Home / Romansa / Embrace Fate / 04. What'd You Do?

Share

04. What'd You Do?

Author: Chani yoh
last update Last Updated: 2021-03-25 15:22:29

Margarita Bandares mengelap sudut matanya yang basah karena adegan drama yang baru saja ditontonnya. Drama keluarga yang tentram, yang menceritakan kehidupan keseharian yang solid, perjuangan melewati hari demi hari dalam keluarga sederhana adalah jenis drama yang paling dia  sukai.

Adegan yang simpel, yang mengungkapkan betapa hangat tokoh pria memperlakukan istrinya, meski hanya dengan sesuatu hal yang kecil, akan mampu meloloskan air matanya. Inilah yang baru saja terjadi. Wanita 51 tahun itu begitu terenyuh oleh kehangatan cinta tokoh pria di dalamnya.

Wanita berambut coklat pendek, dengan ujung-ujungnya yang mengikal itu bangkit dari sofa empuknya, yang senantiasa menemaninya menonton serial drama setiap siang. Perasaan yang begitu terikat pada adegan di serial dramanya membuat Margarita menginginkan perbincangan dengan gadis kecilnya yang manis.

Dia pun melangkahkan kaki menuju kamar Esme. Diketuknya perlahan sambil menanti jawaban. 

"Esme, Sayang. Kamu mau milkshake? Mom baru dapat stroberi tadi pagi. Kalau mau Mom buatkan ya?" seru Margarita dari depan pintunya.

Namun yang dinanti tak kunjung menjawab.

Margarita kembali mengetuk. Dia heran karena biasanya Esme selalu menjawab setiap diketuk meski baru sekali. Tapi ini, gadis manisnya tak kunjung menjawab.

Resah, Margarita memutar kenop pintu dan semakin terheran-heran karena pintu terbuka dengan mudah. Keningnya semakin berkerut saat mendapati ruang kamar anak gadisnya itu kosong. Tetapi televisi menyala.

Wanita itu meninggalkan kamar dan mulai mencari Esme di ruangan lain. Dia ke ruang duduk, ruang musik, perpustakaan, ruang gym, home theatre, balkon, taman, hingga ke setiap toilet yang ada di rumahnya. Nihil. 

Dia bertanya pada setiap pelayan yang lewat. Tidak ada yang melihat Esme. Firasatnya mulai tak enak.

"Hei, Bill!" seru Margarita pada salah seorang pengawal rumahnya yang sedang mengitari pekarangan samping rumah.

"Yes, Ma'am?" 

"Kau lihat Esme?"

"Nona Esme? Tidak, Ma'am. Sedari tadi pagi saya belum melihatnya."

"Lalu ke mana dia?" gumam Margarita. Kemudian dia memerintahkan pengawalnya itu. "Coba kau tanyakan driver. Apa Nona Esme ada keluar siang ini?"

"Baik, Ma'am."

Si pengawal mengeluarkan walkie talkienya dan menghubungi driver. Setelah bertanya tentang Esme, dia melapor pada sang nyonya. "Nona belum ke mana-mana sepanjang hari ini, Ma'am."

"Benarkah?" Margarita semakin heran. Dia kembali masuk ke dalam rumah. 

Dikeluarkannya ponsel dan ditekannya nomor Esme, seraya dia kembali menuju kamar putrinya itu. Saat nomor terhubung, terdengar bunyi dering ponsel dari dalam kamar. Margarita semakin bertambah heran. Firasatnya berkata ada yang salah tentang Esme di rumah ini.

Dengan jantung berdetak kencang merasa takut akan hal salah yang terjadi, dia membuka pintu kamar Esme. Ponsel putrinya itu tergeletak di atas lemari yang ada di meja rias. Jika ponselnya ada di meja rias, ke mana si empunya ponsel? 

Pikiran Margarita semakin kalut. Saat itulah dia tak sengaja melihat sebuah kerta yang dilipat dan tertulis 'Untuk Mom' di atasnya. 

Dengan tangan gemetar dibuka dan dibaca isinya.

Saat selesai, kedua kakinya terkulai lemah tak bertenaga. Dia berteriak frustrasi, sementara hati dan pikirannya kacau memikirkan apa yang harus dia lakukan.

Memberitahu sang suami? Itu sama saja mencari mati. Apalagi suaminya sedang meeting bisnis yang sangat penting.

Akhirnya, Margarita menekan sebuah nama di ponselnya, Enrique, putra sulungnya yang telah memilih untuk hidup mandiri, terpisah dari keluarga besar mereka. 

"Halo, Enrique?" tanya Margarita dengan suara bergetar.

"Ya, Mom. Ada apa?" tanya Enrique di ujung sana. Dia sedang latihan bersama bandnya, yang akan rekaman dalam beberapa hari lagi. Meski sibuk mengejar impiannya, Enrique menyadari keresahan hati ibunya lewat nada suaranya yang tertekan.

"Adikmu ...," seru Margarita dengan tangis tertahan.

"Kenapa dengan Esme, Mom?

"Dia minggat dari rumah."

"Apa? Minggat? Mom tidak bercanda kan?"

"Mana mungkin Mom bercanda tentang hal begini, Enrique?" Ibunya setengah membentak.

"Iy- iya, Mom. Jadi, sekarang Dad sedang mencari Esme? Kapan dia hilang?"

Ibunya menangis semakin keras. "Mom masih belum berani menghubungi Daddy-mu. Daddy sedang meeting penting di London. Bagaimana ini, Enrique? Ayahmu bisa membunuh Mom jika dia tahu tentang minggatnya Esme."

Margarita terduduk lemah dan tak sanggup menghentikan air matanya. Dia sungguh-sungguh takut, karena dia tahu betul suaminya, Marco Bandares, tidak akan segan melampiaskan kemarahannya padanya. Terlebih yang berurusan dengan Esme, putri kecil kesayangannya.

"Coba Mom kasih tahu Reymond dulu. Biar dia cari jejak Esme dulu. Kalau masih tidak ketemu, baru suruh Reymond yang melapor ke Dad."

"Iya, Enrique. Kamu juga tolong tanya-tanya keluarga kita yang lainnya ya."

"Iya, Mom. Nanti kabarin aku lagi, Mom."

"Iya."

Margarita bergegas memanggil Reymond seperti yang disarankan putra sulungnya. Reymond segera bergerak, berusaha mencari nona-nya. Tinggallah Margarita, sang ibu, yang kini menangisi ketakutannya yang sudah berlipat ganda. Entah mana yang harus lebih dia takuti, Esme yang menghilang, atau karena Marco pasti akan menyiksanya karena kabar hilangnya Esme.

                       

                                   ***

Esme membuka jendela hunian baru mereka yang berada di ruang duduk. Jendela itu mengarah tepat ke arah pantai. Aroma angin yang bercampur asin air laut pun menjadi ciri khas tersendiri yang akan srgera terpatri di benak Esme. 

"Aku heran," ujar Catherine saat melihat barang belanjaan sepupunya itu. Ditunjuknya sport outfits yang berwarna abu-abu, yang terdiri dari atasan dan bawahan. "Buat apa kau membeli ini?"

Esme tersenyum. "Aku mau jogging, besok pagi."

"Kau gila? Jogging? Kita jauh-jauh ke sini hanya untuk kau jogging?"

"Iya. Aku sudah lama memimpikan untuk bisa jogging sendirian, mengitari kompleks, bukan hanya di dalam halaman rumah."

"Yeaah." Catherine akhirnya tertawa setelah mengerti bagaimana terkekangnya Esme di rumah. "Enjoy it, Bitch!" 

"Tentu! aku akan memanfaatkan pelarian kita ini untuk melakukan semua yang tidak pernah kulakukan selama ini. Entah berapa lama kita bisa menikmati ini sebelum Dad menemukan kita." Esme terkikik.

"Tenang saja, mereka takkan bisa menemukan kita dengan mudah. Tidak ada jejak ke mana kita pergi. Kita tidak membawa ponsel ataupun nomor kartu kita. Kita juga sudah mempunyai ID card baru, dan kita pun membeli tiket dengan ID Card baru. Mereka tidak akan bisa melacak jejak kita."

"I hope so, Cath." 

"Oh, Little Girl. Kau tak ingat? Don't call me Catherine anymore. Call me, Alicia and you are Leah."

"Oh, iya. Kau benar. Mulai sekarang, aku, Leah dan kau, Alicia. Dan kita adalah Spencer bersaudara."

Mereka tertawa bersama lagi. Hingga Esme selesai membenahi pakaian barunya, dia bertanya pada Catherine. "Apa yang akan kau lakukan besok?"

Wanita itu tidak langsung menjawabnya, melainkan meliriknya penuh arti. Dan saat itulah ponsel barunya dengan nomor barunya berdering, membuat Esme terkejut. Apakah pelarian mereka sudah ketahuan secepat ini?

Tapi dilihatnya wajah Catherine tak menunjukkan sedikitpun rasa khawatir. Sepupunya itu malah tersenyum senang. 

Dan sebelum Catherine menjawab panggilan masuk itu, dia menunjuk layar ponselnya seraya menjawab Esme terlebih dahulu. "Dia yang akan menjadi kegiatanku besok." 

Senyum merekah lebar di wajah Catherine. Senyum yang nakal dan penuh imajinasi liar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Embrace Fate   Extra Endings

    Tiga hari di Claymont terasa kurang bagi Darren maupun Esme. Akan tetapi, apa mau dikata. Mereka sudah harus pulang. Pekerjaan Darren menantinya. Dengan pangkat baru, tanggung jawab baru, Darren tidak bisa berlama-lama cuti, meskipun dia berharap dia bisa. Sebelum meninggalkan Claymont di hari itu, pagi harinya Esme mengajak Darren menuju ke perkebunan anggur. Dia ingin membawa pulang anggur berkualitas yang langsung bisa dia petik di perkebunan itu. Kebetulan, pemilik perkebunan mengenal baik keluarga Darren. Mereka menyusuri perkebunan itu dengan Mr. Thompson, pemilik perkebunan. Pria paruh baya itu sambil menjelaskan pohon anggur mana yang buahnya berkualitas baik. Hingga tiba di deretan pohon yang berada tepat di tengah-tengah kebun, Mr. Thompson berhenti. “Ini yang paling berkualitas di sini. Dan kau beruntung, ada yang baru berbuah dan belum dipetik. Jika kau datang siang ini, aku yakin buah ini sudah tidak ada di sini.” Esme tersenyum senang. “Trims, Mr. Thompson. Tapi, ak

  • Embrace Fate   170. As Long As You Love Me

    “Aku ingin tempat yang lebih tenang untuk hidup. Kota kecil atau pedesaan rasanya lebih cocok untukku.”“Pedesaan? Bagaimana kau bisa hidup di pedesaan?”“Aku bisa bertani. Atau beternak. Rasanya lebih menantang, dari pada hanya duduk seharian di apartemen dan menghabiskan uangku untuk minum dan makan saja.”Selesai mengucapkan itu, Martinez melewati Catherine begitu saja.Catherine begitu shock hingga dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Mengejar pria itu? Atau membiarkannya pergi? Catherine seperti kehilangan akalnya sendiri.Baru saat langkah Martinez semakin jauh darinya, Catherine baru tersadar. Gegas dia mengejar pria itu.“Jangan! Jangan pergi!”Martinez menghela napasnya. “Tekadku sudah bulat, Cath.”“Sudah bulat bagaimana? Kenapa kau tiba-tiba pergi? Padahal kau tidak boleh pergi! Kau ha

  • Embrace Fate   169. Throw a Party or Investment?

    Pagi itu, Darren duduk di kursi makannya. Dia sedang menyesap kopinya saat matanya tertuju pada layar ponsel. Claire mengiriminya undangan pesta pernikahan. Sebagai kakaknya, tanpa dikirimi undangan pun Darren pasti harus hadir. Tetapi, adiknya itu tetap ingin mengiriminya undangan.Melihat undangan itu, Darren merasa ada yang menggelitik hatinya.Sepiring poblano peppers tersaji di hadapannya secara tiba-tiba. Esme menyusul dengan duduk di sebelah pria itu. Wajahnya tersenyum lembut, memancarkan kebahagiaan.“Wow! Sarapan yang menggiurkan,” ucap Darren dengan matanya berbinar penuh gejolak.“Ya! Tadi kebetulan bangun lebih pagi, dan semua bahannya ini lengkap. Jadi, aku masak saja ini.” Esme mengambil satu dan memasukkannya ke dalam mulut. Dia mengunyah dengan perlahan dan sambil menikmatii rasa yang bercampur dalam mulutnya.“Hmmm, ini sangat lezat. Kau tidak makan?”“Tentu, aku akan

  • Embrace Fate   168. I'm not Incomplete

    “Apa yang terjadi di sini, biarlah berlalu. Tidak perlu disimpan dalam hati apalagi sampai dibawa pulang ke rumah kita. Aku tidak ingin kebersamaan kita nantinya ternoda dengan segala hal yang diucapkan Claire padamu. Bisakah?”Mendengar ucapan Darren, air mata Esme luruh lagi. Dia menganggukkan kepalanya. Darren menghapus air mata itu dan mengecup wajah Esme dengan penuh kasih.Setelahnya, mereka membawa segala barang bawaan mereka keluar kamar.Baru juga membuka pintu, sosok Claire sudah menghadang Esme di sana.“Mau apa lagi kau?” hardik Esme pada Claire. Rasanya seluruh persendian tubuhnya terasa sakit karena segala emosinya tersentak pada perseteruannya dengan Claire.Darren pun yang masih menarik koper di belakang Esme langsung menghardik Claire juga. “Claire, please. Apa tidak capek kau memikirkan hal itu terus-menerus?”Claire menggeleng. Wajahnya terlihat pucat dan lemah. Dan dengan

  • Embrace Fate   167. Farewell and Forgetting

    Catherine menahan napasnya selama perkelahian mereka dan baru mengembuskan napasnya itu saat Garry telah kehilangan kesadaran. Dia mengangkat wajahnya dan pandangannya tertaut pada tatapan mata Martinez. Di benaknya, dia mengharapkan Martinez akan menanyakan dengan lembut, ‘apa kau tidak apa-apa?’ Namun yang terjadi sesungguhnya, pria itu menatapnya marah dan membentaknya. “Apa kau sudah gila?! Apa kau sudah tidak punya harga diri lagi?!” Catherine shock minta ampun. Dia sampai terbelalak dan mulutnya menganga lebar. Martinez masih melanjutkan kemarahannya pada Catherine. “Kalau kau bodoh, lebih baik kau tinggal di rumah dan mengurus bayimu. Bukannya berkeliaran mencari lelaki lajang. Kau haus belaian atau apa, huh?!” Kata-kata Martinez begitu menusuk hati Catherine. Dia yang baru saja merasakan keterkejutan karena perlakuan Garry yang membuatnya takut, kini malah harus menghadapi kemarahan Martinez. Dia bahkan dikatai b

  • Embrace Fate   166. Where's Your Pride?

    “LEPASKAN! KAU BAJINGAN!” Catherine berusaha keras untuk berteriak, memukul, menendang. Apa saja agar terlepas dari kungkungan Garry. Tetapi, pria itu jauh lebih kuat darinya.Kini, wajah Garry berada di atas wajahnya. Bibirnya menjelajah di sekeliling pipi dan lehernya, membiarkan liurnya menempel di kulit Catherine. Dan pada akhirnya bibir itu mendarat di bibirnya.Catherine meronta-ronta ingin melepaskan dirinya.Namun nyatanya, tangan Garry malah merobek kaosnya.Catherine semakin histeris. Segala tenaga dia kerahkan hanya untuk merasakan terjangan tenaga yang lebih besar lagi dari Garry.“HELP! HELP!!!” teriak Catherine putus asa. Garry sudah bagai binatang buas yang siap membantai korbannya. ***Tok tok tok.Darren mengetuk pintu kamar orang tuanya. Tak lama kemudian, ayahnya membuka pintu dengan perlahan. Te

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status