Pagi hari di Honolulu terasa berbeda. Cuaca yang terasa hangat membuat semangat pagi menjadi lebih membara. Belum lagi aroma pantai yang begitu menggoda, membuat Esme bersemangat menjelajahi kota utama Hawaii itu.
Esme sudah siap dengan pakaian joggingnya. Dia sedang mengucir rambut panjangnya menjadi ikatan ekor kuda.
Diliriknya jam di dinding. Sudah pukul 05.03, tapi langit di luar sudah cukup terang.
Esme menuju pintu dan membukanya. Tepat bersamaan dengannya, di depan pintu unit seberangnya, pria yang menolongnya kemarin juga keluar dari sana.
Mereka sempat berpandang-pandangan beberapa saat lamanya, meskipun keduanya sembari menutup pintu.
Esme memberikan pria itu senyuman manis yang berbinar-binar.
"Hai," sapanya dengan rona malu-malu di wajahnya.
Pria di hadapannya hanya tersenyum sedikit sembari mengangguk kecil.
"Silakan." Tangan pria itu terulur mempersilakannya untuk lewat terlebih dahulu. Secercah rasa kecewa menyelinap di hati Esme. Alangkah indahnya jika pria itu memintanya berjalan beriringan. Begitu batin Esme berharap dalam hatinya.
Meski begitu, Esme hanya bisa melakukan seperti yang dipersilakan pria itu. Dia berjalan mendahului si pria penolong yang diam-diam mulai dipujanya itu, dengan jantung yang berdebar kencang karena dia menginginkan percakapan yang lebih dari sekadar say 'hai'.
Esme pun menoleh dan mendapati tatapan tajam sang pria yang juga menatapnya. Gadis itu memperlambat langkahnya hingga mereka berdua sejajar.
"Kau mau jogging?" tanya Esme basa basi. Jelas, pria itu juga mau jogging karena sudah mengenakan male jogging outfit yang terdiri dari kaos sleeveless T-shirt berwarna abu-abu, black shorts, serta running shoes yang berwarna hitam dengan list putih di pinggirnya.
Dia tetap terlihat gagah dalam pakaian kasual seperti ini.
"Ya. Kau juga?" tanya pria itu membuat hati Esme bagai mengembang karena akhirnya mendapatkan balasan atas percakapan yang dimulainya.
Esme pun menjawab, "Iya," seraya mengembangkan senyum teramat manis.
"By the way, kita belum berkenalan. Namaku Es- Ehm ... maksudku Leah Spencer." Esme mengutuki dirinya dalam benaknya karena hampir saja keceplosan menyebut nama aslinya.
Untung pria itu tak menyadari kesalahan bicaranya. Pria itu malah mengulurkan tangannya juga. "Darren Javier. Senang berkenalan denganmu."
Jantung Esme semakin berdesir hangat karena jabatan tangan Darren terasa sangat mantap. Tanpa sadar Esme lagi-lagi tersenyum manis, yang dibalas dengan wajah datar oleh Darren.
"Ayo, kita jogging sama-sama," kata Darren membuat Esme semakin merona dan salah tingkah.
***
"Jadi, kalian memang ingin pindah dan memulai hidup di tempat ini?"
Darren mengerutkan keningnya ketika mendengar cerita Esme tentang alasan kedatangannya bersama Catherine ke Honolulu, Hawaii.
Tentu saja dia sudah menghilangkan bagian 'melarikan diri dari rumah' saat bercerita tadi.
Mereka sedang berjalan santai setelah berlari dua putaran mengitari taman tepi laut yang berada tak jauh dari gedung apartemen mereka. Pohon-pohon kelapa yang tinggi menjadi hiasan yang mengitari tepian taman.
"Iya. Kami sudah lama memimpikan tinggal di kota yang dikelilingi pantai dengan cuaca hangat seperti ini. Tempat ini seperti surga. Surga dunia."
Esme menceritakannya dengan binar mata yang begitu gemerlap. Dia tak menyadari Darren tampak mengkaji semua ceritanya itu.
"Kau baru lulus sekolah?" tanya Darren.
Esme heran dengan pertanyaan tiba-tiba Darren yang berbelok dari topik mereka. "Iya," jawabnya polos.
"Bagaimana dengan kakakmu Alicia?"
"Dia baru lulus kuliah."
"Kau sendiri tidak kuliah?" tanya Darren lagi membuat perasaan Esme terselubung sedih.
Jika bukan karena kekangan ayahnya, dia pasti lebih memilih kuliah. Keinginan terdalam Esme merasakan bersekolah bersama-sama, bertemu banyak teman, dan merasakan dikelilingi sekelompok teman sebaya yang bisa diajak saling bercerita, berbagi canda tawa serta duka lara.
Karenanya, Esme mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan kesedihannya saat menanggapi pertanyaan Darren.
"Lalu ... bagaimana kalian akan menghidupi diri kalian?" Suara rendah namun renyah milik Darren terdengar lagi.
"Oh, kami membawa uang tabungan kami selama ini."
"Bagaimana jika uang itu habis?" tanya Darren lagi mencoba memahami jalan pikiran Spencer bersaudara yang menurutnya kurang bijak. Hanya menghabiskan isi tabungan tanpa rencana pengelolaan ke depannya.
"Ya, mungkin kami akan pulang kembali dan mulai mencari pekerjaan untuk mulai menabung lagi." Esme menjelaskannya tanpa pikir panjang lagi.
Untungnya, Darren tak lagi mengajak bicara lebih jauh. "Kau masih mau keliling satu kali lagi? Atau mau kembali ke apartemen?"
"Kau sendiri?"
"Aku ingin keliling satu atau dua kali lagi."
"Kalau begitu, aku juga." Dan lagi-lagi senyum merona terkembang di wajah Esme.
Mereka berkeliling lagi mengitari taman. Esme yang telah lelah memaksakan dirinya untuk berkeliling lagi untuk putaran ke dua-nya. Diliriknya Darren yang tatapannya lurus ke depan. Staminanya tampak tidak terkuras sedikit pun.
Dari samping, Esme semakin terpukau akan ketampanan wajah Darren. Hidung yang mancung, tatapan yang tajam dan seakan terpusat pada satu titik, bibir yang berlekuk seksi, dengan bulu-bulu pendek di sekelilingnya hingga mencapai rahang, tubuh yang tegap dan berotot kencang, semua membuat Esme harus menahan air liurnya yang seakan ingin menetes.
Tanpa dia sadari, ada seorang pelari yang tak dikenal yang menyalipnya dari belakang. Pelari itu tak sengaja menabrak Esme hingga gadis itu menabrak Darren dan kaki kanannya tergelincir.
"Aaaww!!" teriak Esme tertahan.
Darren menghentikan larinya. "Kau tak apa-apa?"
"Tidak apa-apa," jawab Esme berusaha melangkah, tapi kemudian, "Aduh! Sakiiit!"
Darren segera memapah Esme ke kursi taman tak jauh dari mereka. Setelah Esme duduk, Darren berjongkok di hadapannya, menaikkan kaki Esme yang keseleo ke atas pahanya. Dia memeriksa urat yang terasa sakit.
"Aaaww... aduuuh! Sa- sakit!" seru Esme lagi saat Darren menekan pelan satu titik di mata kakinya.
"Kau keseleo," ujarnya dengan berpikir keras apa yang bisa dia lakukan untuk Esme. "Kuantar ke rumah sakit?"
"Rumah sakit? Tid- tidak usah, terima kasih. Aku istirahat saja."
"Tapi ini sudah merah. Pasti sakit sekali. Harus dirawat."
Esme menggigit bibirnya sembari memikirkan tawaran Darren. Jika harus ke rumah sakit, dia takut disuntik. "Apa tidak bisa kalau hanya kuurut-urut sendiri?"
Darren yang masih berlutut sebelah kaki di hadapannya menatap heran pada Esme. Tapi kemudian dia berkata dengan lembut, "Justru lebih berbahaya jika kau mengurutnya sendiri. Jika salah, malah akan bertambah parah. Jadi lebih baik ke rumah sakit, biar ditangani dokter.
Atau kau mau aku yang mengurutnya? Kalau di rumah sakit biasanya mereka bisa menyemprotkan pereda nyeri. Kalau aku yang mengurutnya, tanpa pereda nyeri sedikit pun. Bagaimana?"
Meski tatapan Darren berubah teduh padanya, tapi mendengar penjelasan Darren tadi, tak ayal Esme pun tersenyum masam padanya. Siapa yang mau diurut tanpa pereda nyeri?
Tanpa menunggu jawabannya, Darren pun bangkit seraya menyunggingkan sedikit senyum untuknya. Detik itu juga, Esme langsung tahu bahwa dia akan dibawa ke rumah sakit.
Tiga hari di Claymont terasa kurang bagi Darren maupun Esme. Akan tetapi, apa mau dikata. Mereka sudah harus pulang. Pekerjaan Darren menantinya. Dengan pangkat baru, tanggung jawab baru, Darren tidak bisa berlama-lama cuti, meskipun dia berharap dia bisa. Sebelum meninggalkan Claymont di hari itu, pagi harinya Esme mengajak Darren menuju ke perkebunan anggur. Dia ingin membawa pulang anggur berkualitas yang langsung bisa dia petik di perkebunan itu. Kebetulan, pemilik perkebunan mengenal baik keluarga Darren. Mereka menyusuri perkebunan itu dengan Mr. Thompson, pemilik perkebunan. Pria paruh baya itu sambil menjelaskan pohon anggur mana yang buahnya berkualitas baik. Hingga tiba di deretan pohon yang berada tepat di tengah-tengah kebun, Mr. Thompson berhenti. “Ini yang paling berkualitas di sini. Dan kau beruntung, ada yang baru berbuah dan belum dipetik. Jika kau datang siang ini, aku yakin buah ini sudah tidak ada di sini.” Esme tersenyum senang. “Trims, Mr. Thompson. Tapi, ak
“Aku ingin tempat yang lebih tenang untuk hidup. Kota kecil atau pedesaan rasanya lebih cocok untukku.”“Pedesaan? Bagaimana kau bisa hidup di pedesaan?”“Aku bisa bertani. Atau beternak. Rasanya lebih menantang, dari pada hanya duduk seharian di apartemen dan menghabiskan uangku untuk minum dan makan saja.”Selesai mengucapkan itu, Martinez melewati Catherine begitu saja.Catherine begitu shock hingga dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Mengejar pria itu? Atau membiarkannya pergi? Catherine seperti kehilangan akalnya sendiri.Baru saat langkah Martinez semakin jauh darinya, Catherine baru tersadar. Gegas dia mengejar pria itu.“Jangan! Jangan pergi!”Martinez menghela napasnya. “Tekadku sudah bulat, Cath.”“Sudah bulat bagaimana? Kenapa kau tiba-tiba pergi? Padahal kau tidak boleh pergi! Kau ha
Pagi itu, Darren duduk di kursi makannya. Dia sedang menyesap kopinya saat matanya tertuju pada layar ponsel. Claire mengiriminya undangan pesta pernikahan. Sebagai kakaknya, tanpa dikirimi undangan pun Darren pasti harus hadir. Tetapi, adiknya itu tetap ingin mengiriminya undangan.Melihat undangan itu, Darren merasa ada yang menggelitik hatinya.Sepiring poblano peppers tersaji di hadapannya secara tiba-tiba. Esme menyusul dengan duduk di sebelah pria itu. Wajahnya tersenyum lembut, memancarkan kebahagiaan.“Wow! Sarapan yang menggiurkan,” ucap Darren dengan matanya berbinar penuh gejolak.“Ya! Tadi kebetulan bangun lebih pagi, dan semua bahannya ini lengkap. Jadi, aku masak saja ini.” Esme mengambil satu dan memasukkannya ke dalam mulut. Dia mengunyah dengan perlahan dan sambil menikmatii rasa yang bercampur dalam mulutnya.“Hmmm, ini sangat lezat. Kau tidak makan?”“Tentu, aku akan
“Apa yang terjadi di sini, biarlah berlalu. Tidak perlu disimpan dalam hati apalagi sampai dibawa pulang ke rumah kita. Aku tidak ingin kebersamaan kita nantinya ternoda dengan segala hal yang diucapkan Claire padamu. Bisakah?”Mendengar ucapan Darren, air mata Esme luruh lagi. Dia menganggukkan kepalanya. Darren menghapus air mata itu dan mengecup wajah Esme dengan penuh kasih.Setelahnya, mereka membawa segala barang bawaan mereka keluar kamar.Baru juga membuka pintu, sosok Claire sudah menghadang Esme di sana.“Mau apa lagi kau?” hardik Esme pada Claire. Rasanya seluruh persendian tubuhnya terasa sakit karena segala emosinya tersentak pada perseteruannya dengan Claire.Darren pun yang masih menarik koper di belakang Esme langsung menghardik Claire juga. “Claire, please. Apa tidak capek kau memikirkan hal itu terus-menerus?”Claire menggeleng. Wajahnya terlihat pucat dan lemah. Dan dengan
Catherine menahan napasnya selama perkelahian mereka dan baru mengembuskan napasnya itu saat Garry telah kehilangan kesadaran. Dia mengangkat wajahnya dan pandangannya tertaut pada tatapan mata Martinez. Di benaknya, dia mengharapkan Martinez akan menanyakan dengan lembut, ‘apa kau tidak apa-apa?’ Namun yang terjadi sesungguhnya, pria itu menatapnya marah dan membentaknya. “Apa kau sudah gila?! Apa kau sudah tidak punya harga diri lagi?!” Catherine shock minta ampun. Dia sampai terbelalak dan mulutnya menganga lebar. Martinez masih melanjutkan kemarahannya pada Catherine. “Kalau kau bodoh, lebih baik kau tinggal di rumah dan mengurus bayimu. Bukannya berkeliaran mencari lelaki lajang. Kau haus belaian atau apa, huh?!” Kata-kata Martinez begitu menusuk hati Catherine. Dia yang baru saja merasakan keterkejutan karena perlakuan Garry yang membuatnya takut, kini malah harus menghadapi kemarahan Martinez. Dia bahkan dikatai b
“LEPASKAN! KAU BAJINGAN!” Catherine berusaha keras untuk berteriak, memukul, menendang. Apa saja agar terlepas dari kungkungan Garry. Tetapi, pria itu jauh lebih kuat darinya.Kini, wajah Garry berada di atas wajahnya. Bibirnya menjelajah di sekeliling pipi dan lehernya, membiarkan liurnya menempel di kulit Catherine. Dan pada akhirnya bibir itu mendarat di bibirnya.Catherine meronta-ronta ingin melepaskan dirinya.Namun nyatanya, tangan Garry malah merobek kaosnya.Catherine semakin histeris. Segala tenaga dia kerahkan hanya untuk merasakan terjangan tenaga yang lebih besar lagi dari Garry.“HELP! HELP!!!” teriak Catherine putus asa. Garry sudah bagai binatang buas yang siap membantai korbannya. ***Tok tok tok.Darren mengetuk pintu kamar orang tuanya. Tak lama kemudian, ayahnya membuka pintu dengan perlahan. Te