Dokter menyerahkan resep kepada Darren yang duduk di kursi depan meja kerja sang dokter. Sedangkan Esme dipapah suster menuruni examination table dengan hati-hati menuju kursi di sebelah Darren. Wajah pria itu tetap datar dan tak berubah sedari tadi.
"Ini resep untuk pain killer dan salep olesnya. Untuk pain killer bisa diminum tiga kali sehari. Jika sudah tidak sakit, bisa distop. Untuk salep boleh dioles sesering yang diinginkan."
Selesai menjelaskan, sang dokter tersenyum pada Darren, kemudian menatap Esme yang meringis menahan sakit.
"Kalau kekasihnya belai penuh rasa sayang, pasti akan cepat sembuh," celetuk dokter yang terlihat berusia pertengahan lima puluh tahun itu, dengan tersenyum penuh arti kepada Esme.
Gadis itu merona mendengar ucapan salah paham sang dokter. Diliriknya Darren yang ternyata malah mengangguk kecil. "Terima kasih, Dokter."
"Maaf, dokter tadi jadi salah paham mengira kau kekasihku," kata Esme saat mereka telah keluar dari ruang dokter dan menuju apotik untuk menebus obat.
"No problem. Mau tebus resepnya sekarang?"
Dengan dipapah Darren dan sambil meringis menahan sakit, Esme akhirnya mampu tiba di apotik yang berjarak cukup jauh dari ruang dokter tadi.
"Ah, nanti saja." Esme merona lagi.
"Kenapa nanti?"
"Err ... aku lupa membawa uang." Esme merasakan pipinya semakin panas.
"Biar kubayarkan dulu."
"Ah, jangan. Aku tidak mau merepotkanmu lebih banyak lagi. Kau mengantarku ke sini saja sudah merepotkanmu. Maafkan aku."
"Tidak apa-apa. Aku tidak repot. Aku ke sini juga dalam rangka liburan."
"Oh, begitu. Baiklah, kalau begitu terima kasih. Akan kuganti saat sudah pulang nanti."
"Tidak masalah." Dan Darren menyerahkan resep yang sedari tadi dipegangnya pada petugas di apotik.
***
"Kau bisa jalan?"
Esme mengangguk sembari menahan ringisan. Dia sudah malu sedari tadi merintih sakit dan Darren dengan sabarnya memapah dan membantunya berjalan. Kini, mereka baru saja turun dari taxi dan hendak masuk ke gedung apartemen.
"Masih sakit?" tanya Darren lagi setelah membantunya turun dari taxi dan membayar.
"Sedikit."
Mendengar jawaban Esme, Darren menatap gadis itu dari atas sampai bawah. Entah kenapa. Esme merasakan jantungnya berdebar-debar dan pipinya seakan ingin mengembang dan meletuk, seperti kue pie yang telah matang jika tak segera diangkat, maka akan meletuk dan retak.
Sedetik kemudian, pertanyaan Esme dalam benaknya terjawab. Darren tiba-tiba menggendongnya ala bridal style dan membawanya masuk ke dalam apartemen. Esme berteriak malu. "Dar- Darren, aku bisa jalan sendiri."
"Iya, aku tau. Tapi terlalu lambat."
Daren berjalan cepat memasuki gedung apartemen hingga tiba di lift. Esme tetap di gendongannya. Wajahnya sudah merona bak kepiting rebus. Hingga mereka tiba di lantai 17 dan menuju unit Esme, Darren tetap mrnggendongnya.
Tiba di depan pintu pun, Darren hanya memencet bel tanpa menurunkan Esme. Dan saat wajah Catherine muncul dari balik pintu, Esme merasa ingin hilang saja. Ditelan bumi mungkin menjadi pilihan yang lebih bagus.
"Ah? Kalian?" Hanya itu yang sanggup diucapkan Catherine saat melihat Esme dalam gendongan Darren.
"Kakiku terkilir. Tadi Darren mengantarku ke rumah sakit." Esme menjelaskannya dengan malu-malu, sedangkan pria yang menggendongnya terlihat biasa saja. Raut wajahnya tetap datar dan seakan tak peduli.
Catherine sendiri sudah tersenyum-senyum simpul pada Esme. Dia seakan merasakan debaran kencang jantung Esme yang semakin tak karuan.
Darren akhirnya menurunkan Esme dari gendongannya. Pria itu juga menyerahkan obat yang baru ditebusnya tadi.
"Terima kasih. Kau mau masuk dulu? Sekalian kuambil uang untuk mengganti uangmu tadi."
"Tidak usah ganti. Aku pulang dulu. Bye."
"Ah, iya. Bye, Darren. Dan terima kasih."
Pria tinggi dengan tubuh atletis itu melangkah keluar. Dan begitu pintu ditutup, tatapan Catherine sudah menantinya dengan sorot menunggu penjelasan.
"Kami bertemu saat mau jogging."
"Oh, begitu. Lantas?"
"Lantas kami jogging bersama."
"Lalu kau pura-pura keseleo? Euw, itu sungguh taktik kuno."
"Aku sungguhan keseleonya," pekik Esmeralda tertahan. Tapi gadis itu juga menahan tawanya.
"Aku tak percaya!" tandas Catherine menertawai Esme.
"Itu kalau kau yang terkilir. Sudah pasti rekayasa."
"Hahaha, begitu ya?"
"Iya, hahaha."
"Oh, baiklah. Tapi sayang sekali jika kau keseleo. Bagaimana dengan rencana kita hari ini?"
"Memangnya rencana apa kita hari ini?"
"Kemarin kan sudah kubilang, kita akan keluar bersama pemuda-pemuda tampan?"
Esme mengangguk, tapi kemudian bertanya lagi. "Lalu, apa hubungannya dengan kaki keseleoku?"
"Ya, ada lah! Bagaimana kau bisa jalan?"
"Bisa. Hanya lambat."
"What? Jadi, Darren menggendongmu hanya karena jalanmu lambat?"
"Yeah," jawab Esme lagi menyembunyikan rona di kedua pipinya.
"Ya, sudah. Kau beristirahat dulu. Sore nanti temanku datang menjemput."
"Teman? Bagaimana kau bisa mempunyai teman di sini?"
"Oh, Little Girl. Lewat ponsel, Baby."
***Sore datang dengan cepat dan Catherine telah siap dengan dandanannya yang wah, full make-up, dan pakaian yang minim menampilkan lekuk-lekuk tubuhnya serta asetnya yang besar dan menggiurkan.
Catherine mengenakan tanktop putih dengan tali tipis dan kerah berbentuk V yang jatuh tepat di tengah-tengah dadanya. Belahan dadanya terlihat berlekuk tambun. Untuk bawahannya dia mengenakan hot pants yang hanya menutupi setengah bokongnya.
Esme sendiri mengenakan kaus kasual biasa, tanpa lengan, yang dipadankan dengan Jeans ketat yang jatuh di lututnya. Catherine melihatnya dan memutar matanya. "Kenapa kau tidak memakai yang seksi? Yang hot? Agar pemuda-pemuda di luar sana yang melihatmu terbakar geloranya, hahaha. Juga mumpung ayahmu tidak ada di dekat sini!"
"Hehe, tidak ah. Rasanya risih. Aku masih terbayang, bukan hanya Dad yang akan memarahiku jika pakaianku minim sepertimu. Tapi juga Enrique. Huh! Kakak yang menyebalkan! Hahaha."
"Urgh! Kau benar. Enrique sama membosankannya dengan ayahmu. Sudah jangan bicarakan dia lagi. Ayo! Teman-temanku sudah menunggu!"
Catherine meraih heels 10 cm-nya, sementara Esme mengenakan flat shoes karena kakinya yang masih sedikit sakit.
Mereka menuju pintu. Dan saat keluar, Darren juga sedang membuka pintu unitnya untuk pergi keluar.
"Kakimu sudah sembuh?" tanyanya spontan saat melihat Spencer bersaudara akan pergi keluar.
"Belum," jawab Esme. "Tapi sudah mendingan." Gadis itu merasa seperti anak yang tertangkap saat hendak menyelinap keluar.
"Ya, yang penting kau berhati-hati saat berjalan."
"Iya. Thanks atas perhatiannya."
"No problem," jawab Darren. Pria itu mengangguk singkat meski tanpa senyum dan melangkah cepat mendahului mereka berdua. Esme tak lepas memandang punggung pria itu hingga menghilang dari koridor.
"Bangun, Little Girl. Kuperkirakan umurnya sudah 30-an. Masa kau sama pria setua itu? Aku saja tak mau!" senggol Catherine pada bahu sepupunya itu.
Esme merona. Apakah rasa sukanya terlihat sejelas itu? Ataukah Catherine saja yang memang pintar menebak-nebak perasaan orang lain?
"Menurutku dia seumur denganmu."
"Tidak mungkin! Aku yakin sekali kalau dia sudah 30 tahun!"
Esme tertawa menanggapi Catherine yang sangat menggebu pada keyakinannya. Hingga sepupunya itu menunjuk di depan pintu masuk gedung apartemen mereka. "Tuh, teman-temanku sudah datang. Ayo!"
Esme berusaha keras tiba di sana karena Catherine berjalan dengan cepat menghampiri teman-temannya.
Ada 4 laki-laki serta 2 perempuan seumuran Catherine. Kedua perempuan itu wajahnya juga full make-up seperti Catherine. Sedangkan keempat lelaki itu terlihat ... berandalan?
Ada 4 pria dan 2 wanita yang diakui Catherine sebagai teman-temannya. Ke empat pria itu berpakaian kaos kasual dengan celana panjang jeans yang sobek di lutut, di paha, ataupun di betis. Dua di antara mereka memakai topi terbalik. Dua lagi yang tidak memakai topi memiliki rambut yang warnanya di cat hijau dan abu-abu, atau biru bercampur merah.Esme melirik tato di lengan pemuda-pemuda itu. Mereka memasang tato bergambang sama di lengan kanan mereka. Tato bergambar elang yang sedang berdiam di daratan.Selain tato, hal lain yang membuat Esme merasa tidak nyaman adalah motor gede yang mereka bawa. Dia akan ikut naik motor? Yang benar saja! Esme belum pernah naik motor! Perasaannya berkecamuk antara takut tapi juga antusias. Sepertinya naik motor akan terasa seru. Tapi, berada dekat pemuda-pemuda itu membuatnya terintimidasi. Mereka terlihat seperti pemberontak jalanan."Hai semua! Ini adikku, Leah. Dan Leah, ini Hale, Akoni, Ek
Dalam sepuluh menit berikutnya, mereka tiba di sebuah night club terbesar di Honolulu. Setidaknya begitu yang dikatakan Hale. Setelah memarkir, mereka semuanya turun dari motor, termasuk Esme.Jika mau jujur, rasa antusiasme Esme sudah meletup-letup di dalam dadanya karena akhirnya dia bisa datang ke kelab malam bersama pemuda sebayanya. Rasa tidak nyamannya terhadap Brandon seketika dia lenyapkan dari benaknya.Dengan berpasang-pasangan, mereka memasuki night club itu. Musik berdentum-dentum menyambut kedatangan mereka. Dan karena malam ini malam spesial yang digelar oleh night club itu, semua pengunjung diharuskan membayar biaya masuk.Hale dan Catherine menuju kasir dan dapat Esme lihat bahwa Catherine-lah yang mengeluarkan sejumlah uang dan membayar biaya masuk mereka semua."Mau minum apa?" tanya Hale pada Catherine, juga yang lainnya saat mereka sudah mendapatkan tempat di sofa melingkar.
Esme mengeluarkan tenaga terakhirnya untuk meronta dengan sia-sia, sampai di satu titik dia tahu usahanya takkan mungkin menghalau kebejatan Brandon. Esme menangis karena merasa kalah. Dan di sisa-sisa tenaganya itu, dia hanya sanggup berharap alam berpihak padanya dan membantunya menghentikan Brandon.Dan sedetik kemudian, Esme benar terbebas dari cengkeraman Brandon. Secepat itu harapannya didengar Tuhan? Terima kasih Tuhan, batinnya penuh syukur.Bugh!!"Hei, apa-apaan! Siapa kau!"Suara pukulan di tengah bising musik, diikuti erangan sakit dari Brandon, mulai sampai di telinga Esme. Tatapannya kini terarah pada Brandon yang ternyata sedang diserang oleh seseorang.Seorang pria sudah menyelamatkannya dari terkaman nafsu Brandon. Pria itu memukuli Brandon bertubi-tubi hingga Brandon tergeletak di lantai dan tak sanggup melawan lagi.Beberapa saat berlalu dan akhirnya pria itu mulai berhenti dan menegakkan dirinya. Saat itulah Esme baru mel
"Berhati-hatilah dengan pemuda tadi. Sekali dia sudah kurang ajar padamu, berikut-berikutnya dia masih mungkin bersikap seperti itu."Entah kenapa, nasihat Darren yang biasa saja terdengar begitu manis bagi Esme. Seolah pria itu begitu mengkhawatirkannya.Tak ayal, Esme memberikan senyum manisnya yang malu-malu. Jarinya spontan menyelipkan helaian rambutnya di belakang telinga. Terlihat bibir Darren seakan siap mengucapkan perpisahan mereka untuk malam itu. Namun, dering ponsel Esme telah lebih dulu mengisi keheningan mereka yang canggung.Esme mengambil ponselnya dengan Darren yang masih di hadapannya."Ya, halo?""Little Girl, are you okay?" seru Catherine di ujung telepon. Suaranya terdengar sangat panik."Ya. Aku baik-baik saja. Dan aku sudah pulang.""Huft, syukurlah. Aku panik sekali tadi. Dengan siapa kau pulang?" tanya Catherine lagi."Dengan Darren," jawab Esme. Dia sebenarnya masih ingin menjelaskan banyak hal tenta
"Bagaimana?" tanya Hale begitu dia melihat Catherine, alias Alicia, mendekat."Sudah beres! Dia akan tidur."Catherine menatap yang lainnya. "Silakan kalian bisa anggap rumah sendiri. Asal jangan ganggu adikku saja. Dia tidur di kamar yang sana."Brandon dan yang lainnya mengangguk. Catherine kemudian meninggalkan mereka semua di sofa ruang tengah, untuk mengambil minum."Aku rasa kalian kusajikan soft drinks saja ya. Di club tadi sudah minum beralkohol." Catherine mengucapkannya sambil lalu menuju dapur. Dia tahu Hale mengikutinya, sehingga ucapannya itu ditujukannya pada Hale.Sesampainya di dapur, saat hendak meraih pintu kulkas, lengan kokoh Hale sudah melingkar di pinggangnya. Hangat napas pria itu sudah terasa di tengkuk Catherine."Uhm ... Baby?" tanya Catherine tidak jadi membuka kulkas. Desiran di tubuhnya lebih menguasai otaknya hingga dia lupa apa yang h
"Oh, Baby, wanna try this? This is amazing!" tanya Hale tanpa beban."Kau! Kau gila! Kenapa membawa barang seperti itu ke sini?" Amarah Catherine terasa mendidih di kepalanya. Tidak perlu dijelaskan. Sekali lihat saja siapapun akan tahu bahwa itu adalah bubuk obat terlarang.Tentu saja Catherine marah. Obat seperti ini ilegal di Hawaii dan hampir di seluruh negara. Pemakai dan pengedarnya bisa dihukum belasan tahun hingga seumur hidup di penjara.Habislah dia dan Esme jika sampai terlibat hal seperti itu di Hawaii. Sekalipun jika dia tidak memakai ataupun mengedarkan, tapi jika huniannya yang menjadi tempat untuk memakainya, dia tetap akan terseret.Catherine tidak menginginkan itu! Ayahnya sering berkata agar jangan pernah menyentuh dan mencicipi obat terlarang. Bahkan jika hanya satu kali dan dalam dosis kecil sekalipun. Efek candu dari obat itu akan menjeratmu!"Wohooo ... tenang dulu
"LEPASKAN AKU! LEPASKAN AKU, JAHANAM!!""Hahaha, kau takkan kulepaskan. Kau harus menerima pemberianku ini. Aku sudah susah payah membelinya untukmu. Sekarang terimalah!" Brandon mulai menarik rambut Esme untuk bisa mengendalikan gadis itu.Dililitnya rambut panjang Esme di tangannya hingga Esme tak bisa menggerakkan kepalanya. Setelahnya, Brandon mulai mendorong Esme menuju meja. Didorongnya kepala Esme agar mendekat ke meja, mendekat ke bubuk putih terlarang yang disebutnya bubuk bahagia itu.Esme berusaha menahan dorongan Brandon. Menahan wajahnya agar tidak semakin dekat pada bubuk putih itu. Tapi tenaga Brandon teramat sangat kuat hingga yang mampu Esme lakukan hanyalah menangis.Dalam hatinya dia memanggil-manggil ayahnya. Dia juga memanggil Enrique, kakaknya. Tapi suara itu hanya memantul dalam benaknya dan wajahnya hanya tinggal beberapa sentimeter saja dari meja.Esme memegang tangan
"Hale? Kau mau ke mana?"Suara Catherine terdengar merengek dan dia menghambur ke arah Hale. Catherine memeluk Hale dengan erat karena firasatnya mengatakan Hale akan pergi meninggalkannya."Jangan pergiii...."Tangan Hale menghalau pelukan Catherine menyebabkan wanita itu semakin histeris. Tapi Hale tetap melangkah, membawa Brandon keluar dari apartemen mereka.Catherine berbalik pada Esme. Ditatapnya sepupunya itu dengan pandangan bertanya, sekaligus marah."Kenapa kau biarkan mereka pergi?" Catherine masih merasa tak senang. Sekalipun dia tidak tahu permasalahan sesungguhnya, dia merasa Esme-lah yang mengusir Hale."Sudahlah Cath, mereka berniat tidak baik pada kita.""Tidak baik bagaimana? Dia pacarku!""Iya, aku tau! Tapi pacarmu itu sudah menjebakmu agar mengkonsumsi narkoba!""Omong kosong!""Aku tidak