Seperti biasanya, ketika pagi hari aku berangkat sekolah dengan sebelumnya sarapan bersama keluarga. Sungguh sebuah momen yang sebenarnya ingin aku tinggalkan begitu saja, yaitu sarapan dengan keluarga, ada papah dan mama. Mengapa demikian? Sebab jika sarapan bersama dengan mereka berdua, selalu saja ada hal tentang keburukanku yang menjadi sasaran pembicaraan.
“Nisa, kamu kok semakin wangi saja dari hari ke hari.” Ujar papa yang menyadari bahwa aku berbau wangi, tidak seperti minggu-minggu sebelumnya.
Memang benar, minggu-minggu sebelumnya, sebelum aku mengenal sebuah rasa seperti ini, aku tidak terlalu suka dengan minyak wangi, atau bahkan aku jarang sekali menggunakannya. Aku merasa sudah cukup saja dengan bau wangi yang semerbak dari bajuku, pewangi yang digunakan mama ketika mencucinya.
“Mumpung masih punya, pa.” Jawabku ringan sembari meneruskan makan.
“Memangnya sebelum ini kamu tidak punya?” sahut mama.
Benar apa yang aku sangkakan tad
Hai, bagaimana sampai di sini? Apakah ada yang kurang memuaskan? Apakah ada yang penasaran? Komen, ya!!
Langit cerah, bintang-gemintang nampak di sana. Itulah pemandangan yang aku lihat ketika berada di teras lantai dua rumahku. Tidak ada yang menghalangi mata dari pemandangan tersebut. Namun sayang, malam ini tidak ada rembulan yang biasanya bersinar kekungingan. Rembulan mendapatkan jatah libur sampai beberapa hari ke depan, atau aku saja yang terlalu tidak kuat menunggu datangnya. Bintang-gemintang jauh mengangkasa menunjukkan bahwa dia adalah sang raja, untuk malam ini.Pukul delapan malam, aku tiba-tiba teringat dengan pasar malam, dan hatiku mengatakan bahwa aku harus ke sana. Ah, semoga saja mama mengijinkan aku untuk pergi malam ini. Mumpung waktu belum terlalu malam, akhirnya dengan segera aku meminta ijin kepada mama, juga papa. Mereka berdua tengah asyik mengobrol di depan layar televisi, entah apa yang mereka bincangkan aku tidak tahu. Dan, aku juga tidak ingin mengetahuinya. Palingan, itu adalah pembicaraan tentang masa depan dan urusan pekerjaan.“Pap
Dua malam yang lalu, ketika aku berkunjung ke pasar malam, aku bertemu dengan seorang penjual buku yang seumuran denganku. Namanya adalah Adi. Sebenarnya aku tidak tahu di mana hebatnya dia, lagi pula aku juga belum mengerti banyak tentang hidupnya. Hanya saja sekarang aku tahu apa yang lebih darinya jika dibandingkan dengan diriku, Adi adalah seorang pekerja keras. Aku kagum dengannya.Sekarang aku tengah berada di ruang kelas, jam istirahat. Hari ini aku tidak pergi ke kantin, sebab ada yang aneh dengan mama sepagi ini, mama membawakanku bekal makanan, padahal dari rumah aku sudah sarapan. Hemm... tidak apa-apa, hitung-hitung untuk menghemat uang jajan. Lumayan, bisa untuk membeli komik atou novel-novel. Kenapa tidak buku pelajaran saja? Aku tidak terlalu suka membaca buku pelajaran. Lagi pula, aku merasa bahwa di dalam komik itu ada banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil, tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.Aku dan Zila makan bersama, memakan bekal yan
Lima menit sudah aku berada di luar kelas. Benar sekali, seperti yang aku bayangkan, bahwa suasana di luar kelas ketika pelajaran berlangsung akan menjadi semakin nikmat. Angin sepoi-sepoi tertiup dari sudut lapangan, menggerak-gerakkan pepohonan tepian lapangan, lalu mengenai tubuh dan rambutku. Wow, benar-benar udara yang sangat nikmat. Tidak terasa, sudah hampir sepuluh menit aku berada di luar kelas.Ah, sebaiknya sekarang aku masuk. Lagi pula, aku juga sudah tidak terlalu mengantuk. Sekarang, aku lebih siap untuk mengikuti pelajaran, tapi tidak untuk paham. Wkwkw.Tapi sebelum aku masuk, aku melihat ada siswa lain selain diriku yang berada di luar ruang kelas. Lihat! Bukankah itu adalah Adi, pedagang buku yang pada awalnya sangat menyebalkan itu? Iya, aku tidak salah lihat, itu adalah Adi. Akan ke mana dia? Sepertinya dia akan ke kamar mandi. Dan, tentunya dia akan melewati tempatku berdiri sekarang ini. Baiklah, akhirnya aku memelankan langkah, berharap agar dia
Entah kenapa tiba-tiba malam ini aku ingin pergi ke pasar malam. Buku apalagi yang akan aku beli? Padahal, komik yang aku beli beberap hari lalu belum aku selesaikan. Ah, entahlah, akhir-akhir ini aku suka sekali tidak jelas. Baiklah, aku akan meminta ijin kepada mama dan papa. Benar, meskipun aku sudah dewasa, tapi kalau masalah ijin keluar rumah, orang tua selalu mewajibkan hal tersebut.Mama dan papa terlihat tengah asyik menonton acara televisi. Pelan-pelan aku berjalan menghampiri mereka. Semoga saja mereka berdua mengijinkanku. “Mah, aku ijin keluar sebentar.” Kataku manja.“Nisa mau ke mana?” papa yang bertanya balik.Lalu, mama menambahi, “Mau ke mana?”Aku menjawab seperti biasanya, “Nisa mau ke pasar malam. Sebentar saja, tidak sampai pukul sepuluh aku sudah pulang.”“Bagaimana ini, ma?” tanya papa kepada mama.Mama tersenyum. Syukurlah, sepertinya papa dan mama mengijinka
Gerimis perlahan-lahan bertambah deras. Aku membantu Adi mengemasi dagangannya. Syukurlah, beberapa saat kemudian, sebelum hujan menderas, buku-buku sudah selesai dimasukkan ke dalam kardus-kardus cokelat. Adi terlihat memanggil pedagang sebelah.“Pak, aku nitip buku-buku ini yah... takut kalau rusak.” Katanya.“Siap...” kata orang itu tanpa beban, orang itu seusia dengan papaku di rumah.Dengan cekatan orang itu mengangkat dua kardus sekaligus, dua lainnya diangkat oleh Adi sendiri. Aman, sekarang buku-buku itu telah aman. Puluhan pedagang lainnya, yang tidak memakai atap kedap air, cepat-cepat meringkasi dagangan mereka. Pulang.“Kak Nisa, ayo ikut aku!” tiba-tiba kata Adi padaku.Aku langsung berjalan setengah berlari mengikuti Adi. Oh, lebar sekali langkah kaki Adi, sehingga aku hampir saja kehilangan jejaknya, saling mendahului dengan orang-orang yang mencari tempat berteduh. Sepertinya Adi juga mengajakku m
Aku melirik jam pada dinding warung, pukul setengah sepuluh malam. Ah, aku lupa, aku juga memakai jam tangan sendiri. Aku melirik jam tanganku, sama persis dengan waktu yang ditunjukkan oleh jam dinding warung. Papa dan mama pasti akan mengomeliku ketika aku pulang nanti. Ini adalah waktu yang cukup malam untuk diriku.“Adi, aku mau pulang.” Kataku pada Adi yang sedari tadi hanya banyak diamnya.“Ayo.” Sahutnya tidak kalah lirihnya dengan suaraku.Oh, iya, teman-teman! Aku tadi tidak hanya minum es teh hangat. Eh, maksudku teh hangat. Aku tadi juga makan, sebab aku pun merasa lapar. Jadi, jumlah yang harus aku bayarkan sekitar sepuluh ribu rupiah. Murah sekali. Aku segera mengeluarkan uang dari saku celana, dan memberikannya kepada ibu penjaga warung. Tapi, belum sempat ibu itu menerimanya, Adi telah membayarnya terlebih dahulu. Ah, aku jadi tidak enak sendiri dengan dia. Aku sudah menumpang motornya, dia pula yang membayar makanan dan mi
“Nisa, tadi malam kamu pulang jam berapa?” tanya mama kepadaku ketika kami sekeluarga kumpul untuk sarapan pagi.Samar-samar aku menjawab, “Pukul setengah sebelas.”“Malam sekali?” tanya mama lagi.“Iya, mah.” Sahutku. “Kan, tadi malam hujan, terus aku menjadi tempat berteduh. Dan hujannya kan baru selesai pukul sepuluh malam. Setelah itu barulah aku pulang.”“Kok, mama telpon tidak kamu angkat-angkat?” tanya mama lagi. Ah, menyebalkan.“Aku lupa membawa hp. Hp aku ketinggalan di kamar. Ma.” Jawabku.“Sudah, yang penting sekarang Nisa sudah pulang. Lain kali kalau mau keluar rumah jangan lupa membawa hp. Jaman sekarang ini hp adalah kebutuhan yang sangat membantu untuk kita.” Kata papa. “Misal kalau kita tersesat kita bisa menggunakan google map. Kalau kita tidak mendapatkan angkot, kita bisa memanggil ojek online.” Lanjut papa dengan
Pukul setengah tiga sore aku duduk-duduk santai di teras rumah sembari membaca komik yang aku beli beberapa hari lalu. Sebenarnya aku tidak konsentrasi penuh dengan komik itu, melainkan aku tengah fokus dengan isi hatiku dan pikiranku sendiri. Pasalnya hari ini aku sangat-sangat bahagia dan sangat menikmati setiap tarikan nafas yang aku hirup di dunia. Adakah kalian yang mengetahuinya?Hari ini aku sangat bahagia. Tadi di sekolah, Faisal memberikan kejutan lanjutan kepadaku. Dia secara terang-terangan mengatakan kepadaku bahwa dia selama ini suka kepadaku. Sebenarnya aku tidak kaget, tapi demi menghormati dia yang susah payang mengungkapkan rasa itu aku berpura-pura kaget. Istilahnya agar terjadi kejutan begitu saja, tidak lebih. Tapi pada tarikan-tarikan nafas berikutnya, aku benar-benar kaget. Dia tidak hanya mengatakan bahwa dia suka kepadaku, tapi lebih dari itu, dia menunggu jawabanku apakah mau menjadi pacarnya. Nah, jadi sekarang ini aku tengah memikirkan jawaban apa y