Setelah sampai di rumah Zila.
Rumah Zila biasa-biasa saja, sama seperti dengan rumahku. Terdiri dari dua lantai, dengan pintu menghadap kebarat, rumah itu tampak ramah dengan siapa saja yang mendatanginya. Bunga-bunga dengan aneka jenis ada di halaman rumahnya meski tidak terlalu luas.
Teman-temanku sudah sampai semua sebelum aku sampai. Mereka sedang bicara satu dengan yang lainnya.
Syukurlah, Zila sepertinya tidak mengingat tentang pembicaraan tadi siang, jadi aku tidak harus khawatir menahan malu jika Zila mengejek. Tapi aku salah, ternyata Zila langsung memulai percakapan dengan tema itu.
“Cie … yang lagi mikirin seseorang, sampai datang terlambat.”
Zila langsung mulai percakapan itu setelah aku masuk kamarnya. Kami belajar di kamarnya. Cukup luas, jadi tidak perlu belajar di ruang tamu.
“Apaan sih. Aku ke sini mau belajar tau, bukan lagi mau debat dengan kamu, Zila.” Aku menjawab dengan sedikit tidak menghiraukan teman-teman yang lain.
Kami semua sekarang berjumlah empat orang. Aku dan Zila orang kedua. Dan yang ketiga-empat, namanya Suka serta Fitri. Dia juga sama-sama sahabat baikku. Tapi bedanya, mereka berdua aku baru kenal setelah masuk SMA. Sedangkan Zila sudah sejak SMP aku mengenalnya.
Suka dan Fitri tidak tertarik dengan apa yang baru saja diucapkan Zila, hanya menganggap sebagai sebuah gurauan. Tapi, nanti, gurauan itu akan menjadi nyata bagiku. Jika saatnya telah tiba.
Dua jam belajar, sangat membosankan. Pelajaran yang kami bahas yaitu Bahasa Indonesia, tentang menemukan makna dibalik kata-kata sajak.
Aku sangat suka dengan pelajaran Bahasa Indonesia, tambah sering, tambah juga aku menyukainya. Tidak berbeda jauh dengan teori cinta dengan hati manusia. Hanya ada dua kemungkinan, jika tidak jenuh, maka akan bertambah cinta, bertambah juga sayang. Itulah gambaran singkat perkembangan cinta pada manusia.
“Suka, Fitri, kamu pengen tau apa tidak sih?” Zila mulai membicara-kan suatu hal di luar mata pelajaran.
Dua anak yang diajak bicara oleh Zila langsung menengok, dengan ekspresi bingung dan juga penasaran.
“Tentang apa?” Fitri menanggapi percakapan.
“Em … ini tentang sekolah kita. Ada kabar sangat menggemparkan diskolah kita yang belum kalian ketahui sama sekali,.” Ujar Zila. Zila berhenti sejenak, sengaja membuat dua temannya penasaran. Aku, sama sekali tidak penasaran dengan hal itu. “Ini juga bukan tentang berita tim sepak bola kelas kita.” Tambahnya.
“Langsung saja apa beritanya, Zila, jangan terlalu banyak basa-basinya.” Sahut Suka mulai tidak sabaran.
“Baik. Ini tentang teman kita. Kalian pasti tidak akan menyangka sama sekali.” Zila memulai cerita lagi dengan nada sangat antusias.
“Teman kita yang bernama NISA …” Zila menoleh kearahku. Aku menatapnya dengan tatapan tajam, seoalah akan menghentikan percakapannya.
“Eh, kenapa aku yang kena? Jangan macam-macam deh kamu, Zila.” Aku balas melotot kepada Zila, yang mungkin akan menyinggung soal tadi siang.
“Tidak, siapa yang macam-macam. Begini, langsung saja. Ternyata NISA sebentar lagi sudah tidak akan JOMBLO loh!”
Seketika mukaku menjadi merah padam, seperti daging ayam setengah matang, entah marah atau malu perasaan yang muncul saat ini.
Lain hal denganku, Zila yang kurang ajar, saat ini, tertawa sendiri. Entah apa yang terjadi dengan Suka dan juga Fitri, mereka berdua masih bingung. Lalu, Zila melangkah keluar kamar, entah ke mana. Dia sudah tidak terlihat lagi dari dalam kamar.
Aku memandang dua temanku. Lalu mulai berbicara dengan nada malu-malu. “Kamu percaya dengan dia, Suka, Fitri?” Aku menunjuk Zila dengan jari telunjukku, yang entah pergi ke mana.
“Entahlah, aku masih ragu-ragu tadi. Tapi, setelah aku melihat langsung ekspresimu, kayaknya Zila sungguhan deh.” Suka yang menimpali kali ini.
aku reflek akan memukulkan bantal kepada Suka, tapi aku urungkan karena dua hal : Dia tidak akan percaya denganku, satu lagi karena melihat Zila yang sudah kembali dengan nampan di atasnya.
Di atas nampan itu, ada empat mie instan yang sudah siap untuk dimakan. Aku mulai mengendalikan diri agar tidak marah lagi, atau tidak… maka Zila akan mendapatkan amunisi lagi, untuk mengejekku.
“Hai, daku datang ….” Suara Zila dengan nada tanpa merasa bersalah.
“Aku mau, mau.” Suka dan Fitri hampir kompak mengucapakan kalimat tadi. Aku hanya diam, menunggu Zila menawari sendiri.
“Kamu mau atau tidak, Nisa? Tapi, biasanya orang yang lagi jatuh cinta tidak napsu makan sih …” dia tersenyum lebar kembali.
“Enak saja, siapa juga yang lagi jatuh cinta. Kamu saja yang mengada-ada.” aku membalasnya sambil mengambil salah satu cup mie instan yang diletakkan di atas meja dekat tempat tidur.
Bau semerbak keluar dari masing-masing cup, membuat napsu makan menjadi tergugah. Aku makan dengan lahap, pertanda aman. Berarti, saat ini aku sedang tidak jatuh cinta, nyatanya aku makan dengan lahap.
Tapi aku salah, Zila tidak pernah kehabisan ide untuk mengejek temannya.
“Nisa, tidak biasanya kamu makan selahap ini. Biasanya kalau di kantin sekolahan, kamu makannya pelan-pelan, atau jangan-jangan kamu telah mendapatkan semangat baru?” Dia mengucapkan itu dengan nada sangat-sangat mengejek.
Kurang ajar sekali anak ini. Tapi tidak apa-apalah, sesekali membuat teman tertawa, walaupun dengan mengorbankan diri.
Akhirnya, belajar malam ini diakhiri dengan makan bersama. Tugas sebenarnya juga sudah selesai dari tadi. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, aku juga harus segera pulang.
“Zila, Suka, Fitri, aku mau pulang dulu ya, sudah malam.” Aku berpamitan kepada tiga temanku sekaligus.
“Oh iya, terimakasih mienya tadi, lezat sekali.” aku menambahkan lagi.
“Aku sama Fitri juga udahan dulu ya, kapan-kapan main kesini lagi.” akhirnya mereka berdua juga berpamitan. Zila hanya mengangguk.
Zila mengantarkan kami semua sampai depan pintu utama rumah. Di balik sikapnya yang selalu membuatku sebal, sebenarnya Zila adalah teman yang baik. Aku dan dia selalu menjalani masalah di sekolah bersama-sama.
Keadaan di luar sudah gelap, tapi, suasana tetap ramai oleh para pengguna jalan.
Aku melangkah menuju tepi jalan, menunggu satu-dua angkutan yang lewat. Seperti yang aku katakana tadi, akan selalu ada angkutan yang lewat jalan ini setiap saat.
Rumah Suka dan Fitri berlawanan dengan rumahku, mereka sudah terlebih dahulu mendapatkan angkutan menuju rumah masing-masing. Aku masih menunggu, kira-kira setelah sepuluh menit akhirnya aku mendapatkan angkutan yang sesuai dengan jalur menuju rumah.
Di dalam angkutan…
Hanya ada beberapa orang yang terlihat duduk di atas kursi, mungkin sebagian besar menggunakan perjalanan pada waktu siang hari. Jalanan masih terlihat padat oleh berbagai kendaraan, mulai dari mereka yang pulang kerja, dan mereka yang masih memakai seragam sekolah. Mungkin ada kegiatan yang mengharuskan mereka pulang malam seperti ini.
Salah satu dari petugas angkutan berjalan mendekatiku, aku belum pernah melihat sebelumnya, karena aku jarang keluar malam. Dia sepertinya menanyakan tujuanku, dan aku segera mengeluarkan uang dari dalam tas.
Aku menyebutkan alamat rumahku berada. Setelah itu, aku hanya menikmati pemandangan kiri-kanan jalan yang terang oleh sinar lampu malam.
****
Angkutan yang aku tumpangi sudah sampai dari tadi, merapat dekat jalan rumahku.
Setelah turun, ingin segera rasanya aku menghembuskan napas terakhir. Mama tidak ada di ruang tamu, ruang tengah, atau dapur. Mungkin dia sudah tidur terlebih dahulu. Aku tidak membuka kamarnya, sudah yakin dia tidur, mungkin juga lelah setelah seharian mengurus rumah sendirian.
Ternyata, aku tidak langsung bisa memejamkan mata, selalu ada saja hal-hal yang membuat tidak langsung mengantuk. Salah satunya, tentu saja FAISAL. Entah kenapa aku mulai memikirkannya. Tidak seperti biasanya, setelah mendengar penjelasan dari Zila, sepertinya ada perasaan yang berbeda jika mengingatnya.
Entahlah, aku selalu berusaha untuk berpikir positif. Semoga yang dibicarakan Zila tidak benar. Tidak, apakah itu yang positif? Jika itu yang benar, maka ke-JOMBLO-anku ini akan bertahan lebih lama lagi.
Sejak dahulu kala, sejak SMP, aku jarang sekali menyukai laki-laki, apalagi memikirkan sejauh ini. aku juga terlihat sebagai wanita yang cuek. Maka wajar saja, jarang ada lelaki yang suka kepadaku. Dan… pembicaraan tadi siang dengan Zila telah memecahkan rekor tersebut.
Pernah aku membaca tentang buku yang membahas tentang cinta. Dan, di sana ada beberapa tanda bahwa kita akan mencintai, atau setidaknya menyukai seseorang. Aku ingat betul. Satu, kalau dekat dengannya akan serba salah, ini akan aku buktikan ketika sekolah besok. Dua, ketika berjalan dan tidak sengaja papasan dengannya, maka kita akan mementingkan sebuah hal yang dulunya tidak penting. Seperti, kenapa hari ini teman kita memakai sepatu berwarna abu-abu. Padahal, dari tadi kita hanya cuek. Setelas papasan dengan orang yang disukai, maka seketika akan mementingkan warna sepatu teman.
Tiga, ketika dekat dengan orang yang disukai, kita tidak akan berani menatap langsung. Tapi, sesungguhnya kita ingin sekali memandangnya, memandang wajah manisnya, hidung peseknya, atau juga dahi lebarnya.
Hanya itu yang aku ingat sampai sekarang. Tapi setidaknya itu akan menjadi referensi alasan jatuh cinta yang benar bagiku.
Kisah Nisa selalu menjadi menarik ketika manusia menjadi saling membunuh sebabnya. Maka dari itu, jangan sampai berhenti menjadi manusia yang lebih baik. ***Aku melirik jam pada dinding warung, pukul setengah sepuluh malam. Ah, aku lupa, aku juga memakai jam tangan sendiri. Aku melirik jam tanganku, sama persis dengan waktu yang ditunjukkan oleh jam dinding warung. Papa dan mama pasti akan mengomeliku ketika aku pulang nanti. Ini adalah waktu yang cukup malam untuk diriku.“Adi, aku mau pulang.” Kataku pada Adi yang sedari tadi hanya banyak diamnya.“Ayo.” Sahutnya tidak kalah lirihnya dengan suaraku.Oh, iya, teman-teman! Aku tadi tidak hanya minum es teh hangat. Eh, maksudku teh hangat. Aku tadi juga makan, sebab aku pun merasa lapar. Jadi, jumlah yang harus aku bayarkan sekitar sepuluh ribu rupiah. Murah sekali. Aku segera mengeluarkan uang dari saku celana, dan memberikannya kepada ibu penjaga warung. Tapi, belum sempat ibu itu menerimanya, Adi telah membayarnya terlebih dahulu.
Jika kalian mengira bahwa dimensi ruang itu hanya satu, maka adalah sebuah kesalahan besar. Dimensi tidak terkira jumlahnya, hanya saja kita tidak atau belum mengenalnya. Tahukah kalian bahwa bangsa Jin itu bisa hidup bahkan sampai dua ribu tahun? Tahukah kalian bahwa satu hari pada hari manusia, itu sama dengan satu tahun dalam waktu Jin? Atau, tahukah kalian bahwa di bawah tanah sana ada sebuah bangsa yang telah membodohi manusia bahwa yang membuat gempa adalah pergerakan lempeng? Merekalah yang menjadikan gempa bumi, dan novel ini akan menguak tabir misteri tersebut.***“Apakah semua sudah siap?” tanya Misa selaku ketua rombongan kecil itu.Mereka berkumpul dan berangkat dari rumah Misa, pukul setengah tujuh malam. Mereka menuju sebuah desa yang telah ditetapkan oleh dosen pembimbing. Dika, akan menjadi sopir mobil pribadi ayahnya yang mereka pinjam.Rombongan itu berjumlah empat mahasiswa. Misa, Dika, Aurel, dan Jimat. Sebenarnya nama Jimat bukanlah nama asli, aslinya Rahmat. Nam
Malam yang gelap telah tergantikan dengan sinar matahari yang menerangi. Hawa hangat berangsur-angsur kembali menemani setiap tarikan nafas manusia.Malam yang larut itu dilalui Danu dan Permata dengan bersembunyi di balik bongkahan batu besar, semak-semak mengelilinginya. Desa yang mereka berdua lewati tidak menyediakan penginapan, semua pintu telah tertutup ketika mereka mengamati dengan mengendarai kudanya. Tidak ada pintu yang terbuka, mereka berdua memilih untuk bermalam pada tempat yang aman. Batu akan melindungi dari hujan jika sewaktu-waktu turun kembali, semak-semak melindungi dari gangguan hewan ataupun manusia.“Kita lanjutkan perjalanan, Permata!” kata Danu.Perjalanan siang itu sepertinya tidak banyak halangan dan rintangan yang mereka alami. Perjalanan berlangsung lancar, dan nanti sore mereka akan sampai pada sebuah tempat yang menjadi tujuan mereka. Seseorang yang diharapkan bisa membantu melawan pasukan yang telah menawan Diana.Matahari bersinar cukup terang, tapi ti
“Kita harus segera melakukan sesuatu, Rosan!” ujar Karim, dia benar-benar tidak bisa konsentrasi untuk menghadapi para prajurit di depan sana, para prajurit yang bersembunyi di balik bukit juga bebatuan besar.“Tidak ada yang bisa kita lakukan, Karim. Hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah menunggu para pasukan bangsat itu kehabisan anak panah dan kita bertarung jarak dekat!” sahut Rosan, matanya tidak lepas dari pandangan yang mengarah tajam ke depan, ia sama sekali tidak kehilangan konsentrasi entah bagaimanapun keadaannya.Karim tidak sependapat dengan kakaknya. “Kita tidak bisa hanya menunggu, Rosan. Siapa yang melangkah lebih cepat maka akan sampai terlebih dahulu!”“Percuma berjalan lebih dahulu dan cepat,” Rosan memandang Karim sekejap, lalu kembali menatap ke depan, “jika langkah kita salah!” lanjutnya.Gelengan kepala kecewa dari Karim terdengar, ia benar-benar berbeda sifat dengan Rosan. Rosan lebih tenang dan bersabar menunggu sebuah hal, namun sebaliknya, Karim sama sek
Tangan kanan Danu mengirimkan pukulan namun dengan mudah Karim menepisnya. Hampir dua belas kali Danu mengirimkan pukulan, dua belas kali tendangan dengan tenaga penuh, sebanyak itu pula Karim menangkisnya. Permata tidak kalah cekatan, dia telah mengirimkan belasan tendangan dan pukulan kuatnya, nihil, tidak ada yang mengenai sasaran.Karim memasang busur panah itu di pundaknya, tanpa merasa bersalah ia tertawa keras-keras, “Hahaha! Kalian bukan lawanku!”Danu bertambah geram, ini bukanlah soal harga diri, tepi lebih dari itu. Ini adalah tentang amanah yang Danu emban dari Rangkasa, menjaga tempat Serat Agung sekarang tengah berada.Tangan mengepal, rahang mengatup kuat, Danu konsentrasi penuh. Permata tidak pernah melihat Danu seperti itu, matanya terpejam dengan sendirinya menyaksikan kengerian itu. “Hati-hati, Danu!” ujar Permata, Danu bergeming.“Haa....” Pukulan Danu mengarah pada wajah Karim.Bug...Sebuah pukulan yang kuat mengenai rahang Karim, dia marah, meringis kesakitan. D
“Dari mana kalian berasal?” tanya seorang prajurit kepada Danu.“Aku dari desa Banjar Rejo!” jarab Danu.Permata tidak paham dengan apa yang ada dalam pikiran Danu. Tadi pagi ketika ada yang bertanya dari mana dia berasal Danu menjawab dari Lereng Gunung Tiga Maut, sekarang dengan pertanyaan yang sama ia menjawab dari Banjar Rejo. Manakah yang benar? Permata bingung sendiri.“Jauh sekali. Untuk keperluan apa kau melintasi wilayah kerajaan?” Seorang prajurit dengan nada mengancam bertanya, dan Danu sangat tidak menyukainya.“Aku mempunyai seorang saudara yang berada di desa Sambijajar, dan aku akan mengunjunginya dengan adikku ini!” Danu menunjuk Permata dengan jari telunjuknya. Permata tersenyum, sebuah senyum yang ia paksakan karena kaget.“Apakah kalian tidak membawa barang-barang yang bisa membahayakan orang lain?” tanya prajurit itu lagi, matanya menjelajah dari ujung kaki sampai rambut kepala, tidak ada yang terlewat.“Aku kira tidak ada yang membahayakan orang lain, aku bisa men
“Dari mana kalian berasal?” tanya seorang prajurit kepada Danu.“Aku dari desa Banjar Rejo!” jarab Danu.Permata tidak paham dengan apa yang ada dalam pikiran Danu. Tadi pagi ketika ada yang bertanya dari mana dia berasal Danu menjawab dari Lereng Gunung Tiga Maut, sekarang dengan pertanyaan yang sama ia menjawab dari Banjar Rejo. Manakah yang benar? Permata bingung sendiri.“Jauh sekali. Untuk keperluan apa kau melintasi wilayah kerajaan?” Seorang prajurit dengan nada mengancam bertanya, dan Danu sangat tidak menyukainya.“Aku mempunyai seorang saudara yang berada di desa Sambijajar, dan aku akan mengunjunginya dengan adikku ini!” Danu menunjuk Permata dengan jari telunjuknya. Permata tersenyum, sebuah senyum yang ia paksakan karena kaget.“Apakah kalian tidak membawa barang-barang yang bisa membahayakan orang lain?” tanya prajurit itu lagi, matanya menjelajah dari ujung kaki sampai rambut kepala, tidak ada yang terlewat.“Aku kira tidak ada yang membahayakan orang lain, aku bisa men
“Permata, aku harus segera menemukan bagaimana cara menangkap perkataan dua naga itu!” kata Danu kepada Permata ketika siang hari, matanya memandang Permata lekat-lekat.“Apakah itu adalah bantuan yang akan diberikan oleh Kosala?” Permata menebak-nebak, dan tebakannya benar.“Benar sekali Permata. Jika aku bisa menerjemahkan apa yang dikatakan dua naga itu, maka kita akan mendapatkan bantuan yang sangat besar!” kata Danu sungguh bersemangat.Permata diam sejenak, diam antara senang sebab mendapatkan bantuan, bingung sebab belum mengetahui bagaimana cara berbicara dengan dua naga. “Berarti apa sekarang yang bisa aku lakukan untukmu, Danu?” tanya Permata dengan senyum mengembang di kedua pipinya, alis terangkat.“Aku juga belum mengerti apa yang harus aku lakukan, Permata. Intinya beberapa hari ini kita akan di sini terlebih dahulu sampai akhirnya aku bisa berbicara dengan dua naga itu!” kata Danu menjawab. Dia juga belum menemukan apa gerangan yang dapat ia lakukan untuk bisa berbicara
“Danu, ayolah aku inginkanmu malam ini!” Permata merajut, wajahnya dibuat semenawan mungkin.“Tidak, Permata! Aku tidak berani melakukannya!” sahut Danu, ia berusaha memalingkan wajah.Namun Permata tidak membiarkan Danu lepas begitu saja, ia menghadkan kembali wajah Danu padanya. Permata benar-benar kehilangan kendali dalam dirinya, dia menginginkan Danu malam ini.“Aku takut jika kamu akan hamil, Permata!” Danu menjelaskan apa yang membuat dirinya tidak berani.“Tidak akan. Aku akan membuat ramuan yang bisa membuat aku tidak hamil!” jelas Permata.“Tidak, Permata! Itu adalah sebuah perbuatan gila dan akan membahayakan dirimu!” terang Danu.Beberapa saat diam, Permata kembali merayu dan meremas-remas telapak tangan Danu, mengelus-elusnya.“Danu, aku sungguh tidak tahan lagi!” Permata merayu, matanya menyipit, mulutnya dibulatkan agar Danu tergoda.“Gila, kau benar-benar gila, Permata!” Danu kembali mengelak.Permata tidak kehilangan akal, ia merah tangan Danu dan meletakkan di lehern