Share

06. Let's Out

Dokter menyerahkan resep kepada Darren yang duduk di kursi depan meja kerja sang dokter. Sedangkan Esme dipapah suster menuruni examination table dengan hati-hati menuju kursi di sebelah Darren. Wajah pria itu tetap datar dan tak berubah sedari tadi.

"Ini resep untuk pain killer dan salep olesnya. Untuk pain killer bisa diminum tiga kali sehari. Jika sudah tidak sakit, bisa distop. Untuk salep boleh dioles sesering yang diinginkan."

Selesai menjelaskan, sang dokter tersenyum pada Darren, kemudian menatap Esme yang meringis menahan sakit. 

"Kalau kekasihnya belai penuh rasa sayang, pasti akan cepat sembuh," celetuk dokter yang terlihat berusia pertengahan lima puluh tahun itu, dengan tersenyum penuh arti kepada Esme.

Gadis itu merona mendengar ucapan salah paham sang dokter. Diliriknya Darren yang ternyata malah mengangguk kecil. "Terima kasih, Dokter."

"Maaf, dokter tadi jadi salah paham mengira kau kekasihku," kata Esme saat mereka telah keluar dari ruang dokter dan menuju apotik untuk menebus obat.

"No problem. Mau tebus resepnya sekarang?" 

Dengan dipapah Darren dan sambil meringis menahan sakit, Esme akhirnya mampu tiba di apotik yang berjarak cukup jauh dari ruang dokter tadi.

"Ah, nanti saja." Esme merona lagi.

"Kenapa nanti?"

"Err ... aku lupa membawa uang." Esme merasakan pipinya semakin panas.

"Biar kubayarkan dulu."

"Ah, jangan. Aku tidak mau merepotkanmu lebih banyak lagi. Kau mengantarku ke sini saja sudah merepotkanmu. Maafkan aku."

"Tidak apa-apa. Aku tidak repot. Aku ke sini juga dalam rangka liburan."

"Oh, begitu. Baiklah, kalau begitu terima kasih. Akan kuganti saat sudah pulang nanti."

"Tidak masalah." Dan Darren menyerahkan resep yang sedari tadi dipegangnya pada petugas di apotik.

               

                                       ***

"Kau bisa jalan?"

Esme mengangguk sembari menahan ringisan. Dia sudah malu sedari tadi merintih sakit dan Darren dengan sabarnya memapah dan membantunya berjalan. Kini, mereka baru saja turun dari taxi dan hendak masuk ke gedung apartemen.

"Masih sakit?" tanya Darren lagi setelah membantunya turun dari taxi dan membayar.

"Sedikit."

Mendengar jawaban Esme, Darren menatap gadis itu dari atas sampai bawah. Entah kenapa. Esme merasakan jantungnya berdebar-debar dan pipinya seakan ingin mengembang dan meletuk, seperti kue pie yang telah matang jika tak segera diangkat, maka akan meletuk dan retak.

Sedetik kemudian, pertanyaan Esme dalam benaknya terjawab. Darren tiba-tiba menggendongnya ala bridal style dan membawanya masuk ke dalam apartemen. Esme berteriak malu. "Dar- Darren, aku bisa jalan sendiri."

"Iya, aku tau. Tapi terlalu lambat."

Daren berjalan cepat memasuki gedung apartemen hingga tiba di lift. Esme tetap di gendongannya. Wajahnya sudah merona bak kepiting rebus. Hingga mereka tiba di lantai 17 dan menuju unit Esme, Darren tetap mrnggendongnya. 

Tiba di depan pintu pun, Darren hanya memencet bel tanpa menurunkan Esme. Dan saat wajah Catherine muncul dari balik pintu, Esme merasa ingin hilang saja. Ditelan bumi mungkin menjadi pilihan yang lebih bagus.

"Ah? Kalian?" Hanya itu yang sanggup diucapkan Catherine saat melihat Esme dalam gendongan Darren. 

"Kakiku terkilir. Tadi Darren mengantarku ke rumah sakit." Esme menjelaskannya dengan malu-malu, sedangkan pria yang menggendongnya terlihat biasa saja. Raut wajahnya tetap datar dan seakan tak peduli.

Catherine sendiri sudah tersenyum-senyum simpul pada Esme. Dia seakan merasakan debaran kencang jantung Esme yang semakin tak karuan.

Darren akhirnya menurunkan Esme dari gendongannya. Pria itu juga menyerahkan obat yang baru ditebusnya tadi. 

"Terima kasih. Kau mau masuk dulu? Sekalian kuambil uang untuk mengganti uangmu tadi."

"Tidak usah ganti. Aku pulang dulu. Bye."

"Ah, iya. Bye, Darren. Dan terima kasih."

Pria tinggi dengan tubuh atletis itu melangkah keluar. Dan begitu pintu ditutup, tatapan Catherine sudah menantinya dengan sorot menunggu penjelasan.

"Kami bertemu saat mau jogging."

"Oh, begitu. Lantas?"

"Lantas kami jogging bersama."

"Lalu kau pura-pura keseleo? Euw, itu sungguh taktik kuno."

"Aku sungguhan keseleonya," pekik Esmeralda tertahan. Tapi gadis itu juga menahan tawanya.

"Aku tak percaya!" tandas Catherine menertawai Esme.

"Itu kalau kau yang terkilir. Sudah pasti rekayasa."

"Hahaha, begitu ya?" 

"Iya, hahaha." 

"Oh, baiklah. Tapi sayang sekali jika kau keseleo. Bagaimana dengan rencana kita hari ini?"

"Memangnya rencana apa kita hari ini?"

"Kemarin kan sudah kubilang, kita akan keluar bersama pemuda-pemuda tampan?"

Esme mengangguk, tapi kemudian bertanya lagi. "Lalu, apa hubungannya dengan kaki keseleoku?"

"Ya, ada lah! Bagaimana kau bisa jalan?"

"Bisa. Hanya lambat."

"What? Jadi, Darren menggendongmu hanya karena jalanmu lambat?"

"Yeah," jawab Esme lagi menyembunyikan rona di kedua pipinya.

"Ya, sudah. Kau beristirahat dulu. Sore nanti temanku datang menjemput."

"Teman? Bagaimana kau bisa mempunyai teman di sini?"

"Oh, Little Girl. Lewat ponsel, Baby."

                    ***

Sore datang dengan cepat dan Catherine telah siap dengan dandanannya yang wah, full make-up, dan pakaian yang minim menampilkan lekuk-lekuk tubuhnya serta asetnya yang besar dan menggiurkan.

Catherine mengenakan tanktop putih dengan tali tipis dan kerah berbentuk V yang jatuh tepat di tengah-tengah dadanya. Belahan dadanya terlihat berlekuk tambun. Untuk bawahannya dia mengenakan hot pants yang hanya menutupi setengah bokongnya.

Esme sendiri mengenakan kaus kasual biasa, tanpa lengan, yang dipadankan dengan Jeans ketat yang jatuh di lututnya. Catherine melihatnya dan memutar matanya. "Kenapa kau tidak memakai yang seksi? Yang hot? Agar pemuda-pemuda di luar sana yang melihatmu terbakar geloranya, hahaha. Juga mumpung ayahmu tidak ada di dekat sini!"

"Hehe, tidak ah. Rasanya risih. Aku masih terbayang, bukan hanya Dad yang akan memarahiku jika pakaianku minim sepertimu. Tapi juga Enrique. Huh! Kakak yang menyebalkan! Hahaha."

"Urgh! Kau benar. Enrique sama membosankannya dengan ayahmu. Sudah jangan bicarakan dia lagi. Ayo! Teman-temanku sudah menunggu!"

Catherine meraih heels 10 cm-nya, sementara Esme mengenakan flat shoes karena kakinya yang masih sedikit sakit.

Mereka menuju pintu. Dan saat keluar, Darren juga sedang membuka pintu unitnya untuk pergi keluar.

"Kakimu sudah sembuh?" tanyanya spontan saat melihat Spencer bersaudara akan pergi keluar.

"Belum," jawab Esme. "Tapi sudah mendingan." Gadis itu merasa seperti anak yang tertangkap saat hendak menyelinap keluar.

"Ya, yang penting kau berhati-hati saat berjalan."

"Iya. Thanks atas perhatiannya."

"No problem," jawab Darren. Pria itu mengangguk singkat meski tanpa senyum dan melangkah cepat mendahului mereka berdua. Esme tak lepas memandang punggung pria itu hingga menghilang dari koridor.

"Bangun, Little Girl. Kuperkirakan umurnya sudah 30-an. Masa kau sama pria setua itu? Aku saja tak mau!" senggol Catherine pada bahu sepupunya itu.

Esme merona. Apakah rasa sukanya terlihat sejelas itu? Ataukah Catherine saja yang memang pintar menebak-nebak perasaan orang lain? 

"Menurutku dia seumur denganmu." 

"Tidak mungkin! Aku yakin sekali kalau dia sudah 30 tahun!"

Esme tertawa menanggapi Catherine yang sangat menggebu pada keyakinannya. Hingga sepupunya itu menunjuk di depan pintu masuk gedung apartemen mereka. "Tuh, teman-temanku sudah datang. Ayo!"

Esme berusaha keras tiba di sana karena Catherine berjalan dengan cepat menghampiri teman-temannya.

Ada 4 laki-laki serta 2 perempuan seumuran Catherine. Kedua perempuan itu wajahnya juga full make-up seperti Catherine. Sedangkan keempat lelaki itu terlihat ... berandalan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status