar. Mulai sekarang, aku, Leah dan kau, Alicia. Dan kita adalah Spencer bersaudara."
Mereka tertawa bersama lagi. Hingga Esme selesai membenahi pakaian barunya, dia bertanya pada Catherine. "Apa yang akan kau lakukan besok?"
Wanita itu tidak langsung menjawabnya, melainkan meliriknya penuh arti. Dan saat itulah ponsel barunya dengan nomor barunya berdering, membuat Esme terkejut. Apakah pelarian mereka sudah ketahuan secepat ini?
Tapi dilihatnya wajah Catherine tak menunjukkan sedikitpun rasa khawatir. Sepupunya itu malah tersenyum senang.
Dan sebelum Catherine menjawab panggilan masuk itu, dia menunjuk layar ponselnya seraya menjawab Esme terlebih dahulu. "Dia yang akan menjadi kegiatanku besok."
Senyum merekah lebar di wajah Catherine. Senyum yang nakal dan penuh imajinasi liar.
Pagi hari di Honolulu terasa berbeda. Cuaca yang terasa hangat membuat semangat pagi menjadi lebih membara. Belum lagi aroma pantai yang begitu menggoda, membuat Esme bersemangat menjelajahi kota utama Hawaii itu.Esme sudah siap dengan pakaian joggingnya. Dia sedang mengucir rambut panjangnya menjadi ikatan ekor kuda.Diliriknya jam di dinding. Sudah pukul 05.03, tapi langit di luar sudah cukup terang.Esme menuju pintu dan membukanya. Tepat bersamaan dengannya, di depan pintu unit seberangnya, pria yang menolongnya kemarin juga keluar dari sana.Mereka sempat berpandang-pandangan beberapa saat lamanya, meskipun keduanya sembari menutup pintu.Esme memberikan pria itu senyuman manis yang berbinar-binar."Hai," sapanya dengan rona malu-malu di wajahnya.Pria di hadapannya hanya tersenyum sedikit sembari mengangguk kecil."Silakan." Tangan pria itu terulur mempersilakannya untuk lewat terlebih dahulu. Secercah ra
Dokter menyerahkan resep kepada Darren yang duduk di kursi depan meja kerja sang dokter. Sedangkan Esme dipapah suster menuruni examination table dengan hati-hati menuju kursi di sebelah Darren. Wajah pria itu tetap datar dan tak berubah sedari tadi."Ini resep untuk pain killer dan salep olesnya. Untuk pain killer bisa diminum tiga kali sehari. Jika sudah tidak sakit, bisa distop. Untuk salep boleh dioles sesering yang diinginkan."Selesai menjelaskan, sang dokter tersenyum pada Darren, kemudian menatap Esme yang meringis menahan sakit."Kalau kekasihnya belai penuh rasa sayang, pasti akan cepat sembuh," celetuk dokter yang terlihat berusia pertengahan lima puluh tahun itu, dengan tersenyum penuh arti kepada Esme.Gadis itu merona mendengar ucapan salah paham sang dokter. Diliriknya Darren yang ternyata malah mengangguk kecil. "Terima kasih, Dokter.""Maaf, dokter tadi jadi salah paham mengir
Ada 4 pria dan 2 wanita yang diakui Catherine sebagai teman-temannya. Ke empat pria itu berpakaian kaos kasual dengan celana panjang jeans yang sobek di lutut, di paha, ataupun di betis. Dua di antara mereka memakai topi terbalik. Dua lagi yang tidak memakai topi memiliki rambut yang warnanya di cat hijau dan abu-abu, atau biru bercampur merah.Esme melirik tato di lengan pemuda-pemuda itu. Mereka memasang tato bergambang sama di lengan kanan mereka. Tato bergambar elang yang sedang berdiam di daratan.Selain tato, hal lain yang membuat Esme merasa tidak nyaman adalah motor gede yang mereka bawa. Dia akan ikut naik motor? Yang benar saja! Esme belum pernah naik motor! Perasaannya berkecamuk antara takut tapi juga antusias. Sepertinya naik motor akan terasa seru. Tapi, berada dekat pemuda-pemuda itu membuatnya terintimidasi. Mereka terlihat seperti pemberontak jalanan."Hai semua! Ini adikku, Leah. Dan Leah, ini Hale, Akoni, Ek
Dalam sepuluh menit berikutnya, mereka tiba di sebuah night club terbesar di Honolulu. Setidaknya begitu yang dikatakan Hale. Setelah memarkir, mereka semuanya turun dari motor, termasuk Esme.Jika mau jujur, rasa antusiasme Esme sudah meletup-letup di dalam dadanya karena akhirnya dia bisa datang ke kelab malam bersama pemuda sebayanya. Rasa tidak nyamannya terhadap Brandon seketika dia lenyapkan dari benaknya.Dengan berpasang-pasangan, mereka memasuki night club itu. Musik berdentum-dentum menyambut kedatangan mereka. Dan karena malam ini malam spesial yang digelar oleh night club itu, semua pengunjung diharuskan membayar biaya masuk.Hale dan Catherine menuju kasir dan dapat Esme lihat bahwa Catherine-lah yang mengeluarkan sejumlah uang dan membayar biaya masuk mereka semua."Mau minum apa?" tanya Hale pada Catherine, juga yang lainnya saat mereka sudah mendapatkan tempat di sofa melingkar.
Esme mengeluarkan tenaga terakhirnya untuk meronta dengan sia-sia, sampai di satu titik dia tahu usahanya takkan mungkin menghalau kebejatan Brandon. Esme menangis karena merasa kalah. Dan di sisa-sisa tenaganya itu, dia hanya sanggup berharap alam berpihak padanya dan membantunya menghentikan Brandon.Dan sedetik kemudian, Esme benar terbebas dari cengkeraman Brandon. Secepat itu harapannya didengar Tuhan? Terima kasih Tuhan, batinnya penuh syukur.Bugh!!"Hei, apa-apaan! Siapa kau!"Suara pukulan di tengah bising musik, diikuti erangan sakit dari Brandon, mulai sampai di telinga Esme. Tatapannya kini terarah pada Brandon yang ternyata sedang diserang oleh seseorang.Seorang pria sudah menyelamatkannya dari terkaman nafsu Brandon. Pria itu memukuli Brandon bertubi-tubi hingga Brandon tergeletak di lantai dan tak sanggup melawan lagi.Beberapa saat berlalu dan akhirnya pria itu mulai berhenti dan menegakkan dirinya. Saat itulah Esme baru mel
"Berhati-hatilah dengan pemuda tadi. Sekali dia sudah kurang ajar padamu, berikut-berikutnya dia masih mungkin bersikap seperti itu."Entah kenapa, nasihat Darren yang biasa saja terdengar begitu manis bagi Esme. Seolah pria itu begitu mengkhawatirkannya.Tak ayal, Esme memberikan senyum manisnya yang malu-malu. Jarinya spontan menyelipkan helaian rambutnya di belakang telinga. Terlihat bibir Darren seakan siap mengucapkan perpisahan mereka untuk malam itu. Namun, dering ponsel Esme telah lebih dulu mengisi keheningan mereka yang canggung.Esme mengambil ponselnya dengan Darren yang masih di hadapannya."Ya, halo?""Little Girl, are you okay?" seru Catherine di ujung telepon. Suaranya terdengar sangat panik."Ya. Aku baik-baik saja. Dan aku sudah pulang.""Huft, syukurlah. Aku panik sekali tadi. Dengan siapa kau pulang?" tanya Catherine lagi."Dengan Darren," jawab Esme. Dia sebenarnya masih ingin menjelaskan banyak hal tenta
"Bagaimana?" tanya Hale begitu dia melihat Catherine, alias Alicia, mendekat."Sudah beres! Dia akan tidur."Catherine menatap yang lainnya. "Silakan kalian bisa anggap rumah sendiri. Asal jangan ganggu adikku saja. Dia tidur di kamar yang sana."Brandon dan yang lainnya mengangguk. Catherine kemudian meninggalkan mereka semua di sofa ruang tengah, untuk mengambil minum."Aku rasa kalian kusajikan soft drinks saja ya. Di club tadi sudah minum beralkohol." Catherine mengucapkannya sambil lalu menuju dapur. Dia tahu Hale mengikutinya, sehingga ucapannya itu ditujukannya pada Hale.Sesampainya di dapur, saat hendak meraih pintu kulkas, lengan kokoh Hale sudah melingkar di pinggangnya. Hangat napas pria itu sudah terasa di tengkuk Catherine."Uhm ... Baby?" tanya Catherine tidak jadi membuka kulkas. Desiran di tubuhnya lebih menguasai otaknya hingga dia lupa apa yang h
"Oh, Baby, wanna try this? This is amazing!" tanya Hale tanpa beban."Kau! Kau gila! Kenapa membawa barang seperti itu ke sini?" Amarah Catherine terasa mendidih di kepalanya. Tidak perlu dijelaskan. Sekali lihat saja siapapun akan tahu bahwa itu adalah bubuk obat terlarang.Tentu saja Catherine marah. Obat seperti ini ilegal di Hawaii dan hampir di seluruh negara. Pemakai dan pengedarnya bisa dihukum belasan tahun hingga seumur hidup di penjara.Habislah dia dan Esme jika sampai terlibat hal seperti itu di Hawaii. Sekalipun jika dia tidak memakai ataupun mengedarkan, tapi jika huniannya yang menjadi tempat untuk memakainya, dia tetap akan terseret.Catherine tidak menginginkan itu! Ayahnya sering berkata agar jangan pernah menyentuh dan mencicipi obat terlarang. Bahkan jika hanya satu kali dan dalam dosis kecil sekalipun. Efek candu dari obat itu akan menjeratmu!"Wohooo ... tenang dulu