Malam hari, pukul delapan, ketika waktu makan malam.
Keluarga kami sudah berkumpul semua seperti biasa di meja makan, makan malam. Hari ini masih dengan suasana yang biasa, bahagia. Walaupun keluarga kami hanya tiga orang, kami sudah cukup lebih dari bahagia. Banyak di dunia ini orang yang ingin mempunyai keturunan, tapi Tuhan tidak menghendaki.
“Bagaimana sekolah kamu, Nisa?” Papa bertanya kepadaku, yang duduk diseberang meja sendirian. Mama ikut menatapku dengan tatapan datar, dari seberang meja pula.
“Eh, baik-baik saja, Pa.” Aku menjawab dengan sangat jujur, karena aku adalah anak yang jujur. Hehe …
Papa menatapku sejenak, lalu bicara lagi kepadaku sambil menunggu Mama selesai mengisi piring Papa. “Papa kira hari ini kamu ada masalah, tidak seperti biasanya kamu banyak melamun seperti malam ini.”
“Dari mana Papa tau?”
“Eh, tau apanya? Beneran kamu ada masalah? Ceritakan saja, mungkin Mama dan Papa bisa bantu?” Papa malah salah tangkap kali ini. Bukan itu yang aku maksud, Pa, tapi dari mana Papa tahu kalau aku banyak melamun malam ini?
“Oh, Papa hanya melihat kamu dari tadi tidak memulai pembicaraan. Biasanya kan kamu yang memulai pembicaraan, tentang inilah, tentang itulah.” Papa kali ini memang tidak salah dengan apa yang dia rasakan. Memang, mala mini aku lebih banyak melamun dari pada bicara dengan mereka berdua.
“Ayo, makanan sudah siap. Jangan terlalu menghiraukan anak muda yang lagi kenal seseorang, Pa.” Mama segera menghentikan percakapanku dengan Papa, asal bicara saja.
“Oh … Masak begitu, Ma?” Papa malah melanjutkan perbincangan dengan Mama, antusias.
“Iya lah, Papa. Papa pernah muda, kan?”
Makan malam berakhir setengah jam kemudian, dengan gosip yang cukup hangat, tentang lamunanku. Aku segera beranjak menuju kamar, sudah tidak minat lagi melihat televisi, atau berbicang dengan Mama, Papa. Biarkan mereka mengahabiskan waktu, mengenang waktu mereka awal berkenalan dahulu.
Aku masuk kamar. Suasana sangat sepi, menyelimuti malam yang penuh dengan bintang.
Teman, apakah kalian tahu satu fakta yang sangat menarik? Tentang bintang yang setiap malam kita lihat jika suasana cerah? Satu fakta itu adalah tentang kepalsuan sangat besar.
Adalah tentang cahaya bintang yang kita lihat begitu indah. Ternyata bintang yang kita lihat itu kebanyakan berasal dari masa lalu. Benarkah? Aku kembali menatap langit dari jendela kamar.
Pernahkah kalian belajar tentang fisika? Tentang kecepatan cahaya? Berapakah kecepatan cahaya? Iya, kecepatanya sangat tinggi, 300.000 km/detik. Bayangkan, dengan kecepatan seperti itu, maka kalian akan sampai Bandung dalam jangka waktu kuran dari satu menit.
Nah, lalu apa hubuganya dengan bintang yang kita lihat setiap malam? Bintang yang kita lihat, ketika malam hari maka akan mengeluarkan cahaya. Atau, ketika siang hari kita tidak bisa melihatnya. Bayangkan saja kalian sedang melihat bintang Alfha-Centaury, maka apakah bintang itu adalah bintang yang malam ini? Ternyata tidak. Ternyata bintang itu adalah bintang 4,5 tahun yang lalu, baru nampak sekarang. Bayangkan saja jarak antara bumi sampai kepadanya. Cahaya membutuhkan waktu untuk merambat sampai ke bumi. Nah, waktu yang dibutuhkan ialah 4,5 tahun karena jaraknya yang begitu jauh. Jadi, bintang yang kita lihat itu adalah bintang tahun-tahun yang telah lewat.
Atau setidaknya matahari. Matahari yang kita lihat membutuhkan waktu sekitar delapan menit untuk sampai ke bumi. Jadi, matahari yang kita lihat sekarang adalah matahari delapan menit yang lalu. Begitu juga dengan bulan, mempunyai jarak masing-masing.
Sudahlah, bintang itu, yang ada di langit malam, tidak ada spesialnya sama sekali. Menyimpan kebohongan yang sebagian besar manusia belum mengetahuinya. Sudah juga malam berlanjut, maka aku akan membaringkan tubuh, dan kejutan yang tidak aku sangka sudah menunggu.
Pukul Sembilan, udara bertambah dingin lagi. Aku masih memainkan hp, seperti biasa, bermain game. Namun, aku segera ingat bahwa aku punya jadwal kusus malam ini. Melihat pesan yang masuk.
“Selamat malam, semoga kau belum tidur.” Masih sama dengan aku ketika membaca pesan pertama kali darinya, gugup. Eh, tapi kenapa? Bukankah pesan Faisal normal-normal saja? Aku saja yang berlebihan menyikapi.
”Malam. Aku belum tidur, masih belum ngantuk.” Jawaban singkat yang tidak aku inginkan. Sebenarnya lebih panjang yang aku inginkan.
“Oh, boleh aku meneleponmu, Nisa?” Kabar baik. Ternyata dia masih aktif. Juga kabar buruk, dia akan meneleponku.
“Emm, jangan deh. Papa-Mama sudah tidur. Takut mereka keganggu.” Aku reflek menuliskan kalimat itu setelah membaca pesan bahwa dia akan meneleponku. Aduh, apa yang aku lakukan ini? Apakah nanti Faisal akan tersinggung dengan jawabanku? Oh, aku tidak menyangkan bahwa aku sejahat ini. tapi, syukurlah. Dia sama sekali tidak tersiggung atau marah dengan jawaban yang dia baca.
“Baiklah. Rasanya juga aku terlalu malam mengirim pesan kepadamu. Selamat malam, dan selamat tidur. Lain kali bisa ya, aku menelepon kamu?”
“Tentu saja, bisa. Maaf, tapi bukan mala mini, ya.”
Aku lega dengan pesan tadi, setidaknya karena dia tidak marah. Tapi, masih satu pesan lagi masuk. Sepertinya ini adalah pesan terakhir yang akan aku baca dari Faial.
“Baiklah, aku sangat kamu bersedia. Nah, semalat malam, dan sampai ketemu besok.” Benar, itu adalah kalimat terakhir yang aku baca sebelum tidur.
“Iya, kamu juga tidur, ya. Sampai jumpa besok.”
Dibalik rahasia bintang yang masih samar, ada rahasia besar kehidupan yang sebenarnya manusia setiap hari berkecimpung denganya, tapi tidak tahu apakah artian dari rahasia itu sebenarnya. Ialah cinta. Aku masih bingung dengan itu semua. Aku belum percaya sepenuhnya bahwa cinta itu bisa membuat seseorang menjadi gila. Bahkan mati.
Terima kasih Tuhan, Engkau telah memberikan yang terbaik untukku. Aku hanya berharap, perasaan ini tidak akan menyakiti siapapun. Aku tahu, Engkau pasti sudah menyiapkan semua ini dengan sebaik mungkin. Aku tahu, Engkau telah merencanakan hal besar kepada setiap manusia, makhluk yang penuh dengan kekurangan. Sehingga dengan scenario yang begitu indah, mempu menjadikan manusia yang buruk ini menjadi lebih baik. RencanaMu begitu indah. Tidak akan pernah ada manusia yang mampu mengira-ngira ending dari suatu masalah. Manusia hanya mampu berdoa, semoga ending yang baik adalah akhir dari kehidupan ini.
Selain itu aku juga yakin bahwa ending dari semua ini adalah kematian. Kematian hanyalah hal kecil yang menjadikan manusia tidak mampu berbuat apa-apa, selain penyesalan. Iya, penyesalan. Maka dari itu, manusia harus bisa memperdayaiMu, agar Engkau memberikan ending yang baik kepada semua manusia. Setiap masalah pasti akan mempunyai batas akhir. Dan , aku belum mengerti apakah nantinya ending hidupku akan menemui sebuah kebahagian, ataupun malah sebaliknya. Namun dibalik itu semua, setidaknya manusia diberikan keleluasaan untuk berusaha. Berdoa. Dan yang tidak kalah penting adalah pasrah kepadaMu.
Aku harap Tuhan tidak akan tertawa jika mengetahui catatan yang aku tuliskan malam ini. Dan, catatan itu adalah yang pertama kali dalam hidupku. Karena sebelum kejadian beberapa hari lalu, aku sangat tidak suka sekali dengan apa yang dinamakan curhat. Namun, Tuhan malah berkehendak lain. Tadi sore, Tuhan memerintahkan Malaikat untuk turun ke bumi, memberikan perasaan senang curhat kepadaku. Aneh.
Seperti biasanya, ketika pagi hari aku berangkat sekolah dengan sebelumnya sarapan bersama keluarga. Sungguh sebuah momen yang sebenarnya ingin aku tinggalkan begitu saja, yaitu sarapan dengan keluarga, ada papah dan mama. Mengapa demikian? Sebab jika sarapan bersama dengan mereka berdua, selalu saja ada hal tentang keburukanku yang menjadi sasaran pembicaraan. “Nisa, kamu kok semakin wangi saja dari hari ke hari.” Ujar papa yang menyadari bahwa aku berbau wangi, tidak seperti minggu-minggu sebelumnya. Memang benar, minggu-minggu sebelumnya, sebelum aku mengenal sebuah rasa seperti ini, aku tidak terlalu suka dengan minyak wangi, atau bahkan aku jarang sekali menggunakannya. Aku merasa sudah cukup saja dengan bau wangi yang semerbak dari bajuku, pewangi yang digunakan mama ketika mencucinya. “Mumpung masih punya, pa.” Jawabku ringan sembari meneruskan makan. “Memangnya sebelum ini kamu tidak punya?” sahut mama. Benar apa yang aku sangkakan tad
Langit cerah, bintang-gemintang nampak di sana. Itulah pemandangan yang aku lihat ketika berada di teras lantai dua rumahku. Tidak ada yang menghalangi mata dari pemandangan tersebut. Namun sayang, malam ini tidak ada rembulan yang biasanya bersinar kekungingan. Rembulan mendapatkan jatah libur sampai beberapa hari ke depan, atau aku saja yang terlalu tidak kuat menunggu datangnya. Bintang-gemintang jauh mengangkasa menunjukkan bahwa dia adalah sang raja, untuk malam ini.Pukul delapan malam, aku tiba-tiba teringat dengan pasar malam, dan hatiku mengatakan bahwa aku harus ke sana. Ah, semoga saja mama mengijinkan aku untuk pergi malam ini. Mumpung waktu belum terlalu malam, akhirnya dengan segera aku meminta ijin kepada mama, juga papa. Mereka berdua tengah asyik mengobrol di depan layar televisi, entah apa yang mereka bincangkan aku tidak tahu. Dan, aku juga tidak ingin mengetahuinya. Palingan, itu adalah pembicaraan tentang masa depan dan urusan pekerjaan.“Pap
Dua malam yang lalu, ketika aku berkunjung ke pasar malam, aku bertemu dengan seorang penjual buku yang seumuran denganku. Namanya adalah Adi. Sebenarnya aku tidak tahu di mana hebatnya dia, lagi pula aku juga belum mengerti banyak tentang hidupnya. Hanya saja sekarang aku tahu apa yang lebih darinya jika dibandingkan dengan diriku, Adi adalah seorang pekerja keras. Aku kagum dengannya.Sekarang aku tengah berada di ruang kelas, jam istirahat. Hari ini aku tidak pergi ke kantin, sebab ada yang aneh dengan mama sepagi ini, mama membawakanku bekal makanan, padahal dari rumah aku sudah sarapan. Hemm... tidak apa-apa, hitung-hitung untuk menghemat uang jajan. Lumayan, bisa untuk membeli komik atou novel-novel. Kenapa tidak buku pelajaran saja? Aku tidak terlalu suka membaca buku pelajaran. Lagi pula, aku merasa bahwa di dalam komik itu ada banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil, tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.Aku dan Zila makan bersama, memakan bekal yan
Lima menit sudah aku berada di luar kelas. Benar sekali, seperti yang aku bayangkan, bahwa suasana di luar kelas ketika pelajaran berlangsung akan menjadi semakin nikmat. Angin sepoi-sepoi tertiup dari sudut lapangan, menggerak-gerakkan pepohonan tepian lapangan, lalu mengenai tubuh dan rambutku. Wow, benar-benar udara yang sangat nikmat. Tidak terasa, sudah hampir sepuluh menit aku berada di luar kelas.Ah, sebaiknya sekarang aku masuk. Lagi pula, aku juga sudah tidak terlalu mengantuk. Sekarang, aku lebih siap untuk mengikuti pelajaran, tapi tidak untuk paham. Wkwkw.Tapi sebelum aku masuk, aku melihat ada siswa lain selain diriku yang berada di luar ruang kelas. Lihat! Bukankah itu adalah Adi, pedagang buku yang pada awalnya sangat menyebalkan itu? Iya, aku tidak salah lihat, itu adalah Adi. Akan ke mana dia? Sepertinya dia akan ke kamar mandi. Dan, tentunya dia akan melewati tempatku berdiri sekarang ini. Baiklah, akhirnya aku memelankan langkah, berharap agar dia
Entah kenapa tiba-tiba malam ini aku ingin pergi ke pasar malam. Buku apalagi yang akan aku beli? Padahal, komik yang aku beli beberap hari lalu belum aku selesaikan. Ah, entahlah, akhir-akhir ini aku suka sekali tidak jelas. Baiklah, aku akan meminta ijin kepada mama dan papa. Benar, meskipun aku sudah dewasa, tapi kalau masalah ijin keluar rumah, orang tua selalu mewajibkan hal tersebut.Mama dan papa terlihat tengah asyik menonton acara televisi. Pelan-pelan aku berjalan menghampiri mereka. Semoga saja mereka berdua mengijinkanku. “Mah, aku ijin keluar sebentar.” Kataku manja.“Nisa mau ke mana?” papa yang bertanya balik.Lalu, mama menambahi, “Mau ke mana?”Aku menjawab seperti biasanya, “Nisa mau ke pasar malam. Sebentar saja, tidak sampai pukul sepuluh aku sudah pulang.”“Bagaimana ini, ma?” tanya papa kepada mama.Mama tersenyum. Syukurlah, sepertinya papa dan mama mengijinka
Gerimis perlahan-lahan bertambah deras. Aku membantu Adi mengemasi dagangannya. Syukurlah, beberapa saat kemudian, sebelum hujan menderas, buku-buku sudah selesai dimasukkan ke dalam kardus-kardus cokelat. Adi terlihat memanggil pedagang sebelah.“Pak, aku nitip buku-buku ini yah... takut kalau rusak.” Katanya.“Siap...” kata orang itu tanpa beban, orang itu seusia dengan papaku di rumah.Dengan cekatan orang itu mengangkat dua kardus sekaligus, dua lainnya diangkat oleh Adi sendiri. Aman, sekarang buku-buku itu telah aman. Puluhan pedagang lainnya, yang tidak memakai atap kedap air, cepat-cepat meringkasi dagangan mereka. Pulang.“Kak Nisa, ayo ikut aku!” tiba-tiba kata Adi padaku.Aku langsung berjalan setengah berlari mengikuti Adi. Oh, lebar sekali langkah kaki Adi, sehingga aku hampir saja kehilangan jejaknya, saling mendahului dengan orang-orang yang mencari tempat berteduh. Sepertinya Adi juga mengajakku m
Aku melirik jam pada dinding warung, pukul setengah sepuluh malam. Ah, aku lupa, aku juga memakai jam tangan sendiri. Aku melirik jam tanganku, sama persis dengan waktu yang ditunjukkan oleh jam dinding warung. Papa dan mama pasti akan mengomeliku ketika aku pulang nanti. Ini adalah waktu yang cukup malam untuk diriku.“Adi, aku mau pulang.” Kataku pada Adi yang sedari tadi hanya banyak diamnya.“Ayo.” Sahutnya tidak kalah lirihnya dengan suaraku.Oh, iya, teman-teman! Aku tadi tidak hanya minum es teh hangat. Eh, maksudku teh hangat. Aku tadi juga makan, sebab aku pun merasa lapar. Jadi, jumlah yang harus aku bayarkan sekitar sepuluh ribu rupiah. Murah sekali. Aku segera mengeluarkan uang dari saku celana, dan memberikannya kepada ibu penjaga warung. Tapi, belum sempat ibu itu menerimanya, Adi telah membayarnya terlebih dahulu. Ah, aku jadi tidak enak sendiri dengan dia. Aku sudah menumpang motornya, dia pula yang membayar makanan dan mi
“Nisa, tadi malam kamu pulang jam berapa?” tanya mama kepadaku ketika kami sekeluarga kumpul untuk sarapan pagi.Samar-samar aku menjawab, “Pukul setengah sebelas.”“Malam sekali?” tanya mama lagi.“Iya, mah.” Sahutku. “Kan, tadi malam hujan, terus aku menjadi tempat berteduh. Dan hujannya kan baru selesai pukul sepuluh malam. Setelah itu barulah aku pulang.”“Kok, mama telpon tidak kamu angkat-angkat?” tanya mama lagi. Ah, menyebalkan.“Aku lupa membawa hp. Hp aku ketinggalan di kamar. Ma.” Jawabku.“Sudah, yang penting sekarang Nisa sudah pulang. Lain kali kalau mau keluar rumah jangan lupa membawa hp. Jaman sekarang ini hp adalah kebutuhan yang sangat membantu untuk kita.” Kata papa. “Misal kalau kita tersesat kita bisa menggunakan google map. Kalau kita tidak mendapatkan angkot, kita bisa memanggil ojek online.” Lanjut papa dengan