Share

05. When Jogging

Pagi hari di Honolulu terasa berbeda. Cuaca yang terasa hangat membuat semangat pagi menjadi lebih membara. Belum lagi aroma pantai yang begitu menggoda, membuat Esme bersemangat menjelajahi kota utama Hawaii itu.

Esme sudah siap dengan pakaian joggingnya. Dia sedang mengucir rambut panjangnya menjadi ikatan ekor kuda.

Diliriknya jam di dinding. Sudah pukul 05.03, tapi langit di luar sudah cukup terang. 

Esme menuju pintu dan membukanya. Tepat bersamaan dengannya, di depan pintu unit seberangnya, pria yang menolongnya kemarin juga keluar dari sana.

Mereka sempat berpandang-pandangan beberapa saat lamanya, meskipun keduanya sembari menutup pintu. 

Esme memberikan pria itu senyuman manis yang berbinar-binar. 

"Hai," sapanya dengan rona malu-malu di wajahnya.

Pria di hadapannya hanya tersenyum sedikit sembari mengangguk kecil. 

"Silakan." Tangan pria itu terulur mempersilakannya untuk lewat terlebih dahulu. Secercah rasa kecewa menyelinap di hati Esme. Alangkah indahnya jika pria itu memintanya berjalan beriringan. Begitu batin Esme berharap dalam hatinya. 

Meski begitu, Esme hanya bisa melakukan seperti yang dipersilakan pria itu. Dia berjalan mendahului si pria penolong yang diam-diam mulai dipujanya itu, dengan jantung yang berdebar kencang karena dia menginginkan percakapan yang lebih dari sekadar say 'hai'.

Esme pun menoleh dan mendapati tatapan tajam sang pria yang juga menatapnya. Gadis itu memperlambat langkahnya hingga mereka berdua sejajar.

"Kau mau jogging?" tanya Esme basa basi. Jelas, pria itu juga mau jogging karena sudah mengenakan male jogging outfit yang terdiri dari kaos sleeveless T-shirt berwarna abu-abu, black shorts, serta running shoes yang berwarna hitam dengan list putih di pinggirnya.

Dia tetap terlihat gagah dalam pakaian kasual seperti ini.

"Ya. Kau juga?" tanya pria itu membuat hati Esme bagai mengembang karena akhirnya mendapatkan balasan atas percakapan yang dimulainya.

Esme pun menjawab, "Iya," seraya mengembangkan senyum teramat manis.

"By the way, kita belum berkenalan. Namaku Es- Ehm ...  maksudku Leah Spencer." Esme mengutuki dirinya dalam benaknya karena hampir saja keceplosan menyebut nama aslinya.

Untung pria itu tak menyadari kesalahan bicaranya. Pria itu malah mengulurkan tangannya juga. "Darren Javier. Senang berkenalan denganmu."

Jantung Esme semakin berdesir hangat karena jabatan tangan Darren terasa sangat mantap. Tanpa sadar Esme lagi-lagi tersenyum manis, yang dibalas dengan wajah datar oleh Darren.

"Ayo, kita jogging sama-sama," kata Darren membuat Esme semakin merona dan salah tingkah.

                        ***

"Jadi, kalian memang ingin pindah dan memulai hidup di tempat ini?" 

Darren mengerutkan keningnya ketika mendengar cerita Esme tentang alasan kedatangannya bersama Catherine ke Honolulu, Hawaii.

Tentu saja dia sudah menghilangkan bagian 'melarikan diri dari rumah' saat bercerita tadi.

Mereka sedang berjalan santai setelah berlari dua putaran mengitari taman tepi laut yang berada tak jauh dari gedung apartemen mereka. Pohon-pohon kelapa yang tinggi menjadi hiasan yang mengitari tepian taman.

"Iya. Kami sudah lama memimpikan tinggal di kota yang dikelilingi pantai dengan cuaca hangat seperti ini. Tempat ini seperti surga. Surga dunia."

Esme menceritakannya dengan binar mata yang begitu gemerlap. Dia tak menyadari Darren tampak mengkaji semua ceritanya itu.

"Kau baru lulus sekolah?" tanya Darren.

Esme heran dengan pertanyaan tiba-tiba Darren yang berbelok dari topik mereka. "Iya," jawabnya polos.

"Bagaimana dengan kakakmu  Alicia?" 

"Dia baru lulus kuliah."

"Kau sendiri tidak kuliah?" tanya Darren lagi membuat perasaan Esme terselubung sedih. 

Jika bukan karena kekangan ayahnya, dia pasti lebih memilih kuliah. Keinginan terdalam Esme merasakan bersekolah bersama-sama, bertemu banyak teman, dan merasakan dikelilingi sekelompok teman sebaya yang bisa diajak saling bercerita, berbagi canda tawa serta duka lara.

Karenanya, Esme mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan kesedihannya saat menanggapi pertanyaan Darren.

"Lalu ... bagaimana kalian akan menghidupi diri kalian?" Suara rendah namun renyah milik Darren terdengar lagi.

"Oh, kami membawa uang tabungan kami selama ini."

"Bagaimana jika uang itu habis?" tanya Darren lagi mencoba memahami jalan pikiran Spencer bersaudara yang menurutnya kurang bijak. Hanya menghabiskan isi tabungan tanpa rencana pengelolaan ke depannya.

"Ya, mungkin kami akan pulang kembali dan mulai mencari pekerjaan untuk mulai menabung lagi." Esme menjelaskannya tanpa pikir panjang lagi.

Untungnya, Darren tak lagi mengajak bicara lebih jauh. "Kau masih mau keliling satu kali lagi? Atau mau kembali ke apartemen?"

"Kau sendiri?"

"Aku ingin keliling satu atau dua kali lagi."

"Kalau begitu, aku juga." Dan lagi-lagi senyum merona terkembang di wajah Esme.

Mereka berkeliling lagi mengitari taman. Esme yang telah lelah memaksakan dirinya untuk berkeliling lagi untuk putaran ke dua-nya. Diliriknya Darren yang tatapannya lurus ke depan. Staminanya tampak tidak terkuras sedikit pun.

Dari samping, Esme semakin terpukau akan ketampanan wajah Darren. Hidung yang mancung, tatapan yang tajam dan seakan terpusat pada satu titik, bibir yang berlekuk seksi, dengan bulu-bulu pendek di sekelilingnya hingga mencapai rahang, tubuh yang tegap dan berotot kencang, semua membuat Esme harus menahan air liurnya yang seakan ingin menetes.

Tanpa dia sadari, ada seorang pelari yang tak dikenal yang menyalipnya dari belakang. Pelari itu tak sengaja menabrak Esme hingga gadis itu menabrak Darren dan kaki kanannya tergelincir.

"Aaaww!!" teriak Esme tertahan.

Darren menghentikan larinya. "Kau tak apa-apa?"

"Tidak apa-apa," jawab Esme berusaha melangkah, tapi kemudian, "Aduh! Sakiiit!"

Darren segera memapah Esme ke kursi taman tak jauh dari mereka. Setelah Esme duduk, Darren berjongkok di hadapannya, menaikkan kaki Esme yang keseleo ke atas pahanya. Dia memeriksa urat yang terasa sakit. 

"Aaaww... aduuuh! Sa- sakit!" seru Esme lagi saat Darren menekan pelan satu titik di mata kakinya.

"Kau keseleo," ujarnya dengan berpikir keras apa yang bisa dia lakukan untuk Esme. "Kuantar ke rumah sakit?"

"Rumah sakit? Tid- tidak usah, terima kasih. Aku istirahat saja."

"Tapi ini sudah merah. Pasti sakit sekali. Harus dirawat."

Esme menggigit bibirnya sembari memikirkan tawaran Darren. Jika harus ke rumah sakit, dia takut disuntik. "Apa tidak bisa kalau hanya kuurut-urut sendiri?"

Darren yang masih berlutut sebelah kaki di hadapannya menatap heran pada Esme. Tapi kemudian dia berkata dengan lembut, "Justru lebih berbahaya jika kau mengurutnya sendiri. Jika salah, malah akan bertambah parah. Jadi lebih baik ke rumah sakit, biar ditangani dokter. 

Atau kau mau aku yang mengurutnya? Kalau di rumah sakit biasanya mereka bisa menyemprotkan pereda nyeri. Kalau aku yang mengurutnya, tanpa pereda nyeri sedikit pun. Bagaimana?"

Meski tatapan Darren berubah teduh padanya, tapi mendengar penjelasan Darren tadi, tak ayal Esme pun tersenyum masam padanya. Siapa yang mau diurut tanpa pereda nyeri?

Tanpa menunggu jawabannya, Darren pun bangkit seraya menyunggingkan sedikit senyum untuknya. Detik itu juga, Esme langsung tahu bahwa dia akan dibawa ke rumah sakit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status